Tuesday, April 21, 2015

Tak Tersangkal - Kebenaran-Chapter 2

Puluhan nisan terjajar rapi di atas padang rumput yang terpotong rapi di belakang St. John the Baptist Cathedral. Jarak antar nisan satu dan nisan yang lain rata – membuat deretan nisan itu tampak seperti barisan tongkat dari kejauhan.

Dari nisan yang nampak mata, seseorang bisa mengatakan tingkat ekonomi keluarga sang almarhumah berasal. Mereka yang mempunyai tidak mempunyai uang, hanya menandai kuburan keluarga mereka dengan sebuah tongkat biasa yang disilangkan berbentuk tanda salib. Mereka yang mempunyai uang, menancapkan batu berukir nama orang yang dikubur. Semakin banyak uang yang mereka miliki, semakin mewah batu nisan yang nampak.

Di belakang St. John the Baptist, deretan batu nisan berukiran indah berjejer rapi. Nama-nama orang yang dimakamkan terukir rapi di atasnya. Semakin ke belakang, semakin sederhana batu nisan. Semakin mendekati hutan di belakang St. John the Baptist Cathedral, semakin banyak barisan tongkat berbentuk salib.

Tidak ada orang yang merencanakan pengelompokkan makam. Namun inilah yang terlihat. Entah disengaja atau tidak, mereka yang memiliki uang memakamkan keluarga mereka di dekat St. John the Baptist dan mereka yang tidak mempunyai uang, memakamkan keluarga mereka di dekat hutan.

Di sisi barat pemakaman, barisan pagar tinggi memanjang dan melebar hingga ke sisi barat gedung utama St. John the Baptist – membentuk sebuah petak yang terpisahkan dari pemakaman. Di dalam pagar itu, nampak deretan batu nisan berhiaskan patung-patung indah yang diukir oleh tangan terampil. Di beberapa tempat nampak pula patung malaikat atau patung kepala orang yang diukir sedemikian rupa hingga menyerupai wajah asli orang yang dimakamkan di sana. Di tembok yang membatasi makam dan ruangan St. John the Baptist, nampak sebuah pintu baja. Di sana, di dalam pintu yang mengarah ke ruang bawah tanah St. John the Baptist, berbaring jasad para Raja dan Ratu terbesar Ratsurk dalam peti mati batu dengan ukiran diri sang Raja atau Ratu di penutup peti. Inilah lokasi pemakaman keluarga kerajaan, satu-satunya lokasi pemakaman yang sengaja dipisahkan dari makam yang lain.

Namun Viscountess of Utira tidak melangkahkan kaki ke pintu pagar itu. Ia, dipayungi oleh pelayan mudanya yang setia, terus berjalan anggun ke antara barisan makam rakyat miskin.

Di sanalah, di deretan paling belakang yang paling mendekati hutan, nampak seonggok batu di antara rerumputan kuning yang panjang hingga melebihi selutut orang dewasa.

Viscountess Eirena berhenti tepat di depan hutan ilalang mini itu. Hatinya trenyuh dan hancur.

Makam ini tidak lebih baik dari saat terakhir ia melihatnya. Begitu terpencilnya tempat ini hingga para biarawan dan biarawati yang membantu perawatan pemakaman ini tidak pernah menjamahnya. Rumput yang tumbuh di sekitarnya, sudah begitu tinggi hingga nisan batu, yang menandakan keberadaan makam ini, tertutup. Inilah tempat peristirahatan terakhir sang Ratu Vania Yvonne Roxburgh, ratu yang dikucilkan dunia baik ketika ia masih hidup maupun ketika ia sudah menjadi tanah.

Viscountess sambil menyibakkan rerumputan yang menutupi batu nisan abu-abu yang dingin.

Vania

Hanya itulah satu-satunya tulisan yang menandakan seseorang terbaring di bawahnya. Tidak ada tanggal kelahiran, tidak ada tanggal kematian. Tidak menyebutkan gelar gadis yang ada di dalamnya. Bahkan tidak ada nama lengkap gadis itu!

Viscountess, dengan uangnya, bisa menyuruh orang untuk membersihkan makam itu. Dengan keberaniannya, ia bisa memindahkan makam itu ke tempat yang lebih pantas. Namun ia tidak akan pernah melakukannya!

Viscountess memilih untuk membiarkan sejarah mencatat apa yang sudah dilakukan Ratsurk pada seorang gadis belia.

Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh masih empat belas tahun ketika ia dinikahkan.

Ketika gadis-gadis sebayanya masih bermanja-manja pada orang tuanya, ia sudah harus menanggung beban seorang Ratu. Ketika gadis-gadis lain terbuai dalam cinta pertamanya, ia diharuskan menikahi seorang pria yang tidak pernah ia temui.

Apa salah sang Ratu bila ia memilih seorang pemuda yang seusia dibandingkan seorang pria yang terpaut sepuluh tahun lebih? Apa salah seorang gadis belia yang memilih perasaannya daripada norma seorang Ratu?

Ia hanya sekali mengikari pernikahan tanpa cintanya namun dunia sudah menjadikannya simbol wanita hina. Ia hanya pergi menemui teman sepermainannya! Namun, hukuman yang mereka berikan padanya sudah berat namun hingga kematiannya, dunia tidak pernah memaafkannya. Dibandingkan memaafkan orang yang sudah menjadi tanah, Ratsurk lebih suka mengingkari seorang Vania Yvonne Roxburgh.

Apa mereka tidak ingat siapa yang memaksa gadis itu memilih jalan ini!? Apa mereka tidak ingat siapa yang memaksa gadis belia itu menikah tanpa cinta!?

“Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh,” Viscountess menyapa gadis itu, “Saya baru kembali dari La Carphatia,” Viscountess melaporkan, “Ayah Anda baik-baik saja. Mereka semua sehat. Ibusuri Geneviene Roxburgh juga baik-baik saja walau keadaannya masih tidak berubah.”

Viscountess selalu sedih tiap kali ia teringat akan Ibusuri Geneviene Roxburgh. Ibusuri Geneviene adalah satu dari sekian bukti duka cinta La Carphatia yang dalam atas kematian Tuan Puteri yang mereka cintai.

“Saya pun telah bertemu keponakan Anda. Menurut ayah Anda, sang Putri kecil mirip dengan Anda. Ia adalah putri yang manis. Saya percaya ia akan tumbuh menjadi seorang gadis yang manis dan menawan seperti Anda.”

Viscountess Eirena membelai nisan dingin itu seakan-akan membelai wajah gadis yang terbaring di sana.

Vania Yvonne Roxburgh adalah seorang gadis belia yang manis dan ceria ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di Ratsurk. Ia adalah seorang gadis yang telah mati ketika ia meninggal dunia.

Sejauh yang Viscountess Eirena ingat, almarhumah Ratu Vania selalu memasang senyum tipis di wajahnya yang kosong. Hingga hari terakhir ia bertemu sang Ratu, mata hijaunya tidak pernah menunjukkan sebuah ekspresi. Hanya kesenduan yang ada di sana. Hanya sebuah kehampaan yang ada dalam dirinya.

Ratsurk sudah merampas keceriaannya dan hidupnya. Ratsurk tidak pernah memberinya ampun. Ratsurk juga tidak peduli ketika ia terlempar dari kudanya dan hilang di tebing tercuram Ratsurk, Highland Cliff.

Hari itu, entah bagaimana Ulrich Beckinsale berhasil kabur dari penjara Ratsurk. Ia juga berhasil menyusup rombongan kerajaan yang pergi berburu di Highland Cliff. Namun, bukan kesalahan sang Ratu Vania Yvonne Roxburgh bila ia ingin membunuh Raja.

Bagaimana seorang yang tidak mempunyai suara bisa menghubungi Ulrich Beckinsale yang dipenjara di salah satu penjara terketat Ratsurk? Bagaimana seorang yang sudah dianggap tidak ada bisa membantu Ulrich Beckinsale yang dihukum penjara seumur hidup?

Raja Keegan sudah mengucilkannya dalam kamarnya semenjak hari itu. Ratsurk juga sudah menjauhinya semenjak Raja Keegan menyelamatkannya dari tangan Ulrich Beckinsale. Tidak ada yang ingin menemuinya juga berbicara dengannya semenjak saat itu. Pelayan Istana maupun prajurit pengawal keluarga kerajaan enggan memperhatikan gadis terhina itu.

Bagi Ratsurk juga Raja Keegan Neidhardt, sudah seharusnya gadis itu mati bersama kekasih gelapnya. Dan, sudah sewajarnya mereka menghapus noda hitam dari sejarah Ratsurk dan dari catatan agung keluarga Neidhardt.

“Dengan pemberianNya pada Roxburgh, Tuhan telah memaafkan kesalahan mereka pada Anda. Saya pun percaya Anda juga telah memaafkan keluarga Anda. Sekarang, Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh, marilah kita berdoa ia tidak bernasib sama seperti Anda.”

Setelah menemui sang Putri dan keluarga Roxburgh, Viscountess berkeyakinan keluarga itu tidak akan membuat kesalahan yang sama. Mereka tidak akan mengabaikan Putri Vania Roxburgh seperti mereka menutup diri dari Ratu Vania Yvonne Roxburgh.

Ini adalah akhir yang baik untuk kedua kerajaan. Kerajaan La Carphatia sudah mendapatkan berkah dari penyesalannya dan Kerajaan Ratsurk akan mendapatkan balasan dari apa yang telah mereka lakukan pada seorang gadis belia. Viscountess of Utira meninggalkan makam terpencil itu.

“Anda mengunjungi gadis itu lagi?” seorang Romo menyapa.

“Jangan khawatir, aku tidak akan melibatkanmu lagi,” Viscountess of Utira menyahut dengan sinis.

“Saya tidak mengkhawatirkannya. Anda tahu saya selalu berpihak pada Anda.”

“Namun kau lebih mematuhi ancaman Keegan,” sahut Viscountess pula.

“Sebagai makhluk yang hidup di sebuah kerajaan yang berhukum, kita tidak bisa berbuat semau kita.”

“Rupanya perintah Keegan lebih patut dipatuhi daripada perintah Allah,” Viscountess mencibir.

“Tidak. Itu tidak benar. Bagi kami perintah Allah tetaplah yang utama.”

“Tapi kau langsung mundur oleh ancaman Keegan,” Viscountess dengan sengaja terus mengungkit kejadian yang telah berlangsung lebih dari tiga bulan lalu.

Lebih dari tiga bulan lalu, tepatnya setahun setelah kematian sang Ratu, Romo dengan tiba-tiba membatalkan rencana misa yang telah ia sepakati. Tanpa perlu berpikir pun, Viscountess sudah dapat menebak alasan tindakan yang tiba-tiba itu: ancaman sang Paduka Raja Keegan Neidhardt!

Begitu mendengar misa yang akan digelar atas inisiatif Viscountess of Utira untuk memperingati setahun kematian Ratu Vania Yvonne Roxburgh, Raja Keegan marah besar. Setahun lamanya nama sang Ratu terhina terkubur dan sekarang tiba-tiba seorang wanita tua menghidupkannya kembali. Tidak ingin mendengar nama tabu itu, Raja mengancam akan menghukum siapa pun yang terlibat dalam misa itu, baik yang menyelenggarakan maupun yang menghadiri.

Romo segera membatalkan misa tersebut. Namun, Viscountess of Utira tidak mau mundur. Ia tidak pernah merasa mengenang kepergian seorang gadis muda adalah sebuah kesalahan. Tidak saat itu, tidak juga saat ini.

Bila kala itu Raja marah karena tidak menginginkan nama tabu itu muncul, maka semenjak saat itu Viscountess tidak senang akan ketakutan Romo pada sang Raja dan kecintaannya pada uang.

Misa tersebut akan benar-benar tidak terlaksana bila Viscountess tidak membuat sebuah kesepakatan dengan Romo. Dengan sumbangan uang dalam jumlah besar untuk perawatan dan pembenahan St. John the Baptist Cathedral, Romo akhirnya berkenan mengadakan misa itu tersebut dengan syarat misa tersebut diadakan secara sembunyi-sembunyi.

Viscountess memang menyetujuinya namun Viscountess tidak pernah berjanji ia tidak akan memberitahu orang lain akan misa tersebut.

Sayangnya, hanya Viscountess seorang yang berani menentang sang penguasa Kerajaan Ratsurk.

Misa tersebut diadakan di salah satu ruang doa St. John the Baptist Cathedral dan hanya dihadiri oleh Viscountess! Sang Raja, tentu saja, mengetahuinya. Namun ia baru mengetahuinya setelah misa tersebut usai.

Raja berang namun ia tidak dapat melakukan apa-apa. Walaupun Viscountess Eirena tidak pernah ragu-ragu untuk mewartakan apa yang telah diperbuatnya untuk almarhumah sang Ratu. Tidak ada bukti kuat yang bisa menyeret wanita tua itu ke hukuman yang ia ancam. Walaupun perintah Raja adalah hukum, sebagai seorang Raja yang baik, ia tidak bisa bermain hakim sesukanya. Raja Keegan Neidhardt hanya bisa mengucilkan sang Viscountess dari pergaulan kelas atas.

Semenjak saat itu, Raja tidak pernah mengundang Viscountess of Utira dalam pesta yang ia selenggarakan. Semenjak saat itu, sang Raja tidak pernah menyapa sang Viscountess tua. Dan semenjak saat itu pula Ratsurk mengetahui perang dingin antara Viscountess of Utira dan Yang Mulia Paduka Raja Keegan Neidhardt.

“Beliau melanggar kesucian sebuah ikatan suci.”

“Bagaimana dengan Keegan?” Viscountess menyahut sinis.

Romo tidak dapat membantah kenyataan.

“Yesus Kristus saja memaafkan Maria Magdalena. Atas dasar apa kalian yang mengaku beragama tidak bisa memaafkan seorang gadis muda?” tanya Viscountess kemudian. “Bila kalian, seperti yang dikatakan Yesus, tidak pernah berbuat kesalahan, kau lebih dari dipersilahkan untuk menghukum Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh.”

Romo tertawa. “Anda tidak pernah berubah. Selalu berkata apa adanya.”

“Karena aku bukan srigala berbulu domba,” Viscountess sengaja menyindir. Viscountess tidak lagi menyukai Romo ini setelah peristiwa tiga bulan lalu. Mulut pria ini selalu mengucapkan kata-kata yang manis namun siapa yang tahu apa yang telah ia lakukan dibalik sikap santunnya. Sejumlah besar uang sudah ia terima namun Viscountess tidak melihat satu perubahan pun dari St. John the Baptist Cathedral. Tak perlu mengatakan kuburan sang Ratu Vania Yvonne Roxburgh yang dikucilkan, pagar di sekeliling kuburan yang mulai rusak oleh usia masih tetap tidak berubah. Ketika Viscountess mengungkit ‘sumbangan’nya, Romo akan selalu mengatakan uang tersebut sudah digunakan dengan bijaksana.

“Saya berdoa Raja tidak akan menghukum Anda.”

“Aku pun berdoa kalian tidak akan menyesali tindakan kalian ini,” Viscountess tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Romo, “Maaf aku tidak ingin berbasa-basi denganmu lebih lama lagi.”

“Silakan,” Romo tersenyum. Usia Viscountess memang sudah tidak muda tetapi mulutnya tetap tajam terutama bila itu menyangkut almarhumah Ratu Vania Yvonne Roxburgh.

Romo memperhatikan batu nisan yang berdiri seorang diri di kejauhan ditutupi rerumputan panjang. Tidak akan ada yang menyesali kepergian gadis yang sudah mencoreng nama Ratsurk itu.

“Suatu hari nanti kalian pasti akan menyesalinya!” Viscountess terus menyumpahi setiap orang di Ratsurk.

“M’lady, ke manakah tujuan kita berikutnya?” tanya Lisa, pelayan muda Viscountess.

“Ke tempat biasa,” jawab Viscountess singkat sebelum memasuki kereta kuda.

Pelayan itu dengan sigap membantu sang Viscountess tua, memberitahu tujuan mereka kepada kusir kuda kemudian masuk ke dalam kereta.

Sepanjang perjalanan, Viscountess terus mengutuki setiap orang di Ratsurk yang telah membuat hidup almarhumah Ratu Vania Yvonne Roxburgh menderita hingga akhir hayatnya.

Lisa hanya diam mendengarkan omelan yang sering ia dengar itu. Begitu seringnya ia mendengar omelan senada sehingga ia pun mulai sering berpikir mengapa Ratsurk tidak dapat memaafkan sang almarhumah Ratu sedangkan mereka bisa memaklumi kisah-kisah cinta sang Raja pun ketika Ratu Vania masih hidup.

Kecintaan Viscountess of Utira pada almarhumah sang Ratu sudah menjadi rahasia umum. Tidak ada yang bisa menghentikannya sekalipun itu adalah sang Raja Keegan Neidhardt. Ia yakin walaupun dunia akan memusuhinya, rasa kagum Viscountess pada sang Ratu muda tidak akan pernah dapat disingkirkan. Dalam kecintaannya itu, Viscountess sering melibatkan orang lain sehingga setiap orang yang melihatnya selalu berkata,

“Jangan libatkan saya.”

“Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan,” Viscountess tidak menyukai ketakutan tiap orang pada sang Raja, “Aku tidak lagi tertarik untuk menerbitkan buku itu. Aku ingin suatu hari nanti dunia mengetahui kekejaman Ratsurk pada seorang gadis muda!”

Sang pemilik toko buku hanya dapat tersenyum pasrah. Ia adalah satu dari sekian banyak orang yang tahu betapa keras dan teguhnya sikap sang Viscountess of Utira bila itu menyangkut gadis yang dipujanya.

Beberapa bulan lalu, setahun tepat setelah kematian sang Ratu, Viscountess berkeinginan menerbitkan buku harian almarhumah Ratu. Tentu saja Viscountess tahu tidak akan ada yang berminat membelinya. Namun bukan besarnya uang pendapatan penjualan buku itu yang ia cari. Ia hanya ingin Ratsurk mengenal sosok Ratu Vania Yvonne Roxburgh yang sesungguhnya.

Buku tersebut adalah satu dari sekian barang sang Ratu yang seharusnya sudah menjadi abu. Ketika mendapatkannya, sang pemilik toko buku berharap mendapatkan keuntungan besar dari publikasi buku itu. Namun, setelah membacanya, ia sadar ia tidak bisa menerbitkan buku tersebut dalam jumlah besar tanpa mengorbankan kepalanya. Satu-satunya orang yang bisa memberinya keuntungan besar itu hanyalah Viscountess of Utira, satu-satunya pengagum setia sang almarhumah Ratu.

“Apa kau menemukan barang Ratu yang lain?” Viscountess langsung menyebutkan tujuan kedatangannya.

“Saya tidak menemukannya,” jawab pria itu, “Tapi saya mempunyai sebuah kabar menarik.” Pria itu menggosok-gosokkan tangannya sambil menatap Viscountess dengan mata serakahnya.

“Lisa,” Viscountess melihat pelayan mudanya.

Pelayan tersebut segera mengeluarkan sekantong uang dan memberikannya pada sang pemilik toko.

Pria tua itu tersenyum lebar. “Beberapa bulan lalu pemilik toko perhiasan di seberang jalan melihat Ratu.”

“OMONG KOSONG!” sahut Viscountess.

“Ia yakin gadis tersebut adalah Ratu.”

“Bagaimana ia tahu rupa Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh!?”

“Ia mempunyai lukisan diri Ratu.”

Seluruh indera Viscountess tua itu langsung terbuka demi mendengar pernyataan itu. “Di mana toko itu?”

Dalam waktu singkat mereka sudah menuju toko perhiasan yang disebut oleh sang pemilik toko.

Usia Viscountess memang sudah tidak muda namun Lisa selalu kalah dari Viscountess ketika sang Viscountess berburu barang-barang milik almarhumah Ratu Vania.

Setahun lalu, tepat setelah mengumumkan kematian sang Ratu, Raja Keegan memerintahkan para pelayan Istana untuk membakar semua barang yang bersangkutan dengan sang Ratu.

Menyadari nilai harga barang-barang mewah sang Ratu, para pelayan Istana secara diam-diam membawa barang-barang Ratu keluar Istana. Sekarang, setahun lebih setelah kematiannya, barang-barang Ratu sudah berpindah tangan berulang kali mulai dari pengkoleksi barang-barang berharga hingga ke orang yang tertarik pada kemewahannya.

Namun, bagi Viscountess of Utira, barang-barang tersebut bukan barang peninggalan orang hina yang berharga juga bukan barang mewah yang bernilai tinggi. Barang-barang itu adalah barang peninggalan almarhumah Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh yang tidak ternilai harganya. Demi mengumpulkan apa yang pernah dimiliki sang Ratu yang ia cintai, Viscountess tidak pernah ragu mengeluarkan uang. Demi menyimpan kenangan atas sang Ratu pula, Viscountess tidak pernah membuang kesempatan untuk mendapatkannya.

“Berapa harga yang kauberikan untuk lukisan diri Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh?” tanya Viscountess begitu mereka memasuki toko perhiasan yang dimaksud pemilik toko buku.

Pria tua pemilik toko tersebut terkejut. “A-apa yang Anda maksud? Saya tidak memiliki lukisan itu,” ia segera membantah sambil melirik tamu-tamunya dengan panik.

“Tidak perlu menyembunyikannya dariku. Aku tahu kau memilikinya,” Viscountess berkata tegas.

Lisa memahami kepanikan sang pemilik toko. Demi keselamatan mereka sendiri, tidak seorang pun berani menyebut nama sang Ratu apalagi mengaku memiliki barang peninggalan sang Ratu. Hanya Viscountess of Utiralah satu-satunya orang di Ratsurk yang tidak pernah ragu menyebut nama terlarang itu dengan lantang lengkap dengan gelarnya dan tanpa meninggalkan penghormatan padanya.

Pria tersebut langsung mengetahui siapa wanita tua di hadapannya ini. “Mari kita berbicara di belakang, Madam,” ia mengajak sang Viscountess masuk.

Dengan satu tatapan mata suaminya, istri sang pemilik toko perhiasan tahu apa yang harus dikatakannya. “Perhiasan pesanan Anda untuk Ratu kerajaan tetangga sudah jadi. Kami menyimpannya di dalam. Silakan masuk, Madam.”

Viscountess melangkahkan kaki dengan tegas mengikuti sang pemilik toko.

Istri sang pemilik toko lega. “Sampai di mana kita tadi?” tanyanya pada para pelanggannya.

Diam-diam Lisa merasa kasihan pada pemilik toko ini. Mereka bukan orang pertama yang diseret Viscountess Eirena. Sayangnya, juga bukan yang terakhir.

“Viscountess, tolong jangan seret saya,” kata pria itu ketika mereka sudah di ruangan yang cukup jauh dari pendengaran para tamu toko.

“Cepat katakan berapa yang kau mau,” Viscountess mengabaikan omongan sang pemilik toko.

“Saya tidak tahu darimana Anda mendapatkan berita itu tetapi saya benar-benar tidak memiliki barang yang Anda maksud.”

“Kau tidak bisa menutupinya dariku. Tetanggamu memberitahuku. Ia juga mengatakan engkau pernah bertemu sang Ratu.”

Pria tersebut terkejut. Ia hanya pernah sekali memberitahu orang lain atas pertemuannya dengan gadis yang menyerupai Ratu. Sayangnya pria tersebut adalah pria yang salah.

“Benar,” pria tersebut menyerah, “Saya memiliki lukisan itu.” Ia membuka lemari penyimpanannya dan mengeluarkan sebuah lukisan terbungkus kain putih.

Lisa melihat tangan Viscountess bergetar oleh kegembiraan yang meluap ketika ia menerima lukisan tersebut.

Dengan hati-hati Viscountess membuka kain yang menutup lukisan tersebut. Viscountess of Utira langsung mengenali gadis yang tersenyum manis dalam lukisan tersebut.

“Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh,” panggilnya dengan suara yang bergetar. “Oh, Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh.” Viscountess membelai wajah gadis dalam lukisan itu. Dengan matanya yang berkaca-kaca, ia menatap lekat-lekat gadis cantik itu.

“Anda bisa memiliki lukisan itu,” pria tersebut tersentuh oleh reaksi Viscountess.

“Berapa yang kau minta?” tanya Viscountess.

“Anda bisa memilikinya dengan cuma-cuma,” jawabnya, “Saya mendapatkannya juga dengan cuma-cuma. Saya menemukannya di antara tumpukan sampah. Nama yang tertera di bingkai tersebut membuat saya mengenalinya sebagai almarhumah Ratu.”

“Betapa malangnya Anda, Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh,” Viscountess menangis untuk gadis itu.

“Beliau memang gadis yang malang. Setiap orang hanya menginginkan uang dari barangnya namun tidak lukisannya yang tak berharga. Bahkan para pengkoleksi lukisan berharga pun tidak menginginkan lukisan yang tak ternilai harganya ini.”

“Termasuk kau.”

“Benar,” pria tersebut mengakui. “Saya mencintai Ratu seperti Anda, namun saya tidak mempunyai cukup keberanian untuk mengatakannya dengan terus terang seperti Anda.”

“Dan kau masih mengatakan dirimu mencintai Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh,” Viscountess menyindir.

“Ratu adalah gadis yang baik. Ia tidak pernah ragu bergaul dengan rakyat biasa seperti para bangsawan yang lain. Dulu, ketika beliau masih kecil, saya pernah memberinya sebuah batu kristal biasa. Sedikitpun saya tidak pernah menyangka Ratu akan menyimpannya hingga akhir hayatnya. Seorang pelayan Istana mencoba menjual batu tersebut pada saya tanpa mengetahui batu tersebut adalah batu kaca biasa.” Kemudian pria tersebut mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.

Viscountess mengambil batu kaca tersebut dan mengamatinya baik-baik. “Ini adalah batu kaca biasa,” katanya kemudian.

“Benar,” pria tersebut sependapat. “Saya memberikannya kepada seorang gadis manis yang menolong saya tanpa mengetahui gadis itu adalah Putri Vania Yvonne Roxburgh yang kemudian akan menjadi Ratu kerajaan tempat saya dilahirkan dan kemudian diperlakukan dengan kejam hingga kematiannya.”

“Saya selalu membawa batu tersebut bersama saya namun beberapa bulan lalu saya lupa menyimpannya,” pria itu bercerita, “Istri saya menemukannya. Ia tidak menyadari batu tersebut hanyalah batu kristal biasa yang tidak berharga dan ia memajangnya di jendela toko. Sebelum saya menyadarinya, seorang gadis memasuki toko. Ia mengambil batu tersebut dari jendela toko dan mengamatinya seperti gadis kecil yang pertama kali menerima batu tersebut.”

“Maaf, batu tersebut tidak dijual,” katanya kala itu.

Gadis itu terperanjat namun ketika ia membalikkan badan, senyum lembut menghiasi wajah tenangnya. “Maaf, saya hanya melihat-lihat.”

Pria tersebut terperangah.

Sepasang mata hijau gadis itu menatapnya. Wajahnya yang terbingkai rambut hitamnya nampak pucat. “Permisi,” gadis tersebut berkata dengan suara tegasnya dan membalikkan badan meninggalkan toko.

Sang pemilik toko memperhatikan gadis itu berjalan tertatih-tatih dengan tongkat kayunya.

“Gadis itu benar-benar mirip gadis dalam lukisan tersebut,” ia mengakhiri cerita pendeknya.

Viscountess memperhatikan bintang-bintang kecil di dalam batu kaca itu.

“Saya tidak pernah menyangka dua orang gadis bisa memiliki wajah yang serupa. Anda bisa mengatakan mereka adalah saudara kembar.”

