Thursday, November 6, 2008

Kisah Cinta-Chapter 7

Ketika Halbert kembali beberapa saat setelahnya, ia melihat Sarita masih duduk di sana. Halbert tidak perlu melihat wajah Sarita untuk mengetahui bagaimana ekspresi gadis itu saat ini. Punggung yang melengkung lemas itu sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan semuanya.

Sesuatu mendorong Halbert untuk merengkuh gadis itu dalam pelukannya dan membisikkan kata-kata lembut yang menguatkan hati yang hancur itu. Namun yang dapat dilakukannya hanyalah memegang kedua pundak gadis itu dan memanggilnya lembut, “Sarita.”

Sarita menoleh. Mata biru mudanya basah oleh air mata.

Untuk sesaat Halbert yakin Sarita akan menjatuhkan diri dalam pelukannya dan menangis tersedu-sedu. Namun gadis itu segera berdiri, menghapus air matanya, dan berkata tenang,

“Maafkan saya, Pangeran. Saya akan segera menyiapkan makanan untuk Anda.”

Sarita segera mengambil sayuran yang menjadi tujuan awalnya ke kebun belakang.

Halbert melepaskan gadis itu dengan perasaan terluka. Ia merasa Sarita menjaga jarak dengannya dan ia tidak menyukainya. Ia ingin Sarita jujur pada perasaannya sendiri. Halbert tidak akan melarangnya menangis untuk orang yang dicintainya.

Saat itulah Halbert melihat apa yang baru saja di hadapan Sarita.

Halbert tertegun melihat nisan batu yang hanya bertuliskan:

Di sinilah terletak kenangan kita bersama Ithnan Lloyd.


Pandangan Halbert beralih pada Sarita yang sekarang sibuk menimba air di sumur yang tidak ia sadari keberadaannya beberapa saat lalu.

Halbert bertanya-tanya. Siapakah Ithnan Lloyd ini? Mengapa Sarita memanggilnya Papa? Terlebih dari semua itu, Halbert ingin tahu mengapa Duke of Cookelt hanya mewariskan rumah kecil di tempat terpencil seperti ini pada putri kesayangannya. Mengapa Duke of Cookelt memilih Sarita sebagai wali putranya, bukan Duchess Belle, istrinya sendiri?

Mata Halbert tidak lepas dari Sarita yang berusaha mengangkat seember penuh air.

Ia tidak mengenal gadis ini, Halbert berkata pada dirinya sendiri ketika ia berjalan ke sisi Sarita. Pasti ada sesuatu pada diri Sarita yang membuat Duke Norbert lebih mempercayakan putranya pada Sarita daripada istrinya sendiri.

Sarita terkejut ketika sebuah tangan terulur dari belakangnya dan mengangkat ember itu dengan mudahya.

Untuk sesaat ia menduga itu adalah Marcia. Karena itu ia sangat terkejut melihat Halbert berdiri tepat di depannya dengan ember airnya.

“T-terima kasih,” katanya tergagap.

Sarita tidak pernah mengangkat ember air. Marcia selalu ada di sisinya ketika ia hendak mengambil air di sumur yang dibuat penduduk desa untuknya dan ayahnya ini. Malah tidak jarang Marcia mengisi tempat penyimpanan air Sarita bahkan sebelum Sarita memintanya.

“Ke mana kau akan meletakkannya?” Halbert bertanya dan memimpin jalan ke dalam rumah.

“Letakkan saja di sini,” Sarita menunjuk meja dapurnya yang kecil di sepanjang dinding.

Halbert pun meletakkannya di tempat yang diminta Sarita.

Sarita berusaha menghidupkan api perapian.

Tiba-tiba saja Halbert sadar hanya perapian itu satu-satunya tempat untuk memasak.

“Siapkan sayuranmu, aku akan menghidupkan perapian,” Halbert mengambil alih pekerjaan Sarita.

Sarita terkejut. Lagi-lagi ia lupa pemuda yang ada bersamanya saat ini bukan Marcia melainkan Yang Mulia Pangeran Halbert! Marcia tidak pernah membantunya menghidupkan perapian. Marcia adalah tipe pemuda yang menganggap urusan rumah adalah tugas wanita. Namun mengapa Pangeran Halbert membantunya? Sarita tidak punya waktu menjawab pertanyaannya sendiri karena ia tersadar ia tidak bisa menyajikan jamuan seperti yang biasa dinikmati sang Putra Mahkota! Yang dimilikinya saat ini hanyalah sebongkah roti, susu, dan sayur-sayuran dari kebunnya sendiri.

“Yang Mulia,” Sarita berkata dengan nada bersalah, “Saya sungguh menyesal. Saya tidak dapat menyajikan jamuan yang pantas untuk Anda.”

Halbert melihat Sarita. “Aku hanya memintamu menyiapkan sesuatu yang bisa dimakan,” kemudian ia bertanya, “Apakah kau ingin menggunakan kuali ini untuk memasak air?” Halbert mengangkat kuali yang tergantung di atas perapian.

“Ya,” jawab Sarita.

Sarita membiarkan Halbert menjerang air sementara ia sibuk mencuci dan memotong sayuran yang akan disajikannya berama roti dan susu yang dimilikinya.

Ketika Sarita sibuk memasak sup, ia melihat Halbert sibuk memindahkan roti, susu, madu, keju serta peralatan makan yang telah disiapkannya di atas meja dapur ke meja makan.

Kemudian ketika Sarita hendak memindahkan kuali supnya yang sudah siap ke meja makan, Halbert berkata, “Aku akan melakukannya.”

Sarita berpikir, inikah beda ego seorang pemuda desa dan seorang gentleman?

Setelah yakin semua sudah siap, Sarita melangkah ke pintu.

“Kau mau ke mana?” tanya Halbert menghentikan langkah Sarita.

“Saya akan memanggil pengawal Anda.”

“Ia sudah pergi.”

“Oh…,” hanya itulah jawaban Sarita.

“Duduklah. Makanan akan segera dingin.”

“Saya tidak lapar.”

Halbert menatap Sarita. “Kalau kau berpikir aku akan membujukmu, maaf, kau salah. Aku tidak peduli. Itu adalah perutmu sendiri. Kalau kau sakit, kau sendiri yang akan merasakannya.” Dan ia mengambil sup untuknya sendiri.

Sesuatu dalam perkataan Halbert membuat Sarita duduk di depan pemuda itu – menghadap pintu.

Sarita merasa yakin ia melihat seulas senyum puas di wajah Halbert ketika ia duduk. Namun ketika ia melihat Halbert, pemuda itu sibuk menyantap makanannya.

Sarita mengulurkan tangan mengambil sup buatannya sendiri.

“Sarita! Sarita!”

Pintu terbuka.

“Sarita, kudengar kau sudah kembali!” Marcia langsung menerjang dan memegang pundak Sarita sambil membungkuk – menatap gadis itu lekat-lekat. “Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa? Serombongan orang berkuda datang ketika kau tidak ada. Mereka berteriak-teriak memanggilmu. Kami berhasil mengusir mereka sebelum mereka merusak rumah ini. Siapa mereka? Apa mereka utusan Tuan Jason lagi?” Marcia tidak memberi Sarita kesempatan untuk membuka suara.

Halbert kesal. Lagi-lagi ia diabaikan pemuda desa ini.

“Tempat ini sudah tidak aman, Sarita. Mereka bisa datang sewaktu-waktu. Pergilah dari tempat ini. Kau bisa tinggal bersamaku.”

“Ia tidak akan ke mana-mana,” Halbert berkata dingin.

Saat itulah Marcia menyadari keberadaan Halbert.

“Mengapa ia masih di sini?” Marcia melihat Sarita dengan pandangan menuduh seolah-olah Sarita telah menyeleweng.

Halbert tahu ia tidak menyukai pemuda ini.

“Karena aku akan tinggal di sini malam ini,” Halbert menjawab.

“Apakah itu benar, Sarita?” Marcia langsung bertanya penuh tuntutan pada Sarita.

“Engkau tidak mungkin mengusirku,” Halbert menjawab pandangan Sarita, “Pengawalku sudah pergi dan aku tidak punya tempat lain untuk menginap malam ini.”

“Seperti yang Anda lihat, saya tidak punya tempat tidur lain untuk Anda.”

“Aku tidak berniat merebut tempat tidurmu. Aku bisa tidur di sini.”

“Bila Anda berkenan,” kata Sarita menyerah, “Jadilah tamu saya.” Pangeran benar. Ia tidak mungkin menelantarkannya.

Marcia tidak suka mendengarnya. “Kau tidak boleh membiarkannya tinggal di sini, Sarita!”

“Mengapa?”

“Karena… karena…,” Marcia melihat Halbert kemudian kembali pada Sarita, “Karena orang kaya seperti dia tidak mungkin bisa tidur di lantai!” Marcia langsung mengutarakan hal yang terlintas di otaknya dan cepat-cepat menambahkan, “Ia bisa tidur di rumahku.”

“Terima kasih, Marcia. Aku sungguh senang atas tawaranmu namun besok pagi-pagi kami akan meninggalkan Hauppauge.”

Marcia tidak menyukai cara Halbert memanggilnya dengan akrab. Ia lebih tidak menyukai ide pemuda kaya yang tidak dikenalnya ini akan membawa pergi Sarita.

“Benarkah itu, Sarita?” lagi-lagi Marcia menuntut kebenaran dari Sarita.

Sarita melihat Halbert lagi.

“Kau sudah menyetujuiku pagi ini.”

Benar, ia telah sependapat dengan usul Halbert untuk meninggalkan Hauppauge. Namun seingat Sarita, ia tidak pernah menyetujui usul untuk pergi bersama Halbert apalagi mendengarnya.

“Kau tidak ingin melibatkannya, bukan?”

Sarita mengikuti Halbert melihat Marcia yang mulai kebingungan oleh arah pembicaraan mereka.

Sarita sadar baik Chris maupun Duchess Belle pasti akan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Mata Sarita beralih pada perban putih di sekeliling kepala Marcia. Tidak perlu diragukan pula Marcia akan melakukan segalanya untuk melindunginya. Sarita tidak mau melihat Marcia terluka lagi karenanya.

“Sarita,” Marcia menggenggam kedua tangan Sarita, “Aku memang tidak sekaya tuan ini tapi aku pasti bisa membahagiakanmu. Tinggallah bersamaku.”

Sarita melihat Marcia dengan sedih. “Aku tidak bisa, Marcia.”

Marcia melihat Halbert dengan kesal. “Terserah padamu,” ia menghentakan tangan Sarita dan pergi.

Sarita melihat pintu yang dibanting keras tanpa suara. Ia ingin melewatkan hari-hari tenangnya di Hauppauge tapi sekarang ide itu sudah bukan ide yang bijaksana lagi.

“Makanan sudah hampir dingin,” kata Halbert sambil menuang sup di piring Sarita, “Makanlah selagi hangat. Setelah ini aku ingin kau menyiapkan barangmu dan tidur. Besok pagi-pagi kita akan meninggalkan Hauppauge. Paling lambat pukul empat pagi kita harus meninggalkan tempat ini.”

Sarita membuka mulut untuk memprotes tapi sepasang mata biru tua yang menatapnya itu menegaskan ia tidak ingin dibantah. Maka Sarita menahan protesnya dan menyantap supnya tanpa suara. Ide pergi bersama Halbert ke Helsnivia bukanlah ide yang buruk. Yang terpenting, ia bisa memenuhi janji Duke Norbert pada ayahnya: memulangkan Sarita ke Helsnivia!

Setelahnya mereka makan tanpa seorangpun membuka suara.

Sarita hanya sanggup meminum supnya dan segelas susu tapi Halbert tampak sudah puas melihatnya.

Halbert membantu Sarita merapikan meja setelahnya.

Sarita tengah mencuci piring dan Halbert mematikan api perapian ketika mereka mendengar suara kuda diiringi roda kereta mendekat.

Sarita melihat Halbert dengan pucat pasi ketika kereta berhenti di depan rumahnya.

“Jangan khawatir, itu adalah pengawalku dan kereta kuda yang akan membawa kita ke pelabuhan besok pagi.”

Sarita membelalak. Selama ini rumah ini hanya ditempatinya seorang diri bersama ayahnya atau Duke Norbert. Sekarang tiga orang lain muncul! Bagaimana ia harus menempatkan mereka dalam rumah mungilnya ini!?

“Mereka akan berjaga-jaga di luar untuk memastikan tidak ada yang menganggu kita,” Halbert membaca pikiran Sarita.

Halbert menghampiri rombongan kecil yang baru datang itu dan memberikan petunjuknya.

Sarita melihat Halbert sudah merencanakan semua ini dan ia tidak melihat sebuah celah pun untuk membantah. Maka iapun menyelesaikan pekerjaannya.

“Pergilah mempersiapkan kopermu,” Halbert berkata ketika ia kembali dan melihat Sarita sudah selesai dengan piring-piring kotornya, “Dan segera beristirahat. Besok akan menjadi hari yang melelahkan bagimu. Kita harus mencapai Magport sebelum malam.”

Sarita tidak membantah. Ia melangkah ke dalam kamarnya dan menutup pintu yang membatasinya dengan para pria itu.

Baru saja ia menutup rapat koper besarnya ketika ia mendengar derap kuda mendekat. Sarita panik. Pikiran utusan Chris atau Duchess Belle datang menakutkannya.

“Maaf saya datang terlambat, Yang Mulia.”

Sarita langsung lega.

“Kau memang sepandai yang kupercayai. Aku tahu kau akan menemukan cara untuk kembali.”

“Anda terlalu memuji saya, Yang Mulia.”

Setelahnya Sarita mendengar pintu rumahnya ditutup dan sebuah kesunyian panjang mengisi rumah mungilnya sebelum ia mendengar kembali pintu dibuka.

Sarita tidak tahu bagaimana sang Pangeran akan tidur di rumahnya yang kecil ini. Sebenarnya Sarita tidak keberatan memberikan ranjangnya pada Halbert. Namun Sarita yakin Halbert pasti menolak walau Sarita meyakinkan ia tidak akan bisa tidur tanpa kasur empuknya. Tetapi, Sarita sadar, Pangeran tetaplah seorang gentleman.

Sarita berganti gaun tidur dan duduk di tepi ranjang.

Ia tidak mendengar suara apapun di luar. Hanya sinar lilin yang mengintip celah pintunyalah yang menyatakan keberadaan orang lain di rumahnya.

Sarita membaringkan diri di tempat tidur. Ia ragu ia bisa tidur. Karena itu betapa herannya Sarita ketika ia terbangun dalam pelukan Halbert di ruang yang sempit.

“Selamat pagi,” Halbert menyapa.

Mata Sarita hanya menatap Halbert.

“Apakah tidurmu nyenyak?” Halbert bertanya lagi.

Sarita mengangguk. Matanya berkeliling menjelajahi ruangan sempit tempat mereka berada. Berdasarkan suara derap kaki kuda dan bentuk ruangan kayu kecil ini, Sarita yakin berada dalam kereta kuda dengan Halbert memangkunya. Kakinya terjulur sepanjang bangku kereta. Punggungnya tersandar di sisi kereta yang lain dengan tangan kekar Halbert melingkari pundaknya. Sehelai selimut tipis menutupi tubuhnya.

“Aku tidak tega membangunkanmu,” Halbert menjawab mata biru muda yang kebingungan dan malu itu.

Sarita tidur nyenyak ketika ia hendak membangunkannya dini hari ini. Sarita tampak begitu damai dari yang pernah dilihatnya. Begitu tenangnya gadis ini tidur sehingga Halbert tidak sampai hati mengusiknya.

Maka tanpa menimbulkan suara, Halbert memeriksa isi lemari – memastikan Sarita tidak meninggalkan barangnya dan membawa koper Sarita keluar untuk pengawalnya memasukkannya ke dalam kereta. Halbert mengambil selimut tipis di bawah bangku kereta untuk menyelimuti Sarita.

Halbert dapat mendengar Sarita bergumam ‘Papa’ ketika ia mengangkat tubuh kecilnya dari tempat tidur.

Halbert percaya Sarita pasti sangat lelah setelah hari-hari yang panjang dan melelahkan ini.

Sarita berusaha duduk.

Ketika ia sudah benar-benar duduk, ia menyadari hal memalukan lain. Ia duduk di pangkuan Halbert! Mata biru mudanya berusaha menghindari sepasang mata biru tua yang sejajar dengan matanya.

Sarita merasa salah tingkah. Ia berdiri. Tepat bersamaan dengan itu, kereta berhenti. Sarita kehilangan keseimbangan tubuhnya.

“Apa yang sedang kaulakukan!?” Halbert merengkuh Sarita kembali ke pangkuannya.

Secercah rona merah di wajah cantik Sarita memberi jawaban pada Halbert.

Halbert tersenyum penuh arti. “Kalau kau tidak mau duduk di pangkuanku, kau tinggal mengatakannya,” ia menyelipkan tangannya yang lain di bawah lutut Sarita, “Aku bisa memindahkanmu,” ia mengangkat Sarita dan mendudukkan gadis itu di sisinya seperti menggendong anak kecil.

“T-terima kasih.”

Halbert menyukai rona yang memberi nuansa baru pada kulit pucat Sarita.

“Kita sudah tiba di pelabuhan, Yang Mulia,” seseorang berkata dan setelahnya pintu terbuka lebar.

Sarita melihat keramaian pagi hari di pelabuhan melalui pintu yang terbuka itu.

“Kenakalah sepatumu,” Halbert membungkuk – membantu Sarita mengenakan sepatu di kakinya yang telanjang.

Sarita benar-benar dibuat salah tingkah olehnya.

“Dan jangan lupa selimutmu,” Halbert menyampirkan selimut yang terjatuh di lantai kereta itu di pundak Sarita.

Saat itulah Sarita sadar ia masih mengenakan gaun tidurnya. Dengan cepat ia menutupi tubuhnya dengan selimut.

Halbert keluar kemudian mengulurkan tangan pada Sarita yang duduk di sisi lain kereta.

“Kau mau kugendong lagi?” Halbert menikmati rona merah di wajah cantik yang kebingungan itu.

“T-tidak, terima kasih,” Sarita cepat-cepat melangkah keluar sebellum Halbert benar-benar menggendongnya.

Tubuh Sarita baru saja terjulur keluar pintu ketika Halbert melingkarkan tangannya di pinggang Sarita. Sarita masih kaget ketika tangan Halbert yang lain menyelinap di belakang lututnya dan dalam satu gerakan ringan, ia sudah berada dalam gendongan Halbert.

“Y-Yang Mulia!” Sarita panik.

“Pegang selimutmu,” Halbert memberikan perintah tegasnya, “Angin laut di pagi hari tidak menyenangkan.”

Sarita melingkarkan tangan kirinya di leher Halbert dan tangannya yang lain mencengkeram erat-erat selimut.

Ketika Halbert melangkah ke sebuah kapal besar, barulah Sarita benar-benar memperhatikan kesibukan pelabuhan. Kerinduan yang mendalam yang mendalam menyelimutinya. Di suatu saat di masa lalu, ia sering berada di pelabuhan bersama ayahnya. Suatu ketika ia duduk di pundak kokoh ayahnya, di saat lain ia duduk di gendongan ayahnya, dan di saat lain ia berjalan di sisi ayahnya yang dengan sabar menjelaskan kesibukan tiap-tiap pribadi di pelabuhan.

Sarita merapatkan pegangannya di leher Halbert dan menyembunyikan wajah sedihnya di pundak pemuda itu.

Halbert tidak berkomentar. Dalam pikirannya gadis ini sedang malu. Namun Sarita salah kalau ia berpikir Halbert akan menurunkannya.

“Selamat datang, Yang Mulia.”

Sarita mengangkat kepalanya.

Seorang pria tengah baya terkejut.

“Y-Yang Mulia, i…ini…,” Wyatt tidak dapat berkata-kata. Kemarin ketika pengawal Halbert muncul di penginapan untuk menyampaikan perintah Halbert, ia begitu gembira. Tanpa membuang waktu, ia langsung menyiapkan kapal yang telah menanti kepulangan Pangeran Halbert. Ia tidak berpikir banyak ketika meliht sang Pangeran mendekat dengan seorang wanita dalam gendongannya. Ia sudah biasa melihat Pangeran kerajaannya bersama wanita. Tapi Sarita? Sampai matipun Wyatt tidak pernah berpikir Sarita sang gadis haram yang Halbert sendiri nyatakan tidak akan pernah disentuhnya, berada dalam gendongan majikannya.

“Kita berangkat!” Halbert memberi perintah dan membawa Sarita ke dalam salah satu kabin.

Pengawal Halbert mengekor dengan koper Sarita – membuat Wyatt kian tidak dapat berkata-kata.

Halbert baru menurunkan Sarita setelah pengawalnya meletakkan koper Sarita di dalam kabin.

Sarita mencengkeram erat selimut yang menutupi pundaknya.

“Bergantilah,” kata Halbert, “Aku akan menjemputmu setengah jam lagi untuk makan pagi.” Dan Halbert meninggalkan Sarita yang masih berdiri mematung.

“Yang Mulia, apa yang Anda lakukan!?” sambut Wyatt begitu melihat Halbert, “Apa yang akan dikatakan Paduka Raja dan Ratu!?”

“Gadis itu baru kehilangan ayahnya dan sekarang ia berada dalam bahaya.”

“Anda tidak berniat membawanya pulang, bukan?” selidik Wyatt.

Itulah yang sedang dipikirkan Halbert.

“Ini sudah lebih dari cukup, Pangeran!” protes Wyatt, “Simpati Anda sudah lebih dari cukup!”

“Wyatt,” potong Halbert tidak senang, “Aku tahu apa yang kulakukan.”

Wyatt langsung terdiam.

Sesungguhnya, Halbert sendiri tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Komentar terakhir Wyatt terulang lagi di kepalanya.

Ini sudah lebih dari cukup!

Sehari setelah kematian Duke of Cookelt adalah hati terakhirnya di Trottanilla. Orang tuanya juga telah mengirim kapal untuk menjemputnya. Namun kematian Duke Norbert membuat orang tuanya memberi kelonggaran hingga pemakanan Duke. Pemakaman Duke sudah berlalu namun ia masih tetap di Trottanilla, di sisi Sarita.

Benar. Apa yang dilakukannya sudah melebihi simpati. Mungkinkah jiwanya sebagai seorang Pangeran terusik melihat kesedihan gadis itu? Seorang Pangeran seperti dia tidak dapat berdiam diri melihat seorang gadis muda sebatang kara dalam kesedihan dan bahaya. Namun ia telah bertindak jauh dari simpati.

Ia tidak mau Sarita berhubungan dengan Chris? Benar. Membawanya pergi dari Trottanilla sudah cukup untuk membantu gadis itu. Tapi meminta Graham menjadi penyambung lidah Chris dan walinya? Ini sudah mencampuri urusan Sarita!

Sekarang apakah ia benar-benar berniat membawa Sarita ke Ririvia?

Halbert tidak mengerti. Beberapa saat lalu ia bahkan menikmati wajah merah Sarita. Ia bahkan dengan sengaja menggoda gadis yang disumpahinya tidak akan pernah didekatinya.

Ketika Halbert kembali untuk menjemput Sarita, ia melihat gadis itu berdiri di dek. Rambut kuning pucatnya melambai-lambai tertiup angin. Mata biru mudanya menatap laut penuh kerinduan. Begitu sempurnanya lekukan hidung yang mancung itu dan bibir merah yang terkatup rapat. Begitu cantiknya Sarita dalam kesunyiannya sehingga ia tampak seperti seorang putri duyung yang merindukan rumah di bawah lautnya.

Tidak pernah Halbert merasakan keinginan mendesak untuk merengkuh seorang gadis dalam pelukannya.

Pasti jiwa petualangannya yang menjadi sebab semua ini, Halbert memutuskan.

2 comments: