Saturday, October 4, 2014

Aileen-Chapter 4

“Mengapa kau di sini?” Aileen bertanya tajam pada pemuda berjas lengkap yang bersandar santai di dinding gerbang utara universitasnya dengan kedua tangannya terlipat di depan dadanya.

“Apa kau tidak bisa senang melihatku walau hanya sedikit saja?” keluh Evans.

“Tidak, aku senang melihatmu."


“Tapi kau memasang wajah seperti itu,” Evans merujuk pada wajah curiga Aileen.

“Siapa suruh kau mengikutiku.”

“Aku tidak mengikutimu.”

“Baguslah,” Aileen melangkah pergi.

“Hei!” protes Evans mengikuti Aileen, “Apa kau tidak bisa bersikap sedikit lebih ramah padaku?”

“Bukannya kau tidak sedang mengikutiku?” Aileen sengaja bertanya tajam.

“Aku memang tidak mengikutimu. Aku menjemputmu.”

Langkah kaki Aileen langsung terhenti. “Menjemputku?” ia bertanya, “Untuk apa? Mereka tidak menyuruhmu menjemputku lagi, bukan?”

“Ya, Tuhan, Aileen,” keluh Evans, “Apa kau tidak bisa berhenti berpikir seperti itu!?”

“Tidak,” Aileen meninggalkan Evans.

“Apanya yang mudah,” gerutu Evans. Lalu ia melebarkan langkah mengejar Aileen. “Kau mau ke mana?” tanyanya mengikuti langkah terburu-buru Aileen.

“Pulang,” Aileen membenarkan tali tasnya yang hampir jatuh dari pundaknya, “Aku harus segera membantu restoran.”

“Menurut Sigrid, hari ini kau tidak punya kegiatan apa-apa seusai kuliah.”

Ternyata orang di balik semua ini adalah Sigrid. Pantas saja Evans tahu kapan pelajarannya hari ini selesai dan melalui pintu mana ia pergi.

Aileen menukar tangan menyangga buku-buku yang hampir setebal sepuluh centi itu ke dadanya.

Evans tidak sabar melihatnya. Tanpa banyak bicara, ia mengambil buku-buku itu dari Aileen dan membawanya dengan mudah di bawah lengannya. “Menurut Sigrid, hari ini kau hanya mempunyai satu mata pelajaran, mengapa kau membawa buku sebanyak ini?”

“Aku meminjamnya dari perpustakaan,” jawab Aileen. Aileen melihat bayangan mereka di estalase toko dan ia tidak dapat menahan tawanya.

“Apa yang lucu?” Evans merasa sedang ditertawakan.

“Aku terlihat seperti sekretaris dan kau adalah bosnya. Tetapi kalau kau membawa buku-bukuku seperti itu, kita jadi tidak tahu siapa yang sekretaris,” tawa Aileen terlepas lagi. Tiba-tiba Aileen menyadari sesuatu. “Mengapa kau di sini?” ia bertanya tegas.

“Sudah kukatakan, aku menjemputmu,” Evans mengingatkan.

“Bukan. Bukan itu maksudku,” Aileen menggeleng, “Mengapa kau di sini? Bukannya sekarang adalah jam kerja?”

“Aku adalah sang direktur. Aku berhak mengatur sendiri jam kerjaku.”

Aileen mendesah. “Tidak kusangka ternyata kau adalah orang yang semaunya sendiri. Aku merasa kasihan pada bawahanmu terutama sekretarismu. Ia pasti kerepotan mengatur orang yang mau menang sendiri sepertimu.”

“Aku tidak keberatan kalau kau mau menjadi sekretarisku.”

“Akan kupikirkan baik-baik,” Aileen menjawab asal.

Andai Evans serius, ia pasti akan langsung menanggapi tawaran itu. Aileen tidak akan menyangkal ia selalu kagum pada sekretaris. Sejujurnya, apabila ada kesempatan, ia ingin menjadi seorang sekretaris. Ia suka melihat seorang sekretaris cantik yang mengenakan baju resmi dan membawa tumpukan file di tangannya. Menurutnya wanita-wanita seperti itu selalu terlihat anggun dan menawan.

