Sunday, December 28, 2014

Aileen-Chapter 11

Aileen bimbang.

Apakah Evans masih ada di dalam? Bagaimana ia harus melihat pemuda itu?


Evans pasti sudah melihatnya setengah telanjang. Evans bahkan sudah memeluk tubuhnya yang hanya tertutup bikini minim.

Tangan Aileen sudah menggenggam pegangan pintu tetapi hatinya masih belum siap untuk memutarnya.

Aileen menatap pintu kamar mandi. Ia tidak bisa selamanya bersembunyi dari Evans. Ia sadar ia tidak boleh berlama-lama di dalam kamar mandi. Tidak ada yang bisa memastikan tindakan Evans jika ia tidak segera keluar.

Aileen memantapkan hatinya untuk membuka pintu.

Dengan perlahan-lahan bagaikan pencuri, Aileen menapakkan kaki keluar. Matanya langsung mencari-cari sosok Evans.

Aileen lega mengetahui Evans sudah tidak ada di dalam kamarnya.

Aileen duduk di depan meja rias dan mencari sisir di dalam laci. Jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan bulat. Aileen mengeluarkan benda itu. Aileen membawa cincin di tangannya ke sinar terang dari jendela.

Sinar matahari memantulkan sinar yang cemerlang di puncak berlian cincin yang Evans pesan khusus untuknya. Sebatang emas putih melingkar anggun. Kedua ujungnya bertautan membentuk mata dengan berlian putih di tengahnya.

Evans benar-benar tahu seleranya. Sederhana dan anggun! Walau ia tidak menginginkannya, Aileen tidak dapat menyangkal ia menyukai cincin ini – bukan karena nilainya tetapi karena bentuknya. Takkan pernah ada hari ia berhenti mengagumi cincin ini.

Aileen sadar ia harus segera mengenakan cincin ini kembali sebelum Evans kembali marah.

“Berikan padaku.”

Aileen kaget.

Evans berlutut di depan Aileen dan mengambil cincin di tangannya dengan satu tangan dan tangan Aileen dengan tangan yang lain.

“Kutegaskan padamu, mulai hari ini hanya aku yang boleh memasang cincin di jari manismu ini. Tentu saja, hanya aku yang boleh melepasnya.” Evans memasukkan cincin itu di jari manis kanan Aileen.

Lagi-lagi Evans mengisi hati Aileen dengan haru dan harapan.

“Aileen,” Evans menautkan jari-jemarinya di antara jari-jemari Aileen, “Setelah ujianmu selesai dan setelah upacara kelulusanmu, menikahlah denganku.”

Dada Aileen berdegup kencang oleh tatapan lembut Evans. Matanya mengitari sekeliling ruangan untuk menghindari tatapan itu.

“Tatap aku, Aileen,” tangan kanan Evans merangkum pipi Aileen sementara tangan kirinya tetap bertautan dengan tangan Aileen.

Aileen menatap Evans malu-malu.

“Kau mau menikahiku, bukan?” Evans meyakinkan dirinya sendiri.

Wajah Aileen terpaku ke Evans tetapi bola matanya kembali menghindar. Ia ingin menghilang dari hadapan Evans.

“Aku tidak akan melarangmu bila kau ingin berkarir namun aku tidak bisa membiarkanmu bekerja di sembarang tempat.”

Mata Aileen terpaku pada Evans.

“Keamananmu adalah pertimbangan utamaku,” Evans menjawab pertanyaan di mata itu, “Engkau adalah santapan lezat bagi mereka yang ingin memeras harta keluarga Renz. Aku tidak bisa membiarkanmu dalam bahaya.” Evans menatap Aileen lekat-lekat, “Kau bisa memahami keputusanku?”

Aileen mengangguk. Ia terlalu dipenuhi keharuan untuk dapat mengeluarkan suara.

Evans menganggap kediaman Aileen itu sebagai jawabannya.

“Setelah kuliahmu selesai, kita akan pulang untuk membicarakan pernikahan kita dengan orang tuamu dan orang tuaku.”

“Pu…lang…?” Bahagia seketika menghilang dari wajah Aileen.

“Jangan khawatir,” Evans meremas lembut tangan Aileen, “Orang tuamu pasti merestui kita.”

Sinar mata Aileen kian kosong.

“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” Evans berdiri dan memeluk Aileen, “Aku tetap akan menikahimu dengan atau tanpa restu mereka.”

Aileen mencengkeram lengan Evans. Andaikan saja Evans tahu apa yang dikhawatirkannya… Andaikan saja ia tahu apa yang ditakutkannya…

Pada akhirnya waktu terus berlalu tanpa mempedulikan perasaan Aileen dan hari itu pun tiba.

“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” Evans menggenggam tangan Aileen. “Mereka tidak akan menentang.”

Tentu saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan! Mereka suka menjalin hubungan keluarga dengan Renz. Evans pasti dapat menikahi seorang LaSalle. Hanya saja…

Aileen memperhatikan daratan nun jauh di bawah.

“Kita bukan sepupu dalam arti sebenarnya,” Evans mengulurkan tangan di belakang kepala Aileen dan menariknya ke pundaknya, “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan. Tidak akan ada yang menentang hubungan kita.”

Bagaimana ia diharapkan menghadapi masa depan yang terpampang jelas di hadapannya? Bagaimana ia harus menyambut kenyataan yang tidak ia inginkan? “Jangan khawatir,” Evans meremas tangan Aileen dengan lembut.

Aileen balas meremas tangan Evans dengan erat.

Andaikan saja ia bisa mempercayai kata-kata itu…



-----0-----


“Aku akan turun untuk menyapa orang tuamu,” kata Evans ketika mobil berhenti di depan rumah keluarga LaSalle.

Aileen mengangguk. Ia merasa ia masih belum siap menemui orang tuanya.

Sopir keluarga Renz mengeluarkan koper Aileen sementara gadis itu membunyikan bel pintu.

Evans berdiri di belakang Aileen – turut menanti seseorang membuka pintu.

Seorang pelayan membuka pintu. Di dalam terlihat Josef LaSalle sudah menanti kedatangan mereka dengan tidak sabar.

“Selamat datang,” Josef menyambut, “Masuklah, Evans, masuklah.”

“Selamat malam,” Evans menyapa.

Pelayan membantu Aileen membawa kopernya.

Evans menoleh pada Aileen. “Segeralah beristirahat,” pesannya, “Aku ingin membicarakan beberapa hal dengan orang tuamu.”

Aileen mengangguk.

Josef membawa Evans memasuki ruang duduk.

Aileen terus memperhatikan mereka hingga pintu tertutup dan tanpa banyak bicara ia mengikuti pelayan yang sudah membawa pergi kopernya.

Ia memang menyanggupi pesan Evans tetapi hatinya tidak tenang. Segera setelah memastikan kopernya sudah masuk kamar, ia melesat kembali ke lantai bawah.

Aileen bersandar di pintu. Sesekali matanya melirik ruangan pintu ruangan tempat orang tuanya dan Evans berbicara. Sesekali matanya berpaling pada mobil keluarga Renz yang menanti Evans. Sesekali pula matanya beralih pada lain. Ia gelisah menantikan kemunculan Evans.

“Kau menantiku?” Evans mengagetkan Aileen.

“Evans,” Aileen menjatuhkan diri di dada pemuda itu.

Evans tersenyum. “Aku tidak tahu kau begitu merindukanku,” ia memeluk Aileen.

Aileen memeluk Evans erat-erat. Ia butuh memastikan dirinya pemuda ini masih ada di sini.

“Kau bisa bernapas lega sekarang,” Evans membelai rambut panjang Aileen, “Orang tuamu tidak menentang hubungan kita.”

Tentu saja! Mereka tertarik pada harta warisan Evans! Tapi…

“Masuklah ke kamarmu dan beristirahatlah yang cukup,” Evans menjauhkan Aileen, “Besok aku akan datang setelah berunding dengan orang tuaku.”

Aileen menatap Evans penuh harapan.

“Kau terlalu mencemaskan banyak hal.” Evans melihat kecemasan di mata Aileen, “Orang tuaku tidak akan menentang hubungan kita. Sebaliknya, Aileen, aku dapat menyakinkanmu mereka sangat senang. Sekarang tidurlah dan berhenti berpikir. Aku akan memastikan semuanya berjalan sempurna.” “Aku ingin mengantarmu.” Setidaknya Aileen perlu meyakinkan diri Evans ada di sini untuknya.

“Tidak,” Evans menolak tegas, “Akulah yang ingin melihatmu naik ke kamarmu,” dan ia menegaskan, “Aku tidak akan pergi sebelum kau masuk kamar.” Aileen menatap Evans. Ia enggan berpisah dengan Evans. Ia takut ia tidak akan dapat melihat Evans seperti ini lagi.

“Beristirahatlah, Aileen,” Evans memerintah, “Aku tidak ingin kau kecapaian.”

Dengan enggan Aileen meninggalkan Evans.

“Aileen!” Evans menahan Aileen, “Selamat malam,” ia mencium kening gadis itu dan berpesan, “Aku akan menanti sampai kau sudah ada di dalam kamar.”

Aileen melangkahkan kaki menjauhi Evans dengan enggan. Namun ia tidak mempunyai pilihan lain. Dengan sama enggannya, ia membuka jendela kamarnya. Evans masih di bawah seperti janjinya. Ia tersenyum ketika melihat sosok Aileen. Senyumnya mengembang ketika ia melambaikan tangan.

Aileen membalas lambaian itu. Matanya memperhatikan Evans memasuki pintu mobil yang sudah terbuka untuknya. Hatinya sedih mengikuti mobil keluarga Renz meninggalkan halaman rumah dan menghilang di belokan.

Aileen takut. Ia tidak berani menghadapi hari esok.

Andai memungkinkan, ia ingin waktu berhenti di detik ini juga.

“Evans…,” Aileen ingin pemuda itu tinggal di sisinya. Ia membutuhkan segala rasa aman yang bisa diberikan pemuda itu.

Ketukan di pintu menyadarkan Aileen akan kenyataan.

“Tuan dan Nyonya ingin bertemu Anda,” seorang pelayan memberitahu.

Aileen tahu cepat lambat saat ini akan tiba.

“Bagaimana raportmu?” tanya Josef begitu Aileen memasuki ruangan.

“Aku berhasil mempertahankan posisiku,” Aileen yakin bukan ini alasan mereka memanggilnya.

“Bagus,” Fanny LaSalle puas, “Apa kau sudah menemukan pekerjaan?”

“Belum,” Aileen menjawab jujur, “Aku masih mencari.”

“Bekerjalah dulu untuk beberapa tahun sebelum kau menikah,” Fanny menyarankan “Kau masih muda. Jangan sia-siakan masa mudamu.”

“Aku mengerti, Papa.”

“Besok keluarga Renz akan datang,” Josef akhirnya berbicara pada point utama, “Aku ingin kau menjaga sikapmu. Jangan melakukan hal yang yang memalukan lagi!”

“Aku mengerti,” Aileen memahami dengan baik makna di balik perkataan itu.

“Sekarang kau boleh tidur,” kata Josef lagi.

“Selamat malam, Papa, Mama. Semoga kalian bermimpi indah,” kata Aileen sopan dan meninggalkan ruangan.

“Dasar anak tidak tahu diri!” Aileen mendengar omelan ibunya dan ia mempercepat langkah kakinya.

Aileen bersandar di pintu kamarnya. Hatinya terasa pedih tapi ia sudah tidak dapat menangis lagi.

Dengan tenang ia mengeluarkan laptopnya dan memasangnya di meja tulis.

Aileen melihat data foto-foto kelulusannya beberapa hari lalu. Itu adalah foto-fotonya bersama kawan-kawannya dan mungkin foto terakhir mereka. Semakin Aileen membukanya, semakin pedih hatinya. Dari sekian ratus foto, hanya ada foto-fotonya bersama kawan-kawannya.

Aileen menengadah pada foto wisuda Denise dan orang tuanya yang bangga di atas meja tulisnya. Ibunya, tanpa sepengetahuannya dan tanpa seijinnya, memasang foto putri kebanggaan mereka di dalam kamarnya. Aileen tidak tahu apa tujuan mereka memasang foto itu di sana namun ia tahu ia tidak mempunyai suara untuk menolak.

Akankah ada foto wisudanya bersama kedua orang tuanya yang berdiri di sisinya dengan bangga seperti itu?

Aileen tahu hal itu mustahil. Wisudanya sudah usai. Bahkan Evans yang sengaja meluangkan waktu untuk memberinya buket bunga di hari wisudanya, tidak menyadari ketidakhadiran orang tuanya, mengapa orang lain harus tahu?

Sipakah yang patut disalahkan atas ketidakadilan ini?

Tidak ada! Hanya sifatnya yang kaku, seperti yang selalu diomelkan ibunya, inilah yang patut disalahkan.

Mengapa dia tidak merengek ketika orang tuanya mengomelkan biaya yang harus mereka keluarkan untuk hadir di wisudanya? Mengapa ia tidak merayu mereka ketika mereka menolak hadir bersama?

Ia dan Denise bersekolah di universtitas yang sama. Ia dan Denise hanya berbeda dua tahun! Dalam dua tahun ini kondisi keuangan mereka tidak memburuk sehingga kedua orang tuanya tidak dapat membiayai perjalanan mereka untuk hadir di wisudanya. Selain itu, mereka juga tidak pernah mengeluarkan uang untuk kuliah dan biaya hidup sehari-harinya.

Tidak bisakah mereka mengumpulkan uang dari uang yang seharusnya mereka keluarkan untuknya? Tidak bisakah mereka menyisihkan uang demi menghadiri satu-satunya wisuda putri bungsu mereka?

Percuma saja sekarang ia mengomel. Tidak ada gunanya ia mengeluh. Semua telah terjadi. Dan bila ada yang patut disalahkan, maka orang itu adalah dirinya sendiri.

Salahnya sendiri! Mengapa ia memutuskan untuk membiayai sendiri seluruh biayanya ketika orang tuanya mengeluh besarnya biaya yang harus mereka keluarkan untuk membayar uang kuliah dan biaya kehidupan sehari-harinya?

Ia tidak mengerti mengapa orang tuanya lebih mencintai Denise. Ia tidak dapat memahami apa kesalahannya sehingga mereka selalu menganggapnya sebagai kotoran di mata.

Sejak kecil ia tidak pernah mendapatkan apa yang Denise dapatkan. Ia hanya mendapatkan bekas Denise. Itupun bila Denise merelakannya.

Hampir seluruh baju yang pernah ia kenakan adalah baju warisan – warisan masa muda bibi-bibinya. Hanya segelintir baju baru yang ia miliki.

‘Tidak perlu membuang uang untuk membeli baju Aileen. Aileen bisa mengenakan baju bekas Denise yang sudah tidak cukup.’ Aileen sering mendengar ibunya mengucapkannya. Tidak jarang pula ketika membeli baju baru untuk Denise, ia menghibur Aileen, ‘Mama juga ingin membelikanmu baju yang sama tetapi Mama tidak bisa. Mama harus berhemat. Kau bisa mengerti Mama, bukan? Kau bisa mengenakannya kalau baju itu sudah kekecilan untuk Denise.’ Ketika Aileen masih kecil ia bisa memahaminya. Ia mengerti ibunya terpaksa melakukannya demi berhemat. Ia mengerti membeli baju baru ketika ia bisa mendapatkan baju bekas adalah sebuah pemborosan. Namun ketika ia sudah tidak dapat dibohongi lagi ketika ia menginjak remaja. Sering ia melihat ibunya dan Denise pulang membawa setumpuk tas dari berbelanja. Sering ia melihat mereka saling memamerkan nilai baju atau perhiasan yang mereka baru saja beli. Sering pula ia melihat mereka terlihat kian bersinar dengan perhiasan-perhiasan yang mereka kenakan. Dan sering pula ia merasa mereka bagaikan toko perhiasan berjalan dengan rentengan gelang di tangan mereka, cincin-cincin berlian di jari-jari mereka, batu permata besar di telinga mereka, dan – tentu saja – tidak ketinggalan kalung emas bertahtahkan batu mulia di leher mereka.

Saat itu Aileen hanya bisa berpikir, ‘Tidak bisakah Mama menyisihkan sedikit jatah belanjanya untuk membeli baju baruku?’

Kemudian tibalah saat mereka menginjak bangku kuliah.

Ketika Denise berangkat kuliah, Aileen dapat mendengar orang tuanya tiada henti-hentinya membanggakan Denise kepada setiap orang. Saat itu rasanya tiada hari ia tidak mendengar mereka menyebut betapa bangganya mereka pada putri mereka yang cantik dan cerdas itu.

Kemudian tibalah saatnya ia menginjak bangku kuliah. Aileen tidak mengharapkan banyak ketika mereka mengijinkannya kuliah di luar negeri. Namun ia tidak pernah menduga inilah awal keluhan orang tuanya yang tidak berkepanjangan.

Setiap saat mereka selalu mengeluhkan besarnya pengeluaran mereka. Setiap saat mereka mengeluhkan ketatnya keuangan mereka. Namun, setiap saat pula Aileen melihat ibunya dan Denise berjalan-jalan di kawasan pertokoan elit. Dan setiap saat rentengan berlian tidak meninggalkan mereka.

Selama empat tahun ia meninggalkan rumah, ia tidak pernah berkeinginan pulang. Ia memang enggan bertemu dengan orang tua yang hanya tahu memarahinya dan tidak pernah memujinya tak peduli prestasi yang ia raih. Tetapi, bukan itu satu-satunya alasan keengganannya pulang. Ia harus menghemat setiap sen yang ia peroleh dengan susah payah demi kelanjutan kuliahnya.

Sering dalam tahun-tahun terakhir ini Aileen bertanya-tanya mengapa orang tuanya tidak memecat salah seorang pelayan mereka? Apakah mempekerjakan seorang pelayan lebih penting dari masa depan putrinya? Mengapa ibunya tidak menjual perhiasan-perhiasannya yang mahal itu untuk – setidaknya – membiayai perjalanan mereka ke wisudanya? Apakah bisnis keluarga mereka telah sedemikian buruknya sehingga mereka tidak dapat membeli tiket pesawat pulang untuknya?

Aileen tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggantung di kepalanya itu namun ia dapat memastikan besarnya cinta kedua orang tuanya pada Denise.

Aileen tidak pernah mendengar mereka mengeluhkan Denise tidak peduli betapa pun egoisnya Denise. Aileen tidak pernah melihat orang tuanya memarahi Denise walau hingga ia menikah, ia tidak pernah bekerja.

Ini semua adalah salahnya sendiri, Aileen menyadari. Mengapa ia tidak pandai merengek? Mengapa ia tidak bisa bermanja-manja pada orang tuanya? Bukankah itu yang selalu digunakan Denise untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya? Tetapi, Aileen juga menyadari, ia bukanlah gadis seperti itu, gadis yang bermulut manis ketika menginginkan sesuatu.

Sialnya, orang-orang pada umumnya menyukai gadis yang pemanja.

Akankah Evans memilih Denise?

Aileen termenung.

Satu yang jelas, ia bukan tipe gadis Evans. Sejauh yang Aileen ketahui, para gadis Evans adalah wanita cantik yang glamour dan seksi. Dan, dari penampilan mereka, Aileen percaya mereka adalah wanita yang tahu bagaimana memanfaatkan pesonanya untuk mendapatkan keinginannya – persis seperti Denise!

Evans sebagai seorang presiden direktur muda pasti menginginkan seorang pendamping yang dapat ia banggakan. Dari sekian wanita, ia pasti memilih wanita cantik yang menarik dan pandai.

Semakin Aileen memikirkannya, semakin sedih hatinya. Semakin ia merasakan bedanya cinta kasih orang tuanya, semakin putus asa ia.

Di saat ini ia ingin Evans ada di sisinya. Ia ingin memeluk Evans erat-erat.

‘Jangan khawatir. Semua akan baik-baik saja.’

Bisakah ia berpegang pada pernyataan itu? Bisakah ia menghapus segala keraguannya demi pernyataan itu?

Aileen ingin mencoba. Ia ingin memberi dirinya sendiri kesempatan. Namun ia terlalu menyadari kenyataan hingga takut menyongsong hari esok. Tak sampai setahun lalu Geert Balkanende juga menemui orang tuanya dengan tujuan yang serupa dengan Evans. Kala itu Geert percaya bila ia berhasil mendapatkan dukungan orang tuanya, maka mendapatkan hatinya hanyalah masalah waktu.

Waktu itu Geert tergila-gila padanya. Segala hal telah dilakukannya untuk menaklukannya. Segala cara telah diupayakannya untuk mendapatkan hatinya. Namun, sayangnya, ia tidak pernah berhasil menanamkan benih cinta di hatinya.

Sekarang Evans… Aileen tidak tahu bagaimana pemuda itu memandangnya. Ia tidak mengerti bagaimana posisinya di dalam hati pemuda itu. Di mulutnya, ia selalu mengatakan ia serius ingin menikahinya. Di sikapnya, ia menunjukkan perhatiannya. Namun ia tidak pernah mengutarakan perasaannya!

Seorang gentleman tidak pernah sadar ketika ia membuat hati seorang wanita tergetar oleh tindakannya. Seorang gentleman tidak pernah tahu seorang wanita telah jatuh hati padanya hanya karena sanjungannya.

Evans adalah seorang gentleman. Ia tahu bagaimana menghormati seorang wanita. Ia adalah seorang yang berbakat dalam menyanjung seorang wanita. Evans juga seorang businessman yang tahu cara mengontrol situasi. Ia adalah seseorang yang menyadari pesonanya.

Dalam kehidupannya, berpuluh-puluh wanita jatuh cinta pada pesonanya. Dalam kesehariannya, berpuluh-puluh wanita mencoba mendapatkan perhatiannya. Bagi Evans, menghadapi para wanita pemikat adalah makanan sehari-hari.

Karenanya, Aileen menegaskan pada dirinya sendiri dengan sedih, “Aku bukan siapa-siapa.” Kecuali kotoran di mata orang tuanya.

Aileen menatap kopernya di lantai. Ia enggan membongkar isi koper itu. Sama enggannya dengan ketika Evans menyuruhnya mengepak semua barang-barangnya di rumah keluarga Wilder.

Bertentangan dengan keinginan Evans, Aileen hanya membawa pulang barang-barang yang sudah tidak ia perlukan lagi.

Walau enggan pulang, Aileen menyadari hanya tempat inilah yang bisa menjadi gudangnya hingga ia meninggalkan nama LaSalle. Maka, Aileen berlutut di lantai dingin dan membongkar isi kopernya.



*****Lanjut ke chapter 12

1 comment: