Wednesday, November 12, 2008

Kisah Cinta-Chapter 11

Halbert merasa sungguh konyol. Ia kabur seperti seorang prajurit kalah perang hanya karena keinginan Sarita untuk pergi.

Sarita tidak pernah mengatakan ingin pergi sejak mereka tiba di Ririvia. Halbertpun berpikir Sarita sudah terbiasa dengan kehidupan dalam istana.

‘Kabur…,’ pikir Halbert.

Sarita meninggalkan Hauppauge karena ia kabur dari keluarga Riddick. Pasti kemunculan Chris membuat Sarita merasa tidak aman. Tapi untuk apa ia merasa tidak aman? Penjagaan Istana Ririvia tidak mudah diterobos. Sekarang Sarita juga mempunyai dua prajurit yang selalu mengawalnya ke mana pun ia pergi. Apakah itu tidak cukup? Bila perlu Halbert akan mengatur lebih banyak orang untuk mengawalnya.

“Pangeran! Pangeran!”

Halbert terkejut.

“Apakah kita akan tinggal di sini?” Avon bertanya, “Semua orang sudah pergi.”

Halbert melihat wanita cantik itu dengan bingung. Sesaat kemudian ia sadar ia tengah berada di dalam teater. Sudah tidak terdengar lagi suara dari panggung dan ketika Halbert berdiri dari tempat mereka yang tinggi. Ia melihat tempat duduk penonton di bawah sudah kosong.

“Kita bisa pergi sekarang,” Halbert memutuskan.

“Ke mana kita akan pergi?” wanita itu langsung bergelayut manja di tangan Halbert.

“Pulang,” jawab Halbert singkat.

Halbert mendengar keluhan Avon tapi ia tidak berkata apa-apa. Pikirannya saat ini hanya tertuju pada Sarita.

Halbert ingat ia pernah pergi ke teater bersama Sarita. Halbert tidak ingat pertunjukan apa yang mereka lihat. Halbert hanya ingat Sarita berkata, ‘Selamat sore, Yang Mulia Pangeran,’ ketika Duke Norbert mengantarnya ke villa ia tinggal di Trottanilla. Setelah Duke Norbert pergi, Sarita membisu. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa. Di akhir pertunjukan pun, Sarita langsung berdiri. Saat itu Halbert tidak bertanya apakah Sarita tidak menyukai penampilan yang mereka tonton. Halbert juga tidak bertanya apakah Sarita tidak suka melihat pertunjukan di gedung teater. Namun mendengar Avon terus menerus mengulang kekagumannya, Halbert ingin tahu apa pendapat Sarita saat itu.

Biasanya Halbert akan dengan senang hati mendengar teman kencannya berkomentar tentang apa pun yang menjadi pilhannya. Namun kali ini Halbert ingin segera kembali ke Istana. Karena itu Halbert tidak membuang waktu ketika kereta berhenti di depan rumah Avon.

Avon berbeda dengan Sarita. Ia adalah putri sah saudagar kaya di Helsnivia. Ia juga tidak memiliki rambut pucat seperti Sarita, sebaliknya rambutnya merah membara. Avon adalah wanita cantik tetapi kecantikannya masih kalah jauh dari Sarita. Dengan batu permata di gaunnya dan mutiara di rambutnya yang tertata rapi, Halbert merasa Avon lebih terlihat seperti perhiasan berjalan daripada mempesona. Sarita yang tidak mengenakan sebutir batu perhiasanpun sangat mempesona. Halbert ingin tahu apakah Sarita akan lebih berkilauan dari batu-batu permata ini bila ia berdandan dengan pantas. Satu yang telah ia lihat pagi ini, Sarita tampak semakin mempesona ketika ia berdandan.

Savanah, dengan seluruh keahliannya, berhasil mengeluarkan aura kecantikan Sarita yang terpendam dalam kepuritannya. Kemampuan Savanah sebagai pelayan terbaik Ratu memang tidak perlu diragukan. Bahkan Halbert yakin Savanah pasti dapat mengeluarkan seluruh aura kecantikan Sarita sehingga gadis itu seterang matahari dan semempesona rembulan malam.

“Apakah Anda tidak bergabung bersama kami untuk makan malam?” Avon memecahkan lamunan Halbert lagi.

“Malam ini aku tidak dapat.”

“Sepertinya saya harus mengucapkan selamat malam saat ini juga,” Avon tersenyum kemudian ia memejamkan mata dan mengulurkan wajahnya.

Halbert melihat bibir yang menanti ciumannya itu. Demi kekagetan Halbert sendiri, ia meraih tangan Avon – menciumnya dan berkata, “Selamat malam,” dan langsung masuk kereta.

Ketika kereta berjalan ke Istana, Halbert yakin Avon marah besar tapi entah kenapa untuk saat ini Halbert tidak peduli apakah ia mengecewakan teman kencannya. Semua itu rasanya tidak penting lagi dibandingkan dengan pikiran Sarita akan pergi.

Pikiran Sarita bisa pergi sewaktu-waktu membuat Halbert tidak tenang. Tak heran begitu kakinya menginjak Istana, ia langsung menuju Ruang Perpustakaan. Ia sudah setengah berlari ketika sampai di sana.

Tiadanya dua prajurit yang berdiri di depan pintu sudah menyatakan pada Halbert, Sarita tidak ada di sana! Dengan panik, Halbert memutar langkah kakinya ke kamar Sarita.

‘Sarita tidak ada!!’ pikir Halbert panik ketika tidak ada prajurit di depan kamar Sarita.

Halbert membuka dua daun pintu kamar Sarita lebar-lebar. Mata jelinya langsung melihat koper besar Sarita di sisi tempat tidur. ‘Sarita akan pergi!’ Ia harus mencegahnya sebelum gadis itu benar-benar pergi.

Halbert membalik badannya dengan satu niat: menghentikan Sarita!

Halbert melihat Sarita keluar dari kamar yang dijaga dua prajurit. Apa yang dilakukannya di dalam kamar ayahnya!?

“Terima kasih, Paduka,” Sarita membungkuk.

Apa yang mereka lakukan di dalam!

“Tidak, Paduka,” Sarita tersenyum, “Terima kasih banyak atas perhatian Anda.”

“Selamat malam,” Sarita membungkuk dan menutup pintu.

“Apa yang kaulakukan?”

Suara dingin Halbert membuat Sarita terperanjat.

Wajah tegang Halbert menelan Sarita bulat-bulat.

“Saya memohon Paduka untuk mengirim sesuatu pada Graham. Saya melupakannya siang ini,” Sarita memberitahu.

Urusan Cookelt! Mengapa ia tidak pernah memikirkannya sebelumnya? Mungkin yang diinginkan Sarita adalah pergi mengunjungi wilayah kekuasan keluarga Riddick bukan pergi untuk selama-lamanya. Bukankah Sarita pernah mengatakan peternakan mereka yang dilanda wabah, perlu dikunjungi?

“Tidak mudah mengurus Cookelt tanpa berada di sekitarnya.”

“Kalau kau mau, aku akan mengurus jadwalku agar kita bisa pergi ke sana,” Halbert mengikuti langkah Sarita.

“Tidak perlu, Pangeran,” Sarita menolak halus, “Saya tidak boleh sepenuhnya mengurus Cookelt. Chris perlu melatih dirinya sendiri.”

“Kupikir kau ingin pergi.”

“Ya, saya ingin meninggalkan Istana.”

“Mengapa kau ingin pergi?” Halbert menyumpahi dirinya sendiri telah mengingatkan Sarita akan hal itu, “Apakah kau takut Chris akan datang lagi? Tidak ada yang perlu kaucemaskan. Kau akan selalu dikawal.”

Benar. Sarita juga sudah memperhatikannya sepanjang hari ini. Baik Raja Marshall, Ratu Kathleen maupun Halbert tidak selalu dikawal prajurit ketika mereka berada di dalam Istana. Pintu kamar mereka pun tidak dijaga dua prajurit sepertinya. Sarita sudah memperhatikan dua prajurit yang mengawalnya pagi ini sudah diganti oleh dua orang lain yang selalu mengekornya. Pun ketika menemui Raja Marshall!

“Kalau perlu, aku akan menambah prajurit untuk mengawalmu.”

Sarita menghentikan langkah kakinya. “Saya ingin bicara dengan Anda.”

Halbert melihat mata serius itu dengan panik. Sarita pasti ingin membicarakan kepergiannya!

“Tidak sekarang, Sarita,” Halbert mengelak, “Sebentar lagi makan malam akan siap.” Halbert memegang pundak Sarita. “Savanah tak lama lagi pasti akan menemuimu di kamar. Mengapa kau tidak mempersiapkan diri?” Halbert setengah mendorong gadis itu memasuki kamarnya.

“Pangeran, saya harus berbicara dengan Anda,” Sarita menegaskan.

“Tidak sekarang, Sarita. Savanah pasti tidak suka kau membuat Papa Mama menantimu.”

Ya. Savanah marah-marah siang ini ketika Sarita terus menyibukkan diri dengan kertas-kertasnya. “Anda tidak boleh membuat Paduka menunggu!” protesnya. Sore inipun ia kembali marah-marah ketika Sarita masih di Ruang Perpustakaan. “Apa yang Anda lakukan di sini!?” katanya tidak senang, “Sudah waktunya Anda berhenti bekerja,” ia membuat Sarita kembali ke kamarnya. Sepertinya Savanah juga memberi pesan pada pengawalnya untuk tidak membiarkannya kembali ke Ruang Perpustakaan karena mereka langsung menanyakan tujuannya ketika ia membuka pintu.

Sarita pun menurut. Malam ini setelah makan malam ia akan berbicara dengan Halbert.

Itulah rencana Sarita tapi pada kenyataannya Halbert langsung menyibukkan diri dengan Raja Marshall untuk membicarakan masalah kerajaan. Keesokan harinya pun Sarita tidak dapat menemui Halbert. Halbert pergi setelah makan pagi. Ia muncul dalam makan siang tapi ia langsung menghilang lagi sampai waktu makan malam dan setelahnya langsung mengajak Raja Marshall berunding.

Untuk beberapa hari setelahnya Halbert berhasil menghindari Sarita. Setiap kali mereka bertemu, Sarita selalu berkata, “Saya perlu bicara.” Setiap kali mata mereka bertemu, Halbert dapat melihat kebulatan tekad Sarita untuk pergi dari Istana selama-lamanya.

Halbert tidak siap. Ia tidak mau mendengar keinginan Sarita lagi. Pikiran akan koper Sarita yang sudah siap di sisi tempat tidur membuatnya semakin tidak tenang. Keinginannya untuk berpetualang di sore hari menguap olehnya. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan di Istana – membantu ayahnya mengurus masalah kerajaan. Ini adalah hal yang langka darinya. Sangat mustahil ia mengambil waktu kencan hasil perundingan di antaranya dengan orang tuanya, untuk berdiam diri di ruang kerjanya sendiri.

“Apa Sarita membuatmu malu?” tanya Raja di hari ketiga ia menetap di istana pada sore hari. “Sarita adalah seorang pekerja keras. Ia sangat cocok mengurus kerajaan ini. Sungguh tidak dapat dipercaya ia masih sangat belia.”

Walau tahu Sarita tidak meninggalkan Ruang Perpustakaan sebelum malam menjelang, Halbert masih tetap tidak tenang. Setiap ada kesempatan, ia pasti melewati Ruang Perpustakaan hanya untuk melihat apakah dua prajurit itu masih di depan pintu. Kadang Halbert mengintip masuk tapi ia tidak pernah menemui gadis itu secara langsung. Ia masih tidak siap!

