Sunday, September 14, 2014

Aileen-Chapter 2

“Dia tidak mau pulang!?” Fanny murka, “Apa yang dipikirkannya?”

Evans tidak terkejut melihat reaksi bibinya. Ketika mendengar ia pergi ke negara tempat Aileen bersekolah, Bibi Fanny menghubunginya. Ia memintanya membujuk Aileen pulang pada pernikahan kakaknya.


Evans sempat heran mendengar permintaan itu. Kemudian ibunya memberitahu sebab di belakang permintaan aneh itu. Denise menolak menikah tanpa kehadiran Aileen sedangkan Aileen tidak mau pulang.

“Saya tidak tahu,” jawab Evans. Ia juga tidak tahu mengapa Aileen bersikeras tidak mau pulang walau hanya untuk sehari dua hari.


“Benar-benar anak tidak berbakti! Pernikahan kakaknya seorang tidak mau datang!”

“Katanya, ujian tengah semesternya sudah dekat.”

“ALASAN!!!” maki Fanny.

Evans terperanjat.

“Ya sudah,” akhirnya Fanny menguasai kembali emosinya, “Terima kasih.” Tanpa berbasa-basi lagi, Fanny meninggalkan rumah itu.

Evans mengawasi kepergian bibi jauhnya dengan penuh pertanyaan. Ia dapat mengerti keinginan Denise. Ia juga sependapat Aileen harus pulang untuk menghadiri pernikahan satu-satunya kakaknya. Hanya saja reaksi barusan terlalu aneh apalagi bila mengingat reaksi dingin Aileen. Setelah ia menghilang, Evans menoleh pada ibunya. “Apa yang terjadi?”

“Kenapa kau menanyakan itu?”

“Karena sewaktu aku bertemu dengannya, ia tampak penuh beban. Dan ketika tahu Denise akan menikah, aku seperti melihat senyum sinisnya. Ia tidak nampak gembira.”

“Aku tidak tahu.”

“Sikap Bibi Fanny juga keterlaluan. Aku tidak menyangka ia akan marah seperti itu mendengar Aileen tidak bisa pulang karena ujian tengah semesternya segera tiba.”

“Apa boleh buat,” gumam Kathy.

Evans melihat ibunya. “Mama tahu sesuatu?”

“Kau tahu liburan musim dingin terakhir Aileen pulang?”

“Ya, aku mendengarnya.” Evans juga tahu dalam beberapa kesempatan ibunya menemuinya Aileen.

“Waktu itu ia tidak pulang sendirian. Ia pulang bersama kekasihnya.”

“Aileen punya pacar!??” Evans kaget. Ini yang tidak pernah ia dengar maupun ketahui.

Kathy mengangguk membenarkan.

“Mama pernah melihatnya!??” Evans masih tidak percaya.

“Engkau juga akan melihatnya,” Kathy memberitahu dengan tenang. “Kekasih Aileen itu akan menikahi Denise.”

Kebingungan Evans semakin menjadi-jadi. “Apa itu benar, Mama? Aku tidak pernah mendengarnya.”

“Hampir semua orang tahu tetapi tidak ada yang berani membicarakannya terang-terangan. Geert datang sebagai kekasih Aileen tetapi kemudian ia jatuh cinta pada Denise dan pada akhirnya menikahinya.”

Evans termenung. Sekarang mengertilah ia senyum sinis di wajah Aileen ketika mendengar pernikahan kakaknya. Sekarang hanya satu yang tidak dimengerti Evans. Mengapa Aileen tidak ingin menghadiri pernikahan mereka? Aileen seharusnya datang pada pernikahan mereka. Ia harus menunjukkan pada mereka ia sama sekali tidak sakit hati oleh apa yang mereka lakukan. Ia harus menunjukkan pada mereka ia bukan gadis lemah yang mudah disakiti.

“Aku mengerti mengapa Aileen tidak mau datang,” Kathy bersimpati pada Aileen, “Andaikata aku adalah Aileen, aku juga tidak mau merestui hubungan orang-orang yang telah mengkhianatiku.”

Evans tetap tidak sependapat!

Pesta pernikahan Denise masih seminggu lagi. Itu artinya ia masih mempunyai waktu seminggu penuh untuk menundukkan kekeraskepalaan Aileen. Walaupun sekarang ia menjadi direktur dari salah satu perusahaan keluarganya, ia pasti bisa menyempatkan satu dua jam tiap malamnya untuk Aileen. Sekarang yang lebih perlu ia khawatirkan adalah Aileen. Apakah Aileen akan membalas e-mailnya dan mengobrol dengannya? Apabila diperlukan, Evans akan menelepon Aileen dan memaksanya online.

Sementara Evans memikirkan strateginya untuk menundukkan kekeraskepalaan Aileen, keributan terjadi di rumah keluarga LaSalle.

“Aku tidak mau kalau Aileen tidak ada,” rujuk Denise manja.

“Anak itu memang keras kepala,” Josef LaSalle, sang kepala rumah tangga ikut geram, “Entah menurun dari siapa sifatnya itu. Entah apa yang dipikirkannya. Masa pernikahan kakaknya saja tidak mau datang? Memangnya apa sih sulitnya pulang? Kalau dia tidak punya uang membeli tiket pesawat, aku bisa mengiriminya!”

“Dia sudah jelas tidak mau datang, untuk apa menunggu dia!?” Fanny kesal. “Kalau menunda-nunda terus, Geert akan direbut orang lain. Saat itu baru tahu rasa kau!”

“Tapi aku ingin Aileen menjadi penggiringku.”

“Mana yang lebih kauinginkan Aileen atau Geert?” tanya Fanny tajam.

“Tentu saja Geert!”

Fanny tersenyum puas. “Sudah diputuskan.”



-----0-----


Evans melihat sekeliling.

“Apa yang kaulihat?” tegur Kathy.

“Tidak ada,” tapi matanya terus berkeliling di gereja itu.

Paduan suara menyanyikan lagu pembuka.

“Pengantinnya segera datang,” Kathy memperingati.

Evans duduk rapi tapi matanya terus berkeliling.

Kathy sudah tidak tahan dengan kelakuan putranya. “Siapa yang kau cari?”

“Tidak ada,” lagi-lagi Evans mengelak.

“Kalau tidak ada, duduklah yang tenang.”

Denise memasuki ruangan bersama kedua orang tuanya. Iring-iringan itu terlihat begitu megah. Gaun putih gading Denise yang panjang menyapu karpet merah yang digelar mulai dari pintu masuk hingga ke altar. Cadar pengantinnya yang berhiaskan berlian putih melambai-lambai seiring gerakannya. Orang tua sang pengantin wanita dengan gembira mengantar putrinya. Sementara itu sang pengantin pria menanti di depan altar dengan wajah bahagia. Pastor mengambil posisi ketika pasangan pengantin tersebut siap dan memulai acara.

“Akhirnya ia benar-benar tidak datang,” Evans putus asa.

Dalam seminggu terakhir ini, Evans memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membujuk Aileen. Setiap malam, dalam waktu yang menurutnya tepat, Evans memanggil Aileen. Di malam pertama, ia memanggil Aileen di tengah malam dan ia tidak mendapatkan jawaban. Baru di keesokan siangnya ia mendapatkan jawaban. Di malam kedua ia juga memanggil Aileen pada tengah malam dan ia mendapatkan jawaban pada keesokan siangnya. Karena itulah pada hari ketiga ia mengganti waktu onlinenya. Sepulang kerja, setelah mandi dan makan, ia langsung menghidupkan komputernya dan memanggil Aileen. Saat itulah ia mendapatkan jawaban Aileen. Begitu gembiranya ia sehingga pada awalnya mereka hanya membicarakan masa lalu. Baru pada hari keempat ia konsisten pada tujuan awalnya.

Reaksi Aileen begitu berbeda dengan malam sebelumnya. Ia menjadi lebih pendiam dan tak jarang mengacuhkannya. Evans yakin Aileen tidak suka dipaksa pulang. Di sisi lain, Evans tidak dapat menyebutkan nama Geert. Evans percaya bila ia menyebutkan pendapatnya ataupun mengungkit masa lalu, Aileen pasti akan marah besar dan tidak mempedulikannya.

Tidak menyukai ide itu, Evans menggunakan cara-cara halus yang diketahuinya untuk membujuk Aileen. Ia bertanya apa kesulitan Aileen sehingga ia tidak mau pulang. Seperti jawaban sebelumnya, Aileen beralasan ujiannya sudah dekat. Ketika Evans terus mendesaknya, akhirnya Aileen mengganti alasannya. Tiket pulang terlalu mahal, katanya. Evans pun menawarkan diri untuk membayar perjalanan pulang Aileen namun gadis itu menolak.

Ketika Aileen beralasan ia baru pulang, Evans bertanya apa salahnya pulang lagi untuk menghadiri pernikahan kakaknya. Ketika Aileen beralasan ia sibuk, Evans bertanya kesibukan apa yang lebih penting dari pernikahan kakaknya yang mungkin tidak akan dilihatnya untuk kedua kalinya. Begitulah Evans terus membujuk Aileen sehingga pada akhirnya Aileen berjanji akan berusaha pulang.

‘Aku ingin kau berjanji pulang bukan berjanji akan berusaha pulang!’ tulis Evans kemarin lusa.

Setelah menanti sekian lama akhirnya Aileen menulis balik, ‘Baiklah. Aku janji akan pulang… bila memungkinkan.’ Setelah itu Aileen menulis, ‘Aku harus belajar. Bye…’

Itu adalah percakapan terakhir Evans dengan Aileen hingga hari ini.

“Siapa yang tidak datang?” Kathy bertanya.

“Tidak ada,” jawab Evans. Malam ini ia pasti akan memarahi Aileen!

Ketika semua orang mengikuti pemberkatan nikah itu, pintu gereja terbuka perlahan.

Tanpa menimbulkan suara, Aileen memasuki gereja. Tak seorang pun memperhatikan kehadirannya di tengah-tengah upacara sakral ini.

Aileen duduk di barisan terakhir dan dengan khidmat mengikuti upacara yang sudah berlangsung.

Pemandangan di depan menyayat hatinya tapi ia sudah tidak bisa menangis lagi. Aileen sudah mempersiapkan hatinya untuk melihat wajah bangga orang tuanya atas pernikahan Denise. Senyum di wajah mereka menunjukkan betapa bahagianya mereka atas pernikahan ini.

Aileen sendiri dapat meyakinkan dirinya bahwa pesta pernikahannya kelak tidak akan semewah ini. Setelah peresmian pernikahan di gereja besar ini, pesta pernikahan akan diadakan di rumah Geert yang megah. Ibunya telah mengatur sedemikian rupa hingga pesta ini berlangsung megah dan meriah sehingga takkan mudah dilupakan orang mulai dari sang pengantin wanita sampai pestanya.

Sebelum upacara singkat ini berakhir, Aileen mengundurkan diri – tanpa suara tanpa bayangan.

“Semoga kalian berbahagia selalu,” panjatnya meninggalkan gereja.

Aileen melangkahkan kaki ke pemakaman yang terletak tak jauh dari Saint Lukas.

Selama berada di luar negeri, Aileen tidak pernah mendengar kabar Samantha sakit. Baru kemarin ketika ia tiba, ia mendengar kabar kematian Samantha, pelayan tua yang telah ikut keluarganya sejak lama. Aileen menyesal tak sempat menemui wanita itu untuk terakhir kalinya tapi ini adalah takdir yang sudah terjadi.

Aileen tidak akan melupakan Samantha. Wanita itu adalah orang yang selalu membesarkan hatinya. Ia, secara tidak langsung, turut menciptakan Aileen yang tabah menjalani kehidupan ini. Wanita tua itu, semasa masih bekerja di keluarganya, menjadi ibu asuh baginya. Ia mencintai Aileen dan Aileen pun mencintainya.

Aileen trenyuh melihat nisan dingin di depannya. Matanya terasa pedih tapi tak setetes air mata pun menetes.

“Air mata ini telah lama kering, Samantha,” ucapnya lirih, “Tapi kenangan saat kau masih hidup akan terus menerangi hatiku. Sikap keibuanmu akan membimbingku terus dan kata-katamu takkan hilang dari kalbuku.”

Aileen berlutut di depan pusara Samantha. “Hanya ini yang dapat kujanjikan padamu. Inilah janji seorang anak pada ibunya.”

Jari-jari Aileen bertautan di depan dadanya dan matanya terpejam. Seperti sebuah pertunjukkan drama, satu per satu kenangan bersama Samantha muncul bersama doa Aileen yang khusuk.



-----0-----


“Selamat,” Kathy menyalami Josef.

“Terima kasih.”

“Putrimu sungguh beruntung. Geert adalah pria yang baik.”

“Ia adalah menantu yang patut dibanggakan.”

Pandangan Evans mendingin.

“Denise sungguh beruntung mendapatkan Geert. Sampaikan pesanku padanya untuk menjaga Geert baik-baik,” canda Kathy, “Jangan sampai Denise kehilangan Geert atau ia akan menyesal.”

Evans menyembunyikan senyum sinisnya. Kemarin ibunya masih memberi komentar pedas atas penikahan ini dan hari ini ia memuji sang pengantin. Inilah sisi dunia nyata yang tidak disukai Evans namun tidak jarang ia lakukan.

Josef tertawa. “Denise sangat mencintai Geert demikian pula Geert. Mereka pasangan yang serasi.”

Semakin jijik Evans dibuatnya. Mereka telah melukai Aileen namun mereka masih tega tertawa gembira seperti ini.

Semua orang sama saja! Mereka semua bersenang-senang dalam pesta pernikahan Denise. Tak adakah yang memikirkan Aileen? Tidak ada! Semua orang memperhatikan Denise tapi tidak ada yang bertanya tentang Aileen. Tidak ada yang mencarinya! Evans yakin dari hampir lima ribu tamu ini, tidak ada yang menyadari ketidak hadiran Aileen.

Semua sama saja!

Aileen juga egois. Apa yang membuat ia tidak mau menghadiri pesta pernikahan Denise, kakaknya seorang?

Apalagi kalau bukan karena Denise merebut Geert, ejek Evans.

Hanya karena itukah Aileen tidak mau datang!?

Untuk apa ia terus memikirkannya? Geert sudah direbut Denise dan mereka sudah sepakat untuk menikah. Untuk apa sakit hati? Semua telah terjadi dan tidak ada yang bisa merubahnya.

Mata Evans tertumbuk pada gadis berbaju putih gading yang sedang menutup pintu gereja yang mengarah ke pemakaman. Gadis itu begitu berhati-hati seolah tak mau membangunkan ulat yang sedang tidur tapi bukan itu yang menarik perhatian Evans.

Evans merasa ia mengenal gadis itu!

Evans mendekati gadis itu.

Gadis itu memalingkan badannya perlahan-lahan.

Mereka sama-sama terperangah.

“Ternyata kau datang,” kata Evans sinis.

Aileen tak menyahut. Ia melangkah pergi tanpa suara.

Evans menyambar lengan Aileen. “Mau ke mana kau?”

“Aku tidak ingin menjelaskan apa-apa.”

Sikap tenang Aileen menimbulkan kekesalan Evans. “Kau mendengarkanku?”

Aileen mengangguk dan melangkah pergi. Di belakangnya, Evans mengekor.

“Setelah ini kau akan ke mana?” Evans bertanya, “Bukannya sebentar lagi pesta pernikahan kakakmu akan diadakan di rumahmu?”

Aileen tidak menjawab. Ia terus melangkahkan kaki di sepanjang trotoar.

“Kau mau ke mana?” Evans menangkap lengan Aileen. “Aku akan mengantarmu.” Daripada kehilangan jejak Aileen, lebih baik menjadi pengawalnya. Tanpa menanti tanggapan Aileen, Evans menarik Aileen ke tempat parkir mobilnya.

Aileen tidak berniat melawan. Saat ini ia tidak sedang dalam suasana hati untuk berdebat. Ia lelah.

“Kapan kau tiba?” tanya Evans begitu mereka sudah berada di dalam mobil.

“Tadi pagi,” Aileen menjawab singkat.

“Pantas saja kau tidak muncul bersama orang tuamu.”

Suasana nyaman di dalam mobil dan hembusan AC yang lembut membuai Aileen.

“Sekarang kau mau ke mana?” Evans sudah mengeluarkan mobil dari tempat parkir.

Ke mana? Saat ini ia tidak mempunyai tujuan. Ia juga tidak mempunyai sebuah tempat pun yang ingin ia singgahi.

“Ke manakah tujuan Anda, Tuan Puteri?” Evans mengulangi pertanyaannya.

“Ke pantai,” otak Aileen langsung memberi jawaban.

“Ke pantai!? Di saat seperti ini!??” Evans kaget.

“Aku tidak pernah ke pantai di musim semi,” Aileen beralasan.

“Baiklah,” Evans menjalankan mobilnya ke jalanan besar, “Kalau kau sakit, jangan salahkan aku.”

Aileen mengangguk. Saat ini pantai merupakan obat yang paling baik untuknya melupakan kegalauan di hatinya. Deburan ombak pantai pasti dapat meredakan gejolak perlawanan di dalam hatinya. Semilir angin pantai pasti dapat menenangkan kembali pikirannya. Saat ini tempat yang paling cocok untuknya adalah tempat yang sunyi dan damai.

Evans memasang lagu slow.

“Aileen, aku tahu tempat yang bagus. Apa kau mau ke sana? Tempat itu sejuk dan kau bisa melihat laut dari sana.”

Tidak ada jawaban dari Aileen.

“Aileen?” Evans menoleh.

Tangan Aileen terlipat manis di pangkuannya. Kepalanya mengarah ke jendela luar namun matanya terpejam erat.

Evans tersenyum. Gadis itu pasti kelelahan setelah perjalanan panjangnya semalam.

Evans mengarahkan AC jauh dari Aileen dan memutar mobil ke arah tujuan baru yang diputuskannya. Ia yakin Aileen pasti akan menyukai tempat itu namun sebelum ke sana, ia masih perlu ke tempat lain.

Di depan sebuah mini market, Evans menghentikan mobilnya. Ia meyakinkan Aileen masih tidur pulas sebelum meninggalkan mobil dalam keadaan terkunci dan mesin menyala. Tak sampai sepuluh menit kemudian, ia sudah kembali ke dalam mobil dengan sebungkus besar belanjaannya.

Sesaat sebelum membuka pintu kursi belakang mobil sedannya, Evans mengeluarkan selembar selimut tipis. Dengan hati-hati, ia meletakkan belajaannya di kursi belakang dan menutup pintu mobil. Tanpa mengeluarkan suara pula, ia kembali duduk di belakang kemudinya.

Aileen masih tertidur pulas ketika Evans menyelimutinya dengan selimut yang baru dibelinya.

Evans tersenyum puas dan menjalankan mobil kembali. Semua persiapan sudah beres. Sekarang ia hanya perlu mengarahkan mobil ke tujuan mereka.

Aileen merasa mobil mulai melambat. Ia membuka matanya dengan malas.

Evans masih menyetir dengan serius.

‘Lampu merah,’ pikirnya lalu menutup mata lagi. Selang beberapa waktu Aileen mulai merasakan ketidakberesan. Aileen melihat sekelilingnya yang hijau dengan bingung.

“Evans?” ia bertanya, “Di mana kita?”

“Ah, kau sudah bangun,” Evans memalingkan kepala. “Lihatlah keluar. Pemandangan di sini sungguh luar biasa.”

Aileen duduk tegak. Saat itulah ia menyadari keberadaan selimut di atas tubuhnya. Aileen melihat Evans dengan heran kemudian melihat pemandangan di kaca mobil yang ditunjuk Evans.

Langit biru menghampar luas sepanjang pandangan Aileen. Di sisi kanan kirinya, rimbunan daun pepohonan lebat menaungi mereka. Aileen melihat sekelilingnya dengan bingung.

Evans memencet tombol untuk membuka jendela di sisi Aileen.

Sayup-sayup Aileen mendengar suara deburan ombak. Aileen melihat Evans dengan pandangan penuh ingin tahu.

“Mengapa engkau tidak melihat keluar?” Evans tersenyum pada Aileen.

Aileen tidak menunggu tawaran kedua untuk melesat keluar. Matanya terpaku pada laut di bawah kakinya. Ia tidak tahu di dekat kota mereka ada tempat yang secantik ini. Dari tempatnya berdiri, ia dapat melihat ujung pulau dan gunung-gunung di kejauhan. Di bawah terbing terjal di kakinya, ombak laut menerjang bebatuan di tepi pantai tanpa ampun.

Aileen menyukai perpaduan warna biru laut dan langit cerah. Ia menyukai deretan bebatuan terjal yang menggapai laut. Aileen menyukai buih putih yang menyapu pantai. Aileen mencintai tempat ini!

Evans tersenyum melihat gadis itu terperangah oleh pemandangan di depannya. Ia tidak salah. Tempat ini memang cocok untuk menghibur Aileen. Evans mengambil selimut yang dijatuhkan Aileen di lantai mobil dan menghampiri gadis itu.

“Jangan melamun,” ia menutupi kepala Aileen dengan selimut.

Aileen terkejut. Tubuhnya secara spontan berbalik ke arah suara itu dan tangannya berusaha menyingkap selimut yang menutupi pandangannya. Sesaat kemudian Aileen merasa tubuhnya meluncur dengan cepat.

“Hati-hati!” Evans menangkap Aileen dan memeluknya.

Aileen pucat pasi. Tubuhnya mendingin karena kaget. Dadanya berdebar kencang. Tangannya yang mencengkeram lengan Evans bergetar.

“Lain kali jangan berdiri terlalu dekat tebing,” Evans memperingati.

Aileen menengadah.

“Dan jangan lupa selimutmu,” Evans menyampirkan selimut itu di pundak Aileen.

Aileen mencengkeram ujung selimut dan mengangguk.

Evans duduk di mulut mobil sedannya. “Kau bisa duduk di sini kalau kau mau,” ia menepuk tempat kosong di sisinya.

“Tidak, terima kasih,” Aileen menolak halus. Aileen lebih suka duduk di tepi tebing sambil memperhatikan ombak di bawah. Kakinya merapat di dadanya dan ia membaringkan kepala di atas kedua lututnya. Matanya terus memperhatikan buih-buih putih yang sebentar muncul dan sesaat kemudian menghilang.

Evans melihat gadis itu akan terus dalam keadaan seperti itu untuk beberapa saat. Ia kembali ke dalam mobil untuk mengeluarkan belanjaannya. Ia mengambil sebotol teh dan memberikannya pada Aileen. “Untukmu.”

Aileen terperanjat.

Evans juga ikut kaget. Ia langsung mencengkeram pundak Aileen.

“Terima kasih,” Aileen mengambilnya dari tangan Evans.

“Untung kau hanya duduk,” Evans lega. Pemuda itu duduk di sisi Aileen dan mengeluarkan sebungkus potato chips dari dalam tas kertas di pelukannya.

“Mau?” ia menawari Aileen.

“Tidak, terima kasih,” Aileen menggeleng.

“Di sekitar sini tidak ada restoran dan aku tidak berniat pulang sebelum sore,” Evans memperingati.

Aileen memperhatikan Evans menyantap potato chipsnya dengan lahap.



*****Lanjut ke chapter 3

No comments:

Post a Comment