“Hingga saat ini jasad Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh tidak pernah ditemukan,” Viscountess of Utira memberikan pernyataan yang tak terduga.

Pria itu terkejut. “M-maksud Anda…?”

Lisa juga terperanjat. Ia baru pertama kali mendengarnya.

“Simpan baik-baik batu kristalmu,” Viscountess mengembalikan batu kristal tersebut. “Ia menyimpan kenanganmu bersama Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh,” dan ia memperingati, “Jangan mengatakan hal ini pada siapa pun bila kau masih ingin hidup.” Viscountess membalikkan badan dan melangkah pergi.

Lisa mengikuti Viscountess tanpa suara dan ketika mereka sudah berada di dalam kereta, ia tidak dapat menahan dirinya untuk tidak bertanya,

“M’lady, apakah menurut Anda Ratu masih hidup?”

“Di mana pun Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh berada, aku yakin Yang Mulia Paduka Ratu Vania Yvonne Roxburgh sudah mendapatkan kebahagiaannya.” Viscountess menatap lukisan di pelukannya dengan penuh kasih sayang. Ia tidak berani berspekulasi atas cerita itu. Setiap orang tahu betapa terjalnya tebing curam itu. Tidak ada yang selamat setelah terhempas dari puncak tebing Highland Cliff yang dalam itu. Pun, andaikan benar gadis tersebut adalah sang Ratu Vania Yvonne Roxburgh, Viscountess percaya gadis itu sudah memilih jalan yang tepat, jalan hidup yang terbaik untuknya.

Tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Lisa hanya dapat mencari sendiri jawaban pertanyaan itu.



*****Lanjut ke chapter 3

12 comments:

  1. Akhirnya... di update juga. Udah dapet kerjaan ya mba?hihi ^^

    Keegan kejam! Masa dia selingkuh, boleh2 aja. Nah pas istrinya sekali ketemu tmn masa kecilnya langsung jd masalah besar

    Moga aja itu beneran vania.. ga usah ketemu keegan lg van. Hidup mu mungkin jauh lebih baik kl jauh2 sama si playboy kakap itu!! (Emosi !!! )

    ditunggu lanjutannya...
    Kl bisa jgn lama2 ya mba..
    ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Faisah
      Maaf kelanjutannya akhirnya muncul setelah 3 bulan m(_._)m.

      Terima kasih telah menanti kelanjutan seri ini dengan sabar.

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  2. Sebenernya niih kak aku masih agak bingung.. Aku merasa ini masih penfantar gitu yaah hahaha *yaiyalahorangbarupart2 tapii seneng ajah jadinya tekateki terus aku jadi menghayal juga sebenernya vania kenapa dulunya hahaha terus si keegan ini beneran cinta sama istrinya apa gak sampe segitunya dihilangkan dari muka bumi hakhak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wida,

      Sabar, ya. Sesuai judulnya, kebenaran akan terungkap perlahan-lahan. ^_^

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  3. Ayeee ratu vania msh hidup nie ky ny.awalnya sempet binggung,kalo ratu nya beneran mati ntr keegean sama siapa,msa iya sama ponakannya vania yg baru lahir.hehehe
    Rahasia akan terbuka secara perlahan. . . . Asek asek.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sherls senang Anda menyukai perkembangan judul ini :)

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  4. Sheeerls, kok lama banget nggak di update????

    ReplyDelete
    Replies
    1. Luthfia,

      Maaf, Sherls mengalami depresi berat selama 3 bulan terakhir. Sherls pada akhirnya telah bebas dari depresi (setidaknya selama 5 bulan mendatang). Terima kasih telah menanti kembalinya Sherls dengan sabar.

      Cheers,
      Sherls

      Delete
  5. Replies
    1. Ailfa,

      Maaf Sherls telah menghilang selama 3 bulan terakhir ini. Sherls telah pulih dari depresi berat Sherls dan akan kembali berkarya. Terima kasih telah terus mengikuti karya-karya Sherls.

      Cheers,
      Sherls

      Delete