“Aku sudah memberitahu sekretarisku aku punya urusan penting.”

“Urusan penting apa?” tanya Aileen penasaran.

“Rahasia,” Evans menolak menjawab. Sejujurnya, ia sendiri juga tidak tahu mengapa ia memutuskan untuk menemui Aileen ketika melewati restoran tempat Aileen tinggal. Ketika mencari Aileen itulah, Sigrid memberitahunya di mana Aileen berada. Tentu saja Sigrid tidak lupa memberitahu kapan pelajaran Aileen selesai dan di mana lokasi kelasnya. “Ayo kita pergi.”

Aileen kaget Evans menarik tangannya. “Pergi ke mana?”

“Aku memakirkan mobilku di depan restoran. Kau tidak keberatan menemaniku berjalan-jalan, bukan?”

“Jalan-jalan ke mana?” tanya Aileen.

“Sudahlah. Kau ikut saja.”

Aileen membiarkan Evans menariknya ke taman kota. “Sekretarismu pasti sedih kalau tahu apa yang sekarang kaulakukan.”

“Ia sudah biasa.”

“Ah, benar. Kau pasti sering kabur dari kantor untuk berkencan.”

“Itu artinya kau mengakui sekarang kita sedang berkencan,” senyum kemenangan Evans menghiasi wajah puasnya.

Aileen terperanjat. “A-Aku tidak mengatakannya. Siapa yang mau berkencan denganmu!?” ia panik dalam rasa malu. Bila dipikir, saat ini mereka lebih mirip sedang berkencan daripada berjalan-jalan. Apa yang bisa kausebut dari sepasang pria dan wanita yang bukan teman dan bukan saudara, berjalan beriringan sambil bergandengan tangan?

Evans mempererat genggamannya ketika merasakan pemberontakan Aileen. Ia tidak akan membiarkan gadis itu melepaskan diri.

“Apa kita tidak bisa beristirahat walau hanya sebentar?” Aileen memprotes.

“Benar juga. Kita tidak bisa berbicara sambil berjalan.”

“Apa yang akan kita bicarakan?” Aileen bertanya.

Apa yang bisa mereka bicarakan? Mereka tidak mempunyai suatu topik pun yang bisa dibicarakan. Mereka adalah dua orang yang mempunyai kehidupan masing-masing dan tidak mempunyai titik temu dalam kehidupan mereka yang bercabang-cabang ini.

“Duduklah di sini,” Evans memerintah.

Aileen menuruti Evans. Ia sudah cukup capek mengikuti langkah-langkah cepat Evans.

Evans meletakkan buku-buku Aileen di sisi Aileen. “Jangan ke mana-mana,” perintahnya lagi dan ia pergi meninggalkan Aileen.

Aileen lega bisa duduk. Ia ingin sekali melepas sepatu hak tingginya dan memijat kakinya tetapi ia tidak akan melakukannya di tempat ramai seperti ini. Memakai sepatu hak tinggi berjalan sepanjang hari sudah merupakan kebiasaannya namun berjalan cepat dengan sepatu hak tinggi adalah hal lain.

Aileen bersandar di sandaran kursi taman dan menengadah pada langit biru.

Hari ini memang hari yang indah untuk berjalan-jalan. Tadi, ketika ia mulai bosan mendengar dosen mengoceh di depan kelas, ia berpikir alangkah menyenangkan bila ia dapat berjalan-jalan di bawah sinar mentari yang cerah ini.

Sekarang keinginannya itu sudah terkabul. Ia berada di bawah sinar matahari yang hangat dinaungi pohon rimbun dan ditemani angin semilir yang sejuk.

Aileen memejamkan mata. Ia menikmati saat ini. Ia menyukai sinar mentari yang menghangatkan jiwanya. Ia menyukai angin sejuk yang membuai ini. Ia menyukai tempat ini dan ia tidak ingin meninggalkannya.

Diam-diam Aileen berdoa waktu akan berhenti selamanya.

Telinga Aileen menangkap nyanyian burung.

Aileen membuka matanya.

Seekor burung bertengger di dahan pohon tepat di atasnya dan menyanyi gembira.

Mata Aileen terpaku pada burung itu.

Menyadari seseorang telah menemukannya, burung itu terbang.

Aileen terkejut. Ia masih ingin mendengar nyanyiannya.

Burung itu terbang menuju kawanannya.

Aileen beranjak menuju tengah taman. Kepalanya menengadah pada burung-burung yang terbang di angkasa. Matanya tidak lepas dari awan-awan yang terus berubah bentuk. Pikirannya terbang bersama angin sejuk.

Evans menerima crepe pesanannya dan segera menghampiri Aileen.

Kursi tempat ia meninggalkan Aileen kosong.

Evans panik. Matanya segera melihat sekeliling.

Beberapa orang melihat ke tengah taman. Beberapa di antaranya tampak terpesona dengan apa yang sedang ia lihat.

Tertarik, Evans mengikuti arah pandangan mereka.

Seorang gadis sedang berdiri di tengah taman dengan kepala menengadah ke langit biru. Matanya yang terpaku pada langit biru seolah-olah terserap oleh awan. Rambut panjangnya berantakan tertiup angin namun ia tidak mempedulikannya. Kedua tangannya hanya terlipat manis di depan tubuhnya – mencegah rok selututnya tertiup angin. Gadis itu cantik tetapi bukan itu yang membuat mereka terus memandanginya. Aura yang ditebarkan gadis itu memikat mereka – aura yang membuatnya terlihat seperti lukisan yang diturunkan dari langit.

Evans tersenyum. Bahkan hanya dengan berdiri Aileen dapat memikat banyak orang. Namun…… Evans segera mendekati Aileen dengan langkah-langkah lebar. “Apa yang kau lamunkan?” ia merangkul pundak Aileen dan menatap sinis pada pria-pria di sekeliling mereka.

Aileen terperanjat.

“Pesananmu,” Evans memberikan crepe coklat Aileen.

“Aku tidak memesannya,” Aileen menjawab polos.

“Aku mentraktirmu.”

“Terima kasih.” Mata Aileen melirik tangan Evans di pundaknya.

Jangan berharap ia akan melepaskan Aileen. Evans senang orang lain menyadari daya tarik Aileen tapi ia tidak suka para pria itu mencari kesempatan untuk mendekati Aileen. “Apa yang sedang kaulihat?” ia ikut melihat langit biru.

“Tidak ada.” Aileen kikuk dibuatnya.

“Kau senang melihat awan-awan itu?”

“Ya, aku suka melihat langit.”

“Kau juga suka melihat bintang?”

“Sangat menyukainya!” Aileen mengakui dengan antusias.

“Kau bisa melihatnya setiap saat, bila kau mau.”

“Tidak mungkin! Bintang hanya bisa terlihat pada malam hari.”

“Bukankah ada planetarium?”

“Di sekitar sini ada planetarium?” mata Aileen bersinar-sinar.

“Ya,” Evans membenarkan, “Aku bisa mengantarmu ke sana setiap saat.”

“Benarkah!?” mata Aileen makin bersinar.

Evans gemas oleh ekspresi manis Aileen yang penuh antusias itu. Ingin rasanya ia memiliki ekspresi ini hanya untuk dirinya sendiri. Ia sanggup melakukan apa saja asalkan ekspresi ini menjadi miliknya.

“Besok aku akan membawamu ke sana sepulang kerja.”

“Benarkah!?” Aileen bersemangat. “Tunggu,” Aileen teringat sesuatu, “Besok hari apa?”

“Kamis.”

“Aku tidak bisa,” Aileen kecewa. “Besok aku ada kerja.”

“Minta ijin!”

“Tidak bisa. Besok hanya ada aku seorang.”

“Kau benar-benar merepotkan!” Evans kesal. Ia mulai tidak menyukai kerja sambilan Aileen. “Kalau kau mau pergi, minta ijin. Kalau tidak mau, ya sudah!”

“Katakan saja padaku di mana planetarium itu. Aku bisa ke sana sendiri kalau aku ada waktu.”

Dan membiarkan para pria itu mempunyai kesempatan untuk mendekati Aileen? Jangan harap! “Begitu kau ada waktu, beritahu aku!” Evans berkata kesal, “Aku akan mengantarmu.”

“Tetapi kau hanya punya waktu luang pada malam hari sedangkan hampir tiap malam aku ada kerja.”

“Aku punya waktu bebas sepanjang hari Sabtu dan Minggu. Kalau memang diperlukan, aku bisa meluangkan waktu di siang hari pada hari kerja,” dan ia menekankan, “Seperti saat ini.”

“Aku tidak ingin menganggu jam kerjamu,” Aileen menyahut tangkas.

“Banyak alasan!” Evans benar-benar kesal.

Aileen tidak menanggapi. Ia menggigit sepotong kecil crepenya.

Ia harus menghentikan Evans. Ia tidak bisa membiarkan Evans terus mempermainkannya seperti ini.

Aileen sadar mengapa hingga detik ini ia tidak pernah berpacaran. Ia tahu mengapa ia tidak pernah benar-benar mencintai seseorang walau ia sering merasa jatuh cinta.

Benar, ia sering jatuh cinta. Setidaknya itulah yang ia rasakan. Ia mudah terpesona. Hatinya mudah tergetar oleh perlakuan seorang pria padanya. Tetapi, semudah datangnya perasaan itu, semudah itu pula perasaan itu pergi. Perasaan itu tidak pernah bertahan lebih lama dari satu bulan! Aileen tahu itu bukan karena ia adalah seorang Gemini tetapi karena sejak awal hatinya sudah memilih seorang pria, pria yang tidak mungkin didapatkannya sekeras apa pun ia berusaha.

Tidak banyak yang perlu dilakukan seorang pria untuk membuat hatinya bergetar. Ia hanya cukup sekali melakukan sebuah tindakan yang menyerupai pria itu dan Aileen akan merasa jatuh cinta padanya.

Selama ini hatinya, tanpa dapat ia cegah, selalu mencari-cari pria pilihan hatinya itu. Ia mudah jatuh cinta pada pria yang memiliki satu dari sekian syarat hatinya tetapi tidak seorang pun yang benar-benar memenuhi kriterianya.

Sigrid benar. Dalam hal ini seleranya terlalu tinggi.

Sekarang pria yang menjadi model hatinya itu sudah berada di sisinya tetapi Aileen tidak sedikit pun merasa senang.

Andai Evans terus bersikap seperti ini padanya, Aileen yakin ia pasti akan jatuh cinta lagi padanya dan kali ini ia pasti tidak akan tertolong. Aileen pernah jatuh cinta pada Evans. Sekarang ia tidak ingin jatuh cinta lagi padanya.

Dulu dengan tidak mudahnya ia berhenti mengharapkan Evans. Dengan susah payah otaknya berhasil melupakan Evans tetapi hatinya terus mengharapkan Evans. Dan, tanpa ia sadari Evans sudah menjadi tipe pria idamannya.

Apakah mungkin hatinya yang menantikan kehadiran cinta sejati membiarkan pemuda yang sudah menjadi tipe pria idamannya ini lewat begitu saja?

Aileen meninggalkan Evans ke kursi taman.

Evans duduk tepat di sisi Aileen hanya dibatasi buku-buku yang dipinjam Aileen dari perpustakaan universitasnya.

Pasti ada alasan masuk akal atas semua tindakan Evans ini. Pemuda yang tidak pernah berhubungan lagi dengannya sejak sepuluh tahun lalu ini tidak mungkin tiba-tiba penuh perhatian padanya. Pasti ada alasan rasional di atas semua tindakannya yang tidak biasa ini.

Mungkinkah itu karena ibunya? Walaupun ini adalah alasan yang paling kuat, tapi ini bukan alasan yang rasional. Evans sudah berulang kali menyangkalnya.

Mungkinkah karena Evans sedang mengejarnya? Walaupun ini adalah alasan yang paling dapat dipercaya oleh sifat pengkhayalnya, ini juga bukan alasan yang tepat. Evans sudah berulang kali menegaskan hubungan mereka hanya sebatas sepupu.

Lalu apakah yang menjadi alasan yang masuk akal dan dapat diterima?

Apakah… Evans melakukan semua ini untuk menghiburnya?

Kathy Renz adalah ratu gosip di kota mereka. Tidak ada berita yang tidak diketahui Kathy Renz. Tidak heran pula bila Evans mengetahui segala sesuatunya tentang Geert Balkanende. Tetapi ini juga tidak masuk akal. Untuk apa Evans menghiburnya? Ibunya hanya meminta Evans untuk membujuknya pulang. Selain itu, Evans bukan orang yang suka ikut campur urusan orang lain karena menurutnya hal itu merepotkan.

Namun itu hanya bila ibu Evans tahu. Kenyataannya, tidak ada alasan Kathy Renz mengetahui hubungan antara dia dan Geert. Dalam kepulangannya yang terakhir, ia tidak bertemu Kathy. Dalam kepulangannya bersama Geert pun, ia tidak bertemu ibu Evans itu. Aileen tidak pernah menyebut Geert sebagai kekasihnya. Di sisi lain, baik ibunya maupun Denise tidak mungkin memberitahu orang lain alasan Geert mengikutinya yang sebenarnya. Orang yang tahu pun tidak mungkin berpikiran sempit. Pria yang menginap di rumah seorang wanita tidak harus kekasih wanita itu.

Jadi, apakah tujuan Evans? Aileen melirik Evans yang tenggelam dalam pikirannya.

Evans tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Sejak Sigrid memberitahunya Aileen pernah jatuh cinta padanya, ia tidak dapat berhenti memikirkan hal itu. Berpikir dapat dimengertinya tetapi tindakannya barusan? Ini benar-benar tidak masuk akal. Ia seperti pacar Aileen yang cemburu pada pria lain yang melirik Aileen.

Satu-satunya alasan keberadaannya di tempat ini adalah Aileen. Ia mengkhawatirkan Aileen. Ia takut gadis yang patah hati itu akan melakukan tindakan di luar perkiraannya. Ia tahu betapa rapuhnya gadis yang patah hati terutama dikarenakan pengkhianatan pacar dan kakak kandungnya. Sigrid mempunyai cara tepat untuk menolong Aileen dari jurang kesedihannya ini tetapi Evans tidak akan melakukannya. Ia tidak dapat. Aileen adalah sepupunya. Ia tidak ingin mengubah hubungan ini walau banyak yang berpendapat mereka adalah pasangan yang serasi.

Di waktu mereka masih kecil, teman-temannya sering salah menyangka Aileen sebagai kekasihnya. Mereka juga tidak jarang menggodanya. Waktu itu ibunya dan ibu Aileen sering berhubungan. Ketika para ibu itu sering bepergian, ia juga sering pergi bersama Aileen. Dalam kesempatan itu beberapa kali mereka bertemu teman sekelasnya dan mereka selalu menebak Aileen adalah kekasihnya bukan adik sepupunya.

Walaupun Aileen lima tahun lebih muda darinya, wajahnya tidak pernah nampak lebih muda dari usianya. Sifatnya juga lebih dewasa dari gadis-gadis seusianya. Tak heran banyak yang menyangka Aileen adalah kakak Denise.

Namun, sedewasa apapun Aileen, bagi Evans Aileen adalah adik sepupunya. Ia selalu ingin mempunyai adik. Ketika hubungan kedua ibu mereka dekat, mudah baginya untuk menganggap Aileen sebagai adiknya. Perasaan itu tidak pernah berubah sampai saat ini dan Evans tidak ingin mengubahnya. Lalu apakah tindakannya sesaat lalu bisa dikategorikan sebagai perlindungan seorang kakak kepada adiknya?

“Evans, apa maumu?” Aileen bertanya langsung pada topik utama. “Tidak biasanya kau bersikap seperti ini.”

Evans terperanjat. Ia baru saja memikirkannya dan sekarang Aileen sudah menanyakannya.

“Apakah kau sedang mengejar Sigrid?”

Evans terperangah hingga tidak dapat mengeluarkan sebuah suara pun.

Ini adalah alasan yang paling masuk akal dan dapat diterima semua pihak. “Kalau kau ingin mengejar Sigrid, berhentilah mengangguku. Sigrid akan salah sangka.” Aileen yakin ia tidak mungkin salah. Kemarin ia melihat Evans dan Sigrid berbicara dengan akrab. Dan malamnya Sigrid tidak henti-hentinya memuji Evans.

“Itukah pendapatmu?” suara Evans mengandung kekecewaan dan kemarahan.

“Kemarin malam Sigrid terus memujimu,” Aileen meneruskan tanpa menyadari perasaan Evans, “Ia sudah mempunyai sedikit perasaan padamu. Kalau kau terus-terusan seperti ini, aku khawatir ia akan menduga kau sedang mengejarku.”

“Aku tidak sedang mendekati Sigrid! Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya!” Evans kesal. Ia tidak menduga ternyata Aileen memandangnya sebagai seorang pria seperti itu.

“Ya… ya…,” Aileen mengulum senyum. “Kau tidak perlu malu-malu padaku. Kalau kau mau, aku bisa membantumu.”

“CUKUP!” Evans berdiri.

“Kau mau ke mana?” Aileen heran melihat pemuda itu melangkah pergi dengan cepat.

“Kembali ke kantor,” jawabnya ketus tanpa menghentikan langkah.

Aileen tetap duduk memandang punggung pemuda itu menjauh dan mendesah. Ia tidak menduga Evans akan marah hanya karena digoda. Ia lebih tidak menyangka Evans bisa malu seperti ini. Tampaknya ia memang tidak mengenal Evans sebaik yang ia bayangkan.

Tetapi…

Aileen menggigit crepenya.

Evans adalah seorang gentleman. Ia selalu tahu bagaimana memperlakukan seorang wanita. Ia sadar ia mempunyai pesona yang dapat menarik hati tiap wanita. Ia pandai mengambil hati tiap wanita.

Dalam hal satu ini Aileen mempunyai kepercayaan diri. Dan karena itu pula ia tidak ingin jatuh cinta pada Evans, sang gentleman dengan pesona luar biasa yang tidak setia!

Lagi-lagi Aileen menghela nafas. Mungkin di jaman ini sudah sulit mencari lelaki yang setia dan dapat diandalkan. Ayahnya adalah lelaki yang setia tetapi ia adalah tipe suami takut istri. Evans adalah lelaki yang dapat diandalkan tetapi ia bukan tipe kekasih yang setia. Geert adalah lelaki yang cukup dapat diandalkan dan setia tetapi…

Ia mudah dibujuk, Aileen mengakui dengan sedih.

Andai pendirian Geert tidak berubah mungkin ia sudah membuka sedikit pintu hatinya untuk pemuda itu. Sayangnya…

Entah mengapa ketika ia tidak ingin berpacaran, selalu ada saja yang mendekatinya dan ketika ia ingin memadu kasih, tidak seorang lelaki setia pun yang mengejarnya.

Aileen menggigit lagi crepenya.

Hari ini sangat indah untuk dilewatkan. Tidak ada salahnya bila ia memanfaatkan kesempatan langka ini untuk membaca buku di taman.



*****Lanjut ke chapter 5

1 comment:

  1. Ceritanya menarik kak. Ditunggu kelanjutannya. Semangka! :D

    ReplyDelete