Saturday, October 11, 2014

Aileen-Chapter 5

“Kau bertengkar dengan Aileen!?” seru Sigrid tidak percaya.

“Ya,” Evans menegaskan, “Aku menyesal telah bertengkar dengannya. Seharusnya aku tidak meninggalkannya begitu saja di taman. Sekarang aku merasa tidak punya muka bertemu dengannya.”

“Aileen tidak menyebut apa pun tentang pertengkaran kalian,” gumam Sigrid.


Beberapa hari lalu ia memang heran ketika Evans kembali seorang diri setelah berkata akan menjemput Aileen. Evans tidak masuk ke dalam restoran dan langsung menyetir pergi mobilnya. Kala itu Sigrid hanya berpikir ia tidak bertemu Aileen tetapi ketika ia menanyakannya pada Aileen yang baru pulang ketika hari menjelang gelap, gadis itu berkata, “Aku bertemu dengannya. Kami sempat berjalan-jalan ke taman.” Sigrid tidak berpikir banyak setelah itu. Ia hanya menduga Evans terburu-buru kembali ke kantornya sehingga ia tidak dapat menemani Aileen lebih lama. Ia kembali heran ketika malamnya dan beberapa malam setelahnya Evans tidak muncul. Ia sudah mengutarakan keheranannya itu pada Aileen tetapi gadis itu hanya berkata, “Tidak tahu.”

Sigrid menatap Evans penuh ingin tahu, “Apa yang kalian pertengkarkan?”

“Tidak ada.”

“Lalu mengapa kalian bertengkar!?” Sigrid mulai tidak sabar.

“Aku hanya marah karena ia terus-terusan berpikir aku mengejarmu.”

“Dan kau meninggalkannya begitu saja di taman sampai malam hari!?”

Evans kaget. “Aileen terus berada di sana sampai malam!?”

“Ya. Ia berkata padaku ia membaca buku di taman kota.”

Wajah Evans memucat. Tidak seharusnya ia meninggalkan Aileen. Apa yang harus dilakukannya bila terjadi sesuatu pada Aileen? Apa yang harus dipertanggung jawabkannya bila setelah ia pergi seseorang menggoda Aileen? Menggoda Aileen…? Wajah Evans semakin pucat. Benar! Mengapa ia tidak pergi begitu saja tanpa berpikir!? Bagaimana kalau saat itu Aileen digaet pria lain!? Mengapa ia begitu ceroboh!? Ia tidak ingin ada pria lain yang mendekati Aileen tetapi ia meninggalkan Aileen begitu saja di tempat umum seperti itu!?

Sigrid tersenyum geli melihat perubahan wajah pemuda tampan di depannya. “Kau begitu mempedulikan pendapat Aileen. Itu artinya kau mempunyai perasaan khusus padanya.”

“Benar,” Evans tidak menyangkal. “Entah sejak kapan aku tidak ingin lagi menjadi sekedar sepupu.”

“Sejak awal kalian memang bukan sepupu,” Sigrid membenarkan.

“Benar,” lagi-lagi Evans tidak menyangkal, “Mungkin sejak dulu aku sudah terpikat padanya tetapi aku terus menyangkal dengan alasan itu. Mungkin juga aku takut mengakui perasaanku sehingga aku terus menegaskan kami adalah sepupu. Kali ini aku tidak dapat menyangkalnya lagi. Aku tidak suka membayangkan pria lain mendekati Aileen. Aku tidak suka melihat ia terus memikirkan Geert.”

“Karena itu kau harus bisa membuat Aileen melupakan Geert,” Helena bergabung dalam percakapan mereka.

Evans terperanjat oleh kehadiran tiba-tiba wanita itu.

“Aku mendukungmu,” ia tersenyum. “Jadi, apa yang akan kaulakukan?” ia duduk di kursi kosong di meja mereka.

“Aku tidak tahu,” Evans putus asa, “Kurasa Aileen sudah membenciku.”

“Sebaliknya, aku rasa ia sama sekali tidak memikirkanmu.”

Pernyataan Sigrid itu membuat Evans semakin putus asa.

“Itu buruk,” Helena sependapat dengan keputusasaan Evans. “Itu tandanya kau sama sekali tidak berarti baginya.”

Evans semakin terpuruk.

“Jangan khawatir,” hibur Sigrid, “Aku yakin kau pasti dapat merebut hati Aileen. Ia pernah jatuh cinta padamu.”

“Aileen pernah jatuh cinta pada Evans!?” Helena kaget, “Kapan? Mengapa aku tidak pernah mendengarnya?”

“Benar. Aileen mengatakannya sendiri padaku. Ia jatuh cinta pada Evans ketika ia masih kecil.”

“Lalu bagaimana perasaannya pada Evans sekarang?”

“Aku tidak tahu. Ia tidak memberitahuku. Ia hanya berkata itu adalah masa lalu.”

Helena beralih pada Evans.

“Aku juga tidak tahu,” jawab Evans. Andai ia tahu, ia tidak akan pusing seperti ini.

“Hmmm,” Helena berpikir keras, “Ini artinya tidak sulit membuat Aileen jatuh cinta padamu. Yang kita perlukan sekarang adalah kesempatan.”

“Kesempatan apa pun itu, aku tidak akan membiarkan kau menyentuh Aileen!”

Mereka dikejutkan oleh bentakan keras dari dalam dapur.

“Jangan mengira karena tidak ada pengunjung, kalian bebas mengobrol di tempat ini! Kau juga demikian!” ia menuding Evans, “Sekarang adalah jam kerja. Mengapa kau kabur dari kantormu!?”

Sigrid tertawa geli. “Papa masih saja tidak berubah.”

“Jangan kaupikirkan perkataannya,” Helena sependapat, “Ia terlalu mengkhawatirkan Aileen.”

“Lalu apa yang harus kita perbuat?” Sigrid kembali serius.

“Tentu saja memikirkan kesempatan untuk mereka berdua,” jawab Helena.

“Kau bisa menjemput Aileen hari ini!” Sigrid mengusulkan, “Sebentar lagi ia pulang.”

Itu adalah ide bagus tapi Evans tidak berani menjamin ia tidak akan memperlakukan Aileen seperti saat itu lagi.

“Aku punya ide yang lebih bagus,” sahut Helena.

“Apa?” Sigrid tertarik.

Ketika ketiganya sibuk merundingkan rencana mereka, Aileen, sang sasaran rencana mereka, tengah mengawasi mereka dari seberang jalan.

Aileen memperhatikan mereka berbicara dengan akrab. Senyum di wajah mereka menunjukkan mereka tengah membicarakan hal gembira.

Aileen meninggalkan tempat itu.

Ini adalah hal baik.

Evans sudah mendapatkan Sigrid. Ia tidak memerlukan lagi bantuannya. Karena itulah ia tidak pernah muncul lagi tiap malam. Tentu saja ia tidak perlu muncul tiap malam kalau ia bisa bertemu dengan Sigrid di siang hari tanpa kehadirannya.

Ini adalah hal baik.

Ketika ia belum jatuh cinta pada Evans, ia sudah patah hati. Sekarang tidak akan sulit menutup hatinya dan menganggap Evans sebagai kakaknya, seperti yang ia rasakan sebelum ia jatuh cinta pada Evans seperti masa lalu.

Aileen duduk di taman kota.

Hari ini adalah hari yang cerah untuk melupakan segala kegalauan pikirannya. Udara di bawah pohon rindang ini memang baik untuk menyejukkan perasaannya yang kacau balau. Hari ini ia ingin menghabiskan waktu di sini membaca buku.

Aileen merasa ia telah menjadi seorang pembohong besar ketika berkata pada Sigrid bahwa ia tidak peduli mengapa Evans tidak pernah datang lagi ke restoran mereka. Dibandingkan Sigrid, ia jauh lebih penasaran. Ia takut ia telah membuat Evans sangat marah. Ia takut Evans tidak ingin berhubungan lagi dengannya.

Sekarang sudah terbukti ketakutannya itu tidak berlebihan. Hanya saja Evans enggan bertemu dengannya bukan karena marah tetapi karena malu. Aileen menutup bukunya dengan kesal. Apa gunanya ia membuka buku kalau pikirannya tidak bisa terpusat pada bukunya? Apa gunanya ia berusaha memusatkan pikiran pada deretan tulisan kabur kalau pikirannya melayang jauh.

Aileen menengadah. Matanya menangkap salah satu awan putih di langit.

Mungkin yang terbaik baginya kali ini adalah membiarkan pikirannya melayang bersama awan di langit.

“Sejak kapan kau punya hobi melamun?”

Aileen terperanjat.

“Untukmu,” Evans mengulurkan crepe.

Aileen menerimanya dengan heran. Ia memperhatikan pemuda yang duduk di sisinya itu sambil memakan crepenya dengan nikmat. “Mengapa kau di sini?” tanyanya heran.

“Menjemputmu,” jawab Evans, “Aku khawatir. Kata Sigrid hari ini kau hanya ada pelajaran sampai tengah hari. Sekarang sudah hampir pukul lima tetapi kau masih belum pulang juga.”

Aileen kaget. Ia baru menyadari langit sudah gelap.

“Apa yang sedang kaulamunkan?” tanya Evans tidak senang.

“Tidak ada,” jawab Aileen jujur.

Evans tidak percaya. Ia tahu Aileen pasti melamunkan Geert Balkanende. Apalagi yang bisa membuat Aileen berdiam diri menatap langit tanpa menyadari waktu kalau bukan pria sial itu?

Aileen kembali merenung. Mengapa Evans bisa di sini? Mengapa Evans menjemputnya? Dia tidak mungkin tahu di mana ia berada. Dia tidak mungkin mengikutinya, bukan?

Evans melihat Aileen kembali melamun. Ia semakin yakin gadis itu memikirkan Geert.

Evans kesal. Balkanende sudah mengkhianatinya tetapi mengapa Aileen tidak berhenti memikirkannya? Sekarang di sisinya ada pria yang memperhatikannya, tetapi mengapa hatinya terus terpaku pada pria yang tidak mungkin kembali lagi padanya? Mengapa Aileen tidak berhenti memikirkan Geert Balkanende!? Mengapa baik Sigrid maupun Helena mengatakan mudah membuat Aileen berpaling dari pria itu? Apa pula jaminan mereka Aileen akan jatuh cinta padanya? Ia sudah berdiri lebih dari setengah jam di seberang Aileen, memperhatikan gadis itu dari tempatnya yang terbuka. Ia juga telah duduk di sisi gadis itu untuk sepuluh menit terakhir. Gadis itu bukan hanya tidak menyadari keberadaannya tetapi juga tidak menyadari bahaya di sekitarnya.

Evans gemas pada Aileen. Ia cemburu pada Geert. Ia marah pada cinta buta Aileen.

Kepala Aileen hanya tertuju pada Geert Balkanende seorang sehingga ia sama sekali tidak menyadari berapa banyak pria yang sudah memperhatikannya. Entah sudah berapa pria yang sudah menggoda Aileen bila ia tidak memutuskan untuk duduk di sisi gadis itu.

Bukan penampilan Aileen yang membuat gadis itu menjadi pusat perhatian. Dibandingkan eksentrik, penampilan Aileen terkesan biasa bahkan agak puritan. Tidak ada satu hiasan maupun gambar di kaos polos ketatnya yang berlengan panjang dan berleher tinggi. Demikian pula rok satinnya yang juga berwarna tunggal. Suatu pada gadis itulah yang membuatnya selalu menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada.

Evans bersyukur ia mengikuti saran Sigrid untuk mencari Aileen setelah gadis itu tidak muncul-muncul juga.

Aileen menggigit crepe coklatnya sambil melirik Evans. Pikirannya, tanpa dapat dihentikannya mulai melayang tinggi. Ia membayangkan Evans menyadari ia tengah memperhatikannya dari seberang restoran. Takut ia salah paham, Evans langsung mengejarnya.

Hati Aileen bersemi oleh imaginasi liarnya. Tetapi, ia kemudian menyadari, itu tidak mungkin. Pertama, Evans duduk membelakangi jendela restoran yang mengarah ke jalan. Kedua, Evans tidak punya alasan mengejarnya. Ketiga, ia bukan tipe gadis yang bisa membuat Evans melakukan hal seperti ini, Aileen menyadarinya dengan putus asa.

Walaupun menyakitkan, Aileen tidak bisa menyangkal ia bukan gadis cantik yang Evans gemari. Ia bukan gadis yang suka mengikuti mode. Ia adalah gadis pendiam yang suka mengkhayal. Ia adalah tipe yang bertolak belakang dengan para mantan Evans. Evans menyukai gadis menyenangkan seperti Sigrid.

Setelah ini, Aileen yakin, ia pasti dapat melupakan Evans sebagai seorang pria. Ia pasti dapat memandang Evans sebagai seorang kakak, kakak lelaki yang selalu ia inginkan.

Sesuatu menggantung di pundaknya dan menutupi punggungnya. Aileen melihat Evans dengan terkejut. Tangannya memegang jas Evans yang sudah berpindah di pundaknya. Ia tidak tahu kapan Evans melepas jasnya tetapi ia menyadari jas itu sudah berpindah ke pundaknya.

“Pakai!” Evans memerintah.

“Aku tidak dingin,” Aileen menjawab spontan.

“Engkau memang tidak dingin tetapi tubuhmu kedinginan,” dan sebelum Aileen sempat memberikan tanggapan, Evans melanjutkan, “Walaupun sekarang sudah pertengahan musim semi, udara malam hari juga dingin.” Evans mengambil crepe di tangan Aileen yang tinggal setengah. “Pakai sekarang juga,” ia menegaskan, “Sebelum kau masuk angin.”

Aileen menurut. Hatinya kembali menari-nari. Apakah ia benar-benar bisa melupakan Evans ketika pemuda ini terus melakukan tindakan yang mudah membuatnya salah sangka?

Tidak akan bisa, Aileen mengetahui jawabannya.

Evans tersenyum memperhatikan Aileen melipat lengan jasnya yang terlalu panjang itu. Gadis itu tampak semakin mungil dalam jasnya yang besar. Dibandingkan gadis seusianya, Aileen memang lebih pendek dan kurus.

Evans menyerahkan kembali crepe Aileen ketika gadis itu sudah siap.

“Terima kasih,” Aileen menerika crepenya. Dalam hati ia mengakui kebenaran di balik pernyataan Evans. Sekarang ia merasa lebih hangat. Dengan keadaannya yang nyaman ini, Aileen yakin ia bisa duduk lebih lama di tempat ini.

Evans juga menyadarinya beberapa saat kemudian.

Bintang sudah bermunculan di langit malam yang kelam. Angin malam yang dingin juga sudah berpatroli. Namun, Aileen masih tetap duduk memandang langit.

“Kau mau di sini sampai kapan?”

Aileen terkejut oleh bayang-bayang orang di depannya.

“Aku sudah lapar.”

“Kau bisa meninggalkanku sendiri di sini.”

Evans tidak menyukai ide itu. “Kalau kau begitu ingin melihat bintang, besok aku akan membawamu ke planetarium.”

“Tidak perlu. Aku tidak terlalu ingin ke planetarium,” Aileen menolak halus namun Evans tidak mendengarnya. Malahan, ia berkata penuh antusias sambil menarik tangan Aileen,

“Ayo cari sesuatu untuk dimakan.”

Aileen segera meraih tasnya dan mengikuti langkah-langkah lebar Evans dengan kewalahan. Dalam hati, ia merasa kesal oleh kekeraskepalaan Evans. Mengapa pemuda ini tidak bisa membiarkannya? Mengapa Evans harus merepotkan diri dengan mengurusinya? Apa ia melakukan ini semua karena permintaan Sigrid? Apa Evans melakukannya demi mendapat bantuannya dalam mendekati Sigrid?

Kini Aileen semakin yakin ia pasti dapat melupakan perasaan berdebar-debar ini pada Evans. Ia pasti dapat menghentikannya seperti ia yang selalu terjadi pada pria-pria lain yang membuatnya terkesan kemudian tidak disukainya karena satu sifat mereka yang tidak dapat diterimanya. Namun sebelum itu, Aileen yakin Evans pasti sudah mendapatkan Sigrid.

“Tumben kau pulang larut,” komentar Helena ketika ia tiba.

Aileen melihat Sigrid dan Helena sedang menonton televisi di ruang keluarga. Sementara itu, Leopold tampak jelas tidak dalam suasana hati gembira.

Rasa bersalah langsung memenuhi Aileen. Ia sudah meminta Evans untuk tidak mencari restoran yang jauh tetapi pemuda itu bukan hanya tidak mendengarnya tetapi juga menahannya. Evans memaksanya berkeliling sebelum mengantarnya pulang.

Aileen merasa ia sudah cukup merepotkan keluarga Wilder dalam tiga tahun terakhir ini. Ia tidak ingin semakin membuat mereka repot dengan menantinya pulang. Sekarang ia tidak dapat berbuat apapun kecuali berkata, “Maaf.”

“Evans membawamu ke mana?” Sigrid langsung bertanya antusias.

Aileen terperangah mendengarnya.

“Apa Evans membawamu berjalan-jalan sampai sekarang?” Sigrid terus bertanya, “Ke mana saja kalian pergi? Apa saja yang kalian lakukan? Apa Evans membawamu ke restoran mahal? Apa ia membawamu berbelanja barang bermerek?”

Sekarang Aileen yakin ia tidak salah menangkap nada Sigrid.

“Duduklah. Kami ingin mendengar ceritamu,” Helena menyambung dengan tidak kalah antusias.

Begitu Aileen duduk di depan kedua wanita itu, Leopold berdiri.

Aileen memperhatikan Leopold yang pergi dengan memendam rasa kesal di hatinya.

“Jangan kau hiraukan dia.” Dengan tidak sabar, Helena mendesak, “Cepat ceritakan apa saja yang kalian lakukan.”

Aileen tidak tahu apa yang patut ia ceritakan dari pertemuannya dengan Evans hari ini. Ia tidak mengerti mengapa hal ini menjadi sesuatu yang menarik. Ini hanyalah pertemuan antar dua sepupu. Apakah, Aileen berpikir, mereka khawatir Evans memperlakukannya lebih dari seorang sepupu? Atas dasar pikiran itu, Aileen menceritakan serinci mungkin mulai dari Evans menemukannya di taman, memaksanya bergabung untuk makan malam di luar kota, kembali ke kota ini, berjalan-jalan di taman hingga pada akhirnya mengantarnya pulang karena Aileen terus mengeluh hari sudah larut.

“Tidak kuduga ia benar-benar mengajakmu ke restoran mewah,” Sigrid tidak dapat menyembunyikan kekagumannya. “Aku hanya bergurau waktu mengusulkannya. Aku lebih tidak percaya ia sampai membawamu ke luar kota hanya untuk makan malam.”

Aileen semakin tidak mengerti situasi ini.

“Aileen juga tidak terduga,” Helena turut berkomentar, “Aku tidak menyangka kau akan ikut begitu saja. Aku jadi ingat waktu Geert mengejar Aileen. Geert sering mengajak Aileen pergi tetapi Aileen terus menolak.”

“Aku tidak ikut dengan sukarela. Evans memaksaku,” Aileen segera membenarkan.

“Bukankah sudah kubilang, Mama, Aileen pasti dapat dengan cepat jatuh cinta pada Evans dan melupakan Geert,” dan ia mengingatkan, “Ia pernah jatuh cinta pada Evans.”

Aileen tidak suka kedua wanita ini mengambil kesimpulan sendiri tanpa mempedulikan keberadaannya. “Itu tidak mungkin!” sahutnya, “Kami adalah sepupu.”

“Tetapi kau pernah jatuh cinta padanya,” Sigrid tidak sependapat.

“Itu dulu! Lagipula aku tidak benar-benar jatuh cinta padanya. Aku hanya berpikir aku jatuh cinta padanya.”

“Kau ikut dengannya tanpa penolakan,” Sigrid terus menyerang Aileen.

“Itu karena Evans memaksaku!” Aileen mempertahankan diri.

“Geert juga sering memaksamu tetapi kau selalu bisa menolak,” Sigrid tidak mau dikalahkan begitu saja. “Begitu juga dengan pria-pria yang lain!”

“Itu… itu….” Aileen sadar ia tidak dalam posisi di atas angin.

Sigrid tersenyum penuh kemenangan.

“Tampaknya Evans bukan orang yang mudah bagimu,” Helena tersenyum penuh arti.

“Itu karena ia adalah orang yang suka memaksakan kehendaknya dan mau menang sendiri,” Aileen akhirnya menemukan pembelaan diri. “Aku kasihan pada sekretarisnya. Direktur yang egois seperti itu pasti tidak mudah diatur dan selalu merepotkan.”

“Tunggu!” Sigrid menghentikan, “Direktur katamu.”

“Ya, ia adalah seorang direktur.”

Mata Sigrid membelalak lebar. “Aku kira ia hanya pegawai kantoran biasa.”

“Apa menurutmu ada pegawai kantor yang terus berkeliaran di luar jam kerja?”

“Mungkin saja ia adalah seorang sales yang bertugas keliling.”

“Tidak,” Aileen membenarkan Sigrid, “Ia adalah seorang direktur egois yang suka memaksa.”

“Aku tidak menduga ia sudah menjadi direktur di usia semuda ini,” gumam Helena. “Di perusahaan manakah ia bekerja?”

“Aku kurang tahu,” Aileen menjawab jujur, “Mungkin di salah satu perusahaan keluarga Renz di sini.”

“Keluarga Renz!?” Sigrid terperanjat. “Evans adalah Renz, keluarga kaya raya yang mempunyai banyak perusahaan di berbagai negara!?”

“Kau sudah tahu ia adalah seorang Renz, bukan?” Aileen ingat ia memberitahu Sigrid nama Evans lengkap dengan nama keluarganya ketika Sigrid bertanya padanya.

“Benar. Tetapi Renz bukan hanya mereka.”

“Evans memang bukan pemuda biasa,” gumam Helena.

“Aileen!” Sigrid mengagetkan Aileen dengan panggilannya yang mendadak itu. “Kalau kau menikah dengan Evans, kau akan menjadi istri seorang milyader. Waktu itu, jangan lupakan aku.”

“Jangan mengkhayal. Itu tidak mungkin terjadi. Ingat, kami adalah sepupu. Yang terpenting, Evans tertarik padamu.”

“Tertarik padaku? Apa yang kaukatakan?”

“Evans tertarik padamu,” Aileen mengulangi, “Itu alasan mengapa ia terus muncul di sini.”

“Kau salah paham, Aileen. Ia tidak tertarik padaku. Ia jatuh cinta padamu.”

“Benar. Itu benar, Aileen,” Helena turut menekankan.

Aileen melihat keduanya dengan tidak percaya.

Tiba-tiba saja semuanya menjadi jelas. Alasan mengapa Evans terus mengusiknya walau ia jatuh hati pada Sigrid adalah karena kesalahpahaman ini. Evans tentu telah kehabisan akal meluruskan hal ini sehingga ia berpaling pada orang ketiga yang dekat dengan mereka. Tentu saja orang itu tak lain adalah dirinya. Dan alasan mengapa hingga kini Evans tidak pernah membuka mulut adalah karena ia malu. Dengan reputasinya yang panjang itu, ia tidak berhasil meluruskan kesalahpahaman wanita yang diincarnya.

“Evans akan sedih mendengarnya,” komentar Aileen.

Baik Sigrid maupun Helena melihat Aileen tanpa kata-kata.

“Maaf aku tidak dapat mengobrol dengan kalian lebih lama lagi. Aku sudah mengantuk,” Aileen mengundurkan diri, “Selamat malam.”

“Selamat malam,” jawab keduanya serempak.

Mereka menanti hingga yakin Aileen sudah masuk kamarnya sebelum memulai perundingan rahasia mereka.

“Kurasa rencana ini tidak akan berjalan semudah anggapan kita,” Helena membuka perundingan.

“Benar,” Sigrid sependapat, “Aku tidak menyangka Aileen bisa salah paham sejauh ini.”

“Kita harus mengubah rencana kita.”

“Kurasa kita harus memulainya dengan mencari tahu bagaimana perasaan Aileen terhadap Evans. Tetapi, bagaimana?”

“Kita suruh Evans untuk berhenti menghubungi Aileen,” Helena mengusulkan dengan penuh antusias, “Suruh dia untuk berhenti datang ke sini. Aku yakin Aileen pasti akan bereaksi.”

“Rencana itu tidak akan berjalan. Evans sudah tidak muncul di sini untuk beberapa hari dan Aileen tetap bersikap normal.”

“Mungkin ia menyembunyikan perasaannya.”

“Tidak mungkin. Aileen tidak pandai menyembunyikan perasaan kesalnya.”

“Kau benar,” Helena kecewa menyadari idenya gagal total. Apakah ada cara bagus lain untuk mengetahui perasaan Aileen? Baik ia maupun putrinya yakin Aileen, sedikit banyak, mempunyai perasaan khusus terhadap Evans. Namun, Aileen tidak mengaku bahkan terus menyangkalnya. Mengapa? “Sigrid, menurutmu, apakah mungkin Aileen takut terluka lagi?”

Sigrid memperhatikan ibunya.

“Apakah mungkin Aileen takut Evans mengkhianatinya seperti Geert?”

“Mungkin,” Sigrid sependapat, “Apalagi Aileen pernah berkata Evans adalah seorang playboy yang tidak pernah bertahan lama dengan satu wanita.”

“Ini tidak akan mudah,” gumam Helena.



*****Lanjut ke chapter 6

No comments:

Post a Comment