Tuesday, December 9, 2014

Aileen-Chapter 9

Aileen meremas majalah di tangannya.

“Mengapa engkau tidak memberitahuku?” Sigrid mengulang kembali protesnya yang terus berkumandang sejak ia membaca majalah itu.


Di sampul majalah itu terpasang potret Evans merangkulkan tangannya dengan mesra di pinggang seorang gadis muda bergaun hitam yang seksi. Wajah gadis itu memandang sisi lain kamera tetapi Aileen tahu siapa gadis itu, demikian pula Sigrid. Menambah suasana mesra foto tersebut, sederet judul besar terpampang: “Pacar Baru Evans Renz!!! Dan yang Terakhir?”

Aileen geram.

Mengapa Evans membiarkan ini terjadi!? Evans dengan segala kekayaan dan kekuasaannya tentu dapat mencegah hal ini.

“Mengapa kau tidak memberitahuku kau telah bertunangan dengan Evans?” desak Sigrid lagi.

“Aku tidak bertunangan dengan Evans!” bantah Aileen.

“Tetapi majalah itu tidak berkata demikian.”

Aileen segera membuka halaman berita yang memuat dirinya dan Evans. Semakin ia membacanya, semakin melebar matanya dan semakin memanas emosinya. Mengapa Evans membiarkan berita semacam ini!? Mengapa Evans membiarkan orang-orang mengarang pernyataannya sesuka hati mereka!?

Apanya yang gadis pujaan Evans!?? Apanya yang cinta sejatinya!?

Evans tidak mungkin mengatakannya! Evans, sang playboy, adalah sepupunya!!

Yang membuat Aileen semakin gemas adalah kenyataan mereka telah diikuti sejak ulang tahun Evans!

Artikel itu memang tidak menyebutkan namanya juga tidak menyebutkan tempat tinggalnya tetapi mereka memasang foto-fotonya bersama Evans baik ketika mereka merayakan ulang tahun Evans maupun ketika Evans membawanya ke pesta sosial semalam. Bahkan, foto ketika Evans menyematkan cincin di jemarinya!!!

Evans tidak mungkin tidak menyadari mereka tengah diikuti. Evans tidak mungkin tidak tahu ia adalah satu dari sekian incaran para paparazzi. Dari segala pencegahan yang bisa dilakukan, mengapa Evans memilih memesan restoran? Mengapa ia membiarkan orang lain mengetahui rencananya!??

“Aileen?” Sigrid khawatir.

Aileen melempar majalah itu di meja.

“Kau mau ke mana?” Sigrid mencegah.

“Aku akan membuat perhitungan dengan pemuda itu!” Aileen melepaskan diri. Begitu tergesa-gesanya ia hingga ia hampir menabrak Helena yang hendak memasuki ruangan.

Helena melihat kepergian Aileen dengan penuh tanda tanya. “Mau ke mana dia?” tanyanya pada putrinya, “Mengapa ia tampak murka?”

“Ia pergi menemui Evans,” Sigrid menjawab.

“Apa yang terjadi pada mereka? Apa mereka bertengkar?” tanya Helena lagi.

“Kau akan mengerti setelah melihat ini,” Sigrid memberikan majalah yang hampir tidak berbentuk itu kepada ibunya.


-----0-----

“Kali ini kau sudah melebihi batas, Evans.”

“Aku tahu, Mama.”

“Ayahmu tidak senang.”

“Aku tahu,” kata Evans lagi.

“Beritahu aku, Evans, apa kali ini kau serius?”

“Ya,” Evans duduk tegak, “Aileen adalah kekasih terakhirku dan satu-satunya cinta sejatiku.”

“Aku akan senang sekali kalau kau benar-benar serius. Tetapi kalau kau hanya ingin bermain-main, lebih baik kau berhenti saat ini juga. Ini bukan permainan yang lucu.”

“Aku tidak pernah seserius ini,” Evans menegaskan.

“Aku lega. Engkau membiarkan hal ini terjadi sudah menjadi sebuah bukti keseriusanmu. Tetapi penegasanmu adalah bukti yang terkuat. Aku berharap kalian bisa segera menikah.”

“Aku juga berharap demikian.”

Wanita di seberang telepon tertawa. “Kulihat kali ini kau benar-benar jatuh cinta.”

“Aileen adalah gadis yang mempesona. Aku akui aku selalu takut pria lain akan merebutnya dariku.”

“Karena itu kau membiarkan mereka menulis gosip ini?”

“Ini bukan gosip. Ini adalah kenyataan,” Evans membenarkan. “Membiarkan berita itu tersebar luas berarti membantuku menyingkirkan setiap pria yang tertarik pada Aileen. Mama, kau tidak tahu betapa banyak tamu pria di restoran itu yang jatuh hati pada Aileen.”

“Karena itukah kau memindahkan kantormu ke restoran mereka?”

“Itu adalah salah satu alasanku,” Evans mengakui.

“Kulihat kalian harus segera disatukan sebelum kau menghancurkan bisnis keluarga kita.”

“Aku juga sangat menginginkannya, Mama, tetapi harus kuakui ini bukan hal yang mudah.”

“Aileen masih tidak dapat melupakan Geert?” tanya Kathy.

“Ia selalu membantahnya tetapi aku tahu ia terus memikirkan Geert.”

“Aileen pasti marah dengan berita ini.”

“Mungkin,” Evans mengakui, “Tetapi itu bukan masalah besar. Aku tidak akan membiarkan ini terjadi kalau aku mengkhawatirkannya.”

“Kulihat kali ini engkau menggunakan segala cara untuk mendapatkan Aileen.”

“Ya. Aku harus menggunakan semua cara yang terpikirkan olehku. Ia bukan gadis yang mudah ditaklukan.”

“Engkau tidak mengejarnya karena itu bukan?” lagi-lagi Kathy dibuat khawatir oleh komentar putranya.

“Tentu saja tidak, Mama. Ia memiliki segala yang kuinginkan dari seorang wanita. Ia adalah satu-satunya gadis yang sanggup mengacaukan duniaku dan juga membuatku bahagia. Bersamanya seperti berada di dunia penuh kejutan yang menarik.”

“Aileen pasti gembira mendengarnya.”

“Ia tidak mempercayaiku,” keluh Evans, “Ia terus menegaskan aku adalah seorang kakak baginya.”

“Itu adalah dampak dari perbuatanmu sendiri.”

“Ya,” Evans juga menyadarinya. “Aku yakin aku pasti bisa mendapatkannya. Ia pernah jatuh cinta padaku dan aku pasti bisa membuatnya jatuh cinta lagi padaku untuk yang terakhir kalinya.”

“Ia pernah jatuh cinta padamu!?” Kathy Renz terperanjat, “Benarkah itu?”

“Ia memberitahuku sendiri. Tetapi, katanya, itu hanyalah perasaan seorang gadis kecil dan ia sudah tidak lagi merasakannya sekarang.”

“Aku percaya kau pasti bisa mendapatkannya kembali. Percayalah padaku, Evans, seorang gadis selalu memendam perasaan pada cinta pertamanya.”

“EVANS RENZ!!” pintu ruangan kantor terbuka lebar.

Evans terkejut melihat sepasang mata murka gadis yang melangkah masuk dengan langkah-langkah tegasnya.

“Aku akan meneleponmu lagi,” katanya menutup pembicaraan.

“Kabari aku kalau ia sudah mengangguk,” Kathy mengingatkan dengan antusias.

“Ia sudah menerima cincinku.”

Kathy terperanjat. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, putranya telah menutup telepon.

“Maafkan saya. Saya telah berusaha mencegah tetapi Nona ini tidak menghiraukan larangan saya.”

“Tinggalkan kami berdua,” Evans memerintah. Ketika berita itu dimuat, ia sadar cepat atau lambat Aileen pasti muncul.

Sekretaris Evans pun meninggalkan kantor Evans. Tak lupa ia menutup pintu untuk memberi mereka privasi.

“Jelaskan apa maksud semua ini!” Aileen menggebrak meja di hadapan Evans.

“Apa maksudmu?” Evans menautkan jari-jemarinya di atas meja dan memasang sikap tidak bersalah.

“Kau tahu maksudku!” Aileen merasa ia hampir gila oleh sikap tenang Evans. “Kau tahu mereka tengah membuntuti kita. Kau tahu mereka berpesta ria dengan bualan mereka tetapi mengapa kau membiarkan mereka!?”

“Mereka tidak membual. Mereka hanya menulis cerita nyata.”

“Cerita nyata apa!? Antara kau dan aku tidak ada apa-apa!”

“Aku tidak menduga daya ingatmu selemah ini.”

“Apa maksudmu!?” Aileen tidak menyukai ketenangan Evans di saat ia sudah hampir meledak.

Evans berdiri dan mencondongkan badan ke Aileen. “Sekarang aku adalah kekasihmu,” ia mengingatkan dengan tersenyum.

Aileen terperanjat. “I… itu… itu…” Rona merah menghiasi wajah pucatnya.

Evans menyukai reaksi Aileen ini. “Kau bahkan sudah bersedia menikah denganku,” ia dengan sengaja menggoda Aileen.

“Menikah denganmu!?” Aileen kaget. “Jangan bercanda!”

“Aku tidak bercanda. Engkau juga sudah menerima cincin pertunanganmu.”

“Cincin tunangan?” Aileen kembali bertanya heran. Simpul-simpul kebingungan di kepalanya terus bertambah. “Kapan kau memberikannya?” Aileen menyadari Evans tengah memperhatikan sesuatu darinya dan ia mengikuti arah pandangan Evans dengan waspada. Mata Aileen tertumbuk pada cincin yang Evans sematkan di jari manis tangan kanannya pada hari ulang tahun Evans.

Aileen terperanjat.

Evans hanya tersenyum melihat reaksi Aileen.

“Ini?” Aileen tidak percaya. “Tapi katamu… katamu ini…,” mata Aileen berpindah-pindah antara cincin di jari manisnya dan Evans. Ia berharap Evans hanya bercanda namun ia tidak menemukan satupun tanda yang ia cari dari wajah yang tersenyum itu. Sepasang mata yang menatapnya serius, mulai membuat genderang di dadanya bertabuhan. “A-aku… aku,” Aileen berusaha melepas cincinnya dengan jari-jarinya yang gemetaran.

“Jangan kau lakukan itu,” Evans menangkap tangan Aileen. Ia menjauhkan tangan kiri Aileen dan tangannya yang lain meremas lembut jari-jemari tangan kanannya. “Aku tidak akan membiarkan kau melakukannya,” ia memperingati Aileen dengan keseriusan yang membuat genderang di hati Aileen berbunyi semakin keras. “Ini adalah segel hubungan kita,” Evans menunduk mencium cincin di jari Aileen.

Sentuhan lembut di jari-jemarinya membakar wajah Aileen. Aileen ingin menutupi wajahnya namun dengan kedua tangannya di genggaman Evans, ia hanya dapat berharap wajahnya tidak memerah.

Evans tersenyum lembut melihat Aileen yang tersipu. “Kau benar-benar manis,” ia menyukai rona wajah Aileen yang semakin memerah.

Pernyataan itu membangunkan Aileen dari mimpi. Ia ingat Evans pernah berkata ia ingin mempunyai adik perempuan yang semanis dirinya. Dengan memendam kekecewaannya, Aileen berkata, “Karena itu kau ingin mempunyai adik perempuan sepertiku.”

“Benar,” Evans menyahut spontan.

“Aku benar, bukan?”

Sekarang giliran Evans yang heran.

“Kau hanya menggodaku,” Aileen menarik tangannya, “Sejak dulu kau hanya menganggapku sebagai adikmu.”

“Tidak!” Evans kembali mencengkeram kedua pergelangan tangan Aileen. “Aku tidak pernah menganggapmu sebagai adikku.”

“Sudahlah, Evans. Lelucon ini tidak lucu.” Aileen tidak suka cara Evans membuatnya berdebar-debar kemudian menyakitinya.

“Aku serius!” Evans berkata tegas, “Kau ingin bukti?”

Sesuatu di wajah Evans membuat Aileen waspada. Sebelum ia sempat menyadarinya, Evans sudah memutari meja kerjanya dan berdiri di depannya.

“A-apa yang akan kaulakukan?” Aileen panik.

“Menurutmu?” cara Evans mendekat membuat Aileen mundur. Pemuda itu terus menyudutkan Aileen sehingga gadis itu terjerembab di sofa panjang depan meja kerjanya.

Evans tersenyum puas. Ia menekan kedua tangan Aileen di sofa. Dan dengan tubuhnya yang besar, ia memenjarakan Aileen di sofa panjang kantornya.

Aileen panik namun… ia juga berdebar-debar. Ia takut namun ia juga menantikan tindakan Evans selanjutnya. Perasaan ini sungguh luar biasa. Aileen tidak sanggup mengungkapkan perasaan campur aduk yang menyebar dari dadanya hingga ke seluruh tubuhnya.

Evans dapat merasakan getaran tubuh Aileen namun ia tidak berniat melepaskan Aileen. Sebaliknya, ia mempersempit jarak di antara mereka.

Aileen menutup matanya dengan spontan. Sesaat setelahnya ia dapat merasakan hembusan nafas Evans menggelitik wajahnya. Ketegangan yang menguasainya membuatnya tidak melakukan apa yang pasti sudah dilakukannya di saat normal. Sentuhan lembut yang menyentuh bibirnya sudah benar-benar membuatnya melupakan rasa gelinya.

Seseorang mengetuk pintu.

Aileen dan Evans langsung memisahkan diri dengan kaget.

Serasa seperti dibangunkan dari mimpi indah, pikiran Aileen kacau balau. Ia duduk tegang di kursi dengan kepala menunduk. Sedangkan Evans mengambil langkah-langkah lebar ke meja kerjanya.

“Masuk!” katanya sambil membolak-balik kertas kerjanya.

Seorang wanita berbaju seksi memasuki ruangan. Matanya yang jeli langsung melihat Aileen yang memainkan jari jemarinya di pangkuannya.

“Maaf, saya tidak tahu adik Anda ada di sini.”

Evans melihat Aileen yang tidak terusik oleh kehadiran kepala department human resourcenya. Diam-diam ia mensyukuri gangguan wanita itu yang tepat waktu ini. Andai ia tadi tidak mengetuk pintu, Evans tidak dapat menjamin apa yang sekarang sudah terjadi. Ia benar-benar marah oleh ketidakpercayaan Aileen sehingga sesaat lalu kemarahan menguasainya.

“Ada apa?” tanya Evans.

“Ada beberapa surat yang perlu segera Anda periksa dan tanda tangani. Surat-surat ini mendesak.” Mata wanita tu melirik Aileen.

“Aku mengerti,” Evans menerima surat-surat itu.

Aileen merasa tidak nyaman oleh lirikan wanita itu. Wanita itu pasti telah mengenalinya dan ia tidak perlu menebak pikiran wanita itu. “Evans,” panggilnya menarik perhatian pemuda itu, “Aku akan pulang dulu. Jangan lupa bereskan masalah ini.”

“Tunggu!” Evans berdiri, “Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu,” Aileen menolak, “Aku bisa pulang sendiri. Kau masih punya banyak pekerjaan. Bye…”

“TUNGGU!” Evans langsung menyambar tangan Aileen. “Taruh berkas-berkas itu di mejaku. Aku akan segera kembali.”

“Baik.”

Aileen melihat sinar kecemburuan di wajah wanita cantik itu tetapi ia tidak peduli.

“Aku akan mengantarmu pulang,” Evans menuntunnya pergi.

“Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri.”

“Cerewet!” bentak Evans.

Aileen terdiam.

“Tuan Renz,” sekretaris Evans langsung berdiri menyambut kemunculan mereka. “Telepon terus berdering mencari Anda. Menurut petugas jaga, beberapa wartawan ingin bertemu Anda.”

“Ini semua salahmu,” Aileen melirik Evans.

Evans berjalan ke jendela dan melihat kerumunan di bawah gedung. Lalu melihat Aileen.

“Kau tidak membuat hidupku mudah,” Aileen terus menyalahkan Evans, “Kau tidak tahu bagaimana aku harus menghindari mereka dalam perjalanan ke sini. Aku bahkan tidak bisa membayangkan aku bisa secerdik itu. Tetapi sepandai-pandainya aku menyamar, mereka pasti bisa menemukanku. Bagi mereka, menemukan tempat tinggalku bagaikan menelepon rumah mereka sendiri.”

Ia tidak memikirkannya! Ia sama sekali tidak memikirkannya ketika ia memesan tempat di restoran. Ia juga tidak memikirkannya ketika ia mengetahui para paparazzi mendapatkan fotonya bersama Aileen.

Evans pucat pasi. Ia sering melihat berita orang-orang terkenal mengalami kecelakaan hanya karena ingin menghindari para paparazzi. Ia tidak memikirkannya!

“Aileen,” Evans memeluk gadis itu erat-erat. Untunglah gadis ini bisa datang ke sisinya dengan selamat.

Evans berpaling pada sekretarisnya. Dengan wajah seriusnya, ia berkata, “Siapkan mobil di pintu belakang. “Juga siapkan pesawat. Setengah jam lagi aku akan segera tiba di bandara.” Evans meremas tangan Aileen dan menarik gadis itu kembali ke dalam kantornya.

“Lepaskan!” Aileen memberontak.

“Diam, Aileen!” suara dan wajah tegang Evans membuat Aileen tunduk.

“Berikan padaku,” Evans lalu memerintah sang manager yang masih berada di sana. Tanpa melepaskan Aileen, ia memeriksa berkas-berkas itu dan menandatanganinya.

Tepat setelah Evans membereskan berkas-berkas itu, sang sekretaris Evans masuk untuk memberitahu mobil telah siap.

“Segera hubungi aku bila terjadi sesuatu,” Evans memberikan tas kerjanya kepada Aileen lalu menyimpan laptopnya. Tanpa memberi kesempatan pada gadis itu untuk memahami keadaan, Evans kembali menggenggam tangannya dan menariknya pergi.

“Kita akan ke mana?” akhirnya Aileen mempunyai keberanian untuk bertanya setelah mereka berada di dalam lift.

“Kita akan pergi menyepi hingga keadaan tenang.”

“Menyepi ke mana?” gerutu Aileen, “Mereka tidak ubahnya seperti lalat yang menyebalkan. Mengapa kau tidak mengadakan konferensi press atau semacamnya untuk menutup mulut mereka. Kau pasti bisa.”

“Itu adalah tindakan bodoh yang memberi mereka umpan,” Evans menerangkan, “Saat ini langkah yang paling tepat adalah menghilang sampai mereka menemukan umpan baru.”

“Ah, tentu saja kau berpengalaman menghadapi mereka.”

“Menarikmu dalam keadaan ini adalah kesalahanku,” Evans menyesal, “Percayalah padaku keadaan akan kembali normal dalam waktu singkat.”

“Kapan?”

“Sudah, jangan menggerutu terus,” Evans meletakkan tangan di atas kepala Aileen, “Keriputmu akan bertambah banyak kalau kau terus menggerutu,” ia menggosok kepala Aileen.

“Lepaskan aku!” Aileen menyingkir. “Aku bukan anak kecil.”

“Percayalah padaku. Aku tidak ingin kau terus membenciku.” Evans tersenyum melihat Aileen memeluk tas kerjanya erat-erat. “Daripada memeluknya, bukankah lebih baik kau memeluk pemiliknya?” ia mengambil alih tas kerjanya.

Aileen hanya berdiri kebingungan.

“Kita masih punya banyak waktu untuk bermesraan tetapi tidak di sini,” Evans kembali menggenggam tangan Aileen ketika pintu lift terbuka.



*****Lanjut ke chapter 10

4 comments:

  1. masih lanjut atau tamat nih?? ga sabar nunggunya

    ReplyDelete
  2. Aileen masih lanjut ^_^
    Maaf saya agak sibuk beberapa minggu terakhir ini semenjak Thanksgiving. Akhir pekan ini saya akan mempublish kelanjutan Aileen.

    ReplyDelete
  3. Ditunggu kelanjutanny...!!

    ReplyDelete