Ratu Kathleen tampaknya tidak terlalu menyukai tingkah laku Halbert ini.

“Apa kau tidak punya pekerjaan lain!?” omelnya setelah melihat Halbert mengintip Ruang Perpustakaan.

“Sarita ingin pergi, Mama,” Halbert membela diri.

“Sarita ingin pergi!?” Raja Marshall terperanjat, “Mau ke mana dia? Apakah ia tidak kerasan? Apakah ia merindukan Trottanilla?”

Mata dingin Ratu Kathleen langsung menutup mulut Raja.

“Kalau ia mau pergi, ajak dia pergi!” Ratu Kathleen menatap tajam Halbert dan berkata dengan nada-nada yang tidak pernah didengar Halbert sebelumnya. Ia tidak pernah terlihat seperti harimau betina yang melindungi anaknya. Ratu Kathleen adalah wanita anggun. Ia tahu bagaimana membatasi emosinya. Sekalipun ia marah, ia tidak pernah menunjukkannya dengan jelas seperti ini.

Halbert tidak mau membantah ibunya. Kakinya segera melangkah kembali ke Ruang Perpustakaan.

Sarita tidak mengangkat kepala kepala dari kertas-kertasnya ketika Halbert melangkah masuk.

“Apakah semuanya lancar?” Halbert duduk di tepi meja.

Sarita menengadahkan kepalanya. “Tidak lebih baik,” ia mengakui.

“Apakah masalah peternakan itu masih belum selesai?”

“Chris sudah mengurusnya.”

“Kurasa kau memberitahuku Chris tidak mau mengurusnya.”

Sarita tersenyum licik. “Saya mengancamnya akan melepas hak saya sebagai walinya.”

“Kau bisa melepas tugasmu?” Halbert mengulangi dengan tidak percaya. Ia semakin sulit mempercayainya ketika melihat senyum penuh kemenangan Sarita. Halbert tidak percaya gadis yang mulai ia kenal sebagai gadis lembut yang manis ternyata memiliki jiwa setan. “Mengapa kau tidak melepaskannya? Chris tidak akan mengganggumu lagi. Duchess Belle juga tidak akan mencarimu lagi.”

“Saya tidak dapat membiarkan Duchess merusak keluarga Riddick lagi,” Sarita berkata dengan sungguh-sungguh, “Kalau kekayaan keluarga Riddick jatuh ke tangannya, Duchess pasti menggunakannya untuk bersenang-senang. Akhir-akhir ini saya berpikir Duchesslah yang berada di balik kematian Norbert.”

“Bagaimana kau bisa berkata seperti itu? Kudengar Norbert sudah sakit-sakitan sebelum ia sakit parah.”

“Apakah Anda tidak curiga, Pangeran, seseorang yang segar bugar di pagi hari tiba-tiba jatuh sakit di siang hari dan keadaannya terus memburuk,” kemudian Sarita melanjutkan, “Beberapa hari ini saya mendengar Duchess mempunyai banyak hutang. Kekasihnya adalah seorang penjudi berat dan ia selalu melimpahkan hutangnya pada Duchess. Sepertinya Norbert sudah lama mengetahuinya. Karena itu ia menegaskan untuk tidak memberi Duchess sepeserpun kekayaannya.”

“Kau mempunyai mata yang sungguh jeli, Sarita,” Halbert tidak pernah menemukan seorang wanita pun yang bisa diajak berbicara seperti seorang pria.

“Pengalaman membentuk saya, Pangeran,” Sarita merendahkan diri.

‘Benar. Sarita pasti telah lelah melihat banyak contoh dari almarhum Duke Norbert. Karena itulah ia tidak menyukai pria sepertinya?’ Halbert berpikir dengan sedih.

Sarita selalu mencari-cari kesempatan untuk berbicara dengan Halbert. Sekarang pemuda itu ada di depannya, ia tidak boleh membuang kesempatan. “Saya perlu bicara.”

“Aku juga perlu bicara denganmu,” Halbert mendahului, “Sore ini kita akan pergi. Aku punya pesta yang harus kuhadiri. Kau akan ikut denganku.”

Mata Sarita melebar.

“Aku sudah mengatur semuanya,” Halbert tidak berniat memberi Sarita kesempatan untuk menolak, “Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan. Kau hanya perlu mempersiapkan dirimu.” Dan sebelum Sarita menyelanya, “Aku akan menantimu sore ini.”

“Pangeran!” Sarita berdiri, “Saya,” jari Halbert telah berada di bibirnya. Sarita mundur dengan kaget.

“Tidak ada bantahan, Sarita,” Halbert menegaskan, “Kau ingin pergi. Sekarang aku akan membawamu pergi.”

“Benar. Tapi.”

“Kau butuh istirahat,” Halbert memotong. “Jam tujuh aku akan menjemputmu,” ia menegaskan dan pergi tanpa mendengarkan tolakan Sarita.

‘Bagus sudah!’ pikir Sarita melihat pintu tertutup, ‘Sekarang si gadis miskin akan pergi ke pesta mewah!’

Ia selalu mencari-cari kesempatan untuk berbicara dua mata dengan Halbert. Baru saja ia memilikinya namun Halbert tidak memberinya kesempatan. Sarita tidak tahu kesibukan apa yang membuat Halbert tidak punya waktu untuk berbicara dengannya walau hanya sebentar.

Sekarang Sarita lebih ingin tahu angin mana yang membuat Halbert mengajaknya pergi.

Dalam beberapa hari terakhir ini Sarita menyadari permainan Duke. Duke Norbert selalu membuat Sarita percaya sang Pangeranlah yang mengajaknya pergi. Seharusnya ia mencurigainya ketika Duke Norbert selalu mengantarnya menemui Pangeran Halbert bukan sang Pangeran yang menjemputnya. Dengan statusnya yang begitu tinggi, Halbert pasti tidak mau mencemarkan nama baiknya dengan berhubungan dengan si anak haram.

Sarita benar-benar ingin tahu.

Segera hal lain menjadi pikirannya: gaun pesta! Ia tidak punya gaun yang pantas untuk pesta mewah bangsawan. Walaupun Savanah – entah dari mana – mendapatkan gaun-gaun sutra halus yang dikenakannya belakangan ini, tidak satu pun dari gaun-gaun itu yang cocok untuk pesta bangsawan. Sarita tidak terlalu memikirkan gaun yan harus dikenakannya. Tapi Halbert pasti tidak suka bila ia hanya mengenakan gaun sederhana.

Seperti yang dikatakan Halbert, tidak ada yang perlu dikhawatirkan Sarita. Tak sampai sepuluh menit setelah kepergiannya, Savanah muncul dengan wajah berseri-seri.

“Saya telah mendengarnya, M’lady,” ia langsung memegang tangan Sarita, “Anda akan pergi ke pesta Viscount Padilla bersama Pangeran.”

Viscount? Ia bukan seorang Duke atau Grand Duke.

“Anda harus bersiap-siap!” Savanah menarik Sarita berdiri.

“Bersiap-siap!? Sarita melirik jam. Dan memprotes. “Aku masih punya waktu empat jam.”

“Anda tidak punya banyak waktu!” Savanah menegaskan.

“Aku masih punya banyak hal yang harus kuselesaikan.”

“Anda bisa menyelesaikannya besok,” Savanah menarik Sarita keluar Ruang Perpustakaan.

Sarita melihat dua pengawalnya langsung mengekor. Wajah kaku mereka membuat Sarita merasa ia harus mendengar perintah Savanah.

Ketiga orang inilah yang membuat Sarita tidak bisa kabur dari istana. Ini sungguh lucu. Halbert mengundangnya sebagai tamu tapi ia tidak menyebut selama-lamanya. Sarita ingin tahu sampai kapan ia akan menjadi tamu tawanan di sini.

Terima kasih pada Savanah sekarang sewaktu-waktu ia siap meninggalkan Istana. Baju-bajunya yang hendak dibuang Savanah di hari pertama ia melayaninya sekarang sudah tersimpan rapi di koper samping tempat tidurnya. Terima kasih pada Savanah pula dan dua pengawalnya ia tidak bisa ke mana-mana. Mereka melayaninya dengan baik. Mereka juga mengawalnya dengan sempurna!

Beberapa saat setelahnya Sarita mengerti mengapa Dorothy membutuhkan waktu berjam-jam untuk bersiap-siap pergi dan masih sering membuat janjinya menanti lama.

Savanah membongkar isi lemari baju. Ia bersama lima pelayan wanita yang sudah menantinya di dalam kamar, mengenakan pada Sarita gaun yang ia rasa cocok. Mereka juga telah menata rapi rambutnya tapi kemudian Savanah akan berseru, “Tidak! Tidak! Ini tidak bagus!” dan mereka akan mengulang ritual mereka.

Dua jam kemudian Sarita sudah ingin berteriak ketika seseorang mengetuk pintu. Sarita yang setengah telanjang segera mengambil selimut untuk menutupi tubuhnya. Lima pelayan itu langsung berbaris di depan Sarita – menghalangi pandangan siapa pun itu di pintu dan Savanah beranjak membuka pintu sambil mengomel,

“Siapa itu!? Apa mereka tidak tahu aku sibuk!?”

Konyol! Saritalah yang akan pergi ke pesta tapi Savanahlah yang sibuk! Sarita sendiri tidak merasa pusing dengan apa yang akan dikenakannya. Duke Norbert juga tidak memusingkannya dengan gaun pesta ketika ia pergi ke pesta Earl of Striktar. Duke Norbert hanya tahu Sarita sudah siap dengan gaun pesta pemberiannya. Yang lebih konyol lagi, Savanah membuatnya makan sambil duduk diam sementara rambutnya ditata!

“Lihatlah, M’lady!” Savanah membawa masuk sebuah kotak besar dengan mata bersinar-sinar, “Yang Mulia Pangeran telah memilih gaun pesta untuk Anda.”

‘Sempurnalah sudah!’ Sarita mengeluh. Tampaknya Halbert benar-benar tidak mau ia menghindar.

Savanah langsung membuka kotak itu di meja. Ia berseru kagum ketika mengangkat baju biru muda sifon. Kainnya yang lembut jatuh dengan anggun. Sederet kancing permata berbaris rapi sepanjang potongan dada yang rendah. Lengannya yang bermulut lebar tidak dilapisi kain sutra biru seperti bagian gaun yang lain.

Sarita dapat mendengar desahan kagum lima pelayan muda itu dan sesaat kemudian ia duduk di depan meja rias dengan gaun pemberian Halbert di badannya. Enam wanita itu sibuk menata rambutnya. Berulang kali mereka mengganti tatanan rambutnya hingga Sarita merasa ketika mereka selesai, ia akan kehilangan setengah rambutnya.

Sarita berpikir ritual ini akan segera selesai dengan datangnya gaun pesta pilihan Halbert tapi rupanya ia salah. Ia masih harus duduk berdiam diri hingga beberapa saat sebelum ketikan lain terdengar di pintu.

Sarita melirik jam. Ia yakin itu adalah Halbert. Dengan hati gembira Sarita langsung melompat berdiri.

“Tunggu, M’lady!”

“Pangeran Halbert sudah menantiku, Savanah,” Sarita menahan diri untuk tetap berkata sopan.

“Dandanan Anda masih belum selesai.”

Apa yang kurang? Sarita melirik bayangan dirinya di cermin. Ia sudah mengenakan gaun pesta pemberian Halbert. Rambut panjangnya sudah ditata rapi selayaknya seorang Putri Kerajaan.

“Saya akan segera kembali!”

Sarita mendengar Savanah menggerutu. “Mengapa Pangeran bisa melupakannya?” ketika ia menuju pintu.

“Pangeran pasti menanti Anda,” satu di antara pelayan itu tersenyum penuh arti sambil mendudukkannya kembali.

“Savanah tidak akan lama,” kata yang lain.

Dan benarlah perkataan itu. Sesaat kemudian Savanah muncul dengan sebuah kotak cantik di tangannya.

Sarita terkesiap ketika Savanah membuka kotak itu di depannya. “Savanah, dari mana kau mendapatkannya?” ia melihat Savanah sibuk mencari-cari di antara perhiasan-perhiasan itu dengan panik. “Aku tidak dapat mengenakannya.”

“Istana masih punya banyak perhiasan yang lebih mewah,” Savanah memberithau dengan santai.

Ah, tentu saja sekarang ia ada di dalam Istana bukan di Hauppauge.

Savanah melepas desahan gembira ketika ia menarik sebuah kalung berlian yang indah. Rantainya yang kecil mengelilingi leher Sarita dengan anggun. Untaian berlian putih yang jatuh seperti air terjun kecil sepanjang rantai, mengisi ruang kosong di antara dada dan leher Sarita. Savanah juga menyematkan anting-anting senada di telinga Sarita. Tak lupa ia memiih beberapa batu permata dan menyematkannya di rambut Sarita yang tergelung rapi.

Savanah meletakkan seuntai rambut Sarita yang dibiarkannya jauh di depan dada gadis itu. “Sempurna!” ia memuji hasil karyanya.

Sarita bergegas pergi sebelum Savanah teringat akan hal lain.

“Yang Mulia Pangeran menanti Anda di bawah,” prajurit memberitahu.

Tentu saja! Halbert selalu tidak gembira ketika Dorothy membuatnya menanti. Mana mungkin ia akan dengan sabar menantinya di depan pintu kamar?

Sarita sangat terkejut ketika Halbert muncul dari balik tikungan.

Halbert terpesona. Tanpa satu perhiasan pun Sarita sangat mempesona. Sekarang dengan dandanannya yang manis, gadis itu benar-benar seperti bukan bagian dari dunia ini.

“Kau sangat cantik,” Halbert mengambil tangan Sarita dan menciumnya.

Sarita langsung melepaskan diri. “Saya pikir Anda menanti saya di bawah.”

“Aku hanya pergi untuk memeriksa kereta. Kemudian aku kembali untuk menantimu seperti janjimu,” Halbert tidak dapat memungkiri pesona Sarita.

Pilihannya memang tepat. Ketika melihat gaun biru ini, ia merasa seperti melihat mata Sarita. Ia sering melihat mata sebiru Sarita. Ia sering mengencani wanita berkulit pucat dan berambut pucat seperti Sarita. Namun ia tidak pernah melihat perpaduan yang begitu unik yang dilihatnya dari Sarita pada wanita lain. Dengan kulitnya yang putih dan rambutnya yang pucat hingga hampir penuh misteri, Sarita kian terlihat seperti bukan berasal dari dunia ini. Sekarang dengan dandanannya yang begitu mempesona, Sarita terlihat bersinar seperti seorang ratu peri.

“Kau benar-benar membuat penantianku sangat berharga.”

Sarita termangu melihat senyum lembut itu.

Halbert mengambil tangan Sarita. Tanpa memberi kesempatan kabur pada Sarita, ia mengapit tangan gadis itu di sikunya dan membawanya pergi.Sarita dapat merasakan pandangan orang-orang ketika mereka melintasi Hall. Sarita percaya besok seisi Helsnivia akan membicarakan aib Istana ini. Sarita yang biasa tidak akan mempedulikannya tapi sekarang ia bukan lagi Sarita yang dulu. Sarita yang sekarang menyadari ancaman Halbert pada dirinya sendiri. Sarita yang sekarang tidak mau terlibat terlalu jauh dengan sang Pangeran. Sedapat mungkin Sarita ingin pergi tanpa meninggalkan apapun dalam dirinya!

1 comment: