Tuesday, September 16, 2014

Aileen-Chapter 3

Aileen memandang keluar melalui dinding pesawat. Ia tidak mempedulikan kesibukan para penumpang yang memasuki kabin pesawat. Dalam waktu tak sampai setengah jam ia akan meninggalkan negara kelahirannya ini lagi. Entah kapan ia akan pulang lagi. Untuk sementara ia tidak mempunyai rencana pulang dalam waktu dekat ini.

Jaman sekarang manusia sudah seperti burung. Di jaman purbakala, satu-satunya alat transportasi manusia adalah kaki, kemudian hewan, perahu, dan sekarang pesawat terbang. Manusia benar-benar seperti burung yang bebas terbang ke mana pun mereka inginkan.

Seharusnya itulah yang terjadi namun entah mengapa ia tidak dapat terbang sebebas burung di angkasa. Entah mengapa sayapnya tidak berkembang sebaik yang lain. Mungkin juga ia yang tidak menginginkannya.

Aileen mendesah.

“Mengapa kau mendesah?”


Aileen terperanjat.

Evans duduk di sisinya sambil membaca koran.

“Mengapa kau di sini?”

“Rupanya kau. Aku tidak tahu kau akan naik pesawat ini,” Evans menjawab ringan.

Aileen mencurigai Evans. Tidak mungkin ada kebetulan yang seperti ini.

Evans kembali mengalihkan pandangan pada korannya namun ia tidak dapat berkonsentrasi pada sebuah kata pun.

Sepasang mata penuh kecurigaan itu tidak melepaskan Evans.

Evans berusaha mengabaikan sepasang mata itu. Ia tidak berbohong pada Aileen untuk hal satu ini. Ia sama sekali tidak menduga Aileen akan naik pesawat ini.

Kemarin malam, ketika mengetahui tidak seorang pun di keluarga LaSalle mengetahui kepulangan Aileen, Evans sempat kesal. Ia merasa tertipu. Ia tidak berpikir banyak ketika Aileen minta diturunkan di pusat kota malam hari pernikahan Denise. Ia tidak mencemaskan Aileen pula karena ia tahu gadis itu sering berpergian seorang diri.

Evans yakin Aileen sudah terbang pergi kemarin malam tetapi itu tidak dapat menghentikan keputusannya untuk menuntut penjelasan Aileen. Karena itulah Evans sangat terkejut ketika melihat sosok Aileen yang tengah mengantri untuk check-in pesawat.

Gadis itu sama sekali tidak menyadari keberadaannya. Ia juga tidak menyadari ia tengah diikuti. Bisa dikatakan ia sama sekali tidak mempunyai kewaspadaan!

Sepasang mata itu mulai membuat Evans merasa tidak nyaman.

Pramugari memberikan pengarahan sebelum lepas landas.

“Duduklah yang baik. Sebentar lagi kita akan lepas landas,” dalam hatinya Evans bersorak gembira. Ia yakin perhatian Aileen akan teralih darinya. “Kau benar-benar mencurigakan,” komentar Aileen dan ia mengalihkan perhatian ke luar jendela.

Evans kaget. Perasaan Aileen memang tajam tetapi ia tidak yakin kecurigaannya itu akan berlangsung lama.

Dugaan Evans itu mungkin benar tetapi ia mulai kembali merasa tidak nyaman beberapa menit setelah pesawat lepas landas. Semenjak sesaat sebelum lepas landas hingga pesawat mendaki langit, Aileen tidak mengalihkan matanya dari jendela.

Merasa diacuhkan Aileen, Evans berkata, “Kupikir kau pergi kemarin.”

Aileen berdiam diri. Itu memang rencana awalnya.

“Apakah hari ini kau tidak mempunyai kelas?” Evans bertanya.

“Hari ini aku tidak ada pelajaran,” Aileen menjawab singkat. Ia tidak dalam suasana hati untuk mengobrol. Saat ini ia hanya ingin duduk diam memandang awan-awan yang memayungi daratan dengan kepala kosong.

“Kedengarannya kau berbohong,” komentar Evans, “Kau tidak mungkin membiarkan waktumu kosong.” Evans mengenal Aileen bukan hanya hari ini. Ia tahu gadis itu adalah gadis rajin yang tidak mau diam. Daripada membiarkan waktunya terbuang sia-sia, Aileen lebih suka mengisinya dengan sesuatu yang berguna.

“Aku sudah tingkat akhir. Sudah tidak ada pelajaran menarik yang bisa kuambil,” Aileen menjelaskan, “Aku sudah menghabiskan semua mata pelajaran utamaku di tingkat dua.”

“Benar-benar sepertimu,” Evans mengulum senyumnya. Ini baru yang dinamakan Aileen. Selain rajin, gadis ini juga pandai dan kadang terlalu berambisi dalam belajar.

“Apa kali ini Mama juga menyuruhmu mengikutiku?” Aileen bertanya tajam.

Evans kaget. “Mengapa kau berpikiran seperti itu?”

“Mama menyuruhmu membujukku pulang, bukan?”

“Benar.”

“Apa yang kali ini membuatmu mengikutiku jika bukan karena Mama menyuruhmu?” Apa lagi yang menjadi alasannya bila bukan karena ibunya? Evans tidak pernah secara khusus mempedulikannya. Evans memang selalu memperlakukannya dengan baik tetapi ia tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Pertama karena mereka hanya sepupu. Kedua dan yang terutama adalah karena mereka jarang berhubungan.

Walaupun mereka mempunyai hubungan saudara, keluarga mereka jarang berhubungan. Ketika Aileen menginjak remaja, mereka bisa dikatakan tidak pernah berkomunikasi. Walaupun Aileen mempunyai MSN Evans, mereka tidak pernah bercakap-cakap bila tidak ada keperluan mendesak. Mereka mulai berhubungan lagi ketika Evans tiba-tiba muncul di restoran tempat ia bekerja sambilan untuk membujuknya pulang.

Evans semakin kaget. Apakah Aileen berpikir semua yang telah ia lakukan ini adalah karena perintah ibunya, Fanny? “Dengar, Aileen. Tidak seorang pun yang bisa menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak ingin kulakukan!”

Aileen keheranan mendengar nada marah Evans tapi ia tidak mempedulikannya. “Karena itu kau tidak segera menikah.”

“Kau seperti Mama!”

Sudah lama Aileen tidak mendengar komentar itu. Terakhir ia mendengar komentar itu bertahun-tahun lalu.

Aileen tidak ingat apa yang membuatnya berbelanja hanya berdua dengan Evans di supermarket. Aileen hanya ingat saat itu ia tidak mempunyai sesuatu yang ingin dibeli. Ia hanya mengikuti Evans karena ia ingin berjalan-jalan. Ketika Evans sibuk dengan belanjaannya, Aileen berkeliling di daerah peralatan dapur. Dibandingkan melihat-lihat baju atau sepatu, Aileen lebih suka melihat peralatan dapur atau perabot rumah tangga. Ketika ia memberitahu hal itu pada Evans, Evans berkomentar, “Kau seperti Mamaku!”

Seperti hari itu, Aileen menyahut, “Apa kau mau aku menjadi Mamamu?”

“Tidak!” Evans menjawab spontan – persis seperti reaksinya hari itu, “Aku tidak butuh seorang Mama cerewet lagi!”

Aileen tertawa geli.

“Apa yang kautertawakan?”

“Tidak ada.”

“Tidak ada tetapi masih tetap tertawa,” Evans menggerutu.

Aileen tidak akan memberitahu Evans hal yang pasti sudah dilupakannya. Evans tidak akan ingat reaksinya yang sama persis dengan saat ia memberikan komentar itu untuk pertama kalinya bertahun-tahun lalu. Memberitahu Evans justru akan membuatnya semakin terlihat konyol. “Maaf,” Aileen berusaha menghentikan tawanya. Ia mengambil remote control di pegangan kursinya dan mencari-cari film menarik yang dapat mengalihkan perhatiannya.

Evans melanjutkan kegiatannya membaca koran. Ia tidak mempunyai topik yang ingin ia bicarakan dengan Aileen. Setidaknya, sekarang ia yakin kecurigaan Aileen padanya sudah hilang dan ia sudah meyakinkan Aileen ia tidak menyusulnya karena permintaan Josef LaSalle maupun Fanny LaSalle.



-----0-----


Aileen berdiri di sisi Evans dan melihatnya dengan penuh kecurigaan. “Mengapa kau di sini?”

“Tidak ada yang melarang aku menjadi tamu di sini,” jawab Evans santai.

Aileen masih tidak melepaskan mata penuh curiganya.

“Kalau kau tidak segera melayaniku, aku akan melaporkanmu pada majikanmu,” ancam Evans dengan bercanda.

Aileen memberikan daftar menu ke Evans. Tanpa menanti Evans membaca menu itu, ia bertanya, “Apa pesananmu?”

“Kau kedengarannya tidak tulus. Aku juga belum memilih.”

“Cerewet,” Aileen kesal. “Kalau kau tidak segera memesan, aku akan memesan untukmu.” Seminggu sudah berlalu sejak kejadian di dalam pesawat terbang. Seminggu pula Evans muncul di restoran tempatnya bekerja sambilan.

Menilik dari waktu kedatangan Evans tiap hari, Aileen yakin Evans berada di sini karena urusan bisnis. Keluarga Renz mempunyai cabang perusahaan di sini. Aileen tahu Evans sudah menjadi direktur salah satu cabang perusahaan keluarga Renz. Tentu saja ia tidak mendapatkannya dengan mudah. Sejak ia lulus kuliah lima tahun lalu, Evans mulai bekerja di perusahaan keluarganya. Perlahan tapi pasti, karirnya meningkat sehingga sekarang ia menjadi salah satu direktur utama perusahaan. Aileen tidak tahu persis anak cabang mana dan ia tidak terlalu mempedulikannya. Mungkin saja ia diserahi anak cabang perusahaan mereka di sekitar sini. Tetapi… apa Evans perlu setiap malam melaporkan diri di restoran ini? Apa di sini tidak ada restoran lain yang bisa memuaskan selera makannya? Mengapa pula orang kaya seperti Evans tiba-tiba suka makan di restoran biasa seperti ini? Dengan sifat Aileen yang suka berpikir banyak, sangat mudah mempercayai Evans melakukan semua ini karena ia mempunyai perasaan khusus padanya. Tetapi itu tidak mungkin, bukan? Evans sering menekankan mereka hanyalah sepupu.

“Memangnya kau tahu apa yang sekarang aku inginkan?”

“Apa saja asal bisa dimakan,” Aileen menjawab enteng, “Kau bukan tukang pilih makanan.”

“Baiklah, kuserahkan padamu,” Evans mengembalikan daftar menu dengan tersenyum.

Aileen tidak membuang waktu untuk mengambil menu itu dan memesan makanan untuk Evans.

“Lagi-lagi kau memilih menu yang tidak seberapa laku untuk Evans,” komentar Helena.

“Tidak apa. Dia tidak keberatan,” Aileen beralasan, “Dia bukan pemilih makanan.” Daripada membiarkan makanan itu terbuang, bukankah lebih baik memakannya?

“Jangan seperti itu. Dia sudah berbaik hati mengantarmu pulang minggu lalu,” Sigrid bersandar di dinding dekat Aileen.

“Ia juga membawakan kopermu yang berat itu ke kamarmu.”

“Ke depan kamarku,” Aileen membenarkan.

Aileen tidak mengingkari ia sangat berterima kasih atas kebaikan Evans mengantarnya ke tempat ini dan membawakan kopernya yang berat ke lantai tiga tempat kamarnya berada. Ia sempat pusing memikirkan cara membawa koper yang waktu itu penuh dengan oleh-oleh serta makanan kesukaannya ke kamarnya. Satu hal yang pasti, ia tidak ingin merepotkan Leopold namun ia juga tahu ia tidak sanggup mengangkat koper itu ke lantai atas.

Hanya kewaspadaan yang membuat Aileen sadar bila tidak memberikan batasan pada Evans, pemuda itu pasti akan melanggar prinsipnya. Aileen tidak suka seorang pria memasuki kamarnya dan ia tidak ingin seorang pria pun melangkahkan kaki ke dalam kamarnya.

Walaupun sekarang ia tinggal di rumah Wilder, keluarga itu memberinya privasi untuk mengatur kamarnya sendiri. Mereka juga tidak akan memasuki kamar tempatnya tidur dengan sembarangan terutama ketika ia tidak ada di rumah. Leopold tidak pernah memasuki kamarnya. Helena sangat jarang memasuki kamarnya. Hanya Sigrid yang sesekali mencarinya ketika ia butuh teman mengobrol.

“Lihatlah dari tadi ia tidak berhenti menatapmu,” Sigrid tidak mendengarkan gerutu Aileen.

Aileen memalingkan wajah ke Evans.

Evans menghadapi laptopnya dan sibuk mengetik.

Aileen melihat Sigrid dengan tidak senang. “Jangan mencoba menggodaku.”

“Aku tidak menggodamu. Dia tadi memang memperhatikanmu. Lihatlah, sekarang ia juga sedang memperhatikanmu.”

Aileen kembali melihat Evans namun yang ia lihat adalah Evans yang sibuk dengan laptopnya.

“Cukup, Sigrid,” ia tidak suka godaan Sigrid ini, “Ia tidak mungkin mempunyai perasaan khusus terhadapku seperti dalam pikiranmu itu. Baginya aku hanyalah sepupu.”

“Lalu?” tanya Sigrid, “Tidak ada yang melarang sepupu jatuh cinta. Lagipula kalian bukan sepupu dalam arti sesungguhnya.”

“Kami tetap sepupu,” Aileen menekankan seperti yang biasa Evans tekankan setiap ada yang menggoda mereka.

“Tapi kau pernah jatuh cinta padanya.”

“Aku hanya terkesan padanya,” Aileen membenarkan.

Di malam Evans mengantarnya pulang, Sigrid memaksanya menceritakan hubungannya dengan Evans. Sigrid mengaku ia sempat curiga di saat pertama kali Evans muncul di restoran mereka tapi kekhawatiran akan suasana hati Aileen menjelang pernikahan kakaknya membuatnya menahan diri. Sigrid semakin penasaran ketika ia muncul lagi hari itu bersama Aileen.

Tidak punya pilihan lain, Aileen menjelaskan bahwa mereka adalah sepupu. Tetapi dua orang yang benar-benar sepupu adalah kakek Aileen dari pihak ibu dan nenek Evans dari pihak ayah. Dengan kata lain, nenek buyutnya dan kakek buyut Evans adalah kakak adik. Rumit memang hubungan keluarga mereka namun baik Aileen dan Evans lebih suka menganggap yang lain sebagai sepupu dibandingkan orang lain.

Begitu akrabnya ia dengan Sigrid sehingga Aileen tidak merasakan keharusan untuk menyembunyikan perasaan yang pernah ia rasakan atas Evans. Di masa kecilnya, ia sering terkesan oleh perlakuan Evans terhadapnya. Ia sering merasa diperlakukan seperti seorang lady oleh seorang gentleman. Sikap gentlemannya itulah yang membuat Aileen jatuh cinta padanya. Pada saat itu Aileen selalu merasa cemburu pada kekasih Evans. Namun setelah beberapa saat, Aileen sadar perasaan itu bukan cinta. Itu hanya kekaguman atas Evans. Hingga detik ini pun Aileen sadar tidak akan ada saat ia berhenti mengagumi Evans. Sikap gentleman Evans kepada seorang wanita akan terus membuatnya terkesan.

Sepasang wanita dan pria memasuki restoran.

“Cepatlah layani mereka. Aku akan membawa pesanan Evans.”

“Ok,” Aileen menjawab singkat dan segera mendekati pasangan yang sudah memilih tempat duduk itu. Ia benar-benar bersyukur Sigrid mau melakukannya untuknya. Akhir-akhir ini ia tidak lagi terkesan oleh perlakuan Evans padanya. Sikap Evans yang berlebihan itu justru membuatnya merasa tengah diintimidasi.

Evans memperhatikan Aileen dengan ramah mengenalkan menu utama restoran mereka. “Sama sekali tidak manis,” gerutu Evans. Aileen selalu memasang wajah masam kepadanya tetapi ia selalu tersenyum manis kepada tamu-tamu yang lain. Aileen dengan ramah dan sabar mendengar pesanan tamu lain tetapi ia selalu tergesa-gesa melayaninya bahkan terkesan ingin mengusirnya.

“Aku menangkapmu!”

Evans terperanjat.

“Lagi-lagi kau memperhatikan Aileen,” Sigrid tersenyum lebar sambil meletakkan makan malam Aileen. “Apa Aileen lebih menarik daripada masakan kami?” Sigrid duduk di depan Evans.

“Tentu saja tidak,” Evans cepat-cepat mengelak, “Masakan restoran ini sangat lezat dan menarik.”

“Tapi kau lebih suka membiarkan Aileen memilih menu untukmu.”

“Itu karena Aileen lebih mengenal baik masakan tempat ini,” Evans beralasan.

Sigrid memperhatikan mata Evans mengikuti Aileen yang menuju jendela dapur.

“Matamu terus mengikuti Aileen,” ia sengaja memasang wajah cemberut, “Kau pasti punya perasaan khusus terhadap Aileen.”

“Tidak. Aku tidak mempunyai perasaan apa-apa padanya.”

Sigrid mendesah. “Terakhir kali aku mendengarnya, pemuda itu mengkhianati Aileen.”

Telinga Evans langsung waspada. “Kau mengenal Geert Balkanende?” ia bertanya dengan wajah serius.

Sigrid kaget melihat pemuda itu tiba-tiba menjadi serius. “Ya, aku mengenalnya. Ia adalah teman sekelasku. Aku pula yang mengenalkan mereka.”

Evans merasa seluruh sel otaknya langsung bangun.

“Geert tergila-gila pada Aileen. Setiap hari ia datang ke sini, duduk di kursi ini dan memperhatikan Aileen,” Sigrid tersenyum. “Persis sepertimu.”

Tiba-tiba Evans merasakan keinginan luar biasa untuk pindah.

“Tetapi, tidak sepertimu, setiap hari Geert memesan menu yang berbeda-beda tiap harinya. Ia beralasan ingin menikmati semua menu kami tapi aku tahu ia hanya ingin melihat Aileen. Sial baginya, Aileen sama sekali mengacuhkannya. Geert sering mencoba berbicara dengan Aileen tetapi Aileen selalu bersikap dingin padanya dan Papa juga selalu menghalanginya. Kau tahu, Papa sudah menyayangi Aileen melebihi aku, putri kandungnya sendiri. Papa tidak suka pria-pria iseng yang menggoda Aileen. Lebih dari setengah tahun lamanya Geert menaklukan Papa tetapi itu semua tidak sesulit menaklukan Aileen. Geert beruntung ia mengenalku. Ketika ia sudah hampir putus asa, ia memintaku mengenalkannya pada Aileen. Setelah itu barulah Aileen mau sedikit menghiraukan Geert. Bila dihitung, Geert mengejar Aileen hampir dua tahun sebelum akhirnya Aileen mau diajak pergi. Aku sudah yakin mereka pasti akan menikah ketika Geert bersikeras ikut Aileen pulang. Namun….,” Sigrid mendesah panjang, “Siapa tahu akhirnya Geert menikahi kakak Aileen.”

“Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Geert. Ia mengejar Aileen bukan hanya satu dua hari. Dua tahun!” suara Sigrid meninggi, “Ia tidak main-main! Dua tahun lamanya ia mengejar Aileen! Dua tahun itu bukan waktu yang singkat, kau tahu!?”

Evans terperangah melihat Sigrid yang terbakar amarah.

“Aku yakin ia benar-benar mencintai Aileen. Ia benar-benar tergila-gila pada Aileen tapi…,” lagi-lagi mendesah dan dengan suara menahan amarah, ia berkata, “Ia benar-benar pria yang tidak bisa dipercaya!” Dan Sigrid menatap Evans dengan tajam, “Karena itu, kalau kau memang serius, jangan mengkhianati Aileen!”

“Maaf mengecewakanmu, tetapi aku tidak sedang berniat mengejar Aileen,” dan Evans menegaskan, “Kami adalah sepupu. Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya.”

“Lalu mengapa?” Sigrid mengutarakan pertanyaan yang telah ia utarakan pada Aileen, “Banyak sepupu yang kemudian menikah. Tidak ada yang memprotes hal itu. Apalagi kalian sudah bisa dikatakan bukan sepupu.”

“Kami tetap sepupu,” Evans menekankan persis seperti yang dikatakan Aileen pada Sigrid beberapa saat lalu.

“Tetapi kau tidak melepaskan mata dari Aileen. Dari tadi aku memperhatikan matamu terus mengikuti Aileen walau di depanmu ada wanita cantik,” Sigrid menembak tepat sasaran.

“Aku mengkhawatirkan Aileen,” Evans beralasan. “Aku rasa ia cukup terluka oleh pengkhianatan Geert dan kakaknya. Aku takut ia melakukan sesuatu yang tidak masuk akal. Andai bisa, aku ingin membantunya mengobati luka hatinya itu.”

“Aku yakin kau bisa,” Sigrid meyakinkan. “Kau pasti dapat dengan mudah mendapatkan Aileen. Aku bahkan sangat yakin hanya kau yang bisa mengobati luka Aileen.” Dan Sigrid mengemukakan alasannya, “Pertama, kau adalah pemuda tampan yang menarik. Kedua, sepanjang sepengetahuanku, hanya engkau pemuda yang tidak dicuekkan Aileen. Kau juga membuat Papa dengan cepat menerima kehadiranmu. Kau pasti bisa membuat Aileen tergila-gila padamu.” “Itu tidak mungkin.”

“Mengapa?” Sigrid menuntut jawaban.

“Kurasa aku sudah mengatakan padamu kami adalah sepupu. Kami tidak mungkin saling jatuh cinta apalagi menikah.”

“Siapa yang menyuruhmu menikahi Aileen?” tanya Sigrid, “Aku hanya ingin kau membuat Aileen melupakan Geert. Tentu saja, akan sangat sempurna andai kalian bisa sampai ke jenjang perkawinan.”

“Tetap saja, itu tidak mungkin.”

Sigrid melihat Evans serius dalam perkataannya.

“Ah, sayang sekali,” desah Sigrid, “Padahal aku yakin kau pasti bisa menaklukan Papa dalam waktu singkat apalagi Aileen pernah jatuh cinta padamu.”

Evans membelalak kaget. “Aileen pernah jatuh cinta padaku?”

“Ya,” Sigrid menegaskan, “Ia mengatakannya sendiri padaku.”

“Lalu sekarang?”

“Aku tidak tahu,” Sigrid menahan senyum gelinya melihat ekspresi kecewa Evans. Sigrid yakin pemuda itu sama sekali tidak menyadari ekspresinya saat ini. “Mengapa tidak kau tanyakan sendiri pada yang bersangkutan?” usulnya.

“Bertanya langsung pada Aileen?” Evans melihat Aileen yang berbicara dengan gembira pada tamu yang baru masuk. “Kurasa ia tidak akan memberitahuku,” ia kembali melihat Sigrid dengan kecewa.

“Karena itu keahlianmu dibutuhkan.”

“Keahlianku?”

“Kata Aileen, kau adalah seorang playboy yang sering berganti pasangan. Aku yakin kau pasti tahu bagaimana menghadapi gadis keras kepala seperti Aileen.”

Evans termenung melihat senyum yang meyakinkan itu.



*****Lanjut ke chapter 4

1 comment:

  1. Im waiting the next chapter.. You always have good stories.. Boleh minta CP atau alamat email g?

    ReplyDelete