Wednesday, September 10, 2014

Aileen-Chapter 1

“Di sini rupanya kau!” seseorang menangkap lengan Aileen.

Aileen terperanjat.

“Kau sudah merepotkan banyak orang.”


“Maaf,” Aileen berkata ringan dan melanjutkan pekerjaannya. Ia merapikan piring-piring kotor di meja ke atas nampan kosong di tangannya dan membawanya ke sebuah lubang di dinding yang menghubungkan ruangan itu dengan dapur. Aileen meletakkan nampan di sana dan seseorang dari dalam segera mengambilnya.

Ketika Aileen berbalik, Evans sudah menghadang wajah geramnya.

“Maaf!? Hanya itukah yang dapat kaukatakan?” Evans tidak suka pada raut tak bersalah Aileen. “Tahukah kau karena engkau, semua orang menjadi bingung!?”


“Maaf. Katakan pada mereka aku baik-baik saja.”

Evans mengawasi Aileen yang sekarang sibuk mengelap meja kotor tadi. “Mengapa kau tidak mau pulang?” celetuknya tiba-tiba.

“Tidak apa-apa.”

“Jadi,” Evans menyilangkan tangan di depan dadanya, “Itu benar?”

Aileen beralih ke meja lain.

Evans terus mengekor gadis itu. “Aku pernah mendengar kau bersumpah untuk tidak kembali setelah lulus.”

“Aku masih belum lulus,” Aileen membenarkan.

“Sebenarnya ada apa denganmu? Tidak pulang juga tak memberi kabar. Membuat semua orang bingung!”

Aileen segera memunggungi Evans untuk menyimpan kembali lap meja.

“Aku sedang berbicara denganmu!” Evans mencengkeram lengan Aileen.

“Aku tidak punya waktu untuk berbicara denganmu,” balas Aileen dingin.

Leopold Wilder, sang pemilik rumah makan itu akhirnya tidak sabar melihat seorang pria asing terus menganggu pegawainya. “Lepaskan dia!” ia menjauhkan Evans dengan paksa, “Apa kau tidak lihat ia terganggu.”

“Aku punya urusan penting dengannya.”

“Hadapi aku dulu!” tantang Leopold, “Jangan coba-coba menggoda pegawaiku!” Ia memasang badan di depan Aileen.

“Aku adalah kakak sepupunya!” Evans tidak suka dengan tuduhan itu.

“Aku adalah ayahnya!” Leopold tak mau kalah.

Melalui matanya, ia memerintah Aileen untuk membuka suara.

“Ia tidak berbohong,” Aileen memberitahu sambil lalu.

“Kau dengar itu?” Evans membusungkan dada.

“Benarkah itu, Aileen?” Leopold mencengkeram pundak Aileen, “Jangan ragu-ragu mengatakan kesulitanmu padaku. Aku pasti akan membantumu.”

Evans tidak menyukai pria tengah baya ini.

“Aku tidak berbohong,” Aileen tersenyum manis, “Ia adalah kakak sepupuku.”

“Kau dengar itu?” Evans tersenyum puas.

Leopold melihat Evans dengan tidak senang lalu pada Aileen lekat-lekat.

Tanpa menanti reaksi Leopold, Evans menggenggam pergelangan tangan Aileen. “Aku pinjam dia sebentar,” ia pun menarik Aileen pergi meninggalkan restoran kecil itu.

Tanpa dapat melawan kekuatan Evans, Aileen membiarkan Evans menyeretnya seperti anak kecil.

Leopold langsung mengejar keduanya.

“Sudahlah, Papa,” Sigrid menampakkan diri di jendela dapur. “Aileen akan baik-baik saja.”

“Kau terlalu mengkhawatirkan Aileen,” Helena menyetujui pendapat putrinya.

“Aku saja tidak pernah diperhatikan seperti itu,” Sigrid merajuk.

“Kau beda!” sahut Leopold. Ia melihat Aileen dan Evans yang sekarang sudah tidak nampak di pintu kaca.

Dibandingkan dengan putrinya, gadis yang telah lama bekerja paruh waktu di rumah makannya itu lebih mudah digoda lelaki. Aileen dan Sigrid yang hanya terpaut dua tahun itu sama-sama merupakan gadis yang cantik dan menarik. Namun, entah mengapa para tamu lelaki yang datang di tempat ini suka menggodanya dibandingkan putrinya. Bila dikatakan sifat Aileen lebih menarik daripada Sigrid, maka pendapat itu salah. Sigrid adalah gadis yang periang dan cepat bergaul dengan orang lain. Sebaliknya, Aileen adalah gadis yang pendiam. Bahkan kepada orang asing yang tak dikenalnya, Aileen dapat menjadi seorang yang tertutup. Maka dari itu bila dilihat dari sifat keduanya, Sigrid harusnya lebih mudah digoda para lelaki daripada Aileen. Dilihat dari kemolekan tubuhnya, Sigrid juga tidak kalah dari Aileen. Bahkan Sigrid lebih suka memakai baju seksi yang terbuka dibandingkan Aileen. Keduanya pun dapat disejajarkan di bidang akademis walau mereka mengambil bidang yang berbeda dan berbeda tingkat. Apapun penyebabnya, Leopold merasa ia mempunyai kewajiban untuk melindungi Aileen selama gadis itu bekerja padanya.

“Siapa pemuda itu?” Sigrid menyandarkan badan di jendela. Kedua sikunya bertumpu di meja jendela itu dan menopang kepalanya. “Aileen tidak pernah bercerita ia mempunyai kakak sepupu yang setampan itu.”

“Pemuda itu memang tampan dan gagah,” Helena sependapat.

“Sayangnya, mereka adalah sepupu,” Sigrid mendesah, “Kalau tidak, aku yakin Aileen pasti tergila-gila padanya.”

“Aileen bukan kau!” omel Leopold, “Cepat selesaikan tugasmu.”

“Aku lebih suka Aileen berjalan bersamanya daripada Geert,” celetuk Helena, “Aku rasa pemuda ini lebih cocok untuk Aileen.”

“Jangan sebut nama itu lagi! Mendengar namanya saja aku tidak sudi,” suara Sigrid sarat oleh kemurkaan. “Pria macam apa itu! Percuma aku memberi nilai tinggi padanya.”

“Kau tidak bisa menyalahkannya,” Helena memberi nasehat dengan bijaksana, “Ia pasti mempunyai alasan sendiri.”

Sigrid membuang muka dengan kesal. Ini bukanlah topik pembicaraan yang ia sukai.

“Menurutmu, mengapa pemuda itu ke sini?” Helena bertanya pada suaminya, “Bukankah tadi ia menyebutkan kepulangan Aileen.”

“Aku tidak ingin membicarakannya!” sekarang ganti Leopold yang kesal.

Helena melihat pintu yang kosong. Dalam hatinya ia bertanya-tanya apakah mungkin pemuda itu datang untuk menjemput Aileen? Apakah mungkin Aileen akan pulang untuk menghadiri pesta pernikahan kakaknya?

Walau ia sudah mengenal mereka selama tiga tahun terakhir, Aileen tidak pernah menceritakan apa pun kepada mereka. Ia juga tidak pernah membicarakan kepulangannya yang lalu bersama Geert Balkanende, teman sekelas Sigrid yang menyukai Aileen.

Pada awalnya, Leopold menghalang-halangi Geert mendekati Aileen. Ia percaya Geert tidak berbeda dengan pria-pria yang ingin menggoda Aileen. Dengan berselangnya waktu, hati Leopold kalah oleh keseriusan Geert. Ia membiarkan pemuda itu tiap hari melapor diri di rumah makan mereka. Ia juga membiarkan pemuda itu berusaha menarik perhatian Aileen.

Aileen juga pada awalnya mengacuhkan pemuda itu. Namun, untung bagi Geert, ia mengenal Sigrid. Perlahan-lahan, dengan perantaraan dan bantuan Sigrid, Geert berhasil mengakrabkan diri dengan Aileen.

Setiap orang yang melihat mereka, pasti dapat melihat besarnya cinta Geert pada Aileen. Karena itu tidak ada yang heran dan kaget ketika Geert memutuskan ikut Aileen pulang ke negaranya.

Tidak seorang Wilder pun tahu apa yang terjadi selama mereka di negara asal Aileen. Mereka hanya tahu sekembalinya Aileen, Geert Balkanende tidak pernah melaporkan diri lagi di rumah makan mereka. Dan, lama tak berselang, Sigrid menerima undangan pesta perkawinan Geert dengan Denise LaSalle, kakak Aileen!

Mereka tidak tahu bagaimana reaksi Aileen. Mereka juga tidak tahu apa yang ada di dalam hati Aileen. Gadis itu sama sekali tidak pernah menyebut pesta pernikahan keduanya. Ia juga tidak pernah mengomentarinya.

Masih tergambar jelas dalam ingatan Helena, hari ketika Sigrid menerima undangan itu.

Kala itu Sigrid begitu terkejut hingga ia tidak sanggup mengutarakan sebuah suara pun. Matanya hanya membelalak pada surat undangan yang mengantarkan serangan tak terduga itu.

“Dari siapa, Sigrid?” Helena heran melihat reaksi Sigrid yang berlebihan itu.

Tengah Sigrid masih terpaku dengan surat undangan di tangannya, Aileen memasuki ruangan.

Kontan Sigrid panik. Ia terburu-buru menyingkirkan undangan itu dari pandangan Aileen. Namun sikapnya itu justru membuat undangan di tangannya terbang dan jatuh di dekat Aileen.

Aileen memungut undangan itu dan mengembalikannya pada Sigrid.

Sigrid terbengong-bengong. Ia yakin Aileen melihat tulisan dalam surat undangan yang jatuh terbuka itu. “Aileen…,” Sigrid berkata hati-hati, “K-kau melihatnya.”

Aileen mengangguk.

“Mengapa kau tidak mengatakan sesuatu!?” protes Sigrid.

Di luar dugaan Sigrid, Aileen balik bertanya dengan santai, “Mengapa?”

“Kau seharusnya marah! Denise telah merebut Geert darimu.”

“Denise tidak merebut Geert dariku,” Aileen membenarkan dan ia duduk di meja makan dengan santai. Seperti biasanya, ia mengambil dua potong roti dan mengoleskan selai kesukaannya untuk makan pagi.

Sigrid semakin terbengong-bengong dibuatnya. Hari itu tidak ada reaksi dari Aileen ketika ia dengan tidak sengaja melihat undangan pesta pernikahan Geert Balkanende dengan kakaknya. Hari ini, hampir sebulan setelah kejadian surat undangan itu, Aileen juga tidak menunjukkan gejala yang tidak wajar. Ia juga tidak menunjukkan niat menghadiri pesta pernikahan kakaknya satu-satunya itu.

Baik Sigrid maupun Helena tidak mengerti bagaimana reaksi Aileen atas pernikahan ini, pernikahan pemuda yang pernah mengejarnya hingga memaksa ikut pulang bersamanya. Hingga detik ini mereka tidak tahu apakah Aileen pernah mencintai Geert Balkanende. Dalam beberapa hal, Aileen memperlakukan Geert tidak seperti ia memperlakukan pria-pria lainnya. Namun tidak jarang pula Aileen mengacuhkan Geert seperti ia mengacuhkan pemuda-pemuda yang menggodanya.

Tiga tahun lamanya ia mengenal Aileen. Dua tahun lamanya Aileen tinggal di rumah mereka. Ia selalu menganggap Aileen sebagai anggota keluarganya. Ia mencintai Aileen seperti putri kandungnya. Tapi rasanya jarak di antara mereka tidak pernah berkurang.

Di mata Aileen mereka tetaplah tuan rumah dan majikannya.



-----0-----


Aileen setengah berlari mengimbangi langkah-langkah lebar dan cepat Evans. “Lepaskan aku,” protes Aileen, “Aku harus bekerja.” Apa pun alasan pemuda itu marah, Aileen tidak bisa meninggalkan pekerjaannya begitu saja seperti ini. Ia tidak mau merepotkan keluarga yang telah berbaik hati padanya itu.

Evans tiba-tiba berhenti. “Kita duduk di sini,” ia memutuskan.

Aileen melihat deretan meja di depan sebuah coffee bar. Evans tidak bermaksud duduk di sini, bukan? Aileen melihat Evans.

“Lepas celemekmu!” perintah Evans.

Tanpa disadarinya, Aileen menuruti perintah itu dan duduk di kursi yang ditarik Evans untuknya.

Seorang pelayan segera menghampiri mereka dengan membawa menu.

“Terima kasih,” Aileen tersenyum menerima menu. Dengan tidak berminat, ia membolak-balik menu itu. Ia tampak mendengarkan pelayan tersebut mengenalkan menu spesial mereka namun hatinya melayang jauh. Matanya terpaku pada gambar-gambar cake yang nampak lezat. Otaknya berkonsentrasi mengingat dekorasi cake-cake dalam gambar-gambar itu. Karena itu Aileen terkejut ketika Evans bertanya,

“Kau mau apa?”

Aileen melihat Evans.

“Pesanlah apa pun yang kau mau,” Evans mengulangi.

“Terserah.”

“Apa kau ingin cake?” Evans melihat halaman menu yang terbuka di depan Aileen.

Aileen melihat menunya dengan kaget. “T-tidak. Aku… aku… aku mau teh hijau.”

Evans melihat Aileen dengan mata terbelalak. “Apa kau sedang kau pikirkan? Ini adalah coffee shop. Darimana kau akan mendapatkan teh?”

Aileen menyadari jawabannya yang spontan itu.

“Beri dia secangkir cappuccino dan cake strawberry itu.”

“Baik,” pelayan itu mencatat pesanan Evans kemudian mengulangi pesanan mereka.

Aileen menutup menu dan mengembalikannya pada pelayan itu.

“Aku dengar kopi tempat ini lumayan enak.”

“Ada perlu apa kau memanggilku?” Aileen langsung menuju pokok pembicaraan.

Evans duduk tegak dan menatap lurus ke dalam mata Aileen. “Kau akan pulang?”

“Aku kira aku sudah menjawabmu.”

“Kenapa kau tidak pulang walau hanya untuk menemui keluargamu?”

“Engkaulah yang harus pulang. Aku akan memberi kabar orang tuaku.”

“Kau pikir karena siapa aku di sini?”

“Aku tidak memintamu datang.”

“Engkau sudah membuat orang tuamu khawatir! Denise juga bersikeras tidak menikah kalau kau tidak datang.”

Aileen tidak memberi tanggapan apapun.

“Mengapa kau begitu keras kepala!?”

“Mengapa kau marah?”

“Aku tidak marah.”

“Tapi kesal,” gumam Aileen.

“Mengapa kau lebih suka tinggal di sini? Di sini kau tidak punya keluarga, tidak punya rumah juga uang.”

“Karena itu aku bekerja,” Aileen menyahut dengan dingin, “Jadi, tolong biarkan aku kembali ke tempat kerjaku sebelum aku dipecat.”

“Apa kau akan selamanya bekerja di sana?”

“Bila keadaan menginginkan.”

“Bukankah lebih baik kau pulang? Di rumah engkau mendapatkan segala yang kau mau.”

“Aku lebih senang di sini.”

“Kalau kau tidak pulang, Denise tidak akan menikah.”

Gadis itu tersenyum.

Sekilas Evans melihat senyum sinisnya.

“Katakan padanya aku pasti datang pada pernikahannya.”

“Engkau sungguh keras kepala. Masalah apa yang membuatmu enggan pulang?”

Aileen berdiam diri dan menopang dagunya di meja. Matanya menjadi sayu. Sambil menatap Evans, ia berkata, “Dulu aku sangat kagum dan terpesona padamu. Engkau sangat jantan, baik hati juga gagah. Aku sering berpikir alangkah bahagianya gadis yang menjadi istrimu. Tak jarang aku ingin menjadi istrimu.”

“Lalu sekarang?” Evans menopang dagu dengan kedua tangannya dan mencondongkan badan ke depan hingga wajahnya hanya berjarak tak kurang dari sepuluh centi dari wajah Aileen.

“Aku tidak tahu,” Aileen menyandarkan punggung.

“Kalau aku melamarmu, bagaimana?”

Aileen terkejut. Lama ia menatap Evans. “Aku menolak.”

“Mengapa?” suara Evans melembut. “Bukankah kau ingin menjadi istriku?”

“Karena aku tahu engkau sedang bercanda.”

“Kalau aku serius?”

Mata gadis itu menjadi semakin sendu. “Kalau kau memang untukku,” gumamnya. Aileen memutuskan untuk meninggalkan Evans dan pembicaraan yang tidak ingin dilanjutkannya ini.

“Kau mau ke mana?” Evans menangkap tangan Aileen.

“Kembali bekerja sebelum aku dipecat.”

“Kau tidak akan dipecat,” Evans memberi jaminan, “Aku akan menjelaskan pada mereka.”

“Sudah seharusnya,” Aileen sependapat, “Kaulah yang membawaku pergi dengan paksa.”

“Duduklah. Pesananmu sudah datang.”

“Aku tidak memesan. Itu adalah pesananmu.”

“Aku memesannya untukmu.”

“Aku tidak memintanya.”

“Aku mentraktirmu.”

“Aku tidak ingin.”

“Aku memaksa.”

Aileen lelah oleh perdebatan yang konyol ini. Ia pun duduk tanpa protes.

Leopold pasti tidak akan memarahinya karena pergi terlalu lama. Leopold juga melihatnya sendiri ia pergi bukan karena keinginannya sendiri. Evans tersenyum puas.

Seperti yang dikatakan Evans, pesanan mereka tiba hanya beberapa saat setelah Aileen duduk kembali.

Tak ingin membuang waktunya, Aileen segera menghabiskan kue tartnya.

“Apa kau perlu tergesa-gesa seperti ini? Cakemu tidak akan ke mana-mana,” komentar Evans.

Aileen menyantap buah strawberry yang sengaja ia sisihkan dan menyeduh kopinya. “Pahit,” Aileen menahan diri untuk tidak meludahkan kopi di mulutnya.

“Siapa suruh kau menghabiskan cakemu duluan!?”

Aileen memaksa diri untuk menelan seteguk kopi lagi namun dengan terpaksa ia membatalkan niatnya karena panasnya kopi.

“Apa kau perlu tergesa-gesa seperti ini?” Evans mengomentari dengan tidak senang.

“Aku tidak punya waktu,” Aileen menjawab singkat.

“Hari masih panjang,” Evans membenarkan.

Aileen mengabaikan Evans. Ia menyibukkan dirinya mengaduk-aduk kopinya agar segera dingin.

“Apa kau begitu tidak ingin minum kopi bersamaku?” Evans terus memperhatikan Aileen yang sebentar sibuk mendinginkan kopinya dan sebentar menghabiskannya. “Banyak wanita yang ingin pergi bersamaku, kau tahu?”

“Aku bukan mereka,” sahut Aileen dingin.

“Katamu kau ingin menjadi istriku.”

“Itu dulu.”

“Sekarang?”

Aileen menatap Evans lekat-lekat.

Ketika ia menatap Evans seperti ini, ia tidak merasakan perasaan apa pun di hatinya. Namun ketika ia mengingat sikap gentleman Evans padanya, ia ingin terus bersamanya. Evans adalah pemuda yang tampan dan tinggi gagah tetapi bukan itu yang membuatnya segan padanya. Sikap gentlemannya itulah yang membuat Aileen terpesona.

Apakah ia benar-benar mencintai Evans? Aileen tidak tahu.

Pernah ada suatu masa di mana ia tergila-gila pada Evans. Diam-diam ia cemburu pada kekasih-kekasih Evans. Ia ingin menjadi kekasih Evans, kekasihnya yang terakhir. Dengan bertambahnya usia, perasaan itu menghilang. Sekarang di dalam hatinya Evans tidak lebih dari seorang sepupu jauh. Tetapi Aileen juga tidak dapat menyangkal debaran di hatinya ketika Evans bersikap lembut padanya.

“Itu adalah masa lalu,” Aileen menolak memberinya kebenaran.

“Omong-omong, apa kau pernah pacaran?”

Aileen terperanjat.

“Itu artinya kau tidak pernah,” Evans menebaknya dengan tepat.

“Bukan urusanmu!” Aileen membuang wajahnya yang terasa panas dan beranjak meninggalkan tempat itu.

“Kau marah?” Evans meraih tangan Aileen.

“Tidak,” Aileen melepaskan tangannya namun Evans menggenggamnya semakin erat.

“Lalu mengapa kau berdiri?”

“Aku masih perlu kembali bekerja.” Aileen benar-benar berharap Evans melepaskannya tanpa banyak bertanya.

Evans tersenyum melihat Aileen yang menolak memalingkan wajah. Gadis ini selalu begini setiap kali ditanyai pertanyaan yang menurutnya bersifat pribadi.

“Apa kau akan pulang?” akhirnya Evans kembali pada tujuan awalnya.

“Tidak,” dan Aileen merasa ia perlu memberikan alasannya, “Ujian tengah semesterku sudah dekat.”

“Dosenmu tidak akan keberatan memberimu ujian susulan kalau kau memberitahu mereka.”

“Aku tidak ingin mendapatkan perlakuan khusus hanya karena masalah pribadi.”

Evans sadar di saat tertentu Aileen bisa menjadi sangat keras kepala seperti saat ini.

“Kau bisa!” Evans tidak mau kalah, “Berjanjilah.”

Tidak ingin terus menghabiskan waktu bersama Evans, Aileen menjawab, “Aku akan berusaha.” Ia melepaskan tangannya. “Terima kasih atas traktiranmu,” dan ia pergi.

Evans memperhatikan Aileen menjauh. Ia merasa gadis itu tidak akan pulang.



*****Lanjut ke chapter 2

1 comment:

  1. kak, kalo aileen ini mengambarkan karakter kakak,, kakak adalah pribadi yang hebat,,
    semangat y kak

    ReplyDelete