Sunday, November 9, 2008

Kisah Cinta-Chapter 9

“Sarita! Sarita!”

Suara berat memanggilnya dari kejauhan.

“Sarita, bangun!”

Sarita melihat sepasang mata cemas itu dengan pikiran kosong.

“Kau tidak apa-apa?”

Sarita melihat Halbert dengan bingung. Sesaat lalu ia bertemu Duke Norbert yang menagih pertanggungjawabannya kemudian Chris muncul dan berusaha memperkosanya lagi. Saat itulah ia mendengar suara yang memanggil-manggilnya dengan panik dan ketika ia tersadar, ia sudah berada di lengan Halbert.

“Kau tidak sakit lagi, bukan?” tangan Halbert memegang kening Sarita.

Sarita hanya menatap Halbert dengan mata bertanya-tanya.

“Kau pasti terlalu lelah,” Halbert memutuskan.

Mata Sarita tidak beranjak dari wajah tampan yang cemas itu.

“Urusan Cookelt pasti telah menguras tenagamu,” Halbert melepaskan tangannya yang melingkari punggung Sarita.

Seminggu sudah Sarita tinggal di Ririvia. Selama ini tidak ada yang tidak beres pada Sarita. Sekarang Sarita terlihat lebih sehat dan lebih segar dari sebelumnya. Walau terkadang ia masih terlihat sedih, Sarita sudah sering tersenyum gembira.

Halbert tidak pernah mendengar suara Sarita di malam hari ataupun di pagi hari ketika ia melewati kamar Sarita. Tapi pagi ini ia mendengar Sarita menjerit-jerit ketakutan. Ia pun memutuskan untuk melihat Sarita.

Walau Sarita berada jauh dari Trottanilla, tidak berarti Sarita jauh dari masalah keluarga Riddick. Sesungguhnya, di pagi pertama Sarita berada di Ririvia, ia telah menerima setumpuk dokumen kiriman Graham. Demi kelancaran tugas Sarita, Raja Kathleen mengijinkan Sarita menggunakan Ruang Perpustakaan. Halbert juga telah mengatur orang khusus untuk mengirim kembali dokumen-dokumen itu beserta perintah tertulis Sarita kepada Graham. Sejak itu pulalah hari-hari Sarita tidak pernah jauh dari Ruang Perpustakaan dan urusan Cookelt.

Graham bukan saja perantara yang baik tapi juga penasehat yang baik. Tiga hari setelah Sarita berada di Helsnivia, ia menyarankan Sarita untuk mengganti guru pribadi Chris. Sesungguhnya Sarita tidak menyukai Owen tapi ia tidak dapat melihat kesalahan Owen dalam mengajar Chris. Grahamlah yang berkata Owen akan membentuk Chris menjadi Duke yang buruk. Owen pula yang mulai mendorong Chris untuk melawan Sarita. Sarita, atas saran Graham, memilih guru baru untuk Chris dan sekarang guru itu menjadi pengawas kepercayaannya.

“Apakah kau mau pergi berkuda denganku?”

Sarita melihat Halbert sudah mengenakan pakaian lengkap. Celana hitam yang membalut kaki panjangnya dipadu dengan kemeja putihnya. Halbert terlihat jauh lebih santai dari saat ia mengenakan baju dinasnya.

Sarita ingat setiap pagi Halbert selalu pergi berkuda. Sarita selalu melihat kepergian Halbert di pagi-pagi buta. Sarita juga mengawasi kepulangan Halbert sesaat sebelum makan pagi. Halbert pasti tidak menyadarinya. Sarita selalu melihat di saat Halbert mulai mendekati pintu, segerombolan wanita yang entah dari mana datangnya, mengerumuni Halbert. Dengan ramah dan senyumnya yang menaklukan hati tiap wanita, Halbert melayani wanita-wanita itu satu per satu. Benar-benar tipe pria yang tidak kekurangan teman wanita! Yang diherankan Sarita adalah Halbert tidak se‘lincah’ ketika ia berada di Trottanilla. Ia melihat wanita di sisi Halbert selalu silih berganti tapi tidak tiap hari dan sehari lima kali seperti di Trottanilla. Halbert juga tidak selalu menghabiskan waktunya bersama wanita seperti ketika ia di Trottanilla. Sesungguhnya, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk urusan Kerajaan Helsnivia. Tapi siapa tahu ketika ia berada di luar Ririvia.

“Aku akan menunggumu di bawah,” Halbert memberitahu dan ia meninggalkan Sarita yang masih bergulat dengan pikiran kosongnya.

Saritapun segera bangkit dan bersiap-siap.

Sarita selalu seperti ini beberapa saat setelah ia membuka mata di pagi hari terutama bila ia dibangunkan dengan paksa. Ayahnya selalu berkata saat yang paling mudah untuk membujuknya adalah di pagi hari ketika ia baru membuka mata. Hanya saat inilah pikirannya kosong dan otaknya berputar lambat bahkan untuk berkata-kata. Bila Halbert tidak mengetahuinya, maka ia pasti menyadarinya saat ini.

Beberapa saat kemudian Sarita sudah berdiri di depan Halbert yang menantiya di depan pintu Ririvia dengan dua ekor kuda yang gagah. Penampilan Sarita jauh dari Halbert yang berwibawa. Sarita hanya mengenakan salah satu gaun katunnya yang sederhana – jauh dari kesan mewah. Rambutnya hanya terikat pita coklat muda yang senada dengan gaunnya.

“Kau sudah siap?” Halbert memberi cambuk kuda kepada Sarita.

“Ya,” pikiran Sarita sudah pulih sekarang tapi ini sudah terlalu terlambat untuk berpaling. Sarita segera menaiki kudanya sebelum Halbert menawarkan bantuan atau membantunya tanpa ijin.

Halbert menyembunyikan senyum gelinya melihat Sarita yang seperti terburu-buru kabur.

Berdua, mereka beriringan meninggalkan Istana Ririvia yang megah. Mereka melewati Travlienne, pusat pemerintahan Helsnivia. Mereka terus melaju ke daerah perhutanan – jauh dari pemukiman. Mereka terus menanjak di antara pohon-pohon tinggi hingga pada akhirnya Halbert berhenti di tepi jurang terbuka.

“Ini adalah tempat yang paling kusukai di Helsnivia,” Halbert mengumumkan.

Sarita memandang kumpulan rumah-rumah kecil jauh di kaki gunung.

Halbert turun dari atas kudanya dan berjalan ke tepi jurang.

Sarita mengikuti.

“Dari sini kau bisa melihat seluruh wilayah Helsnivia.”

Sarita melihat lekukan-lekukan kaki pegunungan dan daratan hijau yang membentang luas hingga di kaki gunung di kaki langit. Beberapa garis meliuk-liuk di antara hijaunya pepohonan. Di sana sini terlihat danau yang nampak seperti kolam kecil di tempat tinggi ini. Istana Ririvia yang tinggi menjulangpun nampak seperti sebuah titik di antara karpet hijau yang membentang sejauh mata memandang.

“Aku sungguh menyesal aku tidak pernah membawamu keluar.”

Sarita melihat Halbert dan tersenyum. “Saya tidak pernah menyalahkan Anda. Anda adalah orang yang sibuk.”

“Kadang di kala aku lelah, aku datang ke tempat ini. Tidak seorang pun tahu tempat ini kecuali aku,” Halbert menatap Sarita, “Dan kau tentunya.” Halbert memberikan senyumannya yang menawan, “Kau adalah gadis pertama yang kuajak ke tempat ini.”

Sarita hanya tersenyum. Dalam hati ia bertanya-tanya berapa kalikah Halbert mengatakan kalimat yang sama. Sarita tidak akan terkejut bila Halbert sudah menghafal kalimat ini di luar kepalanya.

“Kau juga wanita pertama yang kuajak pulang ke Ririvia.”

Pemuda dengan reputasi seperti Halbert!? Tidak mungkin. Sarita tidak percaya. Bila Halbert berkata ia adalah anak haram pertama ang dibawanya pulang, Sarita akan percaya.

“Anda sungguh pandai berbicara, Pangeran,” Sarita tersenyum, “Pasti inilah cara Anda membuat tiap kekasih Anda merasa spesial.”

“Tidak, Sarita. Aku bersungguh-sungguh,” Halbert berusaha meyakinkan.

Sarita hanya tersenyum simpul dan duduk memandang kejauhan. Ia memang gadis muda yang lugu dan buta tentang pria tetapi ia tidaklah sebodoh itu.

“Sesungguhnya kau adalah yang pertama dalam banyak hal,” Halbert duduk di sisi Sarita, “Kau adalah gadis pertama yang kulihat tidak terlalu pusing dengan penampilanmu.”

“Bila Anda menunjuk pada gaun-gaun saya, Pangeran, sungguh menyesal saya tidak mempunyai sepotong gaun pun yang sesuai dengan kemewahan Istana Ririvia. Ketika meninggalkan Sternberg, saya berniat tinggal di desa Hauppauge yang jauh dari kaya dibandingkan Istana Ririvia yang megah.”

“Kau bisa membeli gaun baru.”

“Untuk apa?” tanya Sarita, “Saya tidak akan selamanya tinggal di Ririvia. Yang terutama, saya tidak punya uang, uang negara ini.”

Halbert memperhatikan Sarita sama sekali tidak terusik oleh bedanya kualitas pakaian yang mereka kenakan.

“Kau adalah wanita pertama yang tidak pusing menata rambut.”

“Tatanan rambut yang paling rumit yang saya kenakan adalah mengepang rambut saya,” Sarita membeberkan fakta, “Saya tidak dibesarkan untuk memusingkan rambut saya. Saya suka membiarkan rambut saya tergerai.”

Selama Sarita di Ririvia, Halbert juga telah memperhatikannya. Ia beberapa kali melihat Sarita dengan rambut terkepang rapi. “Kau lebih cocok dengan rambut tergerai bebas.”

“Apakah Anda sedang mengomentari penampilan saya, Pangeran?” tanya Sarita menyelidik.

“Tidak. Aku hanya membeberkan hal-hal pertama dari wanita yang kulihat darimu.”

“Tampaknya petualangan-petualangan Anda belum cukup untuk mengenalkan sosok wanita pada Anda,” Sarita tertawa geli, “Saya lihat petualangan Anda tidak akan pernah berhenti. Di dunia ini ada banyak macam wanita. Anda masih perlu mencoba petualangan baru.”

Halbert terperanjat. “Kau adalah wanita pertama yang mengatakannya.”

“Mengatakan apa?”

“Petualanganku.”

“Apakah ada yang salah dengannya, Pangeran?” tanya Sarita, “Apakah saya mengatakan sesuatu yang salah?”

“Tidak. Kau adalah wanita pertama yang mengerti petualanganku.”

“Ayah saya adalah seorang petualang. Ia selalu mencoba hal baru untuk membuatnya tidak pernah bosan dan ia tidak pernah berhenti,” Sarita terkenang, “Katanya, seorang petualang tidak pernah berlabuh.”

“Namun pada akhirnya ia berlabuh pada ibumu.”

“Tidak,” Sarita menyangkal, “Papa tidak pernah berlabuh. Ia membawa Mama bersamanya.”

‘Duke Norbert membawa ibu Sarita dalam affair cintanya!’ Halbert tidak dapat memahami kharakter Duke Norbert. Bagaimana mungkin ia melibatkan kekasihnya yang satu dengan kekasihnya yang lain?

“Kau sungguh…,” Halbert kehilangan kata-katanya.

Sarita melihat Halbert – menanti kelanjutan kalimatnya.

“Unik,” akhirnya Halbert berkata.

“Terima kasih. Itu adalah komentar pertama yang saya dengar,” Sarita bermain dalam permainan kata ‘pertama’ Halbert.

“Apakah kau tidak mempercayaiku?”

“Saya mempercayai Anda,” Sarita tersenyum dan menambahkan kalimat yang pernah diutarakan Halbert padanya, “Karena saya tidak cukup cantik untuk membuat Anda tertarik pada saya.”

“Aku bersungguh-sungguh Sarita. Kau adalah wanita pertama yang membuatku duduk di samping tempat tidur dan merawatmu. Aku tidak pernah menjaga orang sakit. Kaulah yang pertama.”

“Menjaga saya?” Sarita bingung. Ia teringat lagi ucapan Halbert pagi ini di kamarnya. ‘Apa kau sakit lagi?’ Lagi? Kapan ia pernah memberitahu Halbert bahwa ia sakit?

“Kapankah Anda merawat saya?” Sarita pernah jatuh pingsan di tangan Halbert tapi saat itu Sarita langsung pergi. Marcialah yang menjaganya. Marcialah yang merawatnya ketika ia sakit. Tapi… butuh satu jam untuk pergi ke kota terdekat dari Hauppauge. Butuh satu jam lagi untuk kembali. Hari itu Marcia berkata ia akan memanggil dokter tapi sesaat kemudian ia sudah kembali untuk merawatnya. “Apakah…?” Sarita melihat Halbert dengan tidak percaya dan bingung.

“Sudah waktunya kita kembali,” Halbert berdiri, “Wyatt pasti sudah mulai bingung mencariku.”

Halbert berbohong! Setiap pagi Sarita melihat Wyatt berdiri di pintu menanti kepulangan Halbert dari olahraga paginya ini. Ia menghindar! Tapi untuk apa? Mengapa Halbert berada di Hauppauge? Mengapa dia merawatnya ketika ia sakit? Itu tidak mungkin. Tapi bila dipikir-pikir lagi, Halbert tampak akrab dengan suasana rumahnya di hari ia menginjakkan kaki di sana. Bila ditelusuri lagi, hingga Sarita kini tidak tahu mengapa Halbert bisa muncul di Hauppauge.

“Kita harus segera kembali,” Halbert duduk di atas kudanya.

Sarita mengikuti Halbert tanpa bertanya lebih lanjut.

Halbert kaget. Ia tidak menyangka ia akan kelepasan seperti ini. Tapi, ia mengakui, gadis ini memang punya pesona yang bisa membuat orang lupa diri.

Ini adalah topik yang berbahaya. Halbert tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena ia sendiri juga tidak tahu mengapa. Hingga detik ini ia masih berpendapat itu adalah karena simpatinya sebagai seorang pria dan karena jiwa petualangnya yang ingin mencoba affair dengan gadis terlarang.

Sarita tidak kaget ketika mereka mendekati pintu, segerombol wanita muda mendekat.

“Siapa dia, Pangeran?” beberapa di antara mereka melihat Sarita dengan sinis, “Mengapa ia ada bersama Anda?”

“Apakah dia adalah tamu Anda yang dibicarakan orang-orang itu?” tanya yang lain.

“C’est impossible!” Sarita mendengar seseorang berbicara dalam bahasa Prancis. “Ia kampungan.”

Siapa pun wanita itu, ia salah jika ia berpikiran Sarita tidak mengerti apa yang dikatakannya. Sejak lahir Sarita mengelilingi daratan ini. Ia tumbuh besar dalam berbagai macam bahasa dan budaya. Walau sudah lama Sarita tidak menggunakan bahasa-bahasa itu, ia masih mengingatnya dengan baik.

“Sie muβt ist eine Prostituierte,” Sarita mendengar yang lain berbicara dalam bahasa German.

Sarita tidak menyalahkan mereka. Tidak ada satu permata pun di gaun katun coklatnya. Rambutnya pun tidak berhiaskan mutiara seperti mereka malahan rambutnya yang diekor kuda berantakan oleh terpaan angin sepanjang perjalanan.

Halbert tampak kebingungan oleh serbuan mereka.

Sarita tersenyum geli.

“Ia…,” Halbert melirik Sarita lalu beralih pada wanita-wanita cantik di sekelilingnya.

Setan dalam diri Sarita ingin tahu apa yang akan dilakukan Halbert. Halbert adalah seorang petualang cinta tapi ia juga seorang pemilih. Ia sangat berhati-hati untuk tidak berhubungan dengan gadis desa sepertinya yang tidak sederajat dengannya. Melihat pemuda itu benar-benar kebingungan, Sarita memutuskan untuk mengundurkan diri.

“Terima kasih atas pagi yang menyenangkan ini,” setan dalam diri Sarita mengambil alih total, “Halbert.”

“Siapa dia, Pangeran!? Mengapa ia memanggil Anda dengan akrab? Ke mana kalian pergi pagi ini!?” Sarita mendengar mereka mendesak Halbert ketika ia melajukan kuda ke Wyatt yang tengah menanti Halbert di pintu.

“Selamat pagi, Lady Sarita,” sapa Wyatt sopan.

“Selamat pagi, Wyatt,” Sarita turun dari kudanya.

Sikap Wyatt berubah total sejak Sarita tiba di Ririvia. Mungkin kenyataan Raja dan Ratu tidak mengusir Sarita telah memaksanya bersikap hormat pada sang anak haram ini.

Wyatt mengulurkan tangan untuk mengambil alih tali kekang kuda dan cambuk kuda seperti yang biasa dilakukannya tiap pagi ketika ia menyambut Halbert.

Sarita memberikan cambuk kudanya kemudian tali kekang kuda.

“Duke of Cookelt datang mencari Anda.”

Sarita membeku.

“Ia telah menunggu Anda di Ruang Tamu.”


-----0-----



Halbert menjauhi kerumunan wanita yang dikecewakannya itu dengan lelah. Sarita benar-benar membuatnya kehabisan cara untuk membungkam keingintahuan wanita-wanita itu.

Ia tidak percaya Sarita tersenyum geli melihatnya diserbu sekompi wanita yang ingin tahu! Halbert bersumpah ia mendengar Sarita tertawa ketika ia pergi meninggalkannya dalam kekacauan yang sengaja dibuatnya!

Halbert tidak percaya Sarita benar-benar dapat menerima petualangannya. Ia tidak membencinya. Ia tidak juga tergila-gila padanya. Apakah ia benar-benar memahami petualangannya ini?

Sarita benar-benar unik.

Ketika Sarita bergerak di antara kerumunan wanita-wanita bangsawan itu, Halbert melihat sesuatu yang baru dari Sarita. Tanpa gaun mewah yang berkilauan, tanpa dandanan yang mempercantik penampilannya, Sarita tampak sangat mempesona bahkan jauh lebih cantik dari wanita-wanita cantik itu. Di antara kemilauan sinar para gadis bangsawan, sinar Sarita tampak lebih terang dan mempesona.

Inikah yang disebut kecantikan murni itu? Halbert bertanya-tanya.

“Selamat pagi, Yang Mulia Pangeran Halbert,” sambut Wyatt.

“Selamat pagi, Wyatt,” Halbert melompat dari kudanya dan menyerahkan tali kekangnya beserta cambuk kudanya. “Di mana Sarita?” Halbert berniat membuat perhitungan dengan Sarita. Butuh waktu lama untuk membungkam mulut penggosip-penggosip itu. Bahkan Halbert meninggalkan mereka tanpa menjawab sepatah kata pun pada pertanyaan-pertanyaan yang memburu itu.

“Lady Sarita menemui tamunya.”

“Tamu?”

Sarita tidak pernah mendapat tamu. Tidak seorang pun tahu Sarita ada di Ririvia. Sarita juga tidak pernah meninggalkan Ririvia. Walau kabar keberadaan Sarita di Ririvia sudah beredar di Helsnivia, tidak seorang pun yang pernah melihat gadis itu. Dari manakah orang itu mengetahui tentang Sarita?

“Duke of Cookelt datang pagi ini untuk memohon bertemu Lady Sarita.”

Halbert terperanjat. Ia tahu Chris mungkin akan datang tapi ia tidak menyangka Chris benar-benar punya nyali untuk menemui Sarita di Istana Ririvia.

“Di mana mereka?”


-----0-----



Chris berdiri di depan perapian – memperhatikan lukisan pemandangan yang tergantung di atasnya.

Sarita menghela nafas dalam-dalam dan melangkah ke tengah Ruang Tamu dengan dada membusung. “Apa maumu?” ia bertanya tegas.

Chris langsung membalik badan. “Ah, Sarita. Lama tidak bertemu.”

“Apa maumu datang ke sini?” Sarita mengulangi pertanyaannya.

“Tampaknya Pangeran Halbert tidak memeliharamu dengan baik,” Chris memperhatikan gaun katun Sarita hingga ke tatanan rambutnya yang berantakan.

“Apa maumu, Chris!?” Sarita bertanya untuk yang ketiga kalinya. Ia tidak menyukai cara pemuda ini menyebut kata ‘memelihara’ itu.

“Seharusnya akulah yang bertanya padamu,” Chris berkata sinis, “Apa maumu datang ke tempat ini? Kau adalah waliku tapi apa yang kaulakukan?”

Sarita merasa kenyataan menghantam dirinya. Inilah pertanyaan yang ditanyakan almarhum Duke Norbert dalam mimpinya pagi ini. Sarita pucat pasi.

“Kau kabur dengan Pangeran Halbert,” Chris membeberkan fakta, “Tapi lihatlah apa yang ia lakukan padamu. Bahkan Earl of Mongar tidak akan menyia-nyiakanmu seperti ini.”

Nama itu membuat Sarita mual.

“Merasa bersalah?” suara sinis Chris berkuasa di atas wajah pucat Sarita, “Apa kau sudah menyesali pilihanmu?” Chris sudah berdiri di depan Sarita. “Apa kau sudah berpikir untuk kembali padaku?” Chris memegang dagu Sarita.

Senyum licik itu langsung menyadarkan Sarita. “Aku tidak pernah menyesali keputusanku,” ia melepaskan diri, “Aku juga tidak pernah lari dari tugasku. Aku tetap membantumu mengurus Cookelt. Aku tetap mengawasimu walau aku tidak berada di sekitarmu.”

“Graham, katamu, dan guru privat pilihanmu yang gila itu??” ia mengejek. Mata Chris berkilat oleh kemarahan. “Ya, kau telah melakukan tugasmu tapi apakah kau pernah meminta pendapatku!? Kau memecat Owen tanpa sepengetahuanku. Kau membuat keputusan tanpa seijinku! Kau melarangku berbuat ini! Kau memaksaku berbuat itu! Tapi apa kau pernah bertanya pendapatku!? Akulah Duke of Cookelt, bukan kau!!”

“Kau masih kecil, Chris,” Sarita tetap berkepala dingin, “Kau belum dapat sepenuhnya menjadi Duke of Cookelt.”

“Bagaimana dengan kau!? Kau juga tidak lebih dewasa dari aku. Kau hanya tiga tahun lebih tua dariku – tiga tahun!!”

“Bulan depan empat tahun,” Sarita membenarkan, “Yang terpenting, Norbert mempercayaiku. Ia menunjukku sebagai walimu.”

“Ya, kau pasti telah meracuni Papa. Katakan, Sarita, apa kau pernah tidur dengan Papa?” ejeknya.

“Demi Tuhan, Chris, apa yang kaupikirkan!?” Sarita terperanjat.

“Punya kau sebagai waliku jauh lebih baik dari Mama,” tiba-tiba Chris melingkarkan tangan di pinggang Sarita dan menariknya mendekat, “Akan jauh lebih baik lagi kalau kau mau menjadi gundikku.”

Sarita membelalak kaget.

“Tidakkah itu lebih baik daripada menjadi waliku, Sarita?” senyum Chris menantang Sarita. “Kau tidak bisa terus-terusan menjadi waliku yang menguasai kekayaan Cookelt. Bukankah lebih baik kau menjadi gundikku? Aku akan melimpahimu dengan kekayaan Riddick.”

“Kau sudah gila!” Sarita memberontak.

Chris tertawa. “Ya, aku gila karenamu,” ia mempererat pelukannya.

“Lepaskan aku!” Sarita mendorong dada Chris sekuat tenaganya.

“Ah, Sarita, kau begitu cantik,” tangan kanan Chris melepaskan pinggang Sarita dan menelusuri wajah panik Sarita. “Kau benar-benar membuatku gila,” tangan Chris berhenti di dagu Sarita dan mendekatkan bibirnya.

“Lepaskan!” Sarita memberontak. Tangannya mendorong Chris menjauh dan badannya menjauhi sentuhan dengan tubuh tegap Chris.

Tangan kiri Chris yang masih di pinggang Sarita, merapatkan tubuh Sarita pada tubuhnya dan ia tertawa sinis. “Berusaha kabur, Sarita?”

Sarita benci mengapa seorang pria bisa sekuat ini walau jelas-jelas ia lebih tua! Untuk pertama kalinya ia tidak menyukai kenyataan Chris mewarisi tubuh tegap Duke Norbert.

Chris menundukkan kepala – berusaha mencium Sarita lagi.

Sarita menggeleng-gelengkan kepala – berusaha menghindari bibir Chris.

“Kau benar-benar membuatku gila,” Chris mendorong Sarita ke sofa dan menindihnya. Dengan tangan kirinya, ia menahan pundak Sarita.

“Tidak!” Sarita memberontak ketika tangan Chris yang lain menuruni lehernya yang jenjang. “Hentikan!” Sarita berteriak panik.

Chris mendaratkan ciuman di leher Sarita sementara tangannya turun ke dada Sarita.

“TIDAK!! Berhenti!” air mata Sarita jatuh. Matanya tertutup rapat oleh rasa jijik dan takut.

Chris tertawa puas.

“Apa kau tidak mendengarnya, Chris!?” tangan Halbert mencengkeram pundak Chris dan dalam satu hempasan, menjauhkan Chris dari Sarita.

Sarita membuka matanya.

Mata biru tua Halbert membara oleh kemurkaan. Wajah tampannya mengeras oleh rasa jijik. Tubuhnya yang tinggi tegap menekan Chris dengan aura kekuatan dan kekuasaan ang dipancarkannya.

Sarita langsung memeluk Halbert. Tubuhnya bergetar oleh ketakutan. Air matanya mengalir oleh kelegaan.

Halbert terperanjat. Tangannya memeluk pundak yang melekat di perutnya dengan penuh perlindungan. Matanya yang membara tidak melepaskan Chris. “Pergi sebelum aku memanggil prajurit,” katanya tegas.

Chris pucat pasi. “Aku akan datang lagi, Sarita. Aku tidak akan melepaskanmu,” ancamnya dan ia langsung pergi.

Sarita menggigil hebat.

“Sudah tidak apa-apa,” Halbert menarik Sarita berdiri dan memeluknya erat-erat. “Sudah tidak apa-apa,” ia membelai Sarita dengan lembut.

Sarita mempererat pelukannya di dada Halbert. Kehangatan tubuh Halbert melelehkan ketakutannya dalam air mata. Kenyamanan pelukan Halbert mengeluarkan semua rasa jijiknya dalam getaran.

“Ia sudah pergi,” Halbert mendekap kepala Sarita di dadanya dan berbisik lembut. “Jangan takut. Aku ada di sini.”

Halbert bersumpah ia tidak akan membiarkan Chris menemui Sarita lagi. Ketika ia mendengar jeritan Sarita, ia sudah merasa sesuatu yang tidak beres tengah terjadi. Ia langsung mendidih melihat Chris tengah memperkosa Sarita. Halbert sudah akan menghajar Chris ketika Sarita memeluknya.

Entah mengapa Sarita mudah jatuh dalam keadaan seperti ini. Pertama Jason dan sekarang Chris. Halbert tidak bisa melepaskan mata dari Sarita.

Halbert melepaskan Sarita ketika ia merasa getaran tubuh gadis itu sudah mereda.

Tubuh Sarita jatuh lemas.

Halbert menangkap tubuh Sarita. Ia terperangah melihat sepasang mata biru yang kosong itu. Wajah cantiknya basah oleh air mata yang belum kering.

Halbert mengangkat Sarita dan memangkunya. Dalam hati ia bersimpati pada Sarita. Sarita terlihat dingin dan angkuh ketika ia berada di Trottanilla. Tapi siapakah yang tahu apa yang dialaminya selama berada di Sternberg?

Tangan Sarita melingkar di leher Halbert. Kepalanya mencari kehangatan di pundak Halbert.

‘Gadis ini terlihat begitu tegar tapi sesungguhnya ia sangat rapuh,’ pikir Halbert. Tangan kanan Halbert mencengkeram lembut pundak Sarita – menyalurkan kekuatan. Tangan kirinya membelai lembut kepala cantik yang tersandar di pundaknya. Ingin sekali Halbert melindungi gadis ini. Ingin sekali Halbert memberikan kenyamanan pada gadis ini.

Air mata Sarita mengalir turun di pipinya yang pucat.

“Jangan menangis,” Halbert menghapus air mata Sarita. Sebulir air mata jatuh lagi dari pelupuk mata Sarita, “Jangan menangis,” Halbert mencium mata Sarita yang basah. Hatinya terasa pedih.

“Halbert…,” lirihan lemah terlepas dari bibir Sarita yang bergetar.

Halbert mengerang. Kalau ada wanita yang mampu membiusnya, maka orang itu adalah Sarita! Sarita benar-benar satu-satunya wanita yang bisa membiusnya! Dan ia menjatuhkan ciumanya di bibir yang merekah itu.

Tubuh Sarita menegang. Bibirnya membeku.

Halbert mencium Sarita dengan lembut. Tidak ada nafsu dalam ciumannya. Tidak ada keterburu-buruan. Ciumannya begitu lembut dan perlahan.

Halbert tidak tahu ciuman manis dan lembut seperti ini ada.

Rona merah merekah di wajah Sarita ketika bibirnya mulai menerima sentuhan bibir Halbert. Tubuhnya mulai bersandar santai di antara lengan-lengan kuat Halbert. Bibirnya terbuka menerima Halbert. Ketika Halbert melepaskan bibir Sarita, Sarita sudah benar-benar terbuai. Tangannya memeluk erat Halbert. Kepalanya sekali lagi mencari kehangatan di antara pundak dan leher Halbert. Matanya terpejam rapat dan kepalanya kosong melayang.

Halbert memeluk Sarita dengan lembut. Untuk beberapa saat tidak ada yang dilakukannya selain memeluk gadis di pangkuannya ini. Ia tidak ingin melepaskan gadis ini. Ia ingin terus merasakan setiap gerakan lembut gadis ini. Ia ingin terus merasakan gesekan rambutnya di lehernya. Ia ingin terus mencium keharuman rambutnya.

Gadis ini telah menduduki banyak peringkat pertama dalam hidupnya. Ia adalah gadis yang sanggup membiusnya, gadis yang membuatnya ingin benar-melindungi seseorang, ia adalah gadis pertama yang membuatnya jijik pada awalnya.

Halbert terperanjat. Apakah yang sudah dilakukannya? Ia sering mempertanyakan pertanyaan itu pada dirinya sendiri tapi hingga saat ini ia tidak dapat menjawabnya. Ia tidak tahu apa yang sudah ia lakukan. Akhir-akhir ini ia sudah tidak tahu lagi apa yang tengah ia lakukan. Apa yang gadis ini lakukan pada dirinya?

“Sarita,” sekali lagi tangan Halbert merangkum wajah Sarita.

Mata Sarita terpaku pada Halbert.

“Kembalilah ke kamarmu. Pagi ini kau tidak perlu makan bersama kami. Aku akan menyuruh pelayan mengantar makananmu.”

Kaki Sarita bergerak menjauhi Halbert.

Halbert berdiri di sisi Sarita. Tangannya melingkari pinggang Sarita dan berkata, “Aku akan mengantarmu.”Sarita mengangkat wajahnya menatap wajah Halbert kemudian membiarkan Halbert mengiringnya kembali ke kamar.

2 comments: