Sunday, December 21, 2014

Aileen-Chapter 10

Aileen bersandar di pagar serambi dan melepaskan desahan bosannya.

Evans tersenyum melihatnya. “Kau masih marah padaku?”


Aileen menolak untuk melihat Evans.

Evans berkata mereka hanya perlu menyingkir setidaknya selama dua hari tetapi… ini sudah hari kelima mereka berada di pulau kecil milik keluarga Renz dan gosip akan mereka masih belum mereda.

Para kuli koran berspekulasi akan melenyapnya mereka berdua. Dan demi menambah maraknya suasana, Kathy Renz, ibu kandung Evans berkomentar ia sangat senang karena akhirnya putranya akan menikah.

Sejak Evans ‘menyelamatkan’nya ke pulau kecil ini, Aileen hanya sekali menghubungi keluarga Wilder. Itupun di malam Evans ‘menyelamatkan’nya dan hanya untuk memberitahu mereka bahwa ia ada bersama Evans. Setelahnya Aileen tidak pernah menghubungi mereka juga tidak pernah muncul di universitasnya.

Aileen termenung. Sejauh mana sekarang pelajarannya. Dua minggu lagi adalah ujian akhir – ujian penentu kelulusannya tetapi ia membolos. Untungnya, mungkin, ia tidak mempunyai kelas pada hari Jum’at dan pada hari Rabu serta Kamis ia hanya mempunyai dua kelas. Ditambah kenyataan hari ini adalah hari Sabtu, total ia membolos tiga kelas.

Aileen berharap Senin lusa ia bisa kembali ke kehidupan normalnya.

“Aku mengaku bersalah karena telah salah perhitungan tetapi setidaknya aku tidak menelantarkanmu.”

Aileen melihat Evans lalu kembali pada lamunannya.

Benar, Evans tidak menelantarkannya. Mereka datang tanpa membawa apapun namun Evans, entah bagaimana, bisa mendapatkan baju untuknya mulai dari baju dalam hingga baju yang sekarang dikenakannya. Yang harus Aileen akui adalah ketepatan Evans dalam memilih ukurannya.

“Karena kita sudah berada di sini, mengapa kita tidak menikmatinya?”

Pertanyaan itu berhasil membuat Aileen memalingkan kepalanya pada Evans.

“Kau mau berenang denganku?”

“Berenang?” Aileen melihat sekeliling. Selain bangunan villa keluarga Renz ini, ia tidak melihat bangunan lain apalagi kolam renang. “Di mana?”

“Di mana pun kau mau,” Evans tersenyum sambil merentangkan tangan.

Aileen melihat laut di sekeliling pulau dengan mata nanar. Ia tidak bermaksud…

“Baju renang pesananku untukmu sudah tiba pagi ini.”

“B-ba… baju renang?” Aileen pucat pasi. Hilang sudahlah alasan utamanya.

“Kau pasti tidak sabar melihat baju renang pilihanku,” Evans tersenyum puas, “Aku menjamin pilihanku tidak buruk.”

“Aku sudah tahu,” gumam Aileen. Siapa lagi yang memilih baju-baju terbuka yang sekarang dikenakannya ini kalau bukan Evans? Kecuali modelnya, yang menurut Aileen, terlalu terbuka, Aileen menyukai tiap baju yang dipilih Evans – khusus untuknya.

“Cepat!” Evans mendorong Aileen, “Segeralah bersiap-siap. Aku akan menyuruh seseorang menyiapkan bekal piknik kita.”

“A… aku tidak ingin berenang.”

“Mengapa? Hari ini sangat baik untuk berenang, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin.”

“Aku tidak ingin berenang!” Aileen menegaskan.

“Segeralah bersiap-siap,” desak Evans, “Kau hanya akan membuang waktu di sini.”

“Aku tidak mau!” Aileen bersikeras.

“Mengapa?” Evans keheranan. “Apa kau tidak bisa berenang? Aku akan mengajarimu dengan senang hati.”

“A-aku,” Aileen menghindari wajah Evans dan membuat pengakuan, “Tidak berani berenang di laut.”

Evans terperanjat. “Bukankah kau bisa berenang?”

“Itu beda!” Aileen malu mengakui ia masih sering takut berenang di tempat di mana ia tidak bisa menyentuh lantai walau ia suka berenang dan menikmati menyelam di dalam air.

“Tidak ada yang beda. Selama kau bisa berenang, kau tidak akan tengelam.”

“Sudahlah!” Aileen kesal, “Aku akan ke pantai bersamamu tetapi aku tidak akan berenang.”

“Kita akan membicarakannya kemudian,” Evans memutuskan, “Jangan lupa mengenakan baju renangmu. Aku akan menantimu di bawah. Sepuluh menit lagi kita akan pergi.” Dan untuk terakhir kalinya, ia mengingatkan, “Jangan lupa baju renangmu.”

Ini adalah satu dari sekian yang tidak disukai Aileen dari Evans. Namun Aileen lebih tidak menyukai pendiriannya yang lemah.

Tak sampai sepuluh menit kemudian ia sudah berdiri di depan Evans.

“Baju renangmu?” itulah pertanyaan pertama yang diucapkan Evans.

“Aku sudah mengenakannya,” Evans tentu tidak ingin ia memamerkannya sekarang, bukan?

“Kau sudah membawa handuk?”

“Aku tidak berniat berenang,” gumam Aileen.

“Aku sudah menebaknya,” Evans tersenyum. “Ayo berangkat,” Evans menggenggam tangan Aileen.

“Ini sudah menjadi kebiasaan barumu hari-hari belakangan ini,” komentar Aileen.

“Apa?”

“Ini,” Aileen mengangkat tangannya yang digenggam Evans erat-erat.

“Apa salahnya? Engkau adalah kekasihku,” Evans sudah mengatakannya ribuan kali sejak mereka berada di sini, “Dan ini hanyalah satu-satunya caraku untuk memastikan kau tidak akan pergi.”

“Aku tidak akan ke mana-mana. Kalaupun aku ingin, aku tidak dapat,” komentar Aileen lagi. Sejak ia berada di sini, Aileen sudah memperhatikan satu-satunya transportasi mereka dengan daratan hanyalah perahu – yang tidak ada – dan helikopter – yang hanya muncul sekali untuk mengantar keperluan mereka.

“Aku belum mendengar pendapatmu tentang baju renang pilihanku.”

“Aku tidak menyukainya,” Aileen menjawab tajam.

Evans tertawa lepas. Apa lagi reaksi yang bisa ia harapkan dari gadis jaman pertengahan ini? Sekarang ia bisa menutupi tubuhnya dengan gaunnya tetapi beberapa langkah lagi…

Evans tersenyum puas.

“Cari tempat yang kau sukai,” Evans memberitahu ketika mereka sudah menginjakkan kaki di hamparan pantai hangat.

Aileen dengan segera menemukan tepat sejuk di bawah pohon.

Sesuai dengan kehendak Aileen, Evans membiarkan gadis itu menebar tikar. Sambil menanti Aileen, Evans melepas bajunya.

“Evans,” Aileen melaporkan, “Kau boleh meletakkan keranjang…” Pipi Aileen memerah. Ia bukan gadis naif yang tidak pernah melihat pria dalam pakaian renang. Tetapi… melihat pria yang diseganinya hanya mengenakan celana renang adalah hal lain.

Evans segera memindahkan keranjang di kakinya ke tengah tikar beserta bajunya. “Kau bisa meletakkan bajumu di sini. Tidak akan ada yang mengambilnya.”

Tentu saja Aileen mengetahuinya! Selain mereka dan beberapa pelayan keluarga Renz, tidak ada orang lain di pulau ini.

“Kau tidak berenang?” alis Evans terangkat, “Kita sudah tiba di pantai dan kau tidak berenang?”

Ia juga ingin berenang tetapi… “Kalau kau ingin berenang, berenanglah sendiri!” Aileen membuang wajah.

“Percayalah ini akan menyenangkan,” Evans berdiri di belakang gadis itu. “Sama sekali tidak menakutkan.” Tangannya bergerak menarik tali pundak gaun Aileen lepas dari pundak gadis itu.

“Apa yang kaulakukan!?” Aileen menghadap Evans sambil mencengkeram bajunya erat-erat.

“Membantumu melepas baju,” Evans menjawab tanpa rasa bersalah.

Pipi Aileen serta merta memerah. “Aku tidak butuh bantuanmu!”

“Benarkah?” Evans tersenyum. Ini bukan alasannya memilih gaun dengan potongan dada terbuka untuk Aileen. Ini juga baru pertama kalinya ia menyadari betapa tepatnya ia memilih gaun dengan bahu setali untuk Aileen.

Dengan terpaksa, Aileen melepas gaunnya di bawah tatapan mata Evans.

“Cepat!” Evans langsung menarik tangan Aileen begitu gadis itu meletakkan bajunya di atas tikar.

“T-tunggu!” Aileen panik. Walaupun ia melepas gaunnya, tidak berarti ia mau berenang.

“Ada apa?” Evans melihat Aileen dengan heran. Sesaat kemudian ia menyadari, “Kau ingin mengoles krim anti matahari?”

“Ti… tidak,” Aileen membuang muka. Sesungguhnya, ia sudah mengenakannya sebelum menemui Evans.

Evans mengulum senyumnya. “Mengapa kau tidak memberiku kesempatan melayanimu?” protesnya.

“Terserah padaku!” Aileen menjauhkan wajahnya yang memanas dari Evans. “Mengapa kau tidak segera berenang?”

“Mengapa kau tidak mengatakannya dari tadi?” Evans menarik Aileen ke pantai.

“Tunggu, Evans!” Aileen panik, “Aku tidak ingin berenang! Aku… aku…”

“Jangan khawatir,” tentu saja Evans masih ingat ketakutan Aileen akan berenang di laut. “Aku akan terus menggenggam tanganmu,” Evans meyakinkan, “Tidak ada yang perlu kautakuti.”

“Tapi…,” Aileen ragu-ragu.

“Percayalah padaku,” Evans menarik Aileen ke tengah laut.

“EVANS!!!” Aileen merapatkan diri pada Evans dan merangkul lengannya erat-erat. Aileen merasa gelombang lautan mulai menenggelamkan dirinya.

“Percayalah padaku,” Evans melepaskan tangan Aileen dari lengannya namun ia masih tetap menggenggam tangan gadis itu. Evans mengangkat kakinya dan mulai berenang.

Aileen mau tidak mau juga ikut berenang. Seperti pikirannya, berenang di laut berbeda dengan berenang di dalam kolam renang. Di dalam kolam renang, ia tidak pernah merasakan gelombang besar yang mengombang-ambingkan tubuhnya. Di dalam kolam renang juga tidak ada ombak vertikal yang mengangkat dan menurunkan tubuhnya. Namun… di dalam kolam renang ia tidak akan dapat melihat pemandangan bawah laut yang cantik seperti ini.

Aileen menghirup nafas dalam-dalam dan menyelam ke dalam air. Ia gembira melihat gerakan-gerakan kecil di lantai laut. Ia senang melihat ikan-ikan yang berlaian ke dalam tempat persembunyian mereka ketika ia mendekat. Ia terpesona oleh tarian tumbuhan laut.

Evans tersenyum memperhatikan Aileen. Sesaat lalu gadis itu masih ketakutan sekarang ia sudah hanyut dalam kegembiraan. Evans tidak melepaskan tangan Aileen. Ia sudah berjanji padanya untuk menjaganya dan ia tidak dapat membiarkan Aileen lepas dari pandangannya. Walaupun ia berkata berenang di laut tidak berbahaya, namun tidak berarti bahaya itu benar-benar tidak ada. Evans tidak dapat menjamin ombak laut tidak akan mengganas secara tiba-tiba. Evans hanya dapat menjamin dengan tubuhnya yang kurus kecil itu Aileen pasti dihanyutkan ombak laut dengan mudah.

Evans mulai merasa heran. Hampir semenit lamanya mereka menyelam di dalam laut tanpa alat bantu apa pun. Manusia pada umumnya tidak sanggup menahan nafas lebih dari semenit walaupun di dalam air. Ia yang sering berenang pun tidak sanggup menahan nafas lama-lama. Namun Aileen sepertinya masih tidak berniat kembali ke permukaan.

Aileen melihat permukaan laut. Ia tidak menyelam terlalu dalam. Ia masih bisa bertahan beberapa saat dan kemudian kembali ke permukaan laut untuk mengambil nafas. Ia ingin memperhatikan sekumpulan ikan menghilang di balik karang.

Evans memperhatikan Aileen yang sama sekali tidak seperti kehabisan nafas. Mungkin gadis ini tidak selemah yang ia bayangkan.

Aileen mulai bergerak ke permukaan laut. Ia merasa ia mulai mencapai limitnya namun ia percaya ia pasti segera mencapai permukaan laut.

Aileen heran. Ia merasa ia sudah berenang cukup lama namun ia masih tidak mencapai permukaan yang bersinar itu. Aileen merasa dadanya mulai sesak namun ia masih belum mencapai permukaan yang serasa dalam jangkauannya itu.

Aileen panik.

