Tuesday, November 11, 2008

Kisah Cinta-Chapter 10

Sarita menatap tumpukan kertas kiriman Graham. Tangannya membolak-balik tumpukan kertas itu tanpa satu niatpun untuk membaca surat yang ditunjukkan padanya.

Pagi ini setelah kunjungan Chris yang mengagetkan, Sarita berdiam diri di dalam kamar. Seperti yang dikatakan Halbert, seorang pelayan datang mengantar makanan tak lama setelah Halbert pergi. Beberapa saat kemudian datanglah berkas-berkas kiriman Graham bersamaan dengan surat peringatan Graham yang terlambat.

Graham memperingatkan Sarita kemungkinan Duchess Belle mengirim orang untuk membawanya pulang dengan paksa. Earl of Mongar tidak dapat menerima kenyataan Sarita menghilang dari Sternberg. Ia marah besar! Calon istri yang telah diincarnya sejak pesta Earl of Striktar – satu-satunya pesta di mana almarhum Duke Norbert berhasil membuat Sarita muncul, menghilang. Ia menyalahkan Duchess dan terus menerornya.

Sarita tidak mengerti mengapa hidupnya dengan mudah berubah menjadi kekacauan setelah kematian Duke Norbert. Di Trottanilla, Earl of Mongar yang membuntutinya. Di belakangnya terus mengincar Chris. Apakah yang ada di depannya? Di Helsnivia?

Mengapa ia begitu mudah dikejar-kejar pria? Mengapa setiap pria melihatnya dengan satu mata – seorang anak haram yang mau melakukan apa saja demi harta? Ia bukan anak haram! Ia tidak punya alasan menjadi wanita ketiga seperti ibu dalam pikiran mereka. Sekalipun ibunya adalah wanita simpanan, Sarita tidak mau mengikuti jejak ibunya.

Owen, Dokter Danya, Jason, Earl of Mongar kemudian Chris. Siapa lagikah yang akan mengacaukan hidupnya yang tenang?

Selama satu minggu ini Sarita berhasil menyuruh Graham menutup mulut pada keluarga Riddick tentang keberadaannya. Selama seminggu ini hanya Graham satu-satuya orang di Trottanilla yang tahu keberadaannya. Chris atau Duchess Belle pasti berhasil membuka mulut Graham. Mungkin juga mereka berhasil mengikuti perantara diinya dan Graham. Entah bagaimana caranya, mereka telah mengetahui keberadaannya!

‘Kalau keluarga Riddick tahu keberadaanku, maka hanya masalah waktulah pria-pria itu tahu,’ Sarita menyadari dengan horor.

Seseorang mengetuk pintu.

‘Siapakah orang yang datang menemuiku malam-malam seperti ini?’ Sarita berpikir pucat.

Ketukan di pintu terdengar mendesak.

Saat itulah Sarita melihat sebuah sosok tinggi di balik pintu kaca menuju serambi. Darah Sarita terkesiap. Tubuhnya membeku. Matanya melihat sosok itu tanpa berkedip. Buku-buku tangannya yang mencengkeram tepi meja memutih.

“Sarita, kau sudah tidur?”

Suara tegas yang telah begitu dikenalnya itu langsung membuatnya lega.

“Sarita,” Halbert memanggilnya lagi.

Sarita beranjak membuka pintu.

“Mengapa kau belum tidur?” Halbert memperhatikan Sarita yang belum mengenakan gaun tidur.

“Saya tidak dapat tidur,” jawab Sarita. Kedatangan Chris yang mendadak telah mengacaukan pikiran tenangnya.

Mata Halbert beralih pada tumpukan kertas di meja kecil yang dipindahkan ke kamar Sarita pagi ini. “Kau masih mengurusi masalah Cookelt?”

Sarita mengangguk. Sesungguhnya ia berusaha tapi otaknya tidak dapat diajak bekerja sama. Hari ini ia sama sekali tidak menghasilkan apa-apa. Besok Graham tidak akan menerima pesannya. Besok ia harus menyelesaikan jatah dua hari.

“Kau bekerja terlalu keras,” Halbert memperhatikan guratan-guratan kelelahan di wajah Sarita, “Setiap hari aku melihatmu di Ruang Perpustakaan, berkutat dengan kertas-kertasmu. Apakah terjadi masalah di wilayah keluarga Riddick?”

