Wednesday, October 22, 2014

Aileen-Chapter 6

“Tidak masuk akal!” seru Evans, “Aku sudah terang-terangan mendekatinya!”

“Kenyataannya ia sudah salah sangka,” telapak tangan Sigrid menopang dagunya. Dan ia menambahkan dengan mengejek, “Salahmu sendiri. Siapa yang menyuruhmu menjadi seorang playboy.”


“Playboy!? Itukah anggapan Aileen atas diriku!?”

“Tidak salah!” Sigrid menegaskan.

“Habislah sudah! Tamat! Cerita sudah berakhir!”

“Lalu,” Helena bertanya, “Apakah kau akan mundur?”

“Mundur? Jangan bercanda! Siapa yang mengatakan aku akan mundur!?” sergah Evans, “Kalau Aileen salah paham, maka aku harus meluruskannya.” Aileen sama sekali tidak mengenalinya. Aileen tidak tahu keseriusannya kali ini sudah melebihi batas normalnya.

“Bagus,” Helena puas. Ia percaya Evans tidak akan melukai Aileen. “Untuk itu, hal pertama yang harus kita lakukan adalah meluruskan kesalahpahaman ini.”

“Mengapa kau tidak berterus terang pada Aileen?” Sigrid mengusulkan, “Dia tidak akan sadar siapa yang ada di hatimu kalau kau tidak memberitahunya.”

“Aku pasti akan melakukannya.” Tanpa usul itupun Evans juga berniat membuka mata Aileen.

“Mengatakannya boleh saja tetapi jangan sampai itu hanya menjadi omong kosong,” Leopold menarik kursi mendekat.

Helena dan Sigrid membelalak.

“Aku tidak punya pendapat kalau kau memang mau mengobati luka Aileen tetapi aku tidak akan diam kalau kau melukainya,” Leopold menegaskan.

“Aku tidak akan pernah membuatnya menangis,” Evans berjanji.

“Kalau begitu, jangan menunda-nunda lagi. Besok aku akan memberimu kesempatan untuk menjelaskan isi hatimu pada Aileen,” lanjut Leopold, “Besok pagi datanglah ke sini. Aku akan meminta Aileen untuk membeli beberapa bahan dan kau bisa mengusulkan diri untuk mengantarnya. Setelah membawanya ke supermarket, kau bisa membawanya ke mana pun kau inginkan.”

“Ide bagus, Papa!” seru Sigrid.

“Masalah ini sudah selesai sekarang kalian bisa kembali bekerja,” Leopold meninggalkan mereka.

Helena tersenyum melihat suaminya pergi ke dapur dan ia berkata pada Evans, “Lihatlah, kau sudah mendapatkan restu Leopold.”

“Aku yakin tidak ada alasan kau tidak bisa mendapatkan Aileen,” Sigrid menambahkan dengan mantap.



-----0-----


Bel yang terpasang di pintu berbunyi.

Aileen yang tengah membersihkan meja langsung membalik badan. “Selamat….” Aileen tertegun melihat Evans.

“Aku tahu apa yang akan kaukatakan,” Evans mendahului Aileen. “Dan jawabanku adalah tidak ada orang yang melarangku datang. Sebaliknya, kau seharusnya bergembira langgananmu bertambah satu.”

Aileen kembali melanjutkan kesibukannya. Dalam hati ia terus bertanya-tanya apakah Evans datang untuk mengajak Sigrid berkencan. Ini adalah kali pertama Evans muncul di restoran mereka pada hari Sabtu. Satu-satunya alasan yang tepat untuk kedatangannya yang tidak biasa ini tentu saja adalah untuk mengajak Sigrid berkencan.

“Kau sama sekali tidak berubah,” komentar Evans – sengaja duduk di meja yang tengah dirapikan Aileen. “Kalau kau terus bersikap dingin seperti ini, aku tidak akan heran kalau tamu-tamu kalian kabur.”

“Jadi,” Aileen memasang senyum manis, “Anda mau pesan apa, Tuan? Apakah saya perlu mengenalkan menu istimewa kami hari ini?”

“Kau sama sekali tidak tulus,” komentar Evans.

“Cerewet!” Aileen kesal, “Mengapa tidak kaukatakan saja apa yang kau mau?”

“Kau bahkan tidak memberiku menu, bagaimana aku bisa memesan?”

“Tidak ada gunanya memberimu menu. Kau tidak pernah melihatnya.”

“Itu karena ada kau yang bisa memilih menu untukku,” Evans beralasan dan bertanya dengan senyum manis, “Hari ini menu apa yang kau usulkan?”

“Apa kau selalu makan di luar?” tiba-tiba saja Aileen tertarik.

“Aku juga tidak ingin tetapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak bisa memasak dan tidak ada yang mau memasak untukku.” Evans melihat ke dalam mata Aileen, “Apa kau mau memasak untukku? Aku dengar kau adalah tukang masak yang handal tetapi kau tidak pernah membuktikannya padaku.”

“Aku tidak punya apapun yang harus kubuktikan padamu,” Aileen menegaskan lalu ia membalik badan meninggalkan Evans.

“Kau mau ke mana?” Evans menarik tangan Aileen.

“Membuat pesananmu.”

“Aku belum memesan.”

“Aku sudah tahu apa yang kau inginkan.”

“Apa?”

“Makanan yang bisa mengenyangkan perutmu yang sedang kelaparan itu.”

“Salah,” Evans memajang senyum kemenangannya, “Aku ingin kau menemaniku.”

Mata kanan Aileen menyipit. “Sejak kapan kau menjadi genit seperti ini?”

“Sejak aku tertarik padamu,” Evans menjawab polos.

“Tidak lucu!” sahut Aileen.

Setelah kemarin mendengar segala sesuatunya dari Sigrid, Evans tidak lagi kaget mendapat jawaban itu. “Aku juga tidak sedang bergurau,” ia berkata serius.

Aileen merasa panas membakar wajahnya diiringi degup jantungnya yang bertambah cepat. “Aku akan memesan sesuatu untukmu,” ia menarik tangannya dari genggaman Evans dan memunggungi pemuda itu sebelum wajahnya terlihat.

Evans mengulum senyum senangnya. Ia yakin ia melihat pipi merah Aileen. Saat ini, baginya, itu cukup untuk membuktikan Aileen bukan tidak mempunyai perasaan apa pun padanya.

“Apa kau sudah gila!? Tersenyum-senyum sendiri seperti orang kurang waras!” Leopold tiba-tiba muncul menghardik dan ia memperingati Evans dengan tajam, “Jangan menggoda pekerjaku selama kau di sini.” Lalu ia melihat Aileen. “Kalau kau punya waktu untuk bergurau dengan tamu, mengapa kau tidak membantuku berbelanja.”

“Baik, Leopold,” Aileen melepas apronnya dengan rasa bersalah.

“Ini daftar belanjanya,” Leopold mengeluarkan secarik kertas dari dalam kantongnya dan menyerahkannya pada Aileen.

“Aku akan mengambil tas dan segera berangkat,” Aileen menerima kertas itu dan langsung melesat ke lantai atas untuk bersiap-siap. Sesaat kemudian Aileen kembali ke lantai bawah – siap untuk pergi.

“Kau sudah membawa daftar belanjamu?” Evans berdiri ketika Aileen mendekat.

Aileen melihat Evans dengan heran. Ia semakin bingung ketika Evans membuka pintu untuknya.

“Aku akan mengantarmu,” Evans menjawab kebingungan Aileen.

“Tetapi…,” Aileen melihat ke restoran yang kosong.

“Leopold mengusirku. Ia tidak ingin melihatku menggodamu di rumah makannya. Katanya aku hanya akan merusak reputasinya.” Tanpa menanti jawaban Aileen, Evans menggandeng tangan gadis itu, “Aku punya banyak waktu kosong hari ini untuk mengantarmu.”

Aileen mengikuti Evans tanpa protes lagi. Setelah ia pikir-pikir, pergi bersama Evans lebih baik daripada pergi sendiri. Ia sempat melihat daftar belanja Leopold. Panjangnya daftar belanja itu membuatnya yakin ia tidak sanggup berbelanja seorang diri. Sialnya, Sigrid yang selalu berbelanja bersamanya tidak ada di rumah. Pagi ini Sigrid telah meninggalkan rumah untuk memenuhi janji dengan temannya.

“Kau mau ke mana?” tanya Evans begitu ia sudah menyalakan mesin mobilnya.

“Ke Careffour,” jawab Aileen. Hanya itulah satu-satunya supermarket terdekat dan di sana pulalah ia sering berbelanja.

Evans tidak membuang waktu untuk mengantar Aileen. Leopold telah memberinya kesempatan ini. Ia telah membantunya membawa Aileen pergi. Ia tidak punya alasan menyia-nyiakan kesempatan ini. Untuk itu ia telah menyiapkan rencana.

“Kita sudah tiba,” Evans menghentikan mobil.

Aileen langsung melangkah keluar ketika Evans mematikan mesin mobil.

Evans tersenyum melihat gadis itu sudah menantinya di sisi mobil dengan wajah tidak sabar. Ia yakin tugas berbelanja ini akan segera usai. Semula itulah perkiraannya namun ia mulai kehabisan kesabaran ketika dua jam hampir berlalu.

Evans melihat Aileen yang berjalan perlahan-lahan di antara rak-rak peralatan dapur. Evans kesal melihat Aileen mengamati panci-panci itu satu per satu dengan teliti. Ia tidak mengerti apa yang mereka lewatkan. Semua barang pesanan Leopold sudah ada di dalam kereta yang ia bawa.

Aileen mengambil sebuah cangkir keramik dan mengamatinya dengan hati-hati.

‘Apa lagi yang ia cari di sini?’ pikir Evans lelah. Ia tidak pernah menyangka berbelanja di supermarket bisa begitu lama seperti ini. Dan yang lebih tidak pernah disangkanya adalah seorang gadis muda bisa berlama-lama berkutat di daerah perabotan rumah tangga! Ia tidak tahu mata seorang gadis bisa bersinar-sinar hanya dengan melihat barang-barang yang digemari ibu rumah tangga!

Aileen meraih cangkir di deret lain dan mengamatinya baik-baik.

“Kau ingin membeli cangkir?” Evans membuka suara.

“Aku tidak terlalu membutuhkannya tetapi cangkir-cangkir ini sangat lucu,” jawab Aileen.

“Kalau memang tidak perlu, jangan membeli.”

Aileen merenung. Ia memperhatikan cangkir-cangkir di tangannya satu per satu.

Dari pandangan matanya, Evans tahu Aileen sangat menginginkan cangkir-cangkir itu. Matanya itu tak berbeda dari para wanita yang bingung antara membeli atau tidak membeli baju yang menarik hatinya. “Kalau kau memang menginginkannya, beli saja.”

“Tetapi aku tidak tahu mana yang harus kubeli.” Lagi-lagi Aileen menimang-nimang dua cangkir itu dengan bingung.

Evans tidak tahu Aileen bisa seperti seorang wanita yang sedang berbelanja ketika menghadapi barang-barang seperti ini. Evans tidak mengerti apa yang menarik dari barang-barang rumah tangga ini.

Tiba-tiba Evans ingat Aileen pernah berkata ia lebih suka melihat-lihat peralatan dapur daripada baju-baju. Daripada department store, ia lebih suka toko buku. Evans ingat ketika menemani kedua ibu mereka berbelanja, Aileen suka mengeluh lelah. Tidak jarang ketika diajak pergi, Aileen lebih suka menanti di dalam mobil – merajut!

Evans melihat Aileen yang masih kebingungan menentukan pilihannya. Aileen memang berbeda dengan gadis-gadis yang dikenalnya tetapi ia tetap seorang gadis. Evans mengulum senyumannya. Ia menikmati ekspresi bingung Aileen. Ia menikmati kegundahan hati Aileen. Tapi ini bukan saat yang tepat untuk menikmatinya.

Tidak ingin menghabiskan lebih banyak waktu di tempat yang membosankan ini, Evans mendesak dengan tidak sabar, “Cepat, putuskan!”

Aileen termenung.

“Apa sulitnya memilih satu di antara dua benda ini!?” Evans tidak sabar melihat Aileen terus memperhatikan dua cangkir itu secara bergantian, “Kau hanya perlu mengambil mana yang lebih kausukai.”

“Aku suka keduanya.”

“Beli saja keduanya.”

“Tapi aku hanya ingin satu.”

“Pilih saja salah satu.”

“Aku suka gambar ini,” Aileen menyodorkan cangkir putih dengan lukisan pemandangan bergaya Cina kuno. “Tapi ini juga lucu.” Aileen menyodorkan cangkir dengan gambar beruang coklat.

“Kau benar-benar merepotkan! Aku suruh kau pilih salah satu, kau bilang kau suka keduanya. Aku suruh kau beli keduanya, kau bilang hanya ingin satu.”

“Apa boleh buat, aku adalah seorang Gemini.”

“Apa hubungannya dengan Gemini!? Kau dari dulu selalu begini!” Evans kesal. Kalau ia tidak segera bertindak, mereka bisa menghabiskan waktu seharian di sini. Evans mengambil cangkir beruang dari tangan Aileen. “Itu lebih cocok untukmu.”

Aileen kaget bercampur bingung.

“Cepat! Kita sudah tidak punya waktu lagi,” ia menggandeng tangan Aileen dan tangannya yang lain mendorong kereta belanja mereka ke kasir.

Tanpa memberontak, Aileen ikut mengantri di kasir untuk membayar belanjaan Leopold dan cangkir itu.

“Simpan ini,” Evans menyodorkan sebuah cangkir pada Aileen ketika gadis itu menyimpan cangkirnya dengan hati-hati.

Aileen tertegun melihat cangkir beruang itu.

“Cepat! Kita sudah tidak punya waktu,” Evans mendesak dan mengambil tas belanjaan Aileen. Ia sudah tidak sabar sehingga begitu Aileen menyimpan cangkir itu di dalam tasnya, ia segera menarik tangan gadis itu.

“Apa kau punya urusan penting?” tanya Aileen ketika mereka sudah berada di dalam mobil.

“Ya,” jawab Evans. Belum sempat Aileen bereaksi, ia sudah melanjutkan, “Perutku sudah minta diisi.”

Aileen teringat tujuan semula kedatangan Evans di restoran keluarga Wilder. “Aku akan menyiapkan makanan untukmu begitu kita tiba,” katanya. “Tidak perlu. Kita tidak akan kembali ke sana.”

Aileen kaget. “Apa!? Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku.” Ini adalah jam kerjanya. Ia tidak pernah meninggalkan restoran ketika ia sedang bekerja kecuali atas perintah Leopold seperti saat ini.

“Aku sudah meminta ijin Leopold,” Evans menerangkan, “Hari ini kau boleh pergi bersamaku sepanjang hari. Sigrid akan menggantikan tugasmu.”

Aileen tidak pernah mendengar hal ini. Ia tidak tahu apa yang sedang direncanakan Evans tetapi tiba-tiba saja inderanya memberitahunya Evans tidak merencanakan ini seorang diri.

Leopold yang tidak pernah menyukai pria-pria yang mencoba mendekatinya, tidak mungkin memberi Evans ijin dengan mudahnya. Bahkan setelah merestui Geert, Leopold tetap tidak suka bila Geert menggodanya apalagi membawanya pergi seharian.

Bagi Leopold, merestui dan mengijinkan adalah hal yang berbeda. Ia memang menutup sebelah mata ketika Geert mencoba menarik perhatiannya tetapi ia tidak pernah suka ketika ia menjawab godaan Geert. Seperti yang dikatakannya pada Evans, ia tidak mengijinkan tamunya menggoda pegawainya karena itu hanya akan merusak reputasi restoran yang dibangunnya dengan susah payah. Tidak jarang Leopold memanggilnya ketika ia tidak bisa menoleransi sikap Geert. Di lain waktu, ia akan mengusir Geert dan dirinya. “Kalau ingin berpacaran, lakukan di luar! Jangan mencemari tempatku!” katanya tiap kali.

Aileen sama sekali tidak curiga ketika Leopold menyuruhnya berbelanja. Ini adalah satu dari sekian cara Leopold untuk menyelamatkannya dari godaan para tamu lelaki. Ia juga tidak terlalu heran ketika Leopold membiarkan Evans menawarkan bantuan. Leopold sudah tahu Evans adalah sepupunya. Leopold juga sadar ia tidak mempunyai alasan untuk mencegah Evans berhubungan dengan saudaranya. Tetapi, mengijinkan Evans untuk membawanya pergi sepanjang hari?

Leopold yang konservatif itu tidak mungkin memberi Evans ijin! Leopold selalu menekankan pada Geert untuk memulangkannya sebelum jam sembilan malam. Leopold memasang wajah masam ketika ia pulang larut beberapa hari lalu. Ini tidak mungkin!

Sigrid yang selalu mempunyai acara bersama teman-temannya di hari Sabtu juga tidak mungkin mempunyai waktu luang untuk menggantikan tugasnya. “Tidak mungkin,” Aileen mengutarakan keragu-raguannya.

“Kau tidak percaya padaku?” Evans bertanya. Ia mengeluarkan handphonenya. “Kau mau menanyakannya langsung?” ia menyerahkan handphonenya.

“Tidak,” Aileen cepat-cepat menolak, “Aku percaya padamu.”

Evans tersenyum puas.

Aileen menyadari mobil menjauhi restoran Leopold. “Kita tidak pulang dulu untuk menaruh barang belanjaan Leopold?”

“Tidak mengapa,” jawab Evans, “Barang-barang itu tidak akan rusak.”

Aileen melihat kantong-kantong kertas di bangku belakang. Pantas saja Leopold tidak menyuruhnya barang yang perlu segera disimpan di dalam lemari es.

Aileen kembali melihat Evans.

Pemuda itu sedang tersenyum gembira!??

Aileen tidak yakin akan penglihatannya.

“Ada apa?” tanya Evans menyadari Aileen tengah memperhatikannya.

“Tidak ada apa-apa,” Aileen segera memalingkan wajah. Ia pasti telah salah melihat. Evans tidak mungkin gembira hanya karena berhasil mengajaknya pergi. Ia pasti berpikir terlalu banyak. Leopold tidak punya alasan untuk membantu Evans. Mereka juga tahu pernikahan antar saudara bisa menyebabkan mutasi DNA yang berakibat buruk pada keturunan mereka.

Mutasi DNA… Aileen termenung. Satu lagi alasan kuat untuk tidak jatuh cinta pada Evans, muncul. Dengan ini apa ia masih buta? Tidak mungkin! Aileen tidak ingin keturunannya cacat hanya karena keegoisannya.

Sekarang ia pasti bisa membunuh perasaan yang belum berkembang ini. Sekarang ia pasti bisa melihat Evans hanya sebagai seorang kakak! Tak sampai satu jam kemudian, perasaan itu lenyap dari hati Aileen.

Aileen mendesah. Ini adalah satu dari sekian penyebab mengapa sampai sekarang ia tidak pernah berpacaran. Gemini, sang anak kembar, bukanlah orang yang setia. Ia mudah jatuh cinta dan mudah berpaling hati.

Kapankah ia akan menemukan cinta sejatinya? Aileen ragu. Dengan sifatnya yang seperti ini, ia yakin ia tidak akan pernah menemukannya. Lagipula, lelaki manakah yang mampu bertahan dengan sifatnya yang berubah-ubah ini?

Aileen termenung.

Evans sudah bosan dengan keadaan diam mereka. Sejak mereka di dalam mobil, Aileen sudah berdiam diri. Pada awalnya ia tidak mempedulikannya tetapi lama kelamaan ia mulai merasa risih. Ia merasa Aileen sama sekali tidak menganggap keberadaannya!

Selama menyantap makanannya, Aileen berdiam diri. Sekarang setelah selesai menyantap makan siangnya, ia melamun.

Tangan kiri Aileen menopang dagunya sementara tangannya memainkan sendok dalam gelas. Pandangannya menerawang keluar. Entah apa yang tengah dipandanginya.

Evans menggerak-gerakkan tangan di depan wajah Aileen tapi gadis itu sama sekali tidak berkedip juga menoleh. “Apa yang kaulamunkan?”

Aileen tidak menjawab.

“Kau melamunkan Geert?”

Aileen tidak membuka suara.

Evans kesal. “Untuk apa kau terus memikirkannya. Toh dia sudah mengkhianatimu.”

Aileen terperanjat. Dengan matanya yang membelalak lebar, ia bertanya, “Kau… tahu?”

“Aku tidak buta! Aku tidak tuli! Semua orang tahu Balkanende mengkhianatimu.”

“Dia tidak mengkhianatiku,” Aileen setengah berbisik. Setiap kali diingatkan hal ini, hatinya selalu sakit. Entah kapan perasaan ini akan hilang. Evans semakin kesal mendengarnya. “Mengapa kau terus berpihak padanya!?”

Dengan suara tenangnya, Aileen membenarkan, “Aku tidak pernah berpihak pada siapa pun. Aku hanya memberitahu kenyataan.” Ia tidak punya alasan untuk berbicara atas nama Geert. Ia juga tidak perlu menutupi kesalahan Geert karena pemuda itu tidak pernah melakukan kesalahan yang dituduhkan padanya.

“Aileen!” protes Evans, “Ada apa dengan otakmu!? Dia sudah mengkhianatimu! Untuk apa kau terus membelanya!? Apa kau sudah sedemikiannya butanya hingga otakmu menjadi tumpul. Pria itu tidak memiliki kelebihan apapun yang pantas untuk kau pikirkan!!”

Mata jernih Aileen menjadi sendu. “Jangan bicarakan dia.”

“Mengapa tidak?” sahut Evans, “Kau di sini tapi pikiranmu melayang ke sana.”

Aileen menatap Evans. “Lalu mengapa?” tanyanya polos.

“Aku tidak suka!” potong Evans, “Pria itu tidak lebih baik dariku. Di sini aku berusaha memulihkanmu tetapi kau tidak memberi kesempatan dirimu sendiri untuk pulih.”

Aileen membelalak. Inikah alasannya? “Kau tidak perlu melakukannya. Aku tidak pernah memikirkan Geert.”

“Alasan!” Evans tidak mengerti mengapa Aileen masih terus membela Geert. “Kalau kau memang mau memikirkan dia, lebih baik kau pergi!”

Aileen menatap Evans dengan mata sendunya. Ia mengambil tas di sisinya dan dengan tenang, ia berdiri.

Evans panik. “Kau mau ke mana!?” ia menarik tangan Aileen.

Aileen melihat Evans. “Jalan-jalan. Aku bosan di sini,” ia memberikan jawaban yang terlintas di kepalanya.

“Aku juga bosan,” Evans ikut berdiri.

Aileen menangkap nada lega dalam suara Evans tapi ia diam saja. Ia juga mendiamkan Evans yang mengapit tangannya. Aileen sadar mereka berjalan bergandengan seperti sepasang kekasih tapi ia tidak memusingkannya. Sejujurnya, saat ini ia tidak mempunyai ruang kosong di kepalanya untuk memikirkan hal itu.

Aileen tidak dapat menghalangi kehangatan yang menghangatkan dadanya. Evans adalah pemuda yang seperti ini. Tanpa segala pesonanya pun, ia pasti dapat dengan mudah mendapatkan wanita yang diincarnya. Karena itu pula ia tidak pernah bosan mengagumi Evans. Walaupun sekarang ada satu keburukannya yang membuatnya bosan, sesaat kemudian pasti ada kelebihannya yang kembali bersemi.

“Evans,” Aileen merasa ia perlu mengutarakannya, “Kau adalah kakak yang penuh perhatian. Aku selalu menyukaimu.” Hatinya terasa hangat. Kesedihan yang sesaat lalu masih menggerogoti hatinya sekarang sudah hilang.

Langkah kaki Evans terhenti. Matanya yang melebar menatap tajam Aileen.

Aileen tersenyum. “Aku senang mempunyai kakak sepertimu.”

Tangan Evans mengepal di sisinya. Ia merasa amarah di dadanya sudah berada di pangkal tenggorokannya.

Dengan wajahnya yang polos dan suaranya yang tanpa dosa, Aileen kembali menekankan, “Selamanya kau adalah kakak yang paling kusayangi.”

Evans merasa paku ditancapkan ke hatinya.

“Sekarang kita akan ke mana?” Aileen bertanya manja.

Evans menyerah. Ia tidak mengerti bagaimana harus bereaksi. Gadis ini benar-benar seorang penyihir. Di suatu saat ia dengan wajah malaikatnya, menancapkan paku tepat di hati korbannya. Di saat lain ia dengan wajah genitnya menggaet korbannya.

“Evans?” Aileen menatap Evans dengan mata kekanak-kanakannya.

Ini adalah salah satu bagian dari sang Gemini murni yang membuatnya tidak dapat berhenti memikirkannya.

“Kau punya tempat yang ingin kaukunjungi?” tanya Evans, “Kalau kau tidak punya, aku yang memutuskan.”

“Tidak ada,” jawab Aileen.

“Maka,” Evans mengambil tangan Aileen ke lengannya, “Aku yang mengatur kencan ini.”

Aileen hanya tersenyum lebar. Tidak ada salahnya membiarkan mimpi masa kecilnya terkabul.



*****Lanjut ke chapter 7

4 comments:

  1. Nunggu lanjutan y. :D

    ReplyDelete
  2. Kelanjutan aileen selalu ku tunggu. Rela deh bolak balik nengok blog ini buat liat udh d update apa blum aileen,a..:D

    ReplyDelete
  3. Oops... Dua minggu terakhir ini saya disibukkan dengan kunjungan keluarga dan masalah pribadi. Saya pikir saya sudah mem-post lanjutan Aileen. :P
    Terima kasih Iyoy Djarot atas commentnya yang mengingatkan saya atas kelanjutan Aileen.

    Saya telah mem-post Aileen chapter 7

    Cheers,
    Sherls

    ReplyDelete