Seseorang menariknya ke permukaan air dengan cepat.

Aileen kaget. Sesaat kemudian ia sudah berada di permukaan air. Nafasnya tersenggal-senggal. Dengan rakusnya, ia menghirup udara melalui mulutnya.

Sebuah tangan besar memegang kepalanya dan merapatkannya ke dada telanjang.

Aileen merasa begitu lega. Sedetik lalu ia sempat berpikir ia akan mati tenggelam. Ia merasa tenang dan aman. Tangannya memeluk dada itu dan ia membaringkan kepala di dada itu dengan mata terpejam.

“Kau benar-benar membuatku kaget.”

Aileen terperanjat. Ia segera menjauhkan diri.

Tangan kanan Evans yang melingkari pinggangnya tidak mengijinkannya menjauhkan diri lebih jauh dari dua puluh sentimeter. Tangan kirinya yang masih memegang kepalanya juga tidak mengijinkannya mengubah posisinya.

“Lain kali jangan menyelam melebihi batas kemampuanmu,” Evans memperingati dengan serius.

Aileen tidak sanggup melihat pria di hadapannya.

“Kalau kau ingin melihat pemandangan bawah laut, kita bisa menggunakan peralatan selam. Aku membawamu ke sini untuk berenang bukan untuk menenggelamkan diri!”

“Maaf,” gumam Aileen dengan kepala tertunduk.

“Kau benar-benar membuat jantungku copot,” ia kembali memeluk Aileen.

Aileen tidak memberontak.

Evans menautkan jarinya di antara jari-jari Aileen. Seketika ia menyadari sesuatu yang janggal. Ia menarik tangan kiri Aileen ke hadapannya. “Di mana cincinmu?” tanyanya panik.

“Aku meninggalkannya di kamar.”

“Mengapa kau melepaskannya!?” Evans marah.

“Aku tidak ingin ia rusak oleh air laut,” Aileen membela diri dan menjelaskan, “Perhiasan mudah berubah warna bila terkena air laut.”

Amarah Evans mereda secepat munculnya. “Seharusnya kau memberitahuku.”

“Untuk apa?” Aileen keheranan.

“Untuk mencegahku khawatir,” Evans memberitahu kemudian ia memberi contoh, “Seperti barusan, aku mengira cincinmu jatuh ke dalam laut.”

“Aku tidak seceroboh itu,” Aileen tidak suka cara Evans berbicara yang seperti menuduhnya itu.

“Benar tapi kau pelupa,” sambung Evans.

Aileen membuang wajah dengan kesal. Ia kaget melihat laut di sekeliling mereka. Tangannya menggapai Evans dengan panik. Matanya memandang tepi pantai di kejauhan dengan tidak percaya. Pasti ombak laut telah membawa mereka sejauh ini dari pantai tanpa mereka sadari.

Evans kembali memeluk Aileen. “Sekarang kau baru sadar kita sudah hampir ke tengah laut?” Evans tersenyum geli.

Aileen terlalu panik memikirkan kakinya yang tidak berpijak pada lantai laut untuk membalas Evans.

Evans menyadari kepanikan Aileen itu. “Kita kembali ke pantai,” ia melingkarkan lengan Aileen di lehernya kemudian melingkarkan lengannya ke pundak Aileen dan berenang ke tepi pantai.

Secara spontan Aileen menggerakkan kakinya untuk mengimbangi gerakan Evans. Tidak satupun yang ia pikirkan saat ini selain segera ke tempat di mana kakinya bisa berpijak. Karenanya ia begitu lega ketika kakinya menyentuh pasir.

“Kau benar-benar aneh,” komentar Evans, “Kau bisa berenang tetapi kau takut berenang di tempat dalam. Apa yang kau khawatirkan? Selama kau bisa berenang, kau tidak akan tenggelam.”

“Tidak ada urusannya denganmu!” Aileen membuang muka.

Evans tertawa geli. Selama beberapa hari tinggal bersama Aileen di pulau ini, ia semakin mengenali watak Aileen yang tidak pernah diketahuinya. Aileen adalah gadis yang rajin. Ia suka bangun pagi tetapi ia sudah tidak dapat membuka mata melebihi tengah malam. Ia suka melakukan bersih-bersih dan ia tidak suka berdiam diri. Selalu ada saja pekerjaan rumah tangga yang bisa ia temukan untuk menghabiskan waktu kosong. Aileen juga tidak suka melihatnya meletakkan barang sembarangan. Entah sudah berapa kali Aileen mengomelinya karena hal-hal kecil seperti meletakkan handuk di atas kursi dapur.

Evans menyukai semua penemuan barunya akan Aileen. Namun yang paling disukainya adalah reaksi Aileen ketika ia malu. Ketika gadis itu merasa malu ia akan membuang wajah dengan kesal atau menggerak-gerakkan bola matanya. Ketika ia ditanyai pertanyaan yang membuatnya malu, ia pasti akan berusaha mengalihkan pembicaraan. Begitu mudahnya ia dimengerti dan begitu manisnya reaksinya sehingga Evans senang menggodanya.

Evans kembali menautkan jari-jarinya di antara jari Aileen. “Apa kau mau berjalan-jalan di tepi pantai?” tanyanya.

“Dengan baju renang ini?” tanya Aileen, “Apa aku tidak bisa mengganti baju dulu?”

“Tidak perlu,” Evans menuntun Aileen.

“Tunggu, Evans!” Aileen memberontak. Sudah sejak lama ia menginginkan bikini yang seksi seperti ini. Ia selalu ingin tampak menarik tetapi ia tidak menyukai perasaan tidak nyaman ini. Aileen merasakan keinginan yang kuat untuk menutupi bagian-bagian tubuhnya yang terbuka. “Setidaknya biarkan aku mengenakan sesuatu.”

Evans memperhatikan Aileen yang menutupi dadanya dengan tangannya. “Tidak akan ada yang melihatmu kecuali aku.”

“Itu yang tidak aku sukai,” Aileen memalingkan kepala.

“Kita masih punya bekal piknik,” Evans mengingatkan.

Aileen mendesah putus asa.



-----0-----


“Aileen?” Evans mengetuk pintu kamar Aileen dengan perlahan. “Aileen, makan malam sudah siap.” Evans memutuskan untuk masuk ketika Aileen masih belum menjawab.

“Aileen?” Evans mencari-cari sosok Aileen di dalam ruangan. Ia yakin gadis itu ada di dalam. Mereka berpisah setengah jam lalu untuk membersihkan badan dari air laut. Mereka juga telah berjanji akan bertemu lagi untuk makan malam.

Evans melihat sesosok gadis berbaring di atas meja serambi hanya dengan mengenakan baju renang minimnya. “Aileen, jangan tidur di sini,” ia menggoyang pundak Aileen dengan perlahan, “Kau bisa jatuh sakit.”

“Hmm…,” Aileen mengerang dalam mimpinya.

“Kau bisa sakit kalau kau tidur di sini,” ia memberi tahu dengan lembut.

Aileen sama sekali tidak menyahut.

Evans duduk di sisi Aileen. Aileen pasti lelah setelah seharian bermain di pantai. Hanya sekali mereka berenang di laut setelahnya Aileen menolak berenang bagaimana pun kerasnya paksaan Evans. Selebihnya, mereka hanya bermain di tepi pantai seperti anak kecil dan menikmati makan siang mereka.

Evans memandangi Aileen dengan bahagia. Lima hari belakangan ini gadis ini membuat hidupnya dipenuhi oleh kebahagiaan yang tidak pernah ia rasakan bersama wanita lain. Gadis ini telah memenuhi seluruh sudut hidupnya sehingga Evans tidak yakin ia bisa hidup tanpanya.

Tidur tenang Aileen sama sekali tidak terusik.

Evans mengulurkan telunjuknya menyentuh bibir Aileen. Beberapa hari lalu ia hampir saja mencium gadis itu. Andai tidak diganggu sekretarisnya, ia pasti sudah mencium Aileen. Evans berpikir bagaimanakah rasanya ciuman Aileen. Ibu jari dan telunjuknya sudah berpindah ke dagu Aileen.

“Hmm…,” Aileen kembali mengerang dalam mimpinya.

Gadis manis yang tanpa perlindungan ini benar-benar menggoda!

Evans mendekatkan wajahnya.

“Evans…,” gumam Aileen.

Evans terperanjat. Ia segera menjauhkan diri dari Aileen. “Kau bisa sakit kalau kau tidur di sini,” sekali lagi ia memberitahu. Lagi-lagi ia hampir kehilangan kontrol.

“Hmm…” Aileen mengganti posisi kepalanya.

Evans gemas. Di sini ia berusaha mengekang diri. Di sana gadis ini terus tidak menyadari bahaya yang mengancamnya.

“Jangan salahkan aku,” ia memperingati dan mengangkat tubuh yang tak berdaya itu.

Aileen menggeliat begitu punggungnya menyentuh kasur empuk dan mengerang.

Evans gemas dibuatnya.

“Siapa?” Aileen menggosok matanya. “Evans?” tanyanya dengan suara mengantuk.

“Selain aku, siapa lagi yang bisa memasuki kamarmu?” tanya Evans.

Aileen duduk di tempat tidur. Matanya masih enggan membuka.

“Aku tidak berkomentar kalau kau ingin memamerkan tubuh molekmu tetapi aku tidak mau kau jatuh sakit.”

Aileen terperanjat. Ia segera menyadari keadaannya saat ini. Aileen meraih selimut dan menutupi tubuhnya dari pandangan Evans. “Kau tidak… tidak…,” Aileen malu, “Bukan?”

“Tidak apa?” Evans tergoda.

“Kau tahu…”

“Tidak, aku tidak tahu,” Evans sengaja.

Aileen sadar Evans tidak akan mempermudahnya. “Ah, sudahlah! Lupakan apa yang kukatakan,” ia menyerah, “Kau tidak mungkin melakukannya.”

“Sulit mengatakannya,” Evans berkomentar, “Bagaimanapun juga aku adalah pria normal.”

Aileen menatap Evans dengan matanya yang melebar. “Itu… itu tidak mungkin.”

“Kau ingin bukti?” Evans bertanya, “Aku bisa memberikannya setiap saat terutama sekarang.”

“Bukti apa?”

“Menurutmu apa yang bisa dilakukan seorang pria dan wanita yang berduaan di dalam kamar?” Ia menangkap tangan Aileen dan mendorongnya ke tempat tidur. “Terutama ketika sang wanita hanya mengenakan bikini?”

Aileen panik. Tangannya tidak bisa bergerak di bawah tekanan Evans. Tubuhnya terpenjara oleh tubuh Evans yang berada di atasnya. Aileen takut. Kali ini ia tidak dapat merasakan apa pun selain ketakutan dan kepanikan.

Evans tersenyum. Ia tahu ia sudah membuat Aileen melihatnya sebagai seorang pria tetapi ia masih tidak berniat melepaskan gadis yang mempesona ini.

Tubuh Aileen bergetar hebat. Matanya tertutup rapat ketika Evans mulai mendekatkan wajahnya. Ia menyadari posisinya yang tidak menguntungkan ini. Ia menyadari sepenuhnya bahaya yang mengancam ketika seorang pria mengurung seorang gadis yang hanya mengenakan bikini di tempat tidur terutama ketika pria itu hanya mengenakan sehelai celana renang.

Evans mendaratkan ciuman di dahi Aileen.

Aileen membuka matanya dengan kaget.

“Kau kecewa?” Evans menggoda.

“T-tidak,” Aileen membuang wajahnya yang memerah.

“Jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan apa pun yang akan mencelakaimu,” Evans melepaskan Aileen, “Aku tidak akan menyentuhmu sebelum kita menikah. Tentu saja itu termasuk ini,” telunjuk Evans menyapu bibir Aileen.

Dada Aileen mulai berdebar keras.

“Aku ingin memberimu ciuman yang tidak akan pernah kaulupakan.”

Pernyataan itu membuat jantung Aileen berdebar kian keras.

“Segeralah mandi,” Evans memunggungi Aileen. “Aku sudah lapar.”

Aileen bangkit dan mulai mencari baju di lemari baju. Segera setelah mendapatkan baju yang diinginkannya, ia melesat ke kamar mandi.

Evans duduk lemas di tempat tidur.

Hanya Tuhan yang tahu apa yang membuatnya berhenti. Benar ia adalah orang yang menyalakan api namun Aileen, tanpa gadis itu sadari, membuat api itu kian membara.

Dengan wanita lain, Evans pasti tidak mencoba untuk menahan diri. Namun Aileen bukan mereka. Ia adalah seorang gadis manis abad pertengahan yang anggun dan sopan.

Demi keheranannya sendiri, Evans tahu apa yang Aileen inginkan dari hubungan sepasang kekasih dan apa yang tidak disukainya.

Bila ia masih ingin mendapatkan Aileen, ia harus menjaga jarak yang cukup aman dengan Aileen. Namun Evans tidak yakin ia mampu bertahan untuk waktu yang lama. Untuk itu pertama-tama ia harus melakukan sesuatu terhadap situasi saat ini.



*****Lanjut ke chapter 11

1 comment: