Saturday, November 22, 2014

Aileen-Chapter 8

Aileen menatap gaun yang ia gantung di sebelah cermin besarnya dengan terpesona. Tangannya menyentuh kainnya yang lembut dengan hati-hati. Jahitannya yang rapi membuatnya kagum. Rok panjangnya yang jatuh lembut membuatnya tidak dapat tidak menyukai gaun ini. Potongannya yang anggun membuatnya kian jatuh hati pada gaun itu.

Evans benar-benar mengerti seleranya. Evans tahu ia menyukai gaun yang jatuh lembut dan merumbai-rumbai seperti ini. Evans paham ia tidak suka potongan yang berlebihan. Namun…

Aileen putus asa. Evans tahu ia tidak suka mengenakan baju yang terbuka namun ia masih memberinya gaun ini.

Ia menyukai gaun hitam polos ini. Ia menyukai rok panjang sutranya yang dilapisi kain sifon berwarna senada. Tapi ia tidak menyukai atasannya yang tanpa lengan, tanpa bahu. Bahkan kerutan di bagian depan dapat dipastikan akan menonjolkan bentuk dada pemakainya.

Mengapa Evans membeli gaun seperti ini untuknya? Bagaimana Evans mengharapkan ia muncul dengan gaun ini? Bagaimana ia harus menutupi bagian tubuhnya yang terbuka? Gaun ini bahkan tidak dilengkapi syal sifon hitam yang dapat digunakannya untuk mencegah pandangan orang tertuju pada dadanya.

Aileen melihat jam yang tergantung di dinding. Sekarang ia tidak punya waktu untuk membeli gaun. Kalaupun ia dapat, Evans tidak akan senang. Aileen tidak mengerti akan dirinya sendiri. Di luar ia terus menegaskan ia tidak tertarik atas undangan ini namun matanya tidak henti-hentinya melihat jam. Mulai dari Sigrid hingga Leopold menyadari kebiasaan barunya ini tetapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Hanya Aileen seorang yang tidak menyukainya. Demi menekan perasaan tidak sabarnya, Aileen dengan sia-sia mencegah dirinya terus memperhatikan betapa lambatnya waktu berlalu hari ini.

Sigrid benar. Ia tidak sabar menantikan saat ini.

Akhirnya ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat, ia sudah selesai mandi. Ia siap berdandan cantik untuk pesta sore ini namun ia kehilangan minatnya. Malah, ia berharap Evans tidak pernah datang.

Tetapi… itu tidak mungkin bukan? Tengah hari tadi Evans sudah menelepon untuk mengingatkannya. Beberapa saat lalu Evans kembali meneleponnya hanya untuk mengingatkan ia harus mengenakan gaun yang diberikannya.

Aileen mendesah putus asa. Tahu ia tidak punya pilihan, maka ia pun segera mempersiapkan diri.

Di kesempatan biasa ia hanya memerlukan lima belas menit untuk berdandan. Tetapi kali ini ia merasa satu setengah jam tidak cukup. Ia sudah mencoba beberapa tatanan rambut tetapi ia tetap tidak menemukan satu tatanan pun yang cantik dan dapat menutupi pundaknya yang telanjang. Ketika waktu hanya tinggal setengah jam, Aileen memutuskan untuk membiarkan rambutnya terurai.

“Aku tidak peduli komentar Evans,” Aileen menegaskan pada dirinya sendiri, “Ia harus berterima kasih aku sudah berdandan untuknya.” Tetapi hatinya berdebar-debar keras ketika ia melangkahkan kaki untuk menemui Evans.

Evans menyambut Aileen dengan senyumannya.

Matanya memperhatikan Aileen yang berjalan mendekat dengan anggun. Tubuh sempurna Aileen terbungkus oleh gaun yang menawan. Warnanya yang hitam membuat kulit putih Aileen tampak kian putih. Potongan gaun itu membuat pinggang Aileen yang ramping tampak kian ramping dan menonjolkan dadanya yang montok. Aileen adalah gadis yang kurus namun ia memiliki buah dada yang diidamkan banyak wanita. Pasti Aileen akan membuat banyak wanita iri padanya.

“Sudah kuduga gaun ini cocok untukmu,” Evans mengulum senyum gembiranya.

Aileen tidak gembira mendengarnya. Tetapi dadanya yang bersemi berdebar keras.

“Namun,” seperti biasa Evans tidak pernah melupakan protesnya, “Mengapa rambutmu hanya begini?” ia memegang rambut Aileen yang terurai hingga pinggangnya tanpa satu hiasanpun.

Seketika kegembiraan di hati Aileen lenyap. “Aku tidak punya waktu untuk mengatur rambutku.”

“Tapi kau punya waktu untuk berdandan.”

Aileen tidak menanggapi. Ia memang menyempatkan diri untuk memoleskan dandanan tipis di wajahnya tapi ia tidak berniat mengikat rambut panjangnya. Hanya rambut itulah yang dapat menutupi pundaknya yang terbuka. Aileen melepaskan rambutnya dari genggaman Evans dan menatanya sedemikian rupa untuk menutupi dadanya.

Evans kembali tersenyum. “Aku sudah menduganya,” gumamnya.

“Apa?” Aileen bertanya.

“Tidak ada, Tuan Puteri,” Evans mengambil tangan Aileen dan meletakkannya di atas lengannya yang sudah terbuka untuk Aileen. “Bagaimana mungkin hamba berani mengomentari penampilan Anda yang menawan?” Evans membawa Aileen ke mobilnya.

Aileen segera duduk diam di dalam mobil namun ia tidak dapat berhenti menutupi belahan dadanya yang terbuka, dengan rambutnya.

Walaupun ia tengah berkonsentrasi menyetir mobil di antara lalu lintas yang padat, Evans tahu apa yang sedang diperbuat Aileen. Ia tidak akan mengomentari perbuatan Aileen yang mengganggu matanya itu. Sebentar lagi gadis itu tidak akan mempunyai cara untuk menutupi dadanya yang menawan itu.

Setelah melewati beberapa rambu lalu lintas dan belokan, Evans menghentikan mobil di depan sebuah salon.

“Kita sudah sampai,” ia mengumumkan.

Aileen terperanjat. Ia memperhatikan sekeliling dengan bingung. “Di sini tidak ada restoran,” komentarnya. Ini adalah pusat pertokoan. Di sini tidak ada satu tempat pun yang bisa dijadikan tempat jamuan kalangan kelas atas.

Ketika Aileen masih kebingungan memperhatikan sekelilingnya, Evans sudah melangkahkan kaki ke pintu mobil di sisi Aileen.

“Mari, Tuan Puteri,” ia mengulurkan tangan pada Aileen.

Aileen yang masih kebingungan, menyambut uluran tangan Evans tanpa protesnya yang selalu mengumandang ketika Evans memperlakukannya seperti nona besar.

“Kita mau ke mana?” tanya Aileen ketika Evans menuntunnya menjauhi mobil.

“Kita akan mendandanimu menjadi seorang puteri,” Evans membuka pintu salon.

“Apa?” Aileen kaget.

“Selamat datang, Tuan Renz,” seorang pria menyambut kedatangan mereka. “Inikah gadis yang Anda katakan itu?” ia menatap Aileen dengan senyum lembut.

“Tolong urus dia dengan baik,” Evans mendorong Aileen dengan lembut.

“Tentu, Tuan Renz. Saya tidak akan mengecewakan Anda.” Dengan tidak sabar pria itu menuntunnya ke kursi yang sudah dipersiapkan untuknya.

Dalam setengah jam berikutnya, Aileen hanya bisa duduk diam menahan protes sementara pria itu mendaur ulang tatanannya mulai dari rambut hingga dandanan tipisnya.

Melalui kaca di depannya, Aileen melihat Evans yang duduk di kursi tunggu sambil membaca koran.

Menyadari tatapan Aileen, Evans menengadah dan tersenyum tidak bersalah.

Aileen sadar Evans sudah merencanakan ini. Evans sudah mengatur agar pria ini mendandaninya.

Evans langsung berdiri ketika pria itu menyelesaikan tugasnya.

“Sekarang kau benar-benar sempurna,” Evans tersenyum menyambut Aileen.

“Terima kasih,” Aileen menyambut uluran tangan Evans.

“Saya senang Anda puas, Tuan Renz.”

“Aku tahu kau tidak akan mengecewakanku.”

“Semoga malam Anda menyenangkan,” pria itu mengantar kepergian mereka.

Begitu mereka melangkahi pintu salon, Aileen menarik tangannya dari apitan Evans.

“Hei,” Evans memprotes, “Di mana terima kasihmu?”

“Aku sudah mengatakannya padamu,” Aileen menyahut dingin.

Evans mengulum senyum melihat Aileen langsung memasuki mobil ketika ia membuka kunci mobil.

“Tunggu!” Evans menahan pintu mobil.

“Ada…,” Aileen membelalak merasakan bibir Evans di punggungnya yang terbuka. Jantungnya berdegup kencang. Wajahnya terasa panas membakar. Tangan Aileen yang gemetar berusaha membuka pintu mobil. Ia ingin segera bersembunyi di dalam mobil!

“Jangan bergerak,” Evans memerintah.

Melalui kaca jendela mobil, Aileen melihat Evans memasangkan sesuatu di lehernya.

Aileen terperangah melihat kalung manis di lehernya.

“Sekarang kau sudah menjadi putri cantik.”

Bisikan Evans membuat dada Aileen berdebar kian kencang. “K-ki… kita tidak punya waktu,” Aileen membuka pintu dan menyembunyikan wajah panasnya di balik kaca mobil.

Evans hanya tersenyum.

Aileen menatap bayangan dirinya di kaca spion mobil dengan putus asa. Sekarang sudah tidak ada rambut yang dapat menutupi dadanya. Rambutnya telah tergulung rapi dengan model terbaru. Riasan wajah tipisnya sudah dirombak total menjadi riasan yang mempesona. Tetapi… Aileen juga menyadari ia tampak cantik mempesona dan seksi.

Aileen berharap Evans melepaskannya. Ia ingin kembali ke kamarnya yang aman.

Evans memperlambat kecepatan mobil. Ketika mobil sudah berhenti, seorang pria membuka pintu untuk Aileen dan mengulurkan tangan.

Aileen melihat pelayan itu dan menerima uluran tangannya. Di saat-saat seperti inilah ia tidak begitu menyukai Evans.

Seorang pria juga membuka pintu mobil untuk Evans. Berlainan dengan pria yang menyambut Aileen, pria itu membawa mobil Evans ke tempat parkir.

Evans mendekati Aileen dengan senyum bangga. Tubuhnya yang gagah membusung penuh percaya diri.

Aileen meletakkan tangan di siku Evans yang terbuka dan berjalan di sisinya tanpa suara.

Segera ketika mereka memasuki ruangan pesta, Aileen merasa semua mata tertuju padanya. Suatu hal yang membuatnya merasa tak nyaman.

“Evans!” seorang pria menyambut, “Lama tak berjumpa. Ke mana saja kau bersembunyi?”

“Aku tidak ke mana-mana.”

Pria itu menatap Aileen lekat-lekat dengan pandangan yang menakutkan Aileen. “Siapa gadis cantik ini?”

Aileen kaget. Evans merangkulkan tangan di pinggangnya. “Ia adalah Aileen LaSalle,” Aileen heran mengapa Evans tidak mengatakan ia adalah saudaranya.

“Aku mengerti maksudmu, Evans,” pria itu menepuk pundak Evans dengan keras, “Seharusnya dari dulu kau begini. Jangan hanya bermain-main dengan wanita.”

Aileen tak mengerti arah pembicaraan pria asing itu tapi dalam hatinya muncul kecurigaan.

“Apa yang dikatakannya?” ia langsung melontarkan pertanyaan itu.

“Tidak ada,” Evans menolak menjawab.

Otak Aileen berputar cepat. “Ia pasti mengomentari hobimu,” Aileen tanpa ragu-ragu mengutarakan pikirannya, “Makanya, Evans, segera berhubungan serius dengan seorang wanita dan menikah.”

“Aku sudah menemukannya,” Evans mengakui.

“Oh…,” Aileen tidak dapat menutupi rasa pedih di hatinya.

“Evans!” seorang pria di usia pertengahan mendekat, “Lama tidak bertemu.”

Evans segera menyambut uluran tangan pria itu dan dalam waktu singkat terlibat pembicaraan hangat dengannya.

Aileen tetap berdiri di sisi Evans seperti seorang gadis kecil penurut. Telinganya dengan tekun mendengarkan isi pembicaraan bisnis kedua orang itu tetapi tidak satu kalimat pun yang dapat diresap otaknya.

Tak sampai sepuluh menit, seorang pria lain mendekat diikuti pria lain. Lagi-lagi mereka membicarakan masalah serius dengan melupakan keberadaan Aileen.

Dalam waktu singkat, Evans sudah dikerumuni oleh para rekan bisnisnya.

Berdiri di sisi Evans, Aileen makin menyadari perbedaan dunia mereka. Evans dilahirkan sebagai seorang businessman sukses. Ia dididik untuk menjadi seorang direktur handal. Sesungguhnya, sejak kecil Evans sudah menunjukkan bakat bisnisnya.

Bakat ditambah kerja keras, membuat Evans berhasil mendapatkan kepercayaan sebagai direktur anak cabang perusahaan keluarganya hanya dalam waktu singkat. Karena itu pula tidak heran bila Evans sangat terkenal di dunia bisnis dan di antara para wanita. Ditambah kenyataan rupanya yang rupawan dan tubuh atletisnya yang tidak berlemak, Evans adalah dambaan hati banyak wanita.

Orang tua Aileen juga mempunyai bisnis yang cukup berhasil tetapi keberhasilan itu tidak ada nilainya dibandingkan salah satu anak cabang perusahaan keluarga Renz. Kenyataan ini membuat Aileen semakin berkecil hati.

“Siapakah gadis kecil di sisimu?” seorang pria di antara kerumunan itu akhirnya menyadari keberadaan Aileen.

Evans menoleh pada Aileen yang sekarang sudah hampir berdiri di belakangnya. “Ia adalah Aileen LaSalle,” tanpa ragu-ragu Evans melingkarkan tangan di pinggang Aileen dan menariknya ke sisinya.

“Senang berkenalan dengan Anda,” Aileen mencoba bersikap sesopan mungkin.

Pria yang menyadari keberadaannya, tersenyum. “Engkau adalah gadis manis yang cantik.”

“Terima kasih,” Aileen merasa pria itu memandangnya sebagai gadis belasan tahun dibandingkan gadis yang hampir lulus kuliah.

Pria itu tertawa menyadari kekesalan Aileen. “Tampaknya ia tidak suka kami terus menahanmu di sini,” ia berkata pada Evans.

Baru saat itulah Evans sadar sejak mereka tiba di sini setengah jam lalu, ia terus mengabaikan Aileen.

“Jangan khawatir. Saya senang mendengarkan pembicaraan Anda,” Aileen segera membuka suara. “Jangan memikirkan saya. Bila Anda merasa terganggu oleh kehadiran saya, saya akan menepi.”

Tetapi Evans berpendapat lain. “Aileen,” ia memegang siku kanan gadis itu dan membungkuk – mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu, “Di meja sana ada banyak makanan. Engkau bisa memilih apa pun yang kausukai.”

“Aku tahu,” Aileen kesal. Bahkan Evans pun memperlakukannya seperti seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

“Tunggulah aku di sana,” matanya mengarah pada dinding di seberang, “Aku akan segera menyusulmu.”

Aileen mengangguk.

“Gadis kecilmu sungguh mempesona dan penurut,” lagi-lagi pria itu memberi komentar akan Aileen.

“Ia memang mempesona tetapi,” Evans menambahkan dengan senyum terkulum, “Ia tidak sepenurut seperti yang kaulihat.”

“Diakah orang yang membuatmu sering menghilang dari kantor?” tanya yang lain.

Evans tertawa. “Dia pasti marah kalau mendengarmu.”

“Diakah yang membuatmu bertapa?” yang lain mencari ketegasan.

Evans hanya tertawa namun matanya terus memperhatikan Aileen yang dengan gembira memilih cake.



-----0-----


“Anda bisa gendut dengan cake sebanyak itu.”

Aileen terperanjat.

“Anda suka cake?”

Sesuatu dari pria itu membuat Aileen merasa tidak nyaman. “Ya, saya suka makanan manis.”

“Saya memperhatikannya dari tadi,” pria muda itu mengakui.

Aileen sadar bukan hanya pria itu seorang yang memperhatikannya sejak awal. Baik pria maupun wanita di tempat ini terus memperhatikannya dengan penuh ingin tahu sejak ia menginjakkan kaki di sini terutama ketika ia mulai menyantap berbagai macam cake yang tersedia di meja.

Tetapi, siapa yang mempedulikannya? Setiap tamu mempunyai hak untuk menyantap makanan yang tersedia.

“Apakah Anda sendirian?”

Pertanyaan itu cukup untuk memberitahu Aileen apa yang ada di kepala pria itu. “Tidak,” Aileen menjawab tegas tetapi ia enggan memberitahu dengan siapa ia datang.

“Apakah pria itu mempunyai kesibukan lain?”

“Benar,” Aileen berharap pria itu segera pergi. Dalam hatinya ia bertanya-tanya mengapa Evans tidak segera datang.

“Sampai pasangan Anda itu datang, boleh saya menemani Anda?”

Tentu saja tidak! Tetapi demi kesopanan, Aileen menjawab, “Tentu,” dan berharap dadanya tidak terlalu terbuka untuk menjadi santapan sedap mata pria itu.

Mata kelabu Evans menggelap. Sinar matanya yang tajam menusuk pemandangan di depannya – pada Aileen yang tersenyum ramah pada pria di sisinya. Keakraban mereka membakar hati Evans.

“Permisi,” ia berpamitan pada rekan-rekan bisnisnya.

Langkah-langkahnya yang lebar menggetarkan lantai.

Mendengar langkah-langkah mendekat, Aileen memalingkan kepala. “Evans,” Aileen tersenyum lega, “Aku…” senyum di wajahnya menghilang oleh raut murka Evans.

“Maaf, Tuan. Ia tidak bisa menemanimu lebih lama lagi,” Evans mengambil piring di tangan Aileen dan meletakkannya di meja. Kemudian, tanpa berbasa-basi ia menarik Aileen dengan kasar.

Aileen kesulitan mengimbangi langkah lebar Evans. “Kita mau ke mana?”

Evans tak menjawab. Raut mukanya keras.

Tak ada protes dari Aileen. Gadis itu bersyukur bila Evans menjauhkannya dari tempat ini. Ia sudah ingin meninggalkan tempat ini semenjak ia menginjakkan kaki di sini.

Evans membawa Aileen menyeberangi Hall pesta yang luas dan berhenti di pintu masuk.

“Saya akan segera mengeluarkan mobil Anda, Tuan,” pria penyambut tamu segera berlari ke tempat parkir.

Aileen lega. Akhirnya mereka akan meninggalkan tempat itu.

Tak sampai lima menit, mobil Evans tiba di depan mereka.

Seorang pria segera membuka pintu untuk Aileen dan membungkuk hormat.

“Masuk,” Evans mendorong kasar Aileen lalu ia menuju pintu kemudi.

Aileen memperhatikan Evans dengan heran.

Evans menjalankan mobil meninggalkan rumah megah itu.

Melalui sudut matanya, Aileen memperhatikan Evans yang menyetir dengan wajah tegang.

Ia tidak mengerti mengapa Evans menjadi sinis. Aileen tidak dapat mengartikan raut keras Evans. Biasanya Evans akan mengutarakan kekesalannya. Evans tidak pernah memasang raut wajah ini padanya. Sikapnya itu membuat Aileen merasa tidak nyaman.

Untuk mengusir perasaan itu, ia memandang keluar jendela. Ia tidak dapat mengerti jalan pikiran lelaki dan ia tidak mau terlalu memikirkannya. Aileen memperhatikan sinar-sinar bangunan dan pepohonan yang muncul satu persatu di jendela lalu menghilang. Matanya terpaku pada pemandangan yang silih berganti itu. Ia menikmati perjalanan pertama dan terakhirnya ini. Takkan ada lagi pesta ketiga yang dihadiri orang-orang kaya dan gaun malam yang terbuka ini.

Tiba-tiba Aileen menyadari betapa lemahnya pendiriannya. Benar Evans membelikan gaun ini untuk dikenakannya dalam pesta ini. Benar Evans memaksanya datang ke pesta ini dengan gaun malam ini. Benar Evans memesan salon khusus untuk mendandaninya. Namun tidak berarti ia harus menuruti semua keinginan Evans. Ia bisa menolak datang. Ia bisa menolak mengenakan gaun ini. Tapi…

Semua telah terjadi. Untuk apa sekarang ia mempersoalkannya?

Saat ini yang terpenting untuk Aileen adalah ia sudah meninggalkan tempat yang tidak nyaman itu ke kamarnya yang aman.

Aileen heran menyadari mobil berhenti di pinggir jalan. Ia melihat Evans dengan bingung dan mendapati pemuda itu tengah menelungkupkan kepala di setir mobilnya dengan bersadar pada lengannya.

Ini memang yang terbaik. Lebih baik mereka berhenti daripada menantang bahaya dengan membiarkan Evans menyetir dalam keadaan mengantuk.

“Sungguh konyol.”

Aileen melihat Evans dengan heran.

“Aku merasa konyol.”

Apakah pemuda ini sedang mengingau?

“Aku memaksamu datang menemaniku dengan tujuan membuatmu senang. Aku berhasil tapi aku memaksamu pulang.”

Aileen tidak dapat memahami Evans sepenuhnya tetapi mulutnya tidak perlu menanti otaknya untuk menanggapi, “Tak mengapa. Sejujurnya, aku tidak suka tempat itu.”

Evans tersenyum tipis. “Aku mengerti.”

Keduanya kembali terdiam.

Aileen kembali pada keasyikan awalnya. Matanya memandang keluar tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia hampir melupakan keberadaan Evans ketika pria itu kembali memecah kesunyian.

“Aku minta maaf.”

Aileen berpaling. Kata-kata itu terasa asing di telinganya.

“Sebenarnya tamu-tamu tak harus datang berdua.”

Aileen tersenyum simpul. Ia tahu pria lebih senang datang berdua dalam pesta-pesta semacam ini.

“Tapi aku mengajakmu karena aku ingin menunjukkan pada teman-temanku gadis yang akan menjadi pendampingku untuk sisa hidupku.”

Kata-kata inilah yang tidak diketahui Aileen. Gadis itu hanya terperangah.

Evans mengangkat kepalanya dari kemudi dan menggenggam tangan Aileen. “Kau bersedia?”

“Aku…,” Aileen merasa lidahnya kelu. Matanya bergerak-gerak menghindari pandangan Evans.

“Aku tahu kau masih mencintai Geert tapi aku mempunyai kepercayaan diri aku pasti dapat membuatmu mencintaiku.”

Aileen terdiam. Mengapa hingga di saat seperti inipun Evans tidak dapat memepercayainya?

“Aileen?” Evans menuntut jawaban Aileen dengan tidak sabar.

Evans pasti tidak sepenuhnya menyadari apa yang sedang dikatakannya saat ini. Aileen tahu besok pemuda ini akan melupakan saat ini.

“Jangan bercanda,” Aileen melepaskan tangannya, “Kalau aku serius, baru tahu rasa kau.”

“Sebaliknya, aku akan sangat senang,” Evans membenarkan. Sekali lagi ia menggenggam tangan Aileen dan kali ini ia tidak akan melepaskannya sebelum Aileen menjawabnya.

“Aku….” Aileen tidak tahu haruskah ia menerimanya atau menolaknya. Ia tidak berbohong ketika ia memberitahu Evans ia pernah mempunyai keinginan menjadi istrinya. Namun keinginan masa kanak-kanak itu sudah… lama hilang.

Benarkah itu? Aileen bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Tak peduli sekeras apa usahanya mengingkari kenyataan itu, sebagian dari dirinya bahagia ketika Evans menjemputnya, sebagian dari dirinya berbunga-bunga ketika Evans membuatnya tersanjung.

“Sudah diputuskan,” seperti biasa, Evans mengambil keputusan di atas kebingungan Aileen, “Kau akan menjadi kekasihku.”

Aileen kaget.

“Setidaknya kau harus memberiku kesempatan membuatmu melupakan Geert. Andai sampai pada saatnya kau tetap tidak bisa melupakan Geert, aku menyerah.”

“Aku tidak pernah memikirkan Geert,” Aileen membenarkan.

“Semua sudah diputuskan!” Evans puas dengan keputusan yang dibuatnya itu.

“Evans…,” Aileen menelan kembali kata-katanya melihat wajah puas Evans.

Evans bukan pria yang bisa diubah ketika ia menunjukkan wajah ini. Namun Aileen yakin pemuda itu akan melupakan malam ini secepat ia berganti pasangan.

Aileen percaya Evans tengah mabuk.



*****Lanjut ke chapter 9

2 comments: