Friday, November 7, 2008

Kisah Cinta-Chapter 8

“Apa-apaan ini!?” pekik Ratu Kathleen.

“Ini sudah di luar batas!” Raja Marshall sependapat.

“Bisa-bisanya anak itu membawa pualng anak haram!” Ratu Kathleen langsung berdiri, “Di mana dia? Katakan di mana mereka!? Akan kuusir anak haram itu!”

Ratu Kathleen tidak dapat menutupi kemarahannya. Kegembiraannya mendengar kepulangan putranya langsung berubah menjadi amarah ketika mendengar Halbert membawa putri haram almarhum Duke of Cookelt bersamanya. Jamuan yang sedianya akan diselenggarakan untuk menyambut kepulangan putranya, langsung dibatalkannya. Sekarang ia sudah benar-benar tidak sabar untuk mengusir gadis hina itu.

Karena itu begitu mendengar prajurit berkata, “Kereta Pangeran Halbert sudah memasuki gerbang istana,” ia langsung menerjang ke pintu masuk.

Di sana, di depan pintu kayu yang kokoh, Ratu berdiri dengan angkuhnya. Tidak satu goretan di wajahnya yang tidak menunjukkan kemurkaannya.

Raja Marshall yang menyusul kemudian tidak kalah angkernya.

Seisi istana sudah mendengar apa yang terjadi ketika seorang prajurit datang mengharap Raja pagi ini. Sekarang mereka mengintip dari tempat mereka masing-masing – ingin tahu apa yang akan terjadi.

Kereta yang membawa Pangeran dan Sarita akhirnya berhenti di depan Raja dan Ratu.

Ratu sudah hampir menyemprotkan luapan amarahnya ketika Halbert turun dari kereta.

Halbert mengulurkan tangan untuk membantu Sarita.

Ratu siap menyemburkan amarahnya ketika gadis itu akhirnya keluar dari dalam kereta.

Dengan anggunnya, Sarita menjejakkan kaki di pelataran istana. Wajah cantiknya langsung menangkap ekspresi marah Ratu Kathleen. Mata biru mudanya menatap malu-malu melalui bulu mata lentiknya. Sesaat kemudian senyum manis merekah di bibir mungilnya yang memerah. Sinar matahari yang menyinari rambut kuning pucatnya, membuatnya bersinar indah.

Ratu Kathleen menatap gadis itu lekat-lekat.

Raja Marshall terkesima.

“Papa, Mama, aku sudah pulang,” Halbert memeluk ibunya kemudian ayahnya. Kemudian ia membawa Sarita ke hadapan orang tuanya yang membisu. “Ini adalah Sarita, putri almarhum Duke of Cookelt. Aku mengundangnya tinggal di sini untuk beberapa waktu.”

“Selamat siang, Yang Mulia Paduka Raja, Yang Mulia Paduka Ratu,” suara merdu Sarita melantunkan salamnya.

Ratu Kathleen langsung membuang muka dan melangkah angkuh ke dalam istana.

Sarita tidak terlalu kaget oleh reaksi Ratu Kathleen. Ia memang tidak mengharapkan sambutan yang ramah.

Teima kasih pada Duchess Belle, seisi dunia percaya ia adalah anak haram Duke Norbert.

Sebagai orang terhormat sudah pasti Ratu Kathleen tidak senang dengan keberadaan anak haram dalam rumahnya, bersama satu-satunya putranya.

Halbert juga tidak mengharapkan lebih. Ia sudah tahu membawa pulang Sarita bukanlah hal yang baik, tapi ia tidak dapat membiarkan Sarita pergi seperti yang diinginkan gadis itu setelah mereka tiba di Magport kemarin malam. Halbert tidak berani berharap banyak. Ibunya tidak langsung mengusir Sarita di depan pintu rumah sudah sangat baik.

“Jangan kauhiraukan ibumu,” Raja Marshall mengagetkan Halbert dengan kata-katanya yang ramah, “Bawalah Lady Sarita ke kamarnya. Ia tentu sudah lelah.”

‘Lady Sarita!!??’ Halbert membelalak. Apakah ia tidak salah dengar?

“Mari, Lady Sarita,” Raja memberi jalan pada Sarita.

Halbert tidak percaya ayah yang sangat diyakininya akan menyuruh prajurit mengusir Sarita, menunjukkan jalan dengan ramah pada Sarita! Mata Halbert beralih pada Sarita yang dengan sopan mengikuti Raja Kathleen.

‘Pesona gadis ini memang tidak bisa diremehkan,’ Halbert berpendapat ketika Sarita membungkuk hormat sebelum mengikuti pelayan yang diperintahkan Raja mengantar Sarita ke kamarnya.

“Di mana kau temukan dia, Halbert?” Raja Kathleen bertanya tidak percaya.

Halbert terkejut mendengar nada takjub ayahnya. Ia tidak dapat mempercayai sepasang mata biru tua itu bersinar kagum.

Beberapa pelayan mulai membongkar muatan kereta.

“Aku perlu bicara,” Halbert memutuskan.

Walaupun ayahnya menyambut Sarita dengan ramah dan ibunya tidak mengusir Sarita, bukan berarti Sarita aman. Halbert harus menjelaskan alasannya membawa pulang Sarita.

“Tentu, Halbert,” Raja merangkul pundak putranya, “Kau harus memberitahuku di mana kau menemukan gadis ini,” dan ia membawa Halbert ke Ruang Duduk.

Ratu Kathleen ada di dalam Ruang Duduk ketika mereka masuk. Mata hijaunya yang dingin menatap kedatangan mereka.

“Mama, aku perlu bicara tentang Sarita.”

Ratu membuang muka.

“Seperti yang kalian ketahui,” Halbert membuka pembicaraan, “Duke of Cookelt baru saja meninggal dunia. Sekarang Sarita benar-benar sebatang kara. Duke Norbert mewariskan semua kekayaannya pada Chris dan menunjuk Sarita sebagai walinya.”

“Gadis itu!?” Raja terkejut.

Ratu tidak bereaksi.

“Duke menunjuknya,” Halbert mengulangi.

“Ia masih terlalu muda.”

“Kurasa itulah yang membuat Duchess Belle tidak dapat menerimanya,” Halbert melanjutkan, “Ia mengirim orang untuk menyingkirkan Sarita. Aku tidak dapat berdiam diri melihatnya dalam bahaya. Keluarga Riddick tidak menyukainya. Duchess Belle tidak pernah menyukai Sarita dan Chris, adik tiri Sarita, berusaha memperkosanya.”

“Aku tidak menyangkanya,” gumam Raja, “Ia memang sangat mempesona. Tapi, Halbert, apakah kau yakin ia adalah putri Duke of Cookelt?”

“Tentu saja. Apa mungkin Duke mencintai anak orang lain melebihi putrinya sendiri?” tanya Halbert.

Raja Marshall terdiam.

“Aku tidak bisa membiarkannya seorang diri dalam bahaya,” lanjut Halbert, “Karena itu aku mengundangnya ke sini sebagai tamuku. Aku berharap kalian tidak keberatan.”

“Tentu saja ia akan diterima di sini dengan tangan terbuka,” sahut Raja.

Halbert melihat ibunya – mengharapkan sepatah dua patah kata darinya.

Ratu Kathleen masih tetap tidak bereaksi.

“Mama, apakah Mama bisa menerima kehadiran Sarita?” Halbert akhirnya langsung bertanya.

Demi kekagetan Halbert, Ratu Kathleen berdiri sebagai jawabannya. Tanpa sedikitpun melihat putranya, ia melangkah pergi.

“Tidak ada yang perlu kau khawatirkan,” Raja memberi kepastian, “Kathleen hanya tidak dapat menerima kenyataan kau membawa pulang Sarita.”

‘Membawa pulang seorang wanita, tepatnya?’ Halbert berpikir sinis. Tentu saja Ratu tidak senang. Ia tidak pernah menyukai petualangan Halbert dan gadis-gadisnya. Ini adalah pertama kalinya ia membawa pulang wanita. Namun Sarita bukanlah salah satu wanitanya. Bagaimana ia harus meyakinkan Ratu?

“Kenapa kau tidak beristirahat, Halbert,” Raja mengusulkan, “Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang. Apa kau lapar? Aku akan menyuruh pelayan membawa makanan ke kamarmu.”

“Tidak perlu, Papa. Kami sempat berhenti untuk bersantap siang.”

Raja Marshall tidak memberi komentar.

“Aku akan beristirahat di kamarku, Papa. Selamat siang.”


-----0-----



Sarita duduk di beranda – memandang pegunungan tinggi yang membentang di kejauhan. Ia teringat lagi ketololannya kemarin malam setelah kapal merapat di Ririvia.

“Malam ini kita akan menginap di dalam kapal,” Halbert memberitahunya, “Besok pagi-pgi kita akan berangkat ke istana.”

Istana adalah satu-satunya tempat yang tidak ingin dikunjungi Sarita. Halbert bersedia membawanya ke Helsnivia saja sudah membuat Sarita sangat berterima kasih.

Duke Norbert hanya berjanji pada Ithnan untuk memulangkan Sarita ke Helsnivia.

“Terima kasih, Yang Mulia,” kata Sarita, “Saya akan baik-baik saja dari sini. Saya sangat berterima kasih atas tumpangan yang Anda berikan.”

“Ke mana kau akan pergi?” Halbert bertanya curiga.

“Mungkin saya akan melewatkan beberapa hari di sini,” jawab Sarita, “Setelah itu saya akan meninggalkan Helsnivia. Entah ke mana.”

Halbert menatapnya lekat-lekat dengan penuh tanda tanya. “Aku tidak mengerti apa yang kaubicarakan. Sebagai informasimu, kita belum tiba di Helsnivia.”

“Oh,” Sarita terkejut.

“Helsnivia tidak punya laut,” Halbert mengingatkan.

Rona merah mewarnai wajah Sarita. Ia benar-benar lupa Helsnivia adalah kerajaan kecil di antara pegungungan tinggi!

Halbert menyadari apa yang dipikirkan Sarita dan ia tidak dapat menahan tawanya.

“Maaf, pengetahuan geografi saya buruk,” Sarita tidak suka perasaan diledek.

Halbert tersenyum geli melihat rona merah yang membuat Sarita kian manis dan kekanak-kanakan itu. “Satu-satunya alasan orang tuaku mengirim kapal ini adalah jalan laut lebih cepat untuk mencapai Helsnivia daripada jalan darat.”

Sarita ingat Duke Norbert pernah berkata, ‘Walau Helsnivia adalah kerajaan kecil yang kaya, tidak mudah menyerangnya. Pegunungan yang mengelilinginya bukanlah jalan yang mudah untuk dilalui.’

“Beristirahatlah,” kata Halbert, “Kulihat sepanjang hari ini kau berdiri di ujung kapal seperti mau memimpin jalan.”

Sarita tidak membantahnya namun ia juga tidak meninggalkan dek tempat ia berdiri yang biasa disebut poop oleh para pelaut.

“Atau kau ingin tidur lagi dalam pelukanku?” goda Halbert.

Godaan itu langsung membuat Sarita bergerak. “Selamat malam, Yang Mulia.”

Halbert tertawa geli melihat Sarita kabur.

Sarita tidak suka mendengar tawa itu. Pasti inilah yang biasa dilakukan Halbert untuk menjerat wanita-wanitanya. Halbert salah besar bila ia mengira Sarita tertarik untuk menjadi satu dari sekian mantannya.

Tiba-tiba saja Sarita ingin tahu apa yang membuat Halbert menolongnya sampai sejauh ini. Halbert tidak mungkin serius menjadikannya salah satu wanitanya, bukan? Halbert sendiri pernah mengatakan ia tidak tertarik padanya.

Sarita benar-benar terkejut ketika pagi ini Halbert bersikeras membawanya ke Istana Ririvia tanpa peduli penolakan Sarita. Sekarang Sarita lebih terkejut oleh tangan terbuka Raja Marshall.

Sarita yakin ia melihat ekspresi kemarahan Raja Marshall dan Ratu Kathleen ketika kereta berhenti di hadapan mereka. Sarita mengharapkan usiran mereka tapi yang kemudian diterimanya benar-benar di luar dugaan! Kecuali reaksi Ratu Kathleen, mungkin.

Sarita tidak mengenali mereka. Namun melihat kemiripan Halbert dengan pria yang penuh wibawa itu, Sarita yakin dua sosok yang berdiri di pintu itu adalah Raja Marshall dan Ratu Kathleen. Hati Sarita sudah siap menerima usiran keduanya. Ia juga sudah menyiapkan kata-kata sopan yang akan dijelaskannya pada mereka. Bahwa ia tidak bersedia dibawa Halbert pulang ke istana. Bahwa ia punya rencana sendiri yang mulai dipikirkannya ketika kapal meninggalkan dermaga dan dimantapkannya ketika kapal merapat di Magport.

Sarita hanya dapat terdiam ketika Ratu Kathleen pergi tanpa kata-kata. Ia benar-benar termangu dalam keterkejutannya ketika Raja Marshall menyambutnya dengan tangan terbuka bahkan menyebutnya Lady!

Mereka tidak mungkin tidak tahu!

Wyatt, pelayan Halbert terus menjatuhkan pandangan tidak suka padanya sejak mereka bertemu. Pagi ini ketika Sarita tidak melihatnya di kapal, Sarita yakin Wyatt telah pulang ke Helsnivia untuk melapor.

Sarita percaya seisi Helsnivia tahu siapa dirinya, sang anak haram almarhum Duke of Cookelt!

Ia dapat merasakan pandangan ingin tahu orang-orang di Hall istana. Ia dapat mendengar bisikan-bisikan miring mereka padanya. Ia adalah anak haram almarhum Duke of Cookelt dan ia juga miskin!

Sarita tidak terlalu mempedulikan hal terakhir itu. Ketika meninggalkan Sternberg, ia berencana untuk tinggal di Hauppauge, bukan di istana. Ia tidak butuh gaun-gaun mewahnya yang dapat dipastikan sekarang memenuhi almari baju Dorothy. Ia tidak membutuhkan perhiasan-perhiasan mewahya yang sudah direbut Duchess Belle sejak Duke jatuh sakit. Ia juga tidak membutuhkan benda-benda itu saat ini. Sarita tidak berniat tinggal lama di Istana Ririvia!

‘Apakah itu mungkin?’ Sarita bertanya-tanya.

“Kau tidak akan ke mana-mana,” Halbert menegaskan pagi ini ketika ia menyatakan keinginannya turun di perbatasan Helsnivia. “Kau akan ikut denganku ke Ririvia!”

“Tinggallah di sini selama mungkin,” kata Raja Marshall ketika menyambutnya.

Sarita sempat berpikir Raja Marshall adalah salah satu dari sekian pria yang melihatnya sebagai anak haram yang bisa diajak tidur semalam. Namun dalam senyum yang ditujukan padanya itu, ia merasakan kehangatan dan di dalam mata biru tua itu, ia melihat keramahan. Keramahan yang ditunjukkan hanya padanya seakan-akan ia adalah tamu yang diharap-harapkan kedatangannya sejak lama. Bahkan, belum lama Sarita memasuki kamar barunya yang megah ini, pelayan mengantarkan makanan kecil!

Kue-kue yang menggiurkan itu dibiarkan Sarita di atas meja rias. Teh yang masih mengelup ketika disajikan, dibiarkannya dingin.

Sesungguhnya beberapa saat lagi adalah waktu makan malam. Sarita tidak terbiasa makan sesuatu sesaat sebelum makan malam.

Suasana makan malam itu sendiri tidaklah jauh berbeda dari dugaan Sarita.

Sarita duduk di depan sepasang mata hijau dingin Ratu Kathleen.

Keberadaan Halbert di sisinya sama sekali tidak membantu.

Raja Marshall yang duduk di ujung meja pun tidak banyak merubah suasana makan malam yang menegangkan ini.

Sarita dapat merasakan sepasang mata dingin Ratu terus mengawasi tiap gerak-geriknya dan itu sama sekali tidak membuatnya nyaman!

Andai Sarita boleh memilih, ia lebih suka makan sendiri di kamarnya. Tapi ia adalah tamu di Ririvia, bukan? Selain itu pelayan menjemputnya ketika waktu makan malam tiba – membuatnya tidak bisa kabur dari saat ini.

Pelayan itu sendiri tidaklah menyenangkan. Sikapnya memang sopan tapi juga dingin dan kaku. Sarita tidak menyukai pandangan menyelidiknya. Rasanya, melalui sepasang matanya yang berpengalaman itu, ia ingin mengorek rencana Sarita pada sang Putra Mahkota.

“Sarita,” Raja Marshall memanggilnya dan ketika itu pula Ratu mengalihkan perhatiannya dengan sepasang mata hijau dingin yang membara – membuat Raja menutup mulut.

Halbert pun tidak bisa berbuat banyak. Baru saja ia menoleh pada Sarita, Ratu sudah menjatuhkan tatapannya yang tajam. Akhirnya Halbert mencoba meredakan ketegangan dengan menanyakan suasana Helsnivia selama ia tidak ada.

Namun itu juga tidak membantu Sarita merasa lebih baik.

Dalam keadaan seperti ini, Sarita lebih menyukai suasana Ruang Makan di Sternberg. Walau dalam tiap acara makan Duchess Belle tidak pernah melewatkan kesempatan untuk memarahi Sarita atau mengutuknya, Sarita tidak kehilangan selera makannya seperti ini. Ia sudah terbiasa dengan suasana perang di Ruang Makan Sternberg yang ditujukan untuk memojokannya. Ia sudah biasa menelan kata-kata kemarahan itu bersama makanannya. Ia tidak biasa menelan makanannya di bawah sepasang mata dingin yang ingin membekukannya.

Karena itu betapa gembiranya Sarita ketika di akhir makan malam Halbert berkata,

“Kulihat Sarita sudah lelah,” lalu ia melihat Sarita, “Mengapa kau tidak kembali ke kamarmu? Kau tahu di mana kamarmu, bukan?”

“Ya,” Sarita mengangguk.

Segera setelah mengucapkan sepatah kata “selamat malam”, Sarita kembali ke kamarnya.

Istana Ririvia memang luas namun ingatan Sarita tidak terlalu lemah dalam mengingat jalan menuju kamarnya. Sarita langsung berganti baju setibanya di kamar tapi ia tidak tidur. Ia duduk di beranda – memandang keindahan taman Ririvia yang tidak sempat diperhatikannya sore ini dan juga rumah-rumah di kejauhan.

Sinar matahari musim panas memberi penerangan pada Ririvia untuk memandang sejauh mungkin. Mulai dari keramaian di taman Ririvia di bawah kakinya hingga pegunungan tinggi di kejauhan.

“Papa, aku sudah pulang ke tempat yang kau inginkan,” gumam Sarita.

Terima kasih pada Halbert, ia tidak sepenuhnya berbohong pada Duke Norbert. Terima kasih padanya pula, Sarita dapat memenuhi janji Duke Norbert pada ayahnya.

“Lihatlah, Norbert,” kata Sarita lagi, “Kau tidak perlu memaksa Pangeran demi memulangkanku ke Helsnivia. Sekarang kau bisa dengan tenang berkata pada Papa kau telah memenuhi janjimu.”

Sarita membeku. Berkata tentang janji, apakah yang telah diperbuatnya pada janji dengan orang yang begitu mencintainya selama enam tahun belakangan ini?

Duke Norbert telah memintanya menjadi wali Chris, mendidik, menyiapkan Chris menjadi Duke of Cookelt. Namun apakah yang telah dilakukannya!? Ia kabur dari Trottanilla!

Darah di otak Sarita langsung membeku.

Mengapa ia begitu egois? Mengapa ia bisa memutuskan untuk pergi tanpa memikirkan permintaan Duke padanya – satu-satunya permintaannya dan yang terakhir?

Hingga detik-detik terakhir hidupnya, Duke Norbert berusaha memenuhi janjinya pada Ithnan. apakah yang akan dipertanggungjawabkannya pada Duke Norbert kelak?

“Aku tidak mengharapkanmu di sini.”

Sarita terperanjat.

“Kau pucat pasi. Apakah kau sakit?” tanya Halbert pula.

“Saya baik-baik saja,” jawab Sarita melihat pemuda itu berdiri di beranda di sisi kirinya. “Mengapa Anda berada di sini?”

“Ini adalah kamarku,” Halbert menunjuk ruang di belakangnya.

“Oh, saya tidak tahu.”

Halbert pun tidak akan tahu jika ia tidak melihat pelayan ibunya mengetuk kamar kosong di sebelahnya dan berkata, “Lady Sarita, apakah Anda ada di dalam?”

Untuk sesaat Halbert menduga ibunya akan memanggil Sarita tapi betapa leganya ia ketika beberapa saat kemudian pelayan itu berkata, “Saya diperintah untuk membawa Anda ke Ruang makan. Yang Mulia Paduka Raja dan Ratu menanti kehadiran Anda.”

“Apakah saya mengusik Anda?”

“Tidak. Aku sama sekali tidak terganggu olehmu.”

Sarita melayangkan senyumannya.

“Apa yang kaulakukan di sini?’

“Saya sedang berpikir.”

“Apa yang kaupikirkan?”

“Janji saya pada Norbert.”

“Jangan khawatir,” Halbert berusaha menenangkan. “Chris tidak akan bisa berbuat apa-apa terhadap rumahmu. Ia tidak bisa memutuskan apa pun tanpa persetujuan kau sebagai walinya.”

“Itulah yang mencemaskan saya. Norbert meminta saya menjadi wali Chris tapi lihatlah apa yang sudah saya lakukan. Saya kabur dari Trottanilla seperti seorang penjahat tanpa sedikit pun memikirkan Norbert.”

“Aku telah meminta Graham untuk menjadi perantara kalian.”

Sarita terperangah.

“Maafkan aku. Aku sudah bertindak di luar batas. Kupikir ini adalah satu-satunya cara baik untuk memenuhi tugasmu sebagai wali Duke of Cookelt yang baru tanpa berhubungan langsung dengannya.”

“Terima kasih, Yang Mulia Pangeran Halbert,” Sarita tersenyum dengan segenap hatinya, “Anda sudah membantu saya memecahkan masalah saya bahkan sebelum saya menyadarinya.”

‘Senyum inilah yang bisa menundukkan dunia,’ Halbert berpikir. Tidak mungkin Sarita tidak menyadari betapa cantik dan mempesonanya dirinya saat ini.

Sinar matahari sore panas yang jatuh di atas rambut pucatnya yang tergerai sampai ke pinggangnya, membuatnya seperti diselimuti cahaya. Namun yang lebih menakjubkan adalah sepasang mata biru mudanya yang bersinar gembira juga senyum manisnya yang mempesona. Tidak pernah Halbert melihat seorang wanita secantik ini.

“Aku memberitahu Graham aku akan membawamu ke sini. Ia akan mengirim kabar padamu bila terjadi sesuatu di Cookelt. Ia juga berjanji akan mengirim berkas-berkas penting yang perlu kauurus secepat mungkin. Ia juga akan mengawasi Chris untukmu.”

Nama itu membuat Sarita pucat pasi. Kalau Graham tahu di mana dirinya, apakah itu berarti Chris juga tahu?

“Chris mungkin datang ke sini,” Halbert membaca pikiran Sarita.

Sarita langsung menggigil. Matanya memandang nanar Halbert – membuat Halbert ingin melompati jarak di antara mereka dan memeluknya erat-erat. Namun ia hanya berkata,

“Kulihat ia tidak akan berani menunjukkan muka di sini. Kalaupun ia datang, aku tidak akan membiarkannya bertindak kurang ajar padamu. Kau adalah tamuku. Sebagai tuan rumah, aku berkewajiban menjamin keamananmu.”

Sinar ketakutan di sepasang mata itu masih tidak hilang. Halbert memarahi dirinya sendiri karenanya.

“P-pangeran, apa yang hendak Anda lakukan!?” Sarita berteriak panik melihat Halbert berdiri di atas pagar yang mengelilingi berandanya. Halbert merambat di dinding menyeberangi jarak sekitar lima meter di antara beranda mereka.

Sarita menahan nafasnya seolah-olah takut Halbert akan jatuh bebas dari tingkat tiga ini bila ia melepaskannya.

“Apa yang Anda lakukan!?” Sarita langsung bertanya ketika Halbert menjejakkan kaki di lantai berandanya.

‘Mengapa sinar ketakutan di mata itu masih tidak berubah?’ Halbert meraih Sarita dalam pelukannya.

“P-panggeran,” Sarita terkejut, “Apa yang Anda lakukan?”

“Ssh…,” tangan kiri Halbert melingkari pinggang Sarita dan menariknya merapat. Tangan kanannya mendekap kepala Sarita di dadanya.

Sarita panik.

Halbert tidak bergerak juga tidak bersuara. Ia hanya memeluk Sarita seperti yang ingin dilakukannya di detik pertama ia melihat air mata Sarita.

Sarita menemukan kehangatan di dada Halbert. Entah sudah berapa lama ia tidak dipeluk seperti ini. Duke Norbert tidak pernah memeluknya. Ia juga tidak memeluknya ketika ia muncul di depan pintu rumahnya di Hauppauge. Duke hanya berkata, “Hallo. Aku yakin kau adalah Sarita, si putri cilik itu. Apakah ayahmu ada?” Duke juga tidak memeluknya ketika ia menangisi pembakaran jasad ayahnya.

Sudah lama sekali Sarita tidak merasakan kehangatan seperti ini. Sudah lama sekali Sarita tidak menyandarkan kepalanya dalam dada hangat seorang pria.

Ayahnya selalu memeluknya seperti ini ketika ia menangis. Ayahnya selalu memeluknya sepanjang malam yang dingin di luar sana. Ayahnya selalu memeluknya dalam setiap kesempatan.

Jari jemari Sarita mencengkeram kemeja Halbert. Matanya yang mulai membasah menutup rapat. Bibirnya yang tertutup menggumamkan, “Papa…”

Sarita merindukan ayahnya.

Tiba-tiba Halbert melepaskan Sarita.

Sarita merasa hampa.

Sedetik lalu Halbert bertanya pada dirinya apa yang sedang dilakukannya pada anak haram yang disumpahnya tidak akan pernah disentuhnya!? Namun ketika melihat sepasang mata penuh kerinduan itu, Halbert sadar tidak mudah mengabaikan gadis ini.

Halbert mengangkat Sarita.

Sarita terkejut. Ia cepat-cepat melingkarkan tangan di leher Halbert untuk menopang badannya.

“Aku datang untuk memastikan kau tidur saat ini juga,” Halbert membawanya masuk melalui pintu yang terbuka lebar itu.

Sarita merasa seperti kembali ke saat-saat ia membandel untuk tidur sehingga ayahnya memaksa dengan membopongnya ke tempat tidur seperti ini.

Halbert membaringkan Sarita di tempat tidur dan beranjak pergi.

“Pangeran!” Sarita menarik tangan Halbert.

Halbert langsung berbalik.

“Kali ini gunakanlah pintu,” Sarita tersenyum kekanak-kanakan.

“Tentu,” kata Halbert, “Pertama-tama aku akan menutup pintu serambi.”

Sarita melepas tangan Halbert.

“Selamat malam,” ia tidak kuasa menahan keinginannya untuk mencium kening gadis yang memandangnya dengan kekanak-kanakan ini.

‘Apakah yang kaupikirkan, Halbert!?’ Halbert memarahi dirinya sendiri sambil berjalan ke pintu serambi kamar Sarita, ‘Apakah kau ingin Sarita menahanmu di ranjangnya!?’ ia mengunci pintu serambi.

Halbert melihat Sarita masih memandangnya dengan mata kekanak-kanakan dan senyum manis ketika ia menuju pintu.

Sarita masih tersenyum beberapa saat setelah Halbert menghilang di balik pintu. Sekarang ia yakin Halbert melakukan semua ini karena simpatinya sebagai seorang gentleman kepada seorang gadis yang sebatang kara.Sarita membaringkan diri. Malam ini ia pasti dapat memimpikan saat-saat indah bersama ayahnya.

1 comment:

  1. Anak yang merindukan seorang ayah, berat ditinggal orang yg terkasih terlebih dia sebatang kara.

    ReplyDelete