Tuesday, November 11, 2014

Aileen-Chapter 7

Aileen memperhatikan Evans yang sedang berdiskusi dengan serius. Dari cara berpakaian kedua pria itu dan dari sinar mata mereka, Aileen dapat menebak mereka tengah membicarakan masalah bisnis. Yang tidak dimengerti Aileen adalah mengapa Evans harus membicarakan masalah bisnisnya di restoran ini. Ini bukan pertama kalinya Evans muncul di siang hari bersama rekan kerjanya. Entah mengapa Aileen merasa ini juga bukan yang terakhir kalinya Evans mengadakan rapat pentingnya di sini.

“Lagi-lagi kau melihat Evans,” Sigrid menggoda.

“A-aku tidak memperhatikannya,” Aileen membantah. Demi sepasang mata curiga yang menatapnya itu, Aileen menambahkan, “Aku tidak mengerti mengapa akhir-akhir ini dia sering mengadakan rapat kerja di sini. Restoran kita bukan kantornya!”

Sigrid mengulum senyumnya. “Kau tidak suka?”

“Tidak ada hubungannya denganku!”

“Tentu saja ada. Dia bisa berada di sini karena seseorang,” Sigrid menatap Aileen lekat-lekat, “Dia takut pria lain akan merebut hati orang itu.”

“Omong kosong!” sahut Aileen, “Dia tidak punya alasan untuk mengkhawatirkanku.” Ia sudah menegaskan hubungannya dengan Geert. Bukan hanya sekali tetapi berkali-kali hingga rasanya tiap mereka bertemu Aileen pasti menegaskannya kembali.

“Oh, kau sudah mengakuinya?” Sigrid terperanjat.

Ingin menyangkalnya pun sudah hampir tidak mungkin. Sikap Evans sudah tidak perlu disangkal. Keluarga Wilder, termasuk Leopold yang selalu kritis pada pengagum Aileen, sudah menegaskan sikap. Satu-satunya yang membuat kekeraskepalaan Aileen bertahan adalah pernyataan Evans di masa lalu.

“Aku akan merapikan meja,” Aileen melihat satu keluarga beranjak pergi.

Memperhatikan Aileen merapikan meja, Helena memunculkan kepala di lubang dinding dapur dan berkomentar, “Dia memang keras kepala.”

“Aku bisa mengerti kekeraskepalaannya itu,” Sigrid menanggapi. “Semuanya itu kembali pada Evans.”

“Aku yakin ia bisa membuktikan kesetiaannya pada Aileen,” kata Helena, “Aku yakin hanya dia yang sanggup mengobati luka hati Aileen.”

“Dia kembali,” Sigrid memperingati.

Helena segera menghilang ke dalam dapur.

Aileen meletakkan nampan berisi piring-piring kotornya di counter dapur. Matanya menatap Sigrid penuh ingin tahu.

“Ah, ada tamu,” Sigrid menyingkir.

Aileen membunyikan bel di counter dapur.

“Letakkan di sana.”

Aileen menurutinya. “Helena,” Aileen bersandar di sisi counter. Ia ingin mengetahui isi pembicaraan mereka. “Hari ini adalah hari yang lenggang.” Ia tidak tahu bagaimana memulai.

“Beginilah resiko membuka restoran. Ada saatnya ramai, ada juga saatnya sepi. Kita tidak bisa menebaknya.”

Otak Aileen berputar keras. Bagaimana ia harus membuka memulainya? Bila ia menanyakannya, pasti akan membuat mereka yakin ia juga menyukai Evans. Tidak mungkin tidak. Untuk apa ia mengetahui isi pembicaraan mereka kalau ia tidak peduli? Mungkin sebaiknya ia tidak menanyakannya. Toh ia sudah dapat menebaknya. Tetapi… ia ingin tahu isi pembicaraan mereka.

Aileen terkejut oleh suara bel yang dipasang di dekat pintu. Matanya terpaku pada pemuda yang berjalan ke arahnya dengan senyum lebar. Sesuatu memperingatinya yang dituju pemuda itu tak lain adalah dirinya.

“Kau sudah puas?” Evans mengurung Aileen di tembok.

“Siapa yang sedang melihatmu!?” Aileen membuang muka.

“Aku tidak mengatakannya,” Evans tersenyum puas – membuat Aileen kesal.

“Mengapa kau di sini? Bukannya kau ada rapat?”

“Rapatku sudah usai.” Saat itulah Aileen menyadari tamu Evans sudah tidak ada. “Tanggalkan celemekmu,” perintah Evans kemudian.

Aileen hanya melihat Evans dengan bingung.

“Kau ingin aku melepaskanmu untukmu?” Evans menawarkan diri.

“Ti-tidak perlu!” Aileen langsung menolak.

Evans hanya menahan senyum gelinya dan menanti Aileen melepas celemeknya. Segera setelah Aileen meletakkan celemeknya di counter dapur, Evans meraih tangannya, “Ayo kita pergi.”

Aileen terperanjat. “Apa yang akan kaulakukan!?”

“Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya akan membawamu pergi,” Evans meraih tas kerjanya di meja.

Aileen dengan setengah berlari mengikuti langkah lebar Evans. “Engkau mau membawaku ke mana?”

“Sudahlah ikut saja,” Evans membuka pintu.

“Kau bisa membuatku dipecat,” protes Aileen.

“Aku sudah meminta ijin pada majikanmu.”

“APA!!!?”

Evans pura-pura tidak mendengar seruan Aileen. Ia bersiul-siul senang sambil menarik Aileen meninggalkan Sigrid dan Helena yang mengulum senyum memperhatikan mereka.

“Evans, kau akan membawaku ke mana!?” Aileen bertanya lagi dengan panik.

Evans terus bersiul-siul gembira.

Langkah-langkah lebar dan cepat Evans lama-lama membuat Aileen kesal. “Apa kau tidak bisa berjalan pelan?”

Hardikan itu membuat Evans tersadar. “Maaf,” katanya ringan sambil memperlambat langkah. “Aku terlalu senang bisa membawamu keluar hingga lupa segalanya.”

Aileen mengacuhkannya. Evans seperti baru kali ini berhasil memaksanya pergi. Apakah ia tidak ingat sudah berapa kali ia menculiknya dari tempat kerjanya?

‘Dasar lelaki,’ gerutu Aileen di lubuk hatinya, ‘Selalu saja mau menang sendiri.’

“Sekretarismu pasti marah-marah.”

“Mengapa ia harus marah padaku?”

“Engkau melimpahkan semua tugasmu padanya dan kabur dari kantor.”

Evans tersenyum. “Engkau masih perlu mengenalku bila kau ingin menjadi sekretarisku.”

“Aku tidak pernah ingin menjadi sekretarismu!” bantah Aileen.

“Sebagai informasimu, aku bukan seorang yang tidak bertanggung jawab. Aku tetap melakukan tugasku walau aku tidak berada di kantor.”

“Restoran Wilder bukan kantormu! Jangan seenaknya menjadikan tempat kami ruang rapatmu! Kami tidak menyukainya?”

“Benarkah?” tanya Evans, “Yang aku ketahui, Leopold sangat menyambut kedatanganku. Wilder juga berterima kasih padaku. Aku membantu mengembangkan usaha mereka. Kau tahu rekan rapatku bukan orang biasa. Mereka adalah petinggi perusahaan-perusahaan terkemuka. Kalau mereka puas atas pelayanan kalian, mereka pasti akan datang lagi beserta rekan-rekan mereka yang lain.”

Aileen juga menyadari beberapa rekan rapat Evans kembali mengunjungi restoran mereka di kesempatan lain. Beberapa di antara mereka bahkan sudah menjadi langganan Restoran Wilder.

“Masuklah,” Evans membuka pintu penumpang.

Aileen menurutinya dan segera setelahnya Evans duduk di belakang kursi kemudi.

“Kita akan ke mana?” Aileen membuka pembicaraan.

“Apa yang kaukhawatirkan?” tanya Evans, “Aku tidak akan mencelakaimu. Aku adalah seorang pria yang bertanggung jawab. Jangan selalu berkata aku tidak pernah muncul di kantor. Kau tidak tahu apa yang kulakukan setiap saat.”

“Tentu saja,” komentar Aileen, “Aku bukan pengasuhmu.”

“Walaupun aku tidak ada di kantor, aku tetap mengerjakan tugas-tugasku. Di jaman serba praktis ini, aku tidak harus berada di kantor. Aku bahkan bisa mengadakan rapat melalui internet. Tengah malam pun aku masih berhubungan dengan rekan kerjaku di belahan dunia lain. Apa kau masih berpendapat aku tidak bertanggung jawab?”

“Ya… ya… kau bertanggung jawab,” Aileen merasa Evans akan memulai ceramah panjangnya. Aileen merasa perasaannya tidak pernah salah ketika Evans akhirnya menghentikan ceramahnya bersamaan dengan mesin mobilnya.

Tidak menanti ceramah panjang Evans lagi, Aileen langsung turun begitu mobil berhenti.

“Kau mau ke mana?” protes Evans.

“Tidak tahu,” Aileen menjawab jujur. “Kau yang membawaku ke sini.”

“Kau sadar, rupanya,” Evans tidak berusaha menutupi kekesalannya oleh ketergesa-gesaaan Aileen.

Aileen mengulum senyumnya. Tiba-tiba saja setan kecil di hatinya beraksi. “Ke mana kencan kita hari ini?” ia memeluk lengan Evans dengan mesra.

Evans terpaku. Matanya menyelidiki ekspresi gembira Aileen dengan curiga. “Kau sedang mempermainkanku,” ia menyadari permainan Aileen, “Tetapi aku tidak membencinya,” ia mengakui dan mengapit lengan Aileen di antara sikunya.

Aileen sadar permainannya sudah berbalik arah tetapi ia juga tahu tidak ada kesempatan yang akan diberikan Evans untuknya melepaskan diri. Maka, ia hanya dapat dengan tenang mengikuti langkah kaki Evans ke dalam sebuah restoran.

Aileen kembali kesal pada Evans ketika berpasang-pasang mata tidak melepaskannya. Mengapa Evans tidak memberitahunya terlebih dahulu? Mengapa ia tidak memberinya kesempatan untuk berganti pakaian?

Sekarang bahkan para pelayan terus memperhatikan pakaiannya yang terlalu biasa untuk restoran mahal kelas atas ini.

Aileen sadar Evans sudah merencanakan makan siang ini ketika pelayan mengantar menu pembuka tanpa mereka memesan. Dan itu membuat Aileen semakin kesal.

“Sampai kapan kau akan mendiamkanku?” tanya Evans di akhir makan siang mereka.

Aileen masih berdiam diri.

Evans menyerah. “Aku punya sesuatu untukmu,” ia merogoh sakunya.

“Kau ingin menyuapku?”

“Menurutmu?” goda Evans.

Aileen hanya menatap Evans dengan curiga.

Evans tersenyum samar. “Tutuplah matamu.”

Kening Aileen berkerut.

“Lakukan saja,” bujuk Evans.

Aileen menutup matanya. Sesaat kemudian ia merasa Evans memegang tangan kirinya. ‘Apa yang sedang dibuat Evans?’ pikirnya. Aileen merasa Evans memasukkan sesuatu di jari manisnya lalu sesuatu yang lembut dan hangat menekan punggung tangannya. ‘Evans mencium tanganku!’ Aileen menyadarinya dengan kaget dan heran.

Evans tersenyum simpul. “Selamat ulang tahun.”

“Aku tidak ulang tahun.”

“Aku tahu,” senyum Evans melebar, “Aku yang berulang tahun.”

Untuk sesaat Aileen kaget. Namun secepat itu pula ia kembali menguasai perasaannya. “Aneh,” Aileen melepas cincin di jari manisnya. Dan lagi, mengapa ia harus memasangnya di jari manis tangan kanannya!?

“Jangan!” Evans mencegah.

Alis mata Aileen terangkat tinggi.

“Hargailah jerih payahku mencari benda yang sesuai dengan kepribadianmu,” senyum di wajah Evans menandakan ia sedang bercanda. Tapi raut wajahnya menjadi lebih serius ketika ia melanjutkan, “Aku memberikannya agar tiap kali kau melihat cincin itu kau ingat kapan aku ulang tahun. Tentu saja tujuan utamaku adalah kau tidak lupa merayakannya dan memberiku hadiah.”

“Aku tahu hari ini ulang tahunmu,” gumam Aileen. Tetapi ia lupa.

“Apa kau tidak ingin mengucapkan sesuatu?”

Mata Aileen menatap lurus mata Evans. “Eh?”

“Selamat ulang tahun, misalnya.”

Bibir mungil Aileen membentuk huruf O yang manis.

Evans tersenyum. Matanya memandang lekat wajah Aileen. “Dari dulu kau tidak berubah. Pendiam dan sopan. Aku tidak pernah melihatmu tanpa gaun berleher tinggi dan berlengan panjang. Bahkan di musim panas yang menyengat.”

“Aku tidak suka,” sahut Aileen dingin.

“Aku ingat pertama kalinya kau memakai gaun yang terbuka.”

Saat itu juga masih tergambar jelas di kepala Aileen. Ia tidak akan pernah melupakan saat yang mengesankan juga memalukan itu.

Hari itu adalah pesta perkawinan perak orang tua Evans dan itu adalah pertama kalinya Aileen datang pada pesta sebagai seorang remaja. Aileen yang baru empat belas tahun itu ingin tampil menarik dan cantik. Karena ibunya hanya sibuk dengan penampilan Denise, Aileen memutuskan untuk mendandani dirinya sendiri.

Sepanjang hari ia menghabiskan waktu mencari baju pesta yang cocok untuk dikenakannya pada malam special ini. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan gaun yang menarik hatinya. Gaun merah muda itu terbuat dari sutra lembut dengan rumbai-rumbai pita putih yang menarik. Gaun seperti inilah yang diinginkan Aileen! Tanpa pikir panjang, Aileen memutuskan untuk mengenakan gaun pendek itu.

Akibatnya baru ia rasakan dalam pesta itu.

Aileen tak sadar leher gaun yang rendah itu menampakkan bentuk dadanya yang baru tumbuh. Pundak gadisnya yang segar dan putih kemerahan seperti buah segar memikat hati tiap pria. Belum lagi rok yang hampir tidak menutupi pahanya. Seperti kupu-kupu yang baru lahir dengan segala kecantikan dan kesegarannya, Aileen menarik mata semua lelaki.

Mulanya ia merasa senang mendapat perhatian tapi lama-lama ia merasa risih. Mata mereka bukan mata penuh kekaguman, seperti yang diharapkannya. Mata mereka menyala menakutkan – membuat bulu kuduknya berdiri. Mata-mata itu seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sinar menyala yang selalu siap menelan itu semakin merisihkan Aileen dalam setiap gerakannya.

Dengan gelisah, Aileen berusaha menutup bagian tubuhnya yang terbuka.

“Salahmu memakai baju terbuka seperti itu.”

Pipi Aileen terasa panas oleh hardikan itu. Ia menatap Evans dan dengan menyembunyikan rasa malunya, Aileen berkata dingin. “Aku tidak punya pilihan lain.”

Evans melepas jasnya dan mengenakannya di pundak Aileen.

Aileen yakin wajahnya memerah seperti apel. Ia ingin bersembunyi. Ia enggan bertemu Evans tapi sepertinya Evans tidak mau beranjak dari sisinya. Sikap acuhnya membuat Aileen semakin serba salah.

“Nona manis, maukan kau berdansa denganku?”

Sapaan itu mengejutkan Aileen.

“Maaf,” Evans merangkulkan tangan di pundak Aileen dan menariknya mendekat. “Ia sudah berpasangan denganku.”

Aileen menatap Evans dengan mata penuh pertanyaan dan tuntutan, bersamaan dengan perginya pria itu.

“Jangan pergi jauh-jauh dariku,” Evans memperingati.

Aileen menengadah. Pandangan mata Evans tajam dan jauh. Diikutinya jalan pandangan itu dan sampailah ia pada sekelompok pria yang melihatnya dengan mata seram mereka. Sekali lagi Aileen menengadah pada Evans yang terus menatap tajam mereka tanpa melepaskan Aileen. Di sisi lain, Aileen merasa ada yang memperhatikannya. Dilihatnya sekelompok wanita yang menatapnya dengan iri. Aileen makin merasa malu dan serba salah tapi Evans tak pernah menyadarinya.

Inilah salah satu sikap gentle Evans yang terus membuat Aileen terkesan. Aileen takkan lupa bagaimana Evans menjaganya sampai pada akhirnya Evans mengantarnya pulang.

Melihat pesta akan terus berlangsung sampai subuh, Evans langsung mengambil inisiatif. Diambilnya mackingtosh ibunya yang selalu tersedia di gantungan baju dekat pintu besar.

“Pakailah,” Evans menyerahkan, “Aku akan mengantarmu pulang.”

“Eh…?”

Evans mendorong dengan lembut. “Pesta ini takkan berakhir sebelum pagi,” katanya menjawab kebingungan Aileen.

Tak banyak yang dilakukan Aileen selain mengenakan mackingtosh itu dan mengikuti Evans. Evans sendiri yang mengantarnya dan memastikan ia memasuki rumah dengan selamat. Aileen tak mengeluh walau ia harus pulang sementara keluarganya masih bersenang-senang di pesta itu.

Hari itu menjadi pelajaran bagi Aileen bahwa menjadi menarik tidak selalu menyenangkan. Lebih menyenangkan menjadi gadis biasa daripada pusat perhatian dan kecemburuan.

“Engkau tidak mau mencobanya?”

“Aku tak tertarik.”

“Kau memang unik seperti gadis jaman pertengahan yang sopan, anggun, dan…”

“Angkuh juga puritan,” sahut Aileen dingin. Ia cukup sering mendengar komentar itu.

Evans menggeleng. “Tidak. Tidak seperti itu. Di luar engkau seperti gadis pertengahan yang penurut tapi di dalam penuh pertentangan dan pemberontakan.”

“Terima kasih,” Aileen menyahut asal.

“Dengan senang hati,” Evans memberikan senyumannya yang menawan. “Jadi, M’lady, apakah Anda berkenan menerima undangan saya?”

“Undangan?” Aileen keheranan.

“Oh, aku pasti lupa mengatakannya,” ujar Evans, “Besok aku ada undangan sosial dan aku harus hadir bersama pasanganku.”

“Kau bisa memilih wanita lain,” gerutu Aileen. Ia tidak suka cara Evans yang selalu tergesa-gesa.

“Sayangnya, aku hanya tertarik mengajakmu,” Evans tersenyum tidak bersalah.

“Aku tidak punya persiapan.”

“Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkan semuanya untukmu.”

“Kau begitu yakin aku pasti mau.”

“Aku selalu percaya diri,” lagi-lagi Evans memberikan senyum menawannya yang membuat dada Aileen berdebar-debar.

Aileen juga menyadarinya. Ia pasti sudah buta bila ia tidak menyadarinya setelah hampir tiga bulan sering berhubungan dengannya.

Evans tidak perlu persetujuan orang lain ketika ia sudah memutuskan sesuatu. Dengan sifatnya yang suka berubah-ubah dan sulit membuat keputusan, orang seperti Evans memang diperlukan. Namun ada saatnya ia tidak suka Evans membuat keputusan untuknya seperti saat ini.

“Apa ini?” Aileen menuntut jawaban melihat tiga tas besar di atas meja.

“Gaun pestamu malam ini,” jawab Evans ringan, “Sepatu dan sepasang anting sebagai pelengkapnya.”

“Pesta?” Aileen bingung.

“Kau tidak lupa undanganku kemarin ‘kan?”

“Aku belum menjawabnya,” protes Aileen.

“Aku tidak ingat,” Evans memasang wajah tanpa dosa.

Aileen hanya menatap pemuda yang terus memasang wajah tak berdosa itu. Entah sudah berapa kali Evans memutuskan segala sesuatu tanpa persetujuannya. Memang di saat-saat tertentu Evans bisa menjadi seorang yang mau menang sendiri. “Jam berapa?”

“Jam 5 sore aku akan menjemputmu,” Evans tersenyum penuh kemenangan. “Sekarang aku harus segera pergi ke kantor sebelum kau mengusirku.”

Menyadari matahari sudah tinggi, Aileen cepat-cepat menegaskan, “Benar. Kau harus segera berangkat. Apa kata orang kalau sang direktur terlambat.”

“Tapi, sebelumnya,” Evans memeluk Aileen dan mencium kening gadis itu. “Pengisian energi ok,” Evans melepaskan Aileen dan melangkah pergi dengan senyum mengembang.

“Wah… wah… wah… ini kabar baru,” Sigrid sengaja menggoda gadis yang memerah padam itu.

“Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya,” Aileen menyangkal.

“Aku tidak mengatakannya,” Sigrid tersenyum penuh arti.

Wajah Aileen semakin merah padam. “A-aku masih punya urusan,” Aileen mengambil tiga tas besar di meja dan menghilang ke dalam.

“Aku bisa memastikan Aileen jatuh cinta pada Evans,” komentar Helena.

“Sependapat,” ujar Sigrid, “Dia tidak pernah menunjukkan reaksi seperti ini. Aileen selalu tahu bagaimana mengatasi Geert.”

“Evans adalah tipe yang tidak mudah diatasi Aileen,” Helena sependapat.



*****Lanjut ke chapter 8

No comments:

Post a Comment