Wednesday, November 5, 2008

Kisah Cinta-Chapter 6

Halbert memegang pundak Jason dan menjatuhkan tinju yang keras di wajah pemuda itu.

Sarita terbelalak. Mengapa Pangeran Halbert berada di tempat ini?

Halbert sendiri juga tidak tahu mengapa ia masih berada di tempat ini. Hari itu setelah melihat pemuda itu datang dengan dokter, ia memang memutuskan untuk pergi. Tapi ia tidak pergi ke villa tempat ia tinggal selama di Trottanilla, melainkan ke kota terdekat, kota asal dokter itu. Di sana Halbert menyewa kamar untuknya dan pengawal-pengawalnya di sebuah penginapan.

Tidak hanya itu saja yang Halbert lakukan. Halbert mengirim pelayannya pulang untuk mengabari Wyatt, pelayan dan pengurus pribadinya. Selain itu, Halbert meminta dua pengawalnya untuk secara bergantian mengawasi Sarita. Setiap tiga jam pengawalnya yang mengawasi Sarita akan pulang ke penginapan untuk melaporkan perkembangan dan di saat yang bersamaan pengawal di sisinya akan berangkat ke Hauppauge.

Sebagai jawaban kabar yang dikirim Halbert, Wyatt, sang pelayan tengah bayanya datang.

“Pangeran sampai kapankah Anda akan berada di sini?” protes Wyatt, “Bukankah ini sudah waktunya kita kembali ke Helsnivia? Paduka Ratu sudah merindukan Anda. Paduka Raja hanya mengijinkan Anda memperpanjang liburan Anda sampai penguburan Duke of Cookelt.”

“Kita tidak akan pergi sebelum aku yakin sesuatu,” tegas Halbert.

“Bila Anda berkenan,” kata Wyatt, “Apakah itu, Pangeran?”

Halbert tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Saat inipun ia tidak punya jawaban.

Dari pengawalnya, ia tahu Sarita tidak tinggal serumah dengan pemuda itu. Namun ia juga tahu kemarin pagi Sarita berduaan dengan pemuda itu sepanjang pagi kemudian Sarita mengurung diri di dalam rumah mungilnya. Dari pengawalnya pulalah, Halbert tahu pagi ini Sarita diserang orang tak dikenal.

“Seseorang menyerang Lady Sarita, Pangeran,” lapor pengawalnya sekitar satu jam yang lalu, “Pria yang selalu terlihat bersama Lady Sarita menolongnya.”

Halbert lega tapi juga tidak senang.

“Baru saja saya melihat kereta penyerang Lady Sarita menuju kediaman Lady Sarita.”

“Segera siapkan kuda!” Halbert langsung memerintah.

Sesaat kemudian ia sudah memacu kudanya ke Hauppauge. Jalanan terjal yang biasa ditempuh dalam satu jam, dapat ditempuh dalam jangka waktu setengah jam oleh kuda-kuda tangguh Halbert bahkan kurang.

Halbert terus berharap ia datang tepat waktu. Ia sempat menduga ia terlambat ketika melihat pintu rumah Sarita terbuka lebar. Betapa murkanya ia melihat seorang pemuda yang tidak jauh lebih tua darinya tengah bertindak tidak sopan pada Sarita.

“Anda tidak apa-apa, Yang Mulia Pangeran?” pengawal Halbert yang masuk beberapa saat kemudian, cemas oleh suara benturan keras sesaat lalu.

Dua pria yang mencekal Sarita langsung melepaskan Sarita mendengar sebutan ‘Yang Mulia Pangeran’ itu. Mereka segera membantu Jason berdiri dan kabur sebelum ditangkap.

“Biarkan pengecut-pengecut itu,” cegah Halbert ketika para pengawalnya berniat mengejar. Kalau ini adalah Helsnivia, ia pasti sudah menggantung pemuda kurang ajar itu tetapi ini adalah Trottanilla.

Dua pengawal Halbert pun berdiri tegak.

Halbert mengalihkan perhatiannya pada Sarita yang berdiri mematung.

Gadis itu tidak jauh lebih baik dari yang terakhir dilihatnya. Halbert masih dapat melihat garis hitam di bawah sepasang mata biru dalam itu. ia masih dapat melihat jelas guratan-guratan kesedihan gadis itu. Malahan ia merasa Sarita lebih kurus dari sebelumnya.

“Kau tidak apa-apa?” Halbert menyampirkan jasnya di pundak Sarita.

Saat itulah Sarita mendapatkan kembali kesadarannya. “S-sa…,” tubuh Sarita jatuh lemas.

Halbert menangkap Sarita.

“Sarita! Sarita!” terdengar teriakan Marcia. “Kau tidak apa-apa? Aku melihat kereta keluarga Burnap baru saja pergi. Mengapa banyak kuda di,” Marcia terperangah melihat dua pria berseragam di ruang kecil itu dan seorang pria berbaju mahal memeluk Sarita.

“Siapa kau?” tanya Marcia waspada.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Sarita – benar-benar pulih dari kekagetannya. Sarita berpegang pada lengan Halbert dan mencoba berdiri tegak namun tubuhnya masih bergetar.

Halbert membimbing Sarita duduk.

“Apa Jason tidak mencelakaimu!?” Marcia mencengkeram pundak Sarita, “Apa ia tidak melakukan sesuatu padamu!?”

“Jangan khawatir,” jawab Sarita, “Jason hanya datang menagih hutang atas rumah ini.”

“Bagaimana mungkin!?” tanya Marcia, “Rumah ini sudah menjadi milikmu sejak Duke membelinya. Tempat ini tidak pernah menjadi milik mereka!”

“Aku pun tidak tahu,” jawa Sarita. “Ia mempunyai bukti kepemilikan rumah ini.”

“Tidak mungkin!”

Halbert mulai merasa ia diabaikan.

“Aku akan menghubungi pengacara keluarga Riddick. Ia adalah orang yang mengurus pembelian rumah ini dari kalian. Aku yakin rumah ini milikku dan aku tidak punya kewajiban apa-apa pada keluarga Burnap.”

“Percuma, Sarita,” sergah Marcia, “Tujuan mereka bukan rumah ini tapi kau! Tuan Jason menginginkanmu dan ia pasti melakukan apa saja untuk mendapatkanmu! Pengacara keluarga Riddick tidak dapat membantumu. Menikahlah denganku. Hanya itulah satu-satunya cara menghentikan Tuan Jason.”

Halbert membelalak. Sarita dilamar di hadapannya!

“Terima kasih, Marcia,” Sarita melepaskan tangan tangan Marcia dari pundaknya. “Aku tidak ingin membuatmu menikahiku hanya untuk menolongku.”

“Aku serius!” tegas Marcia, “Aku tidak menawarkan pernikahan dengan main-main. Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu sejak pertama kita bertemu. Aku terus mencintaimu ketika kau pergi. Sekarang kau telah kembali. Aku tidak ingin kehilanganmu lagi.”

‘Apa yang sedang dipikirkan pemuda ini?’ gerutu Halbert, ‘Ia sama sekali tidak memandangku. Memangnya hanya ia yang bisa membantu Sarita!?’

“Kurasa jalan yang terbaik adalah meninggalkan tempat ini,” Halbert memberi pendapat. “Sesuai dengan kata Anda, Lady Sarita, Jason tidak akan dapat menguasai tempat ini karena tempat ini secara sah adalah milik Anda.”

Sarita tersenyum. “Saya juga berpikir itu adalah cara yang tercepat dan terbaik.”

Halbert puas oleh kemenangan.

Satu-satunya orang yang tidak senang adalah Marcia. “Siapa dia, Sarita!?” tuntutnya, “Mengapa ia ada di sini?”

Sarita tidak tahu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Halbert adalah Putra Mahkota Kerajaan Helsnivia. Apa hubungan Halbert dengannya? Sarita tidak tahu. Teman? Walau mereka pergi bersama beberapa kali, mereka tidak pernah bicara seperti teman. Sebaliknya, mereka hanya berdiam diri.

“Perkenalkan, nama saya adalah Halbert Severinghaus,” jawab Halbert sebelum Sarita menemukan jawaban, “Saya adalah kawan Sarita. Senang berkenalan dengan Anda,” Halbert mengulurkan tangan.

Marcia melihat Sarita.

Sarita tidak tahu harus berbuat apa.

Marcia menepis uluran tangan Halbert dan pergi dengan kesal.

Halbert kebingungan.

“Biarkan dia,” kata Sarita terkenang kejadian serupa enam tahun lalu.

Enam tahun lalu ketika Duke Norbert datang menjemputnya dengan kereta kudanya yang mewah, Marcia langsung berlari mencarinya.

“Siapa dia, Sarita?” tuntutnya.

Sama seperti saat ini, Duke mendahului Sarita.

“Perkenalkan saya adalah Norbert Riddick, Duke of Cookelt. Saya adalah teman ayah Sarita dan saya datang untuk menjemputnya.”

Duke juga mengulurkan tangan pada Marcia namun Marcia menepisnya dan berlari pergi tanpa berpamitan.

“Apa yang akan kau lakukan?” tanya Halbert – melihat Sarita berdiri.

“Saya akan menemui Graham. Saya perlu bukti rumah ini adalah milik saya. Entah itu bukti pembelian rumah ini atau secoret kertas, saya harus yakin rumah ini tidak pernah menjadi milik keluarga Burnap!”

Begitu pentingnyakah rumah kecil ini hingga Sarita merasa ia perlu memastikan bukti kepemilikannya atas bangunan yang lebih cocok dijadikan gudang ini? “Aku akan mengantarmu,” Halbert memutuskan.

Sarita belum sempat menolak ketika Halbert menurunkan titah.

“Segera siapkan kuda!” dan pada Sarita, ia berkata, “Segera ganti baju! Kita tidak boleh kehilangan waktu sedetik pun.”

Sarita tidak punya waktu untuk memprotes perintah yang tidak diharapkannya itu. Ia juga tidak punya niat untuk menolak tawaran yang setengah memaksa itu. Tanpa banyak bicara, ia kembali ke kamarnya dan berganti baju. Segera setelah ia menyisir rapi rambutnya dan mengikatnya dengan sehelai sapu tangan, ia kembali menemui Halbert.

Halbert sudah siap di pintu ketika Sarita keluar.

“Terima kasih,” Sarita mengembalikan kemeja Halbert.

“Kau sudah siap?” Halbert segera mengenakan kemejanya.

“Ya,” jawab Sarita.

Sarita tidak mengerti ketika seorang dari pengawal Halbert sudah menghilang. Ia lebih kebingungan ketika ia hanya melihat dua ekor kuda di depan pagar rumahnya.

“Saya akan meminjam kuda,” Sarita berbelok ke arah rumah Marcia.

“Tidak perlu,” Halbert menangkap tangan Sarita, “Kau akan duduk bersamaku,” dan ia mendudukkan Sarita di belakang pelana kudanya.

Halbert segera naik ke atas kudanya diikuti pengawalnya yang lain.

Saritapun segera melingkarkan tangan di punggung Halbert ketika mereka mulai melaju dengan cepat. Ia sudah tidak punya waktu memikirkan betapa beruntungnya ia. Ia juga tidak punya tempat untuk memikirkan betapa berbedanya Halbert ini dengan Halbert yang dikenalnya. Saat ini segala tenaga dan pikirannya hanya tertuju pada bukti kepemilikan rumah kecilnya yang berharga itu.

Begitu terfokusnya pikirannya hingga begitu ia melihat kantor Graham, ia langsung melompat turun dan berlari ke dalam kantor yang berantakan itu.

“Ah, Tuan Puteri Sarita,” kata sekretaris Graham, “Akhirnya Anda muncul.”

Sarita melalui wanita itu tanpa berkata apa-apa.

“Graham!” Sarita langsung membuka pintu, “Kau harus membantuku!”

Graham langsung menghentikan pekerjaannya.

“Puji Tuhan,” ia langsung menyambut Sarita, “Anda baik-baik saja, Tuan Puteri,” ia menggenggam jari-jemari Sarita erat-erat.

“Apa yang terjadi?” tanya Sarita curiga, “Apa Chris menjual rumahku pada keluarga Burnap?”

“Keluarga Burnap?” Graham kebingungan, “Apa yang Anda katakan, Tuan Puteri? Duke Chris tidak bisa melakukan apa-apa tanpa Anda.”

“Jelaskan apa yang terjadi, Graham,” Halbert maju untuk menjernihkan suasana, “Sarita, dengarkan penjelasan Graham.” Ia juga ingin tahu apa yang sedang dibicarakan kedua orang ini. Apa hubungan kuasa Chris sebagai Duke of Cookelt yang baru dengan Sarita? Mengapa Graham begitu lega melihat Sarita seakan-akan ia tahu sesuatu tengah mengancam Sarita?

“Sesuai dengan yang diminta almarhum Duke Norbert, saya membacakan surat wasiatnya setelah pemakamannya. Duchess memaksa saya membacakannya tanpa kehadiran anda. Menurutnya, Anda sedang mempersiapkan pernikahan Anda dengan Earl of Mongar.”

Begitu Graham menyebutkan seluruh harta keluarga Riddick jatuh ke tangan Chris, Duchess Belle menjerit histeris.

“Bagaimana mungkin itu terjadi!?” Duchess yang kehilangan kontrol mencekik Graham, “Katakan bagaimana mungkin tua bangka itu tidak mewariskan apapun padaku!?”

Chris tersenyum puas.

“Tenang, Mama. Tenangkan dirimu,” Dorothy menarik tangan Duchess, “Graham belum selesai membaca surat wasiat Papa. Chris masih empat belas tahun, ia membutuhkan wali.”

Duchess langsung tenang dibuatnya.

Dorothy membimbing ibunya duduk kembali di Ruang Baca Sternberg.

Grahampun kembali melanjutkan tugasnya.

“Sarita Yvonne Lloyd akan menjadi walinya.”

Mata Duchess langsung membelalak. “SARITA!?” seru Duchess, “Tua bangka itu menunjuk anak haram itu sebagai wali Chris!??”

Graham ketakutan.

“Di mana dia!? Di mana anak tidak tahu diri itu!?” Duchess Belle langsung menerjang kamar Sarita.

Graham lega. Sedetik lalu ia merasa yakin Duchess akan membunuhnya.

Chris tidak suka dengan pilihan ayahnya. Ia lebih tidak menyukai kelanjutan wasiat ayahnya yang menyatakan ia tidak bisa membuat keputusan apapun tanpa persetujuan Sarita. Itu sama artinya dengan menjadi seorang Duke boneka!

Tiba-tiba Chris mendapatkan ide bagus. Ia akan membuat Sarita sebagai gundik dan walinya. Kalau Sarita jatuh dalam tangannya, gadis itu pasti akan menuruti semua keinginannya dan ia tidak perlu menjadi Duke boneka.

Dorothy langsung mengikuti ibunya disertai Chris.

“Di mana kau, anak haram!?” Duchess membuka pintu kamar Sarita lebar-lebar.

“Tunjukkan wajah sialmu, anak sialan!” seru Duchess – menerjang masuk.

Tidak nampak sedikitpun jejak Sarita di kamar yang rapi itu. Seketika itu juga Duchess sadar. “Si… siapa yang membantu Sarita melarikan diri!?” serunya murka, “Siapa yang membiarkan anak haram itu kabur!? Cepat katakan atau kubunuh kalian semua!”

Sia-sia saja ancaman Duchess Belle karena tidak seorang pun tahu Sarita kabur. Tak seorangpun melihat kepergian Sarita dari kamar yang terkunci rapat sejak Duke Norbert meninggal. Terlebih lagi, kunci kamar Sarita ada di tangan Duchess!

Segera saja kepergian Sarita menjadi berita heboh.

Earl of Mongar marah-marah ketika tahu calon istrinya menghilang. Duchess Belle setengah gila mencari Sarita untuk membuat perhitungan dengannya. Chris bersaing dengan waktu untuk menemukan Sarita sebelum penobatannya sebagai Duke of Cookelt yang baru.

Tak seorangpun dapat menemukan Sarita. Keluarga Riddick pun tidak.

Namun semua itu berubah kemarin pagi ketika Chris memeriksa warisannya.

Ketika ia menghitung warisannya itulah, ia melihat bukti pembelian sebuah rumah kecil di Hauppauge oleh ayahnya untuk Sarita. Segera saja ia tahu di mana Sarita berada. Kabar itu pun diketahui Duchess yang juga langsung bertindak.

“Saya dengar Duchess mengirim orang untuk membunuh Anda,” Graham menutup ceritanya.

“Membunuh Sarita,” Halbert terkesiap.

“Apabila terjadi sesuatu pada Tuan Puteri Sarita, secara otomatis Duchess Belle akan menjadi wali Tuan Muda Chris,” terang Graham, “Selain itu saya mendengar Tuan Muda Chris juga mengirim orang ke Hauppauge,” Graham menatap Sarita lekat-lekat, “Anda harus segera menemui Tuan Muda Chris. Saat ini hanya ia yang dapat mencegah Duchess. Hanya ia yang dapat melindungi Anda.”

“Tidak,” Sarita menggeleng, “Aku tidak akan menemui Chris lagi. Ia sudah gila! Ia bersenang-senang dengan pelacur ketika ayahnya sakit parah dan…,” suara Sarita tertahan di tenggorokannya. Mau tidak mau ia teringat tindakan Jason padanya dan ia jijik olehnya.

Rumah pelacur itu! Halbert teringat wajah murka Sarita ketika ia memasuki tempat terhina itu. Sekarang mengertilah ia mengapa seorang gadis terhormat seperti Sarita bisa memasuki tempat itu. Tak heran beberapa saat lalu gadis ini tampak begitu ketakutan. Di saat yang bersamaan, Halbert juga merasa malu telah memberi nilai yang begitu buruk pada Sarita.

Halbert memegang pundak Sarita dan meremasnya dengan lembut – memberinya kekuatan.

“I-ia mencoba memperkosaku,” lanjut Sarita. “Ia sudah gila, Graham. Ia bahkan mencoba memperkosaku di malam kematian Norbert!” Sarita histeris.

Graham kehilangan kata-katanya.

Halbert terperanjat.

“Untunglah Anda di sini saat ini, Tuan Puteri,” Graham memecahkan kesunyian suasana. “Saya mendengar Duchess bukan hanya ingin membunuh Anda tapi juga meratakan rumah Anda.”

“APA!!?” pekik Sarita, “Itu tidak boleh terjadi!” dan ia langsung melesat keluar.

Graham terkejut oleh reaksi Sarita.

“Sarita, apa yang akan kaulakukan?” Halbert mengejar.

Sarita meloncat ke kuda Halbert dan memacunya dengan cepat.

“SARITA!” seru Halbert.

Sarita semakin menjauh.

Halbert langsung menaiki kuda pengawalnya dan mengejar Sarita – meninggalkan pengawal malang yang kebingungan itu.

Halbert harus memacu kudanya secepat mungkin untuk mengejar Sarita – jauh lebih cepat dari ketika ia meninggalkan Hauppauge.

“Sarita, berhenti!” seru Halbert.

Sarita sama sekali tidak mengurangi kecepatannya ketika mereka mulai memasuki daerah perhutanan.

“Sarita, tenangkan dirimu!”

Teriakan Halbert sama sekali tidak berguna karena saat ini pikiran gadis itu hanya tertuju pada rumah kecilnya yang berharga. Rumah yang menyimpan saat-saat terakhir ayah tercintanya. Begitu khawatirnya ia sehingga ia mematung melihat rumah mungilnya masih berdiri kokoh di tempatnya.

Halbert turun dari kudanya dan berdiri tanpa suara di belakang gadis itu.

Rumah itu masih utuh, masih seindah ketika Sarita meninggalkannya beberapa jam lalu. Rumah kenangannya masih berdiri di sana!

Sarita jauh lemas.

Lagi-lagi Halbert menangkap Sarita tepat pada waktunya. Mata biru Sarita yang sekarang terlihat seperti abu-abu, tampak begitu kosong. Wajah Sarita pucat tidak berekspresi.

Halbert bersimpati pada Sarita.

Hidup sebagai anak haram dalam keluarga yang membencinya memang tidak mudah. Cinta ayah kandung yang tidak terbatas, tidaklah cukup untuk melindunginya dari kebencian keluarganya.

Halbert mengangkat Sarita dan membawanya masuk.

“Yang Mulia Pangeran,” pengawal yang ditugasinya menjaga rumah Sarita menyambut dari belakang rumah Sarita, “Lapor, Pengeran.”

“Tahan laporanmu,” Halbert segera menghentikan. “Tunggu aku di luar.”

Halbert langsung membawa Sarita ke dalam kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut.

Sarita mencoba tersenyum.

“Kau butuh istirahat,” lanjut Halbert, “Terutama setelah hari panjang yang melelahkan ini. Jangan biarkan dirimu sakit lagi.”

Sarita memandang kosong.

“Aku akan segera kembali,” kata Halbert pula.

Pengawal Halbert masih menanti Halbert di depan rumah.

Halbert mengajak pengawalnya ke belakang rumah Sarita, jauh dari pendengaran Sarita.

“Sekarang katakan apa yang terjadi sejak kami pergi,” kata Halbert.

“Kurang lebih satu jam setelah Anda pergi, serombongan orang datang mencari Lady Sarita. Sesuai perintah Anda, saya segera keluar dari persembunyian saya untuk menghalau mereka.”

“Apakah kau tahu siapa mereka?”

“Tidak, Yang Mulia. Namun saya dapat meyakinkan mereka bukan orang yang sama.”

Halbert berpikir. Ia tidak dapat menduga apakah orang-orang itu adalah utusan Duchess Belle atau Chris. siapa pun yang mengutus mereka, tujuan mereka tidak baik.

“Berjaga-jagalah di luar dan…,” Halbert tertegun. Tiba-tiba saja ia sadar ia telah meninggalkan pengawalnya di depan kantor Graham!

Halbert merasa pengawalnya pasti tahu apa yang harus dilakukannya dan ia mengulangi perintahnya.

“Berjaga-jagalah. Aku akan ada di dalam.”

“Baik, Yang Mulia,” pengawal itu memberi hormat.

Ketika Halbert kembali ke dalam rumah, Sarita sedang duduk di meja depan perapian.

“Mereka datang, bukan?” tanyanya.

“Benar,” Halbert tidak mencoba menutupi. “Namun pengawalku telah mengusirnya.”

“Mereka akan datang lagi,” gumam Sarita, “Pasti.”

Halbert menatap wajah pucat gadis itu yang hampir sepucat rambutnya. Dalam keadaan seperti ini, gadis itu benar-benar tampak tidak berdaya.

“Aku tidak mau berpikir sejauh itu,” kata Halbert dan ia menuju dapur kecil Sarita. “Saat ini aku lapar. Apa kau punya sesuatu untuk dimakan?”

Sarita memperhatikan Halbert membuka almari dapurnya satu per satu tanpa berhasil menemukan yang dicarinya.

Sarita teringat suatu ketika ayahnya merasa sehat. Pagi-pagi ayahnya bangun untuk membuat sarapan bagi dirinya sendiri dan Sarita. Ithnan membuka almari dapur satu per satu dan membongkar isinya dengan suara keras seperti Halbert sehingga Sarita terbangun.

“Di mana kau menyimpan makananmu!?” tanya Halbert kesal – persis seperti reaksi ayahnya ketika melihat Sarita terbangun oleh keributan yang dibuatnya.

Sarita tertawa geli.

Halbert terperangah.

“Maaf,” Sarita mencoba menghentikan tawanya. “Saya tidak bermaksud menertawakan Anda. Anda begitu mirip Papa. Suatu hari ia berlagak membuat sarapan tapi ia berakhir seperti Anda. Baagaimana mungkin ia tahu di mana saya menyimpan makanan kalau ia tidak pernah,” Sarita terdiam. Ia melihat Halbert memperhatikannya lekat.

“Mengapa?” tanyanya.

“Mengapa aku tidak menghentikanmu?” Halbert melanjutkan untuk Sarita.

Sarita hanya menatap Halbert.

“Aku tidak akan menghentikanmu. Kenanganlah yang membuat mereka terus hidup bersamamu.”

Air mata Sarita jatuh. Dengan cepat, Sarita menghapusnya.

“Menangislah,” Halbert menahan tangan Sarita, “Itu akan membuatmu merasa lebih baik.”

“Terima kasih,” Sarita tersenyum – membuat Halbert tertegun.

Sarita berdiri. “Saya akan menyiapkan makan malam untuk Anda dan pengawal Anda.”

Halbert tidak menahan Sarita keluar rumah.

Tapi setelah sepuluh menit berlalu, ia mulai cemas.

“Ke mana Sarita?” tanya Halbert begitu membuka pintu.

“Lady Sarita pergi ke halaman belakang,” jawab sang Pengawal.

Halbert tidak membuang waktu.

Di sana, di sudut halaman belakang yang tidak dilihatnya sebelumnya, ia melihat Sarita duduk termenung.

“Papa, apa yang harus kulakukan?” ia mendengar Sarita bertanya sedih ketika ia berdiri di belakang gadis itu.

“Apakah aku tidak bisa menjaga satu-satunya peninggalanmu ini?”

Sarita merasa begitu bodoh. Ia telah pergi menemui Graham. Ia telah meyakinkan rumah ini adalah miliknya. Namun, sekarang bukti itu ada di tangan Chris. Sewaktu-waktu mereka bisa mengambil rumah ini darinya. Rumah satu-satunya yang menyimpan kenangan ayahnya.

Halbert tahu ia tidak bisa membiarkan ini. Ia harus bertindak saat ini juga.

Halbert pergi menemui pengawalnya lagi.

1 comment:

  1. Hidup yang pahit buat sarita, ikut terbawa sedih sama hidupnya.

    ReplyDelete