Tuesday, November 4, 2008

Kisah Cinta-Chapter 4

Sarita menatap Duke yang sudah tertidur nyenyak tanpa suara.

Sepanjang malam Duke terus mengenang masa mudanya bersama Ithnan di sela-sela batuknya yang kian parah.

Kemarin sore batuk Norbert tidaklah parah. Hanya sesekali ia terbatuk darah tapi sepanjang malam batuknya hampir tidak pernah berhenti.

Sarita menatap wajah tua itu dengan pilu. Tidak adakah yang bisa dilakukannya untuk menyenangkan Duke? Tidak adakah yang bisa dilakukannya untuk memenuhi keinginan terakhir sang Duke?

Sarita tidak bisa memenuhi keinginan ayahnya ketika ia sekarat. Hingga detik ini ia terus menyesalinya. Walau pada akhirnya keinginan ayahnya terwujud, Sarita terus berharap ia dapat memenuhi keinginan ayahnya sebelum ia meninggal. Keinginan terakhir ayahnya adalah bertemu dengan Duke Norbert dan menyerahkan sendiri putrinya dalam asuhan Duke. Duke memang datang tapi ia terlambat. Sarita tahu keterlambatan itu telah membuat penyesalan yang mendalam di hati Duke. Sekarang Sarita tidak ingin membuat penyesalan lagi di hati Duke. Ia tidak ingin melihat orang yang dicintainya pergi tanpa dapat mewujudkan keinginan terakhir mereka.

Maka Sarita memutuskan. Selagi ia masih punya waktu, ia akan mewujudkan keinginan terakhir Duke! Sekalipun ia harus membuang wajah dan harga dirinya!

Tak sampai setengah jam kemudian Sarita berdiri di depan sepasang mata menyelidik Halbert.

Berlawanan dengan Sarita, rambut pirang Halbert yang bersinar cemerlang tersisir rapi. Kemeja putihnya yang licin dipadu dengan celana hitam, membuatnya tampak begitu gagah. Satu-satunya yang merusak penampilannya yang menawan adalah sepasang mata biru tuanya yang memandang Sarita dengan penuh tanda tanya dan jijik.

Penampilan Sarita saat ini jauh dari menawan. Rambut kuning pucatnya berantakan. Matanya yang sembab masih membengkak setelah menangis sepanjang malam. Hidungnya memerah. Goresan hitam di bawah matanya membuatnya kian kelam dan terlebih dari itu, gaunnya acak-acakan bahkan sebuah kancing di dadanya jatuh terlepas oleh pergumulannya dengan Chris semalam.

“Apakah tujuan Anda datang pagi-pagi?” Halbert menahan keinginannya untuk mengusir pemandangan tidak sedap ini.

“Dengan membuang segala harga diri, saya memohon Anda pergi bersama saya ke Sternberg,” Sarita langsung ke pokok pembicaraan.

“Ke Sternberg.”

“Saya percaya Duke Norbert telah meminta Anda untuk mengambil saya sebagai istri,” Sarita akhirnya mengutarakan pokok pembicaraan yang paling tidak ingin dibahasnya. “Saya mohon kembalilah bersama saya ke Sternberg dan berkata pada Duke bahwa Anda akan mengambil saya sebagai istri.”

Tawa Halbert meledak.

Reaksi Halbert tepat seperti dugaan Sarita.

“Saya tidak meminta Anda untuk bersungguh-sungguh,” Sarita melanjutkan, “Yang saya minta hanyalah sebuah kalimat persetujuan Anda.”

“Apakah yang membuatmu berpikir aku akan pergi denganmu?” cibir Halbert.

“Ini adalah permintaan terakhir orang yang menjelang ajal,” terang Sarita, “Anda tentu bersedia membantu saya memenuhi keinginan terakhir orang yang sekarat.”

Halbert tertawa geli. “Apakah kau pikir aku akan percaya padamu? Sekalipun aku harus berbohong, aku tidak akan menerima lamaran terkonyol kalian. Engkau memang cantik tapi kau tidak cukup cantik untuk membuatku ingin menikahimu.” Dan kau adalah gadis yang melacurkan dirinya ketika ayahnya terbaring sakit, Halbert menambahkan pada dirinya sendiri.

“Sejujurnya saya pun tidak tertarik untuk menikah dengan Anda apalagi berhubungan dengan Anda,” Sarita tahu ia telah membuat Halbert kesal namun demi keberhasilan rencananya, ia harus menekan amarahnya dalam-dalam. “Saya hanya ingin Anda membantu saya.”

“Aku sudah sering mendengar cerita serupa. Aku tidak akan mempercayaimu.”

“Bagaimana Anda tahu hal itu hanya sebuah karangan sebelum Anda melihatnya sendiri?”

“Pernyataan itulah yang membuatku semakin meragukan kebenaran perkataanmu.”

Sarita putus asa melihat kekeraskepalaan pemuda ini. Sebelum datang, ia sudah tahu sang Pangeran akan menolak. Namun ia tetap memegang harapan rasa belas kasih sang Putra Mahkota Helsnivia dapat membantunya. Sekarang harapan itupun terasa telah sirna.

Apakah ia juga tidak dapat memenuhi keinginan terakhir ayah angkatnya?

“Tidakkah Anda bersedia menyenangkan hati orang yang sekarat?”

Halbert tertegun melihat air mata Sarita.

“Sarita…” Sarita terperanjat. Ia merasa mendengar suara Duke. Dadanya berdegup kencang tanpa dapat ia kendalikan. Sebuah perasaan tidak enak membuatnya tidak nyaman.

“Anda sungguh mengecewakan saya,” kata Sarita tajam dan ia langsung pergi.

Halbert melihat Sarita dengan kebingungan. Ia tidak menyukai gadis ini. Ia datang dengan acak-acakan seperti baru bergulat sepanjang malam, memaksanya menerima lamaran ayahnya, dan pulang tiba-tiba tanpa pamit.

“Benar-benar gadis liar!” maki Halbert.

Mata biru muda yang sembab itu melintas di depan Halbert. Untuk sesaat sepasang mata yang basah itu tampak begitu hancur dan pilu.

Derap kaki kuda menjauh dengan cepat.

Melalui jendela, Halbert melihat Sarita pergi seperti dikejar setan.


-----0-----



“Sarita….. Sarita….. di manakah kau?” Duke mencari-cari.

“Sarita?”

Sarita membuka pintu lebar-lebar.

“Sarita, kaukah itu?” tangan Duke mencari-cari Sarita.

“Ya, Norbert, ini aku,” Sarita menjatuhkan diri di sisi Norbert. Ia menggenggam erat tangan Duke. Hatinya begitu pilu melihat pria tua yang sudah tidak berdaya itu.

“Ithnan, lihatlah Sarita. Lihatlah putri kecilmu sudah menjadi wanita tercantik di dunia.”

“Norbert…,” gumam Sarita tanpa dapat menahan isak tangisnya.

Tindakan Duke benar-benar seperti tindakan ayahnya sesaat sebelum meninggal. Ia mencari-cari orang-orang yang tidak dikenalnya dan berbicara dengan orang lain yang tak dilihatnya.

“Sarita, mengapa Pangeran ada di sini?”

‘Sekarang ia melihat hal yang tidak-tidak’, pikir Sarita. Ia telah berusaha mewujudkan keinginan terakhir Duke tapi ia tidak berhasil.

“Sarita, apakah Pangeran bersedia menikahimu?”

“Ya, Norbert, ia bersedia,” Sarita memutuskan untuk mengikuti khayalan Duke.

Duke tersenyum bahagia. “Lihatlah, Ithnan, Sarita… bisa pulang…,” suaranya kian menghilang dan matanya terpejam rapat. Tangannya jatuh lemas di sisi tubuhnya.

Sarita terpaku. Ia tidak dapat menangis lagi. Ia tidak dapat meratap lagi. Hatinya terasa hampa. Ia merasa seperti dunianya sudah berakhir.

Halbert tertegun. Sesuatu yang tidak diketahuinya, membuatnya mengikuti Sarita. Sekarang ia telah menjadi saksi kepergian Duke of Cookelt untuk selama-lamanya.

Halbert memperhatikan Sarita yang sama sekali tidak bergerak. Ia merasa malu telah mencurigai gadis itu.

Sarita berdiri. Belum sedetik ia berdiri, tubuhnya jatuh lemas.

Halbert bergerak cepat menangkap Sarita.

Sepasang mata biru muda yang dalam itu tampak kosong. Air mata yang belum kering membasahi wajah pucatnya.

“Kuatkan dirimu.”

Sarita terkejut. Ia segera menjauhkan diri dari Halbert. “S-saya tidak apa-apa,” kata Sarita gugup tergagap.

Halbert merasakan suatu keinginan yang kuat untuk merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Ia ingin memberikan dadanya untuk gadis itu menangis sepuasnya. Sarita tampak begitu kacau, pucat, letih, dan tidak berdaya. Ia membuat jiwa kejantanan Halbert ingin melindunginya.

“Terima kasih, Yang Mulia Pangeran,” ujar Sarita sambil mencoba tersenyum, “Anda membuat Norbert pergi dengan bahagia.”

Halbert pilu melihat senyum di wajah sedih itu.

“Jangan biarkan saya menyita waktu Anda.”

Halbert tidak mengerti gadis ini. Ia datang memohon padanya, berterima kasih atas sesuatu yang tidak dilakukannya dan sekarang mengusirnya!

Sarita berjalan ke pintu. Tubuhnya kembali limbung.

Halbert mengulurkan tangan untuk menangkap Sarita.

Sarita menggeleng dan menghindar. “Saya tidak apa-apa,” katanya dan melangkah ke pintu dengan tubuh limbungnya.

Halbert semakin tidak mengerti gadis ini.

Halbert melihat Sarita berdiri mematung di pintu. Untuk sesaat ia yakin gadis ini akan jatuh pingsan tapi kemudian gadis itu melangkah tegas untuk mengabarkan kematian Duke pada seisi Sternberg.

Dalam waktu sekejap semua orang mengetahui kabar kematian Duke. Dalam waktu sekejap pula upacara penguburan Duke of Cookelt diselenggarakan. Tepat seminggu setelah kematiannya, peti mati Duke telah siap untuk dikubur.

Sahabat dan kerabat Duke Norbert berdatangan dari berbagai penjuru untuk mengantar Duke ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Semua orang tampak begitu sedih oleh kepergian Duke of Cookelt yang telah mereka kenal dengan baik. Sepanjang yang dilihat Halbert, tidak seorangpun yang sesedih Sarita. Namun anehnya, Halbert tidak melihat gadis itu dalam kerumunan orang berbaju hitam ini. Tidak di antara barisan terdepan keluarga Duke Norbert. Tidak juga di antara Duches Belle dan kedua putranya.

Halbert mengakui. Di antara semua wanita yang dikenalnya, Saritalah wanita yang pandai bersandiwara. Sarita telah berhasil membuatnya percaya ia adalah putri yang berbakti. Sarita telah berhasil membuatnya terharu. Namun, ternyata ia tetaplah sorang putri yang melacurkan diri ketika ayahnya sakit parah.

Baru saja Halbert berpikir seperti itu ketika ia melihat sosok yang dikenalnya di pintu gereja – jauh dari kerumunan.

Wajah gadis itu tertutup kerudung hitam namun Halbert yakin gadis itu adalah Sarita.

Halbert tidak mengerti mengapa gadis itu berdiri menjauh dari kerumunan. Mengapa ia tidak berada di antara keluarganya?

Setelah Duke Norbert dikubur dan orang-orang menjauh, Sarita bergerak.

Sarita ingin mengantar Duke tapi Duchess Belle melarangnya. “Anak haram seperti kau hanya akan mempermalukan kami,” katanya.

Sarita tidak ingin berdebat dengannya. Ia tidak ingin tinggal lebih lama dalam keluarga durhaka ini.

Begitu mendengar kematian Duke, mereka bukannya bersedih malah bersuka cita. Duchess dan Chris mulai berebut kuasa atas harta keluarga Riddick. Baik Duchess Belle maupun Dorothy tidak tertarik membatalkan janji kencan mereka di saat Sarita memberitahukan kematian Duke.

“Apa hubungannya denganku?” itulah yang dikatakan Duchess ketika Sarita mencegahnya pergi. “Ia sudah mati.”

“Anda perlu mengurus penguburan Norbert.”

“Itu bukan urusanku. Bukannya kau putri haram kesayangannya? Mengapa kau tidak mati bersama ayahmu?”

Saat itu Sarita hanya bisa menangis untuk Duke.

“Aku punya janji!” itulah yang dikatakan Dorothy. “Aku tidak punya kepentingan dengan orang mati.”

Chris juga tidak jauh berbeda. Ia bersorak gembira ketika mengetahui kematian Duke dan mulai merencanakan tindakannya setelah menjadi Duke of Cookelt yang baru.

Tidak perlu diragukan lagi keluarga durhaka itu tidak mau tinggal berlama-lama meratapi kuburan dingin Duke.

“Oh, Norbert,” Sarita jatuh lemas di sisi makam Duke. Air matanya yang belum kering kembali bercucuran. “Tempat tidurmu masih hangat tapi mereka sudah berebut warisan.”

Sarita merasa begitu hampa. Sekali lagi ia ditinggalkan seorang diri tanpa sanak saudara. Kali ini tidak akan ada Duke Norbert kedua yang menerimanya dengan tangan terbuka. Tidak ada lagi orang yang menerimanya sebagai bagian keluarga mereka.

Mata basah Sarita menatap lekat-lekat kuburan yang masih segar. Hatinya hampa. Pikirannya kosong. Hanya isak tangis yang tertahan mengisi kesunyian dirinya.

Halbert berdiri hanya dua meter di belakang gadis itu tanpa suara. Tangisan gadis inilah yang benar-benar memilukan suasana penguburan ini.

Bila beberapa saat lalu Sarita menjadi gadis yang paling pandai bersandiwara. Sekarang ia menjadi gadis yang paling tidak dimengertinya.

Entah berapa lama Sarita duduk termenung seperti itu sebelum akhirnya ia berdiri.

Sarita belum berdiri tegak ketika tubuhnya kembali limbung.

Halbert segera menangkap gadis itu.

Wajah gadis itu tampak begitu pucat. Matanya terpejam rapat. Garis hitam di sekitar matanya menandakan keletihannya. Ia tampak jauh lebih pucat dan letih dari yang dilihat Halbert seminggu lalu.

Halbert terkejut. Ketika tangannya menyentuh kulit gadis itu, tangannya seperti tersengat sesuatu. Halbert meletakkan tangan di kening gadis itu dan terkejut merasakan panas membara.

Segera Halbert bertindak dengan membawa Sarita menjauhi panas matahari musim panas yang menyengat ini.

Ketika Sarita terjaga, ia melihat langit-langit yang berlukiskan para malaikat yang memahkotai Bunda Maria. Pikirannya yang kosong menatap lukisan itu dengan bertanya-tanya. Untuk beberapa saat ia menatap lukisan itu.

“Kau merasa lebih baik?”

Barulah Sarita sadar ia tengah berbaring di kursi jemaat gereja dengan kepalanya di atas pangkuan Halbert dan sebuah kain basah di keningnya.

Sarita mengambil kain basah itu dari keningnya dan berusaha duduk.

Halbert membantu Sarita duduk. “Kau sudah merasa lebih baik?” Halbert mengulangi pertanyaannya.

“Y-ya…, saya sudah merasa lebih baik,” jawab Sarita sambil menyerahkan kain putih itu pada Halbert, “Terima kasih banyak.”

Sarita berdiri dengan tubuh limbungnya. Gerakannya yang tiba-tiba membuat pandangannya kabur dan kepalanya terasa berputar-putar.

“Aku akan mengantarmu pulang,” Halbert menahan tubuh Sarita.

“T-tidak perlu repot-repot, Yang Mulia,” Sarita melepaskan diri, “Saya tidak akan pulang ke Sternberg.”

Halbert bertanya-tanya.

“Saya bukan bagian dari mereka. Norbert juga sudah tidak ada. Saya tidak punya alasan lagi untuk kembali.”

Norbert? Halbert bertanya-tanya. Selama ini ia memang tidak terlalu memperhatikan cara Sarita menyapa Duke of Cookelt. Sekarang ia benar-benar ingin tahu sedemikian akrabnyakah mereka sehingga Sarita memanggil ayahnya hanya dengan namanya?

“Terima kasih atas kepedulian Anda, Yang Mulia Pangeran Halbert,” kata Sarita sekali lagi.

Sarita tampak begitu tidak berdaya, begitu rapuh. Begitu rapuhnya gadis itu hingga Halbert yakin sebuah sentuhan lembut dapat menjatuhkannya.

Halbert memperhatikan Sarita berjalan dengan limbung ke pintu. Ia telah menawarkan bantuan tapi gadis itu menolaknya. Ia sudah menawarkan tumpangan tapi gadis itu tidak mau. Apa lagi yang bisa dilakukannya?

Ia sudah melakukan kewajibannya sebagai seorang pria jantan. Yang lebih penting lagi adalah bukan urusannya mencampuri urusan Sarita dan ia tidak punya kewajiban mengurus gadis itu.

Itulah yang dikatakan Halbert pada dirinya sendiri. Namun beberapa saat kemudian kereta kudanya tengah mengikuti kereta yang disewa Sarita.

Sejam berlalu sudah dan tidak seorang pun dari mereka yang berhenti.

Halbert mulai bingung ketika kereta kian menjauhi keramaian. Ia semakin curiga ketika mereka mulai memasuki daerah perbukitan.

Halbert ingin tahu ke mana Sarita pergi setelah kematian ayahnya. Tempat ini terlalu terpencil kalau mau dikatakan Sarita pergi menenangkan diri di rumah keluarga Riddick yang lain. Tidak mungkin keluarga Riddick mempunyai kediaman di tempat terpelosok seperti ini.

Dua jam telah berlalu setelah memasuki daerah berhutan lebat ini namun tidak nampak sebuah rumah pun. Semakin mereka memasuki tempat ini, semakin tidak nyaman jalan yang mereka tempuh.

Halbert bisa memastikan Sarita tidak pergi menenangkan diri di salah satu rumah peristirahatan keluarga Riddick. Ia benar-benar tidak punya ide ke mana gadis ini pergi.

Rasanya sepanjang hari mereka menapaki jalan berbatu-batu itu sebelum akhirnya Halbert melihat rumah. Menilik dari ukurannya dan jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain, Halbert yakin ini adalah desa petani.

Halbert tidak mengerti apa yang dicari Sarita di tempat ini. Tidak mungkin putri seorang Duke seperti Sarita bisa dan mau tinggal di tempat terpencil seperti ini.

Kereta berhenti dengan perlahan.

“Pangeran,” kata pengawal Halbert memberitahu dari jendela, “Kereta itu sudah berhenti.”

Halbert langsung melompat keluar dan bersembunyi di balik pohon rindang terdekat dari kereta yang ditumpangi Sarita.

Halbert melihat Sarita berdiri di depan pagar rumah kecil. Ia tengah membayar kusir kuda kereta sewaannya. Beberapa saat kemudian ketika kereta itu pergi, Halbert dapat melihat sebuah koper besar di sisi Sarita.

Halbert bertanya-tanya. Sarita tidak mungkin hendak tinggal di tempat terpencil seperti ini, di rumah kecil seperti itu, bukan? Gadis bangsawan seperti dia tidak mungkin mau tinggal di tempat yang jauh berbeda dengan istananya.

Seorang pemuda yang menyandang cangkul atau apapun itu di pundaknya, berjalan ke arah Sarita.

Sarita tampak tertegun melihat pemuda itu dan sedetik kemudian ia menjatuhkan diri di pelukan pemuda itu.

Seketika itu juga semuanya menjadi jelas bagi Halbert. Pemuda itu pasti adalah kekasih Sarita! Sarita tidak membiarkannya menyentuhnya seolah-olah ia jijik pada setiap pria tapi ia menjatuhkan diri dalam dada pemuda itu. Sarita juga membiarkan pemuda itu memegang wajahnya dan membopongnya ke dalam rumah.

Halbert yakin rumah itu adalah rumah pemuda itu.

Sungguh tidak dapat dipahami mengapa Sarita yang jelas-jelas gadis berdarah biru bisa jatuh cinta pada pemuda pedesaan seperti pria itu. Tidak dapat dipahami besarnya cinta Sarita sehingga ia mau tinggal di rumah yang tidak jauuh lebih besar dari kamar Duke Norbert!

Halbert sering mendengar cerita wanita bangsawan yang rela meninggalkan segalanya demi cinta. Namun baru kali ini ia melihat contoh nyata dan ekstrim!

Beberapa saat kemudian Halbert melihat pemuda itu keluar dengan cemas. Ia bergegas membawa masuk koper besar Halbert. Belum semenit ia masuk, ia sudah keluar lagi. Kali ini ia berlari ke rumah di sisi kanan.

Halbert tidak mengerti apa yang dilakukan pemuda itu.

Pemuda itu melaju dengan cepat dari belakang rumah di atas kuda coklat.

Seketika itu juga Halbert tahu apa yang dilakukan pemuda itu. Pemuda itu pasti pergi mencari dokter! Ia sama sekali sudah lupa akan demam tinggi Sarita!

‘Namun,’ Halbert kembali bertanya-tanya. ‘Apakah mungkin ada dokter di tempat terpencil seperti ini?’

Sepuluh menit berlalu sudah semenjak kepergian pemuda itu tapi tidak nampak tanda-tanda pemuda itu kembali. Keberadaannya di pohon besar itu juga sudah mengundang ketertarikan para penghuni desa.

Halbert melihat tidak ada tanda-tanda kehidupan dari rumah tempat Sarita berada.

Ketika ia mendekati rumah itu, ia melihat pekarangannya yang tertata rapi. Rumputnya yang pendek tampak seperti baru dipangkas beberapa hari lalu. Namun ketika ia memegang pintu, ia merasakan debu di pegangannya.

Untuk sesaat Halbert ragu. Haruskah ia masuk tanpa mengetuk pintu? Kalaupun ia mengetuk pintu, apa yang harus dikatakannya pada Sarita mengenai keberadaannya di sini?

“Papa.”

Halbert terkejut. Ia melihat sekeliling tapi ia tidak