“Ya,” jawab Sarita, “Salah satu peternakan terjangkit penyakit. Saya sudah menyuruh Chris pergi ke sana untuk meihat keadaan tapi ia menolak. Domba-domba itu perlu segera diurus dan para peternak perlu diberi semangat. Chris tidak mau mendengar saya. Ia hanya mau bersenang-senang. Chris sama sekali tidak mau memahami tugas seorang Duke bukan hanya bersenang-senang tapi melindungi rakyat dalam wilayah kekuasaannya dan menjamin kesejahteraan mereka. Kemarin terjadi kebakaran di gudang penyimpanan gandum. Kami kehilangan sebagian besar gandum kami tapi saya berhasil menemukan sumber lain untuk memenuhi kebutuhan kami setidaknya untuk tiga bulan mendatang. Saya juga harus segera membangun gudang baru.”

Halbert terperangah. “Katakan, Sarita, apa saja yang kauurusi? Sepertinya kaulah penguasa Cookelt bukan Chris.”

Sarita tersenyum simpul. “Saya sudah mengurusi Cookelt semenjak Norbert jatuh sakit.”

“Itulah sebabnya Duke memilihmu menjadi wali Chris?”

“Mungkin,” aku Sarita, “Duchess sama sekali tidak mau mengurusi masalah Cookelt. Ia tidak mau kehilangan satu rambutpun karena Cookelt, katanya. Norbert tidak mau Dorothy mengurus Cookelt dan Chris sama sekali tidak bisa diharapkan. Yang dilakukannya tiap hari adalah bermain-main dan bersenang-senang. Tampaknya hanya saya yang bisa dipercayai.”

“Itulah sebabnya kau tidak pernah muncul setelah Duke jatuh sakit,” gumam Halbert.

Kalau yang dimaksud Halbert adalah pesta, ia salah. Sarita tidak pernah muncul dalam pesta apa pun sebelum pesta Earl of Striktar. Ia adalah orang luar dalam keluarga Riddick. Tidak ada alasan ia muncul sebagai seorang Riddick. Sesungguhnya Duke Norbert telah beberapa kali mengajak Sarita tapi Sarita menolak. Sarita tidak dibesarkan dalam pesta.

Dalam satu langkah Halbert berdiri di depan Sarita. “Tugasmu pasti sangat berat,” tangannya membelai wajah Sarita. Matanya menatap Sarita dengan semua kelembutan yang dimilikinya.

Sarita mundur – kaget oleh sensasi yang ditimbulkan oleh sentuhan Halbert, oleh mata biru keabu-abuannya itu.

Hati Halbert sakit melihat sinar ketakutan di mata cantik Sarita. ‘Aku pasti menakutinya,’ sumpah Halbert.

Sepanjang hari ini, setelah mengantar Sarita, Halbert sama sekali tidak dapat menyingkirkan Sarita dari kepalanya. Tangannya terus merasakan getaran tubuh mungil itu. Di pundaknya, lehernya, ia terus merasakan gesekan rambut Sarita. Hidungnya terus mengenang keharuman rambut Sarita. Dadanya terus menyimpan kehangatan Sarita. Bibirnya terus mencari kelembutan dan kemanisan bibir mungil itu.

Halbert tidak pernah merasa seperti ini pada seorang wanita mana pun! Halbert berpikir ini pastilah sensasi setelah menjadi seorang penyelamat. Namun ketika ia mencium kencannya hari ini, ia tahu ia merindukan tubuh Sarita di pelukannya. Ia mencari kelembutan dan kemanisan yang sama di wanita cantik itu tapi ia hanya merasakan kehampaan. Tangan wanita itu yang memeluknya dengan erat dipenuhi desakan nafsu dan untuk alasan yang tidak diketahui Halbert, untuk pertama kalinya ia merasa jijik. Halbert tidak pernah mengecewakan kencannya tapi ia melakukannya sore ini!

“Tugas Anda lebih berat dari saya,” kata Sarita, “Sepanjang hari Anda berada di luar.”

Halbert menarik kursi untuk dirinya sendiri. Matanya menatap Sarita dengan frustasi. “Tidak semembosankan seperti kau,” tangan Halbert membalik-balik kertas di meja, “Aku tidak perlu mengurusi kertas-kertas seperti ini. Tugasku hanyalah mewakili Papa dalam berbagai pertemuan, mengunjungi beberapa daerah untuknya.”

“Saya juga terbiasa melakukan perjalanan untuk Norbert seperti Anda,” Sarita tersenyum, “Saya tidak suka berdiam diri di dalam rumah.”

“Aku tidak melihatnya,” mata Halbert melihat Sarita lalu beralih pada meja tempat ia duduk sepanjang hari.

“Seseorang harus melakukannya,” Sarita memberitahu, “Sejak Norbert sakit, saya mulai terbiasa duduk di belakang meja setiap hari.”

“Kelak ketika aku harus menghadapi tumpukan kertas-kertas seperti ini, aku akan menyerahkannya padamu.”

“Dengan senang hati,” Sarita ikut-ikutan bercanda, “Setelah saya bisa melepas Chris, Anda harus mengangkat saya menjadi sekretaris Anda.”

“Tentu,” sahut Halbert dan ia berpikir alangkah uniknya hubungan antara dua manusia. Ketika ia tahu siapa Sarita, ia bersumpah tidak akan berhubungan dengan Sarita. Pun ketika mereka pergi berduaan, mereka hanya mengucapkan salam di depan Duke Norbert dan setelahnya berdiam diri dalam dunia masing-masing. Sekali pun Halbert tidak pernah berpikir mereka akan berada di sini membicarakan kewajiban mereka masing-masing seperti dua pria bersahabat!

Menambah daftar pertama Sarita, Sarita adalah wanita pertama yang pernah berbicara masalah pekerjaan dengan Halbert. Halbert tidak pernah membicarakan masalah pekerjaan sekalipun dengan ibunya. Bersama Ratu, ia hanya berbicara masalah wanita dan pernikahan.

“Duke pasti berharap kau adalah putranya.”

“Ia berharap menikahi Mama,” Sarita tersenyum geli – terkenang keluh kesah Duke Norbert setiap sehabis ia bertengkar dengan Duchess Belle.

‘Tentu saja ia tidak bisa,’ pikir Halbert, ‘Ia telah menikah dengan Duchess Belle bahkan sudah mempunyai anak darinya.’

“Katakan, Sarita, berapa usiamu,” tanya Halbert, “Aku mendengar kau pun tidak lebih pantas menjadi wali Chris dari Chris sendiri.”

“Tentu saja. Saya hanya tiga tahun lebih tua dari Chris. Satu-satunya yang bisa membuat saya menjadi wali Chris adalah surat wasiat Norbert.”

Halbert terkejut. “Kau tidak terlihat seperti gadis belasan tahun…”

Sarita tersenyum geli. “Pengalaman membuat seseorang menjadi lebih tua dari usia yang sebenarnya.”

“Aku tidak melihat kau punya pengalaman lain selain menjadi wakil Duke setelah kau kembali ke Sternberg.”

“Sejak bayi saya ikut ayah saya berpetualangan. Saya sudah melihat dunia sebelum Anda diijinkan meninggalkan Ririvia.”

‘Duke Norbert pasti sudah gila!’ Halbert berpikir dengan tidak percaya. Ia tidak hanya melibatkan ibu Sarita tapi juga si bayi Sarita dalam petualangan-petualangan cintanya. Tidak heran Sarita tampak begitu paham akan pesonanya.

“Ibumu pasti adalah wanita yang mempesona.”

“Ya,” Sarita mengangguk, “Mendengar Norbert sering memujinya, ia pasti adalah wanita yang mempesona.”

Alis mata Halbert terangkat.

“Saya tidak pernah melihatnya. Mama meninggal ketika melahirkan saya.”

‘Ini artinya Sarita tidak pernah merasakan cinta kasih seorang ibu,’ Halbert berpikir simpati.

“Mengapa Anda mencari saya, Pangeran?” Sarita mengembalikan arah pembicaraan yang sudah melenceng jauh ini.

Halbert teringat tujuannya menemui Sarita.

“Aku datang untuk memberitahumu beberapa hasil pembicaraanku dengan Papa.”

Pembicaraan? Pembicaraan apa? Apakah mereka berbicara untuk menyembunyikannya di tempat lain?

“Papa setuju untuk menempatkan prajurit untuk mengawalmu.”

Sarita terperanjat.

“Mulai besok pagi akan ada dua prajurit yang bertugas mengawalmu. Pintu Ruang Perpustakaan akan dijaga ketat ketika kau bekerja di dalam. Kamarmu akan dijaga prajurit ketika kau tidur. Aku juga meminta pengurus Istana untuk menyeleksi tamumu.”

“P-Pangeran…,” Sarita tidak dapat berkata-kata.

“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi. Chris juga pria-pria sepertinya tidak akan dapat menyentuhmu.”

Bukan itu yang dikhawatirkan Sarita. Selama ini ia tidak pernah dikawal siapa pun. Duke Norbert juga tidak pernah menyuruh orang mengawalnya secara khusus ketika ia bepergian. Sekarang akan ada dua prajurit yang tidak dikenalnya yang akan selalu berada di sekitarnya.

Sarita tidak menyukai ide itu tapi Halbert tidak memberinya kesempatan untuk menolak. Sarita bahkan ragu Halbert akan menerima penolakannya.

Segera setelah menyampaikan apa yang menjadi tujuan kedatangannya, Halbert mengucapkan selamat malam dan meninggalkan Sarita ke kamarnya melalui pintu serambi – tanpa mendengar Sarita. Dan keesokan paginya ketika Sarita duduk di beranda memperhatikan keramaian taman seperti biasanya, seseorang tiba-tiba masuk.

Sarita terperanjat. Halbertpun selalu mengetuk pintu kamarnya dari mana pun ia masuk. Siapakah gerangan orang yang memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu ini?

“Rupanya Anda sudah bangun, Lady Sarita,” Sarita melihat sepasang mata dingin pelayan tengah baya yang menjemputnya ke Ruang Makan di hari pertama ia ada di Ririvia.

“Perkenalkan nama saya adalah Savanah. Mulai hari ini saya bertugas melayani Anda.”

Sarita merasa dunianya sudah terjungkir balik. Keberadaan dua prajurit yang selalu mengekornya sudah membuatnya tidak nyaman. Sekarang muncul orang yang akan selalu melayaninya.

Segerombolan pelayan memang selalu siap melayaninya ketika ia berada di Sternberg maupun di sini, Istana Ririvia. Namun Sarita memilih untuk melakukan sendiri semuanya. Duke Norbert tidak pernah memaksanya dilayani. Sarita juga berhasil meminimkan pelayanan para pelayan Istana selama ia berada di sini. Sekarang seorang pelayan secara khusus ditunjuk untuk melayaninya setiap saat!

Sarita harus bicara pada Halbert.

Sarita tidak yakin ia bisa berbicara dengan Halbert pagi ini di Ruang Makan. Suasana Ruang Makan tidak jauh berbeda dari hari pertama ia berada di sini. Ratu Kathleen masih menatapnya dingin. Raja Marshall dan Halbert masih berbicara masalah yang tidak dipahami Sarita. Satu-satunya yang berubah adalah Sarita sudah biasa makan di bawah mata dingin yang tidak pernah lepas dari gerakannya. Hanya ketika ada orang lain yang bergabung dengan merekalah, Ratu Kathleen sedikit melepaskan Sarita dari pengawasannya.

Bila ia tidak dapat berbicara dengannya di Ruang Makan, maka ia harus mencari kesempatan lain, Sarita memutuskan.

Segera setelah memperkenalkan diri dengan singkat, Savanah membuka lemari baju Sarita.

“Apa-apaan ini!?” pekik Savanah kaget dan ia membuka lemari yang lain. “Apa-apaan ini, Lady Sarita!?” tanyanya histeris menunjuk gaun-gaun Sarita yang jauh dari kata mewah. “Mengapa baju rongsokan seperti ini ada di sini!?”

“Aku datang untuk tinggal di desa bukan di Istana,” Sarita tidak suka cara pelayan ini menyebut gaun-gaunnya.

“Ini adalah Istana, M’lady!” pekik Savanah kian histeris, “Bukan desa!” Savanah mengambil gaun-gaun Sarita.

“Apa yang hendak kaulakukan?” Sarita dengan panik menghentikan Savanah.

“Membuang barang rongsokan ini,” jawab Savanah santai, “Anda tidak bisa mengenakan baju seperti ini di Istana.”

“Aku tidak punya baju lain selain ini,” Sarita berkata tegas.

Savanah menatap Sarita lekat-lekat. “Tunggulah saya di sini,” katanya dan ia menghambur keluar.

Sarita dibuat pusing dibuatnya. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan pelayan ini. Sebelum ia kembali dan membuat kekacauan, ia harus meninggalkan tempat ini!

“Selamat pagi, M’lady,” dua pria berseragam putih menyambut Sarita.

“Mau ke manakah Anda?” tanya seseorang.

Sarita melihat dua prajurit yang berdiri di sisi kanan kiri pintu kamarnya itu dengan bingung.

“Savanah meminta Anda menantinya di dalam kamar,” kata yang lain.

Sarita menutup kembali pintu kamarnya.

Bagus! Sekarang dunianya benar-benar kacau! Sang anak haram yang miskin sekarang dikawal seperti orang penting dan dilayani seperti seorang putri!

Tak lama kemudian Savanah kembali dengan gaun-gaun sutra yang Sarita tidak tahu dari mana munculnya. Tanpa meminta ijin Sarita, Savanah mengeluarkan semua isi lemari baju Sarita.

“Apa yang kaulakukan!?” Sarita menyelamatkan gaun-gaunnya sebelum Savanah bertindak lebih jauh.

“Anda tidak bisa mengenakan baju rongsokan ini,” entah untuk yang keberapa kalinya Savanah mengatakannya.

“Aku akan mengenakan gaun-gaun pilihanmu itu tapi kau tidak boleh membuang gaun-gaunku,” Sarita merengkuh gaun-gaunnya penuh perlindungan.

“Saya mengerti,” Sarita mendengar nada puas Savanah.

Untuk beberapa puluh menit ke depan Sarita tunduk pada perintah Savanah sehingga Sarita merasa sangat bebas ketika ia menginjakkan kaki di depan kamarnya.

“Perubahan yang cukup mencolok,” komentar Halbert yang baru keluar kamar. Matanya memperhatikan Sarita mulai dari rambutnya yang tertata rapi dengan model terbaru hingga gaun sutra yang membalut tubuh moleknya.

“Seorang pelayan datang membuang baju-baju saya dan memakaikan gaun ini pada saya dengan paksa,” Sarita menggerutu.

“Pelayan?”

Savanah muncul.

Halbert terkejut. Mengapa pelayan ibunya ada di sini?

“Pangeran, apa yang Anda lakukan di sini?” Savanah berkata dengan nadanya yang menyalahkan, “Paduka Raja dan Ratu pasti telah menanti kalian.”

Apakah ibunya khusus mengirim Savanah untuk menyelidiki hubungannya dengan Sarita? Pikiran itu menimbulkan ide pada Halbert. Halbert melingkarkan tangan di pinggang Sarita, menariknya mendekat, dan sebelum Sarita mempunyai kesempatan menjauhkan diri, Halbert menjatuhkan ciuman kening Sarita.

Sarita terperanjat. Tubuhnya memaku.

“Pangeran!” pekik Savanah memprotes, “Apa yang Anda lakukan!? Anda tidak boleh menyentuh Lady Sarita!”

Pekikan itu menyadarkan Sarita. Ia menjauhkan diri.

“Jangan membuat Paduka menanti lebih lama lagi!” Savanah memegang tangan Sarita dan menariknya pergi.

Sarita melihat dua prajurit yang menjaga pintu kamarnya langsung mengekor diikuti Halbert dengan senyumnya yang aneh. Saat itulah Sarita menyadari sebuah kejanggalan. Halbert yang merupakan Putra Mahkota Helsnivia tidak diekor seorang prajurit pun! Ia yang hanya seorang tamu diekor dua prajurit ditambah seorang pelayan yang tidak menyenangkan.

Ia harus bicara dengan Halbert! Sarita memutuskan untuk mengembalikan hidup normalnya – hidup yang ia bayangkan ketika ia berada dalam kapal menuju Magport.


-----0-----



“Kulihat Savanah melayanimu dengan baik,” mata Halbert melihat senampan teh dan makanan ringan di sudut meja.

Sarita mengangkat kepalanya.

“Ia mengekang saya,” gerutu Sarita.

Setelah makan pagi yang menegangkan, Savanah menyambutnya dengan berkas-berkas kiriman Graham. Ketika Sarita kembali ke kamarnya untuk mengambil berkas-berkas yang ditinggalkannya di meja, ia melihat gaun-gaunnya tertumpuk rapi di tempat tidur dan gaun-gaun sutra yang lembut dan mewah terbaris rapi di dalam almari baju.

Prajurit menjaga ketat pintu Ruang Perpustakaan dan Savanah selalu datang dari waktu ke waktu untuk melihat keadaannya. Kalau keberadaan mereka tidak bisa dikatakan menganggu Sarita, maka mereka telah membuat Sarita merasa tidak nyaman. Hal itu semakin menguatkan keinginan Sarita untuk meninggalkan Helsnivia.

Sarita menghargai perhatian Halbert akan keamanan dan kenyamanannya selama di Ririvia tapi ini sudah di luar batas. Yang terpenting, Chris sudah mengetahui keberadaannya. Apa gunanya pengawal-pengawal itu kalau Sarita tidak bisa menghentikan kecemasannya? Apa gunanya gaun-gaun mewah itu? Sarita tidak pernah berniat tinggal lama di Helsnivia!

Ketika mengikuti Halbert, Sarita hanya berniat tinggal di Helsnivia bukan di Istana Ririvia. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk meninggalkan Istana. Pertama-tama Sarita akan berkeliling untuk melihat tanah air ibu yang tidak pernah dikenalnya kemudian Sarita akan pergi berkelana seperti ayahnya.

Kali ini Sarita sudah memikirkan masalah keluarga Riddick. Ia akan tetap berhubungan dengan Graham demi surat wasiat almarhum Duke Norbert. Sarita tidak perlu khawatir seorang pun dari keluarga Riddick akan menemuinya karena ia tidak akan menetap di satu tempat untuk jagka waktu yang lama.

Halbert tertawa geli melihat wajah cemberut Sarita. “Kau pasti tidak menyukainya.”

Sarita tidak menjawab. Halbert pasti dapat melihat jawabannya di wajahnya.

“Aku juga tidak menyukainya,” Halbert mengakui, “Tapi ia tidaklah seburuk itu. Ketika kau mengenalinya, kau akan menyukainya. Lagipula ia adalah pelayan terbaik ibuku.”

Pelayan Ratu!? Sarita membelalak. Ini menjelaskan sudah tatapan matanya yang selalu ingin mengorek isi hati Sarita. “Ia pasti dikirim Ratu untuk memata-matai saya,” Sarita berkomentar jujur, “Ratu pasti curiga pada hubungan di antara kita.”

“Kau tidak menyukainya?”

“Tidak,” Sarita menjawab lugas.

“Kau tidak menyukainya?” Halbert mengulang. “Setiap wanita menyukainya.”

“Saya bukan mereka,” Sarita memberitahu.

“Kau juga tidak membenciku.”

“Ya,” Sarita membenarkan, “Saya tidak punya alasan membenci Anda juga menyukai Anda.”

Halbert tertarik.

“Anda tampan dan menarik tapi Anda bukan pria yang akan saya cintai. Saya tidak suka pria seperti Anda.”

Halbert sudah sering mendengarnya. Dalam petualangannya, Halbert sadar ada sebagian wanita yang tidak menyukainya. Halbert juga tahu ada sebagian wanita yang berpura-pura membencinya. Tapi entah mengapa komentar Sarita benar-benar mengenai dadanya, tak peduli apakah ia berpura-pura atau bersungguh-sungguh. Halbert melihat mata Sarita yang begitu tenang seolah-olah ia tidak menyadari kata-katanya telah melukai Halbert. “Benarkah itu?” tangan Halbert menyeberangi meja – menengadahkan dagu Sarita.

Sarita terperanjat. Lagi-lagi sentuhan Halbert membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sarita menarik mundur badannya tapi sepasang mata keabu-abuan itu membiusnya.

Halbert membungkukkan badan ke depan – menangkap bibir Sarita. “Kau begitu manis,” bisiknya tanpa menghentikan ciumannya.

Sejak ia mencium Sarita, ia selalu mencari-cari kemanisan seperti ini tapi ia tidak menemukannya. Sekarang Sarita telah menyerap semua seleranya akan wanita lain. Sore ini ia mempunyai kencan tapi setelah melihat Sarita, ia ingin berada di sisi gadis ini untuk sisa hari ini – membantunya dengan urusan yang menyita seluruh perhatiannya. Ingin rasanya ia menyingkirkan semua kesibukan gadis ini sehingga ia mempunyai waktu luang untuknya.

‘Ia telah mengatakannya ratusan kali,’ pikir Sarita dengan sedih. Sarita berharap Halbert hanya mengatakannya pada dirinya seorang.

Pikiran itu membuat Sarita diliputi ketakutan luar biasa.

Mengapa sebelumnya ia tidak menyadarinya? Halbert adalah pria yang tidak akan ia cintai. Halbert juga pria yang paling mungkin membuatnya jatuh cinta. Halbert adalah pria yang berpengalaman dengan wanita. Ia berbeda dengan pria-pria sebelumnya. Halbert tahu benar bagaimana menaklukannya. Halbert memasuki kehidupannya tepat ketika ia membutuhkan seseorang untuk bersandar. Halbert memperlakukannya dengan lembut. Ia berpikir untuknya. Halbert dengan segala reputasinya, tidak akan pernah tertarik apdanya. Halbert adalah Putra Mahkota dan ia hanya anak seorang pengelana yang sebatang kara. Seharusnya ia tahu sejak detik pertama Halbert menimbulkan sensasi dalam dirinya melalui sentuhannya. Halbert tidak hanya membangkitkan kenangan akan ayahnya tapi juga telah membangkitkan kerinduan akan perlindungan seorang pria!

Halbert menyadari perubahan ekspresi Sarita dan ia melepaskan bibir Sarita. Halbert yakin ia telah membuat takut gadis ini. Halbert melihat mata yang ketakutan itu dengan sedih.

“Katakan, Sarita, apakah aku yang pertama?” Halbert melihat bibir yang bergetar itu.

Sarita mengangguk. Halbert adalah pemuda pertama yang memperlakukannya dengan penuh perhatian di luar kedua ayahnya. Ia harus pergi sebelum ia benar-benar jatuh cinta pada orang yang tidak boleh dicintainya dan tidak akan dicintainya ini.

“Saya perlu bicara,” Sarita merasa suaranya tertelan kepanikannya.

“Tidak sekarang,” Halbert berdiri tegak di seberang Sarita, “Aku punya janji. Aku harus segera bersiap-siap.”

‘Pasti itu adalah wanita,’ Sarita berpikir tidak senang.

“Saya tidak akan membuat teman kencan Anda menanti Anda,” Sarita bersikeras.

“Kita akan berbicara malam ini,” Halbert beranjak pergi. Ia tidak siap mendengar protes Sarita atau kata-katanya yang akan menyakiti hatinya.

Sarita berdiri. Ia harus mengatakannya! “Saya ingin pergi.”

Langkah kaki Halbert terhenti. Ia menatap Sarita – berharap ia salah mendengar.

“Saya harus pergi dari sini!” Sarita menegaskan.

“Kita akan membicarakannya malam ini,” kata Halbert dan ia bergegas keluar sebelum Sarita mengulangi keinginannya yang mengejutkan itu.

Halbert menyumpahi dirinya sendiri. Tidak seharusnya ia melewati batas. Tidak seharusnya ia membuat Sarita takut. Sekarang gadis itu ingin pergi.

Halbert tidak mengerti mengapa ia begitu takut melepaskan Sarita. Mungkin gadis ini memiliki sesuatu yang menarik jiwa petualangannya. Apapun itu, Halbert merasa ia tidak bisa melepaskan Sarita dari matanya. Sesuatu memperingatinya. Begitu ia melepaskan perhatiannya dari gadis ini, ia tidak akan pernah dapat menemukan gadis ini lagi. Dan untuk sebuah alasan yang tidak diketahuinya, ia tidak ingin itu terjadi!Sarita memperhatikan kepergian Halbert dengan putus asa. Pagi ini ia tidak bisa berbicara dengan Halbert. Begitu selesai sarapan, Halbert pergi. Sarita tahu Halbert kadang kembali di siang hari sebelum ia pergi lagi. Halbert tidak pernah menemuinya ketika ia kembali di siang hari. Sekarang ia menemuinya dan Sarita melepaskan kesempatan itu. Malam ini setelah mereka kembali ke kamar mereka masing-masing, Sarita harus menemuinya. Ia harus berbicara dengannya!

1 comment: