Tuesday, November 4, 2008

Kisah Cinta-Chapter 5

Sarita merapatkan syal di sekeliling bahunya. Matanya menatap kejauhan di puncak bukit berumput yang luas itu. Pikirannya kosong tapi hatinya begitu damai. Rasanya sudah lama Sarita tidak merasa setenang ini.

Pagi ini ia terbangun sebelum matahari terbit. Di keningnya ada sebuah kain kering. Di sisi tempat tidur ada baskom penuh berisi air.

Sarita tidak perlu berpikir lama untuk mengetahui apa yang telah terjadi. Pasti Marcialah yang telah menjaganya sepanjang malam dan saat ini pemuda itu pasti sudah berada di ladangnya.

Sarita mengenal Marcia enam tahun lalu ketika ia dan ayahnya menetap di Hauppauge, desa pertanian ini karena sakit ayahnya. Semenjak itu mereka menjadi teman baik.

Rumah yang saat ini menjadi milik Sarita adalah dulu adalah bagian dari milik keluarga Marcia. Ketika mereka datang enam tahun lalu, ayah Sarita menyewanya. Rumah itu memang kecil dan hanya mempunyai satu tempat tidur. Namun saat itu hanya inilah yang bisa dilakukan mereka dengan kondisi keuangan mereka yang terbatas. Mereka membutuhkan tempat untuk merawat sakit ayah Sarita. Bagi Sarita sendiri, ia tidak membutuhkan tempat tidur karena ia harus selalu berada di sisi pembaringan ayahnya.

Setelah kematian ayahnya, keluarga Marcia bermaksud baik dengan mengambil Sarita sebagai putri angkat mereka. Namun beberapa hari setelahnya Duke of Cookelt datang oleh permintaan Ithnan.

Tampaknya sebelum meninggal Ithnan mengirim surat pada Duke Norbert. Ia meminta Duke untuk merawat Sarita setelah kematiannya dan atas keinginannya sendiri, jasadnya dibakar dan abunya ditebar di laut.

Ithnan benar-benar seorang petualang. Matipun ia tidak mau berdiam diri di suatu tempat.

Untuk Sarita, Duke Norbert membeli rumah yang menjadi tempat persinggahan terakhir Ithnan. Duke Norbert juga membuat nisan ayah Sarita di belakang pekarangan rumah mungil ini agar Sarita dapat mengunjungi ayahnya sesering mungkin.

Duke Norbert tidak pernah melarang Sarita pulang ke rumah ini setiap bulannya selama satu atau dua hari untuk mengunjungi Ithnan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, ia menemani Sarita.

Namun setelah Duke Norbert jatuh sakit, Sarita tidak pernah pulang. Itulah sebabnya Marcia begitu senang ketika melihatnya kemarin sore – sepulangnya dari ladang keluarga mereka.

Melihat satu-satunya teman baik dan orang yang terdekat dengannya, Sarita tidak dapat menahan diri. Ia menjatuhkan diri di pelukan pemuda itu dan kembali menangis tersedu-sedu.

“Marcia, oh, Marcia…,” isaknya.

“Ada apa, Sarita? Apa yang terjadi” tanya Marcia cemas, terlebih lagi setelah ia menyadari gaun hitam Sarita dan sebuah koper besar di depan pagar rumah mungil Sarita.

“Oh, Marcia, Norbert,” isak Sarita, “Norbert…, ia… i-ia sudah pergi.”

Marcia terperanjat. “Katakan padaku, Saritaku yang manis, apa yang terjadi pada Duke Norbert?” Marcia merangkum wajah Sarita.

Melalui matanya yang basah, Sarita melihat ketegangan di wajah pemuda itu. Sarita belum menjawab ketika Marcia terpekik kaget.

“Ya, Tuhan! Badanmu panas sekali, Sarita!” serunya kaget. Tangannya berpindah ke kening Sarita. “Kau demam!” ia mengumumkan dan seketika itu pula ia membopong Sarita ke dalam rumah.

Segera setelah membaringkan Sarita di tempat tidur, menyelimutinya, dan mengompresnya dengan kain basah, Marcia berkata,

“Beristirahatlah dengan tenang, aku akan memanggil dokter.”

Sarita sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya karena ia langsung tertidur nyenyak karena perasaan lelah dan lega. Namun Sarita yakin Marcia segera kembali karena ia merasa ia mendengar seseorang membisikkan sesuatu di telinganya sambil terus menyeka wajahnya yang berkeringat.

Pagi ini ketika Sarita terbangun, Sarita merasa segar. Ia tidak lagi merasa lelah ataupun sakit.

Hal pertama yang dilakukannya adalah mengunjungi makan ayahnya.

“Papa,” katanya, “Apakah kau sudah bertemu Norbert?”

Sarita menatap sedih nisan dingin itu. “Kau pasti senang dapat berkumpul lagi dengan teman baikmu. Ia telah menjagaku dengan baik. Ia menyayangiku seperti putrinya sendiri. Karena itu, Papa, berbaiklah padanya. Ia adalah ayah angkat yang hebat.”

Air mata Sarita menetes jatuh.

“Sekarang aku sebatang kara lagi. Tapi, Papa, aku tidak akan pernah putus asa. Aku sudah memutuskan akan tinggal di sisimu selamanya.”

Pagi ini Sarita memutuskan untuk tinggal di rumah ini. Ia akan bekerja pada keluarga Marcia atau pada keluarga petani lain yang membutuhkan bantuannya. Ia akan menanam sayur-sayuran di pekarangannya yang kecil. Ia akan melewatkan hari-hari tenang di desa ini – jauh dari keluarga Riddick.

Duke memang menunjuknya sebagai wali Chris. Namun itu tidak berarti ia harus tinggal bersama mereka.

Sarita tidak ingin lagi bertemu keluarga itu. Ia tidak mau berhubungan dengan Chris yang hendak memperkosanya lagi di malam kematian Duke Norbert. Sarita tidak mau berbantah lagi dengan Duchess Belle yang mengundang Earl of Mongar beberapa saat setelah kematian Duke Norbert untuk membiarkan Earl of Mongar membawanya pulang sebagai istri barunya. Sarita juga tidak mau melihat Dorothy, sang putri durhaka. Walaupun Dorothy bukan putri kandungnya, Duke Norbert mencintai Dorothy dan melimpahinya dengan segala kekayaannya. Namun Dorothy memilih untuk berkencan daripada berkabung untuk kematian Duke.

Saat ini di Sternberg pasti terjadi kekacauan.

Graham memberitahu Sarita bahwa kehadirannya diperlukan dalam pembacaan surat wasiat Duke Norbert. Namun Duchess Belle bersikeras Sarita tidak punya urusan dengan surat wasiat itu. Malahan ia mengumumkan pernikahan Sarita dan Earl of Mongar sudah dekat.

Earl of Mongar sendiri tidak henti-hentinya mendekatinya setelah kematian Duke. Earl bersimpati padanya, namun Sarita percaya Earl tua yang mata keranjang itu hanya berpura-pura.

“Apa kurangnya Earl Mongar!?” pekik Duchess Belle ketika melihat Sarita menolak tawaran Earl utunk pergi ke pesta, “Apa kau bodoh!? Tak lama lagi tua bangka itu akan mati dan setelah itu kau akan menguasai hartanya.”

Sarita saat itu hanya menatap Duchess dan dengan tenang berkata, “Mengapa Anda sendiri tidak menikah dengannya?”

Jawaban itu membuat Duchess murka.

“Dasar anak tidak tahu diuntung!” ia menampar Sarita dengan keras. Begitu kerasnya tamparan itu hingga Sarita jatuh terhuyung-huyung.

Sarita hanya berdiam diri setelahnya. Sakit di pipinya tidaklah sesakit di hatinya oleh kepergian Duke.

Hari itu, di hari penguburan Duke Norbert, Duchess mengunci Sarita di kamarnya. Menurut rencana Duchess, Earl of Mongar akan datang ketika mereka semua pergi mengubur Duke. Duchess memberi ijin pada Earl untuk melakukan apapun pada Sarita demi mendapatkan Sarita sebagai istri barunya. Namun Duchess tidak tahu Sarita sudah mempunyai rencana sendiri.

Sebelum Duchess menyebutnya sebagai anak haram yang mempermalukan keluarga Riddick, Sarita sudah yakin Duchess akan melarangnya pergi mengantar Duke ke tempat peristirahatan terakhirnya. Berkat Duchess Belle yang mengawasinya dengan ketat setelah kematian Duke itu pula, Sarita berhasil meloloskan diri dari Chris. Di saat Chris mencoba memperkosanya kembali, Duchess berteriak-teriak memanggilnya sehingga Chris tidak punya pilhan lain selain melepaskannya.

Duchess begitu murka ketika Sarita muncul terlambat dengan pakaian yang acak-acakan.

“Apa yang kaulakukan, anak tidak tahu malu!?” bentaknya, “Ayahmu baru saja mati dan kau pergi melacur!”

Sarita tidak ingin memberi penjelasan.

“Kau tidak akan ke mana-mana sampai kau menikah!” Duchess menyeret Sarita ke dalam kamarnya dan mengurung Sarita.

Sarita patut berterima kasih pada Duchess yang menguncinya di kamar. Karena pengurungan itulah Chris tidak bisa lagi mendekati Sarita. Sarita juga bisa dengan tenang mempersiapkan kopernya dan dengan aman melompat ke pohon di sisi serambi kamarnya.

Sekarang Sarita sudah bebas. Ia tidak mau menukar ketenangan ini dengan apapun. Ia tidak peduli lagi dengan keluarga Riddick yang telah mengusirnya itu.

“Katakan pada Norbert, Papa, aku menyesal tidak bisa memenuhi keinginannya,” kata Sarita kemudian ia menutup perjumpaannya, “Masih banyak yang harus kulakukan, Papa. Sore ini aku akan datang menjengukmu lagi.”

Saritapun pergi untuk membersihkan rumah mungilnya dan membongkar kopernya. Sekarang di sinilah ia, di bukit perbatasan Hauppauge – menikmati keindahan matahari terbit.

Begitu indah, begitu tenangnya tempat ini sehingga Sarita bisa melupakan segala kesedihannya.

“Di sini rupanya kau.”

Sarita menoleh. Ia tersenyum melihat Marcia mendekat dengan tegang.

“Aku mencarimu ke mana-mana,” katanya.

“Kau begitu manis,” Sarita tersenyum – teringat kepedulian pemuda itu padanya kemarin.

Wajah Marcia langsung memerah.

Sarita tertawa geli. “Kau masih selugu anak kecil.”

“Maafkan saya, Tuan Puteri,” gerutu Marcia tidak senang, “Saya dibesarkan di desa terpencil bukan di kota besar seperti Anda.”

Tawa Sarita langsung hilang. Mata biru mudanya kembali memandang kejauhan dengan sedih.

“Sarita…,” Marcia cemas, “Apakah kau…”

“Apa yang membuatmu datang mencariku?” potong Sarita. “Apakah kau datang membawa susu segar yang baru kau peras dan roti hangat yang masih mengepul dari dapurmu untukku?” Sarita tersenyum. Inilah yang selalu dilakukan Marcia setiap pagi ketika ia berada di sini.

“Benar,” jawab Marcia, “Dan aku terkejut setengah mati melihat rumahmu kosong.” Lalu Marcia berseru, “Ya Tuhan! Mengapa kau ada di sini, Sarita? Bagaimana panasmu?”

“Jangan khawatir,” Sarita tersenyum geli, “Aku sudah pulih. Lihatlah aku sudah mendapatkan kembali tenagaku.” Kemudian Sarita mengalihkan pembicaraan. “Di manakah sarapan pagi yang kausiapkan untukku?”

“Ya Tuhan!” Marcia kembali berseru, “Aku meletakkannya di depan pintu rumahmu.”

“Tampaknya aku harus segera pulang sebelum rotimu dingin.”

Marcia langsung melompat berdiri.

Saritapun berdiri dan membiarkan pemuda itu memimpinnya pulang ke rumah mungilnya.

Perjalanan pulang itu tidak dapat dikatakan sebagai perjalanan yang sunyi. Setiap kali mereka berjumpa dengan seseorang, dapat dipastikan mereka akan disapa. Mereka yang jauh lebih tua, menyapa Sarita dengan ramah dan menyampaikan bela sungkawanya atas kematian Duke.

“Sarita, kau sudah kembali?” kata orang pertama yang berpapasan dengan mereka.

“Sarita, aku turut bersedih,” kata yang kedua.

“Apakah kabar itu benar, Sarita?” kata yang lain, “Aku turut bersedih. Duke adalah pria yang baik.”

“Selamat datang lagi, Sarita,” sapaan lain yang diterima Sarita.

“Apakah rencanamu setelah ini?” tanya mereka penuh kepedulian.

Dan ketika mereka berjumpa dengan pemuda-pemudi sebaya, mereka akan mengolok-olok Marcia.

“Marcia, kau sudah mengawal Sarita lagi!” seru mereka.

“Wah… wah… lihatlah Marcia. Sekarang ia menjadi pengawal sang Lady Sarita.”

“Lihatlah Marcia! Ia tidak mau orang lain mendekati Sarita.”

“Marcia, apa aku boleh berkencan dengan Sarita?”

“Marcia, pagi-pagi ini kau sudah mengajak Sarita berkencan!?”

Marcia, seperti biasa, marah-marah atas olok-olokan itu.

“Kami hanya teman!” gerutunya setiap saat.

Sarita hanya tersenyum. Ia sama sekali tidak tersinggung oleh olok-olokan mereka. Sarita tahu mereka hanya bercanda dan di balik semua itu, Sarita dapat merasakan jiwa persaudaraan mereka.

Sarita juga tahu Marcia menyukainya sejak enam tahun lalu. Sarita juga menyukai Marcia tetapi tidak akan lebih dari seorang teman.

Enam tahun lalu, ketika ayahnya terbaring sakit, Marcia selalu menyempatkan diri untuk menemaninya. Ia selalu membawa serta makanan untuk Sarita dan bercanda dengan Sarita untuk mengusir kesedihannya. Ketika ayahnya meninggal, Marcia adalah orang pertama yang menghiburnya. Kemudian ketika Sarita dibawa pergi Duke Norbert, ia adalah orang yang paling sedih. Marcia juga adalah orang selalu merawat kebun mungilnya selama ia tidak ada di Hauppauge. Setelahnya, setiap kali Sarita datang ke Hauppauge, Marcia selalu mencuri waktu untuk menemaninya.

Ini adalah hal di antara mereka berdua tapi seisi desa mengetahuinya. Sarita baru saja datang kemarin sore tapi setiap orang sudah tahu apa yang terjadi.

Sarita mendesah panjang. “Inilah bedanya kota dan desa.”

“Ada apa, Sarita?” tanya Marcia cemas, “Apa kau merasa tidak enak badan? Biar kulihat!” tangan Marcia terulur ke kening Sarita.

“Aku tidak apa-apa,” Sarita menghindar.

‘Marcia tidak akan pernah mengerti,’ pikir Sarita dan ia membuka pintu pagarnya.

Sarita tertegun. Sebotol susu terguling di depan pintu rumah mungilnya – mengotori teras yang baru dibersihkannya pagi ini dan membasahi roti yang dibawa Marcia pula untuknya.

“Ya Tuhan!” Marcia terpekik kaget, “Aku begitu tergesa-gesa sehingga membuat kecerobohan!”

“Tidak apa,” Sarita membungkuk mengambil botol yang hampir kosong dan roti basah itu.

Marcia menyambar botol beserta roti di tangan Sarita. “Aku akan segera membawa yang baru.” Sebelum Sarita sempat mencegah, Marcia sudah berlari pulang.

Inilah Marcia. Bila Sarita tidak segera menjawab ketukan pintunya di pagi hari, ia akan berteriak-teriak membangunkan Sarita. Jika ia masih tidak menemukan Sarita, ia akan berlari pontang-panting mencarinya ke setiap sudut desa dan akhirnya menemukan Sarita di bukit padang rumput yang sama.

Marcia benar-benar seorang pemuda yang menarik. Hanya ada satu tempat yang dituju Sarita seteiap pagi, namun Marcia selalu mencarinya ke mana-mana sebelum pergi ke bukit itu.

“Sarita!” Marcia mengetuk pintu ketika Sarita mencuci kain yang baru digunakannya untuk membersihkan teras.

Sarita segera menjemur kain itu di atas perapian.

“Sarita!” seru Marcia lagi, “Kau masih di dalam?”

“Ya, aku masih di sini,” Sarita membuka pintu.

Marcia terlihat begitu lega.

“Kau masih tidak berubah,” Sarita tersenyum – menerima roti dan susu baru dari Marcia.

Marcia mempersilakan dirinya sendiri masuk ketika Sarita mengambil gelas dan piring.

“Kau ingat, Marcia,” Sarita terkenang, “Papa selalu marah-marah setiap kali kau berteriak-teriak memanggilku.” Sarita tersenyum mengingat omelan ayahnya setiap kali Marcia mulai berteriak-teriak membangunkan Sarita.

“Segera tutup mulut bocah itu!” kata Ithnan setiap kali ia terbangun oleh seruan Marcia.

Ketika keadaan ayahnya mulai memburuk, Sarita selalu menunggu Marcia di depan pintu. Ia tidak mau Marcia membangunkan ayahnya yang membutuhkan banyak istirahat.

“Jangan membicarakan hal itu!” potong Marcia tidak senang, “Kenangan itu hanya akan membuatmu semakin bersedih. Sebaiknya kau segera melupakannya.”

Sarita terdiam. Ia membuka lemari lain di dinding untuk mencari sesuatu yang bisa disajikan bersama roti dan susu itu. Saat itulah Sarita sadar dapurnya kosong!

Tampaknya inilah saat yang tepat untuk menggunakan uang simpanannya.

“Maafkan aku,” Sarita meletakkan piring berisi roti yang sudah diirisnya dan segelas susu di depan Marcia. “Aku tidak mempunyai apapun untuk disajikan.”

“Apa yang kauperlukan?” tanya Marcia, “Aku akan mengambilnya di rumah.”

“Tidak perlu,” Sarita mengambil gelas susunya beserta piring dan peralatan makan untuk mereka. “Siang ini aku akan pergi membelinya. Aku harus membeli banyak barang untuk hari-hari mendatang.”

“Kau akan tinggal di sini?” Marcia bertanya antusias.

Sarita meletakkan piring-piring itu dan gelasnya kemudian duduk di depan Marcia. “Ya,” jawabnya singkat.

“Apa saja yang kauperlukan?” Marcia bertanya penuh semangat, “Aku akan membelinya untukmu.”

“Aku masih belum memikirkannya.”

“Ya Tuhan!” Marcia mengejutkan Sarita, “Aku berjanji pada Ayah untuk menemaninya ke pasar hewan.”

“Segeralah pulang sebelum ayahmu marah,” Sarita tersenyum. “Aku tidak terburu-buru. Aku bisa membelinya besok.”

“Apa yang selanjutnya akan kaulakukan?”

Sarita menatap kosong roti dan susu hangatnya. Selera makannya masih belum pulih. “Aku akan mencari pekerjaan dan menanam sayur-sayuran untuk diriku sendiri.”’

“Kau bisa menjadi guru!” usul Marcia.

Sarita melihat pemuda itu.

“Kau bisa membaca, menulis. Kau lebih berpendidikan dari kami,” desak Marcia. “Penduduk desa pasti senang kalau kau mau menjadi guru.”

Sarita tersenyum. “Ya, itu adalah usul yang bagus. Aku sama sekali tidak memikirkannya. Namun, Marcia, aku membutuhkan tempat untuk mengajar dan buku serta peralatan tulis.”

“Kami akan membangunnya untukmu,” Marcia berkata penuh semangat, “Penduduk desa pasti dengan senang hati membangun tempat mengajar bagimu. Kami akan berurunan membeli segala yang kauperlukan.”

“Terima kasih, Marcia,” kata Sarita, “Itu adalah ide yang sangat baik. Aku akan dengan senang hati membagi apa yang kuketahui pada kalian. Namun.”

“Sudah diputuskan!” Marcia berdiri, “Aku akan membicarakannya dengan ayah ibu sebelum merundingkannya dengan yang lain!”

“Marcia!” Sarita mencoba menghentikan pemuda itu.

Marcia tidak mendengar Sarita. Ia terus berlari pulang.

Sarita menyukai ide mengajar penduduk desa kecil ini. Namun Sarita tidak suka ide dibayar dan merepotkan mereka untuk kepentingan mengajarnya. Sarita tidak keberatan bila mereka mau membangun gedung sekolah untuknya. Sarita keberatan bila mereka harus mengeluarkan uang untuk buku-buku pelajaran yang ingin digunakannya beserta peralatan belajar mengajar. Sarita ingin bekerja selama gedung itu dibangun dan setelahnya, ia akan menggunakan uang hasil kerjanya untuk membeli peralatan belajar mengajar.

“Sarita,” Marcia berseru.

Sarita langsung keluar. Marcia sudah berada dalam pekarangan rumahnya sendiri.

“Sore ini datanglah untuk makan malam bersama kami. Ayah ibu pasti senang melihatmu.”

“Terima kasih, Marcia,” kata Sarita, “Hari ini aku ingin menyendiri. Besok sore aku akan bergabung dalam acara makan malam kalian.”

“Baiklah,” kata Marcia.

“Marcia, tunggu!” cegah Sarita melihat pemuda itu membalikkan badan.

“Aku akan memberi kabar,” pemuda itu berlari ke rumah tepat di sisi kanan rumah Sarita.

Karena rumah Sarita adalah milik Marcia pada awalnya, rumah mereka adalah satu-satunya rumah yang bertetangga dekat di desa pertanian ini. Hanya sebaris pagar setinggi pinggang yang membatasi taman kecil Sarita dengan peternakan keluarga Marcia. Sarita melihat Marcia masuk ke dalam rumah tanpa bisa berbuat apa-apa.

Saritapun kembali ke rumahnya untuk meringkas meja. Sarita menyimpan kembali susu yang tidak tersentuh itu di dalam botolnya dan membiarkan roti itu di atas meja.

Seperti yang dikatakan Sarita pada Marcia, sepanjang hari itu ia menyendiri di dalam rumahnya – di dalam dunianya. Ia duduk berjam-jam di depan nisan ayahnya dengan mata dan pikiran kosong. Ia melamun di dalam rumah mungilnya. Ia mengenang saat-saat terakhir bersama ayahnya di rumah ini.

Sarita sama sekali tidak terusik oleh kegelapan ketika malam menjelang.

Gelapnya rumahnya yang tanpa penerangan membuat Marcia menduga gadis itu tidur sehingga ia tidak mengganggunya.

Seseungguhnya, Sarita duduk di sisi tempat tidur seperti yang biasa dilakukannya enam tahun lalu. Kakinya merapat di dadanya dan kepalanya merebah di atas kedua lutunya sementara tangannya memeluk rapat-rapat lututnya.

Sarita merasa begitu kesepian. Ia merindukan saat-saat menjaga ayahnya yang terbaring sakit, saat-saat Duke Norbert membuatnya panik sepanjang malam.

Sarita tidak menangis. Ia sudah sudah tidak bisa menangis lagi. Ia terlalu sedih dan kesepian untuk dapat menangis.

Ia tidak merasa begitu kesepian seperti ini ketika ia masih berada di Sternberg setelah kematian Duke. Sarita juga tidak merasa kesepian seperti ini ketika ayahnya meninggal enam tahun lalu.

Sarita tahu ia masih terlalu kecil enam tahun lalu untuk mengerti arti kesepian. Walau tidak diragukan Sarita lebih dewasa dari anak-anak seusianya, ia masih belum memahami apa arti perpisahan kekal.

Apa yang bisa diharapkan dari gadis yang belum genap sebelas tahun?

Sarita tidak tahu mengapa ia tidak merasa kesepian seperti ini dalam seminggu terakhir di Sternberg itu.

Sarita tidak tahu bagaimana ia harus melewati hari-hari sepi mendatang. Namun ia tidak akan menyerah. Ayahnya selalu mengajarkannya untuk tidak mudah putus asa.

Sepanjang malam itu, Sarita hanya meringkuk di sisi tempat tidur tanpa bisa memejamkan mata. Ketika sinar matahari mulai memasuki kamar, barulah Sarita sadar bertapa lamanya ia duduk melamun dengan pikiran kosong.

Sarita segera menemui ayahnya untuk mengucapkan selamat pagi.

“Sarita! Sarita!”

Sarita yang baru saja mencapai nisan ayahnya, mau tak mau berbalik.

“Selamat pagi, Sarita,” Marcia tersenyum di depan pagar. “Lihatlah apa yang kubawa untukmu,” ia mengangkat sebuah keranjang.

“Masuklah,” kata Sarita, “Aku ingin menemui Papa dan setelah itu aku akan bergabung denganmu.”

“Baiklah,” Marciapun mempersilakan dirinya sendiri sementara Sarita menyampaikan selamat paginya dengan cepat kepada ayahnya.

Ketika Sarita kembali, Marcia menatap Sarita dengan pandangan tidak senangnya. “Kau sama sekali tidak makan,” katanya menyalahkan.

“Aku tidak mempunyai apa pun untuk menambah rasa pada roti itu,” Sarita mencari alasan dengan cepat.

“Hari ini aku membawanya untukmu,” Marcia tersenyum penuh kebanggaan dan ia segera membongkar isi keranjangnya di atas meja. “Aku membawa roti, susu, keju, madu,” katanya sambil mengeluarkan barang-barang itu satu per satu, “Mentega, gula, , garam, dan rempah-rempah.”

Sarita terperangah.

“Ketika aku mengatakan pada ibu kau tidak mempunyai apapun di dapurmu, ia menyuruhku membawa ini untukmu.”

“Sampaikan terima kasihku padanya.”

“Ayah juga mengijinkan aku untuk menemanimu ke kota hari ini.”

“Tidak perlu, Marcia,” Sarita tidak ingin menyita waktu pemuda itu. Marcia adalah adalah satu-satunya penerus pertanian keluarganya. Ia sangat dibutuhkan di ladang mereka. “Aku bisa pergi sendiri.”

“Kau pasti membutuhkan orang untuk membawa barang-barangmu.”

Sarita lepas tangan. Sinar mata pemuda itu sudah mengatakan ia tidak bisa dicegah.

Segera setelah memaksakan diri untuk menyantap seiris roti dan segelas susu di hadapan Marcia, Sarita segera membersihkan meja.

Marcia pulang untuk menyiapkan gerobak kudanya ketika Sarita bersiap-siap.

Sarita hanya menyisir rambut dan mengambil uangnya. Sesaat kemudian ia sudah menanti Marcia di depan rumah.

Seawal mungkin mereka pergi ke kota, semakin cepat pula Sarita dapat mengembalikan Marcia pada keluarganya.

Sarita tidak perlu khawatir toko-toko di kota terdekat masih tutup. Inilah bedanya kota besar dan kota kecil. Kota besar adalah kota malam dan kota kecil adalah kota pagi. Pada pukul delapan pagi dapat dipastikan semua orang sudah terjaga dan pada sekitar pukul sepuluh malam tiap orang sudah berada di seluruh rumah mereka masing-masing – bersiap-siap untuk tidur.

Baru saja mereka meninggalkan Hauppauge ketika sebuah kereta menghadang jalan mereka.

“Hei!” seru Marcia marah pada kereta yang melintang di tengah jalan itu, “Apa kalian tidak tahu cara menggunakan jalan!?”

“Inikah si gadis kota yang terkenal itu?” sebuah suara terdengar dari dalam kereta.

Marcia melintangkan tangan di depan Sarita. “Siapa kau!? Tunjukan dirimu!”

Seorang pria menunjukkan kepalanya di jendela. “Ia lebih cantik dari yang dikabarkan,” pemuda itu tersenyum puas.

“Tuan Jason,” Marcia terperanjat, “Sarita tidak punya hutang pada Anda. Jangan ganggu dia,” pintanya.

Sarita tertarik mengapa Marcia tampak begitu takut pada pria sombong itu.

“Sarita…” ulang pemuda itu, “Nama yang indah.”

“Siapa dia, Marcia?” tanya Sarita.

“Kau juga punya suara yang indah,” seru Jason gembira, “Sudah diputuskan! Aku menginginkanmu!”

Marcia terperanjat.

Sarita juga tidak kalah kagetnya. Ternyata pemuda sombong ini tidak lebih dari seorang pria mata keranjang. Seharusnya ia mengetahuinya ketika ia melihat cara pemuda itu melihatnya.

“Terima kasih, Tuan Jason,” Sarita menolak sopan, “Saya sungguh tersanjung namun saya tidak pantas untuk Anda.”

Pria itu tertawa. “Kau bermulut manis. Aku benar-benar menginginkanmu!”

Baru saja pemuda itu berkata ketika dua orang pria kekar muncul dari sisi kereta yang tidak dapat dilihat mereka.

Sarita tidak tahu apa tujuan dua pria itu sehingga ia tidak siap ketika mereka menariknya turun dengan paksa. Begitu kerasnya tarikan mereka sehingga Sarita akan jatuh ke tanah bila mereka tidak menggenggam kuat-kuat pergelangan tangannya.

“Lepaskan Sarita!” Marcia meloncat turun.

“Jangan menghalangi Tuan Muda Jason!” seorang dari pria itu menghantamkan tinjunya ke wajah Marcia.

Marcia jatuh terpelanting. Kepalanya membentur roda kereta dengan keras.

“MARCIA!!!” Sarita berusaha melepaskan diri.

Kedua pria itu menyeret Sarita ke pintu kereta Jason di sisi lain.

“Lepaskan!” Sarita memberontak, “Lepaskan aku!” Sarita kian cemas melihat Marcia tidak juga berdiri, “Apa yang akan kaulakukan kalau ia mati!?” Sarita menatap tajam pada pria di dalam kereta.

“Nyawa pemuda ingusan itu tidak ada artinya bagiku,” Jason berkata dengan sombongnya.

“Apa nyawamu tidak berarti!?” serang Sarita, “Apa kau pikir aku akan menutup mulut? Apa kaupikir mereka tidak akan melepaskanmu!?”

Pemuda itu tertawa tertawa mengejek Sarita. “Mereka tidak mungkin melakukannya.”

“Mungkin,” Sarita berkata dingin, “Namun aku tidak takut padamu. Kau boleh membunuhku pula namun setelah itu orang-orang akan bertanya-tanya siapa pembunuh kami. Seorang yang melihat kejadian ini pasti mengatakan salah seorang dari bawahanmu yang melakukannya.”

Kalimat Sarita membuat pria yang menghantam Marcia melepaskan cengkeramannya.

“Dan mereka pasti mengatakan kaulah yang memerintah mereka demi nyawa mereka sendiri,” Sarita melanjutkan dengan tenang, “Kau tahu apa artinya itu, bukan?”

“Ah, aku melihat seseorang mendekat. Ia pasti melihat semuanya,” tambah Sarita pula.

“Lepaskan dia!” Jason berkata panik, “Segera tinggalkan tempat ini.”

Dalam sekejap mereka sudah menjauh – meninggalkan Sarita yang berpuas diri. Seorang pria kaya dan sombong yang lebih suka menyuruh bawahannya selama ia bersembunyi di tempat aman, dapat dipastikan adalah pengecut.

Marcia mengenang kesakitan.

Perhatian Sarita langsung teralih. “Marcia, kau tidak apa-apa?” tanyanya cemas.

Marcia memegang kepalanya.

“Kau berdarah!” pekik Sarita melihat tangan Marcia yang memerah. “Kita pulang saat ini juga,” Sarita membantu Marcia berdiri, “Lukamu harus segera diobati!”

Sarita membantu Marcia berbaring di dalam gerobak kemudian ia melajukan kereta kembali ke desa.

Ayah ibu Marcia begitu cemas melihat luka putra satu-satunya mereka. Mereka segera mengobati luka Marcia.

Ketika Sarita membantu ibu Marcia merawat luka di kepala Marcia itulah, ia mengetahui siapa pemuda itu. Dari orang tua Marcia, Sarita mendengar bahwa Jason adalah putra keluarga Burnap, pedagang kaya yang belakangan ini sukses. Ia adalah satu-satunya pria dalam tiga bersaudaranya dan ia adalah anak bungsu. Kakak-kakaknya dan orang tuanya sangat mencintainya. Apapun permintaan Jason, selalu dikabulkan keluarga Burnap. Yang lebih tidak menguntungkan adalah Jason seorang pemuda sombong yang berwatak buruk. Ia suka memeras orang lain. Ia juga tidak ragu-ragu merebut milik orang lain.

Selain memberitahu siapa Jason, orang tua Marcia juga memperingatkan Sarita untuk berhati-hati pada Jason. Bila apa yang dikatakan Jason padanya memang serius, Jason pasti akan muncul kembali untuk menccarinya.

Yang tidak Sarita pahami adalah bagaimana Jason tahu tentangnya?

Sarita mendesah panjang. “Inilah bedanya kota besar dengan tempat terpencil,” gumamnya.

Kejadian seremeh apa pun pasti segera menjalar ke seluruh pelosok dengan cepat. Sarita tidak akan kaget kalau saat ini semua penduduk Hauppauge tahu mereka diserang Jason dan sekarang Marcia terluka.

Sarita ingin menjaga Marcia, namun orang tua Marcia menyuruhnya pulang.

“Kau juga juga perlu istirahat,” kata mereka, “Kejadian ini pasti mengagetkanmu.”

Mereka juga berjanji akan memberi kabar pada Sarita bila terjadi sesuatu pada Marcia entah itu baik atau buruk.

Sarita berharap Marcia tidak apa-apa. Ia tidak mau menjadi penyebab celakanya pemuda itu. Baru saja ia berharap ketika ia mendengar ketukan di pintu.

Sarita berharap orang tua Marcia tidak datang untuk memberitahu keadaan Marcia memburuk.

“Selamat siang, manis,” Jason berdiri di depan pintu dengan senyum liciknya.

Sarita terperanjat. “B-bagaimana kau bisa berada di sini?”

“Mengapa tidak?” Jason menerobos masuk diikuti kedua pengawalnya.

“Siapa yang mempersilakanmu masuk!?” tegur Sarita.

“Kaupikir ini rumah siapa?” balas Jason, “Ini adalah rumah ayahku. Kau tidak berhak tinggal di sini.”

“Apa kau kira aku percaya?” Sarita tidak gentar, “Rumah ini telah resmi menjadi milikku!”

“Mana buktinya?” tanya Jason. “Ini adalah bukti rumah ini adalah milik ayahku,” Jason mengeluarkan sebuah kertas yang menyatakan rumah kecil ini adalah milik keluarga Burnap.

“I-itu tidak mungkin,” kata Sarita, “Norbert membelinya.”

“Kau sudah tinggal di tempat ini selama bertahun-tahun, bagaimana kau akan membayar hutangmu?” Jason memegang dagu Sarita.

“Lepaskan!” Sarita menampar wajah Jason.

Dua pengawal Jason langsung mencekal Sarita.

“Apa yang kaulakukan padaku, perempuan sial!?” Jason mencengkeram rambut Sarita.

“Mengajarimu adat,” jawab Sarita tenang – menolak menunjukkan kesakitannya.

“Akulah yang akan memberimu pelajaran, perempuan,” Jason menarik rambut Sarita sehingga wajah menengadah ke arahnya. Dengan mulutnya, ia mulai menjelajahi leher jenjang Sarita.

“Lepaskan!” Sarita memberontak dengan jijik.

Dua pria di sisi Sarita memegang tangan gadis itu kuat-kuat sementara Jason menjelajahi leher Sarita dan dada gadis itu.

“HENTIKAN!!!” pekik Sarita ketika ciuman Jason semakin turun ke dadanya. Tubuhnya merinding jijik dan ketakutan.

Jason membuka kancing di sepanjang dada Sarita.

“Apa yang kaulakukan padanya, bajingan!?”

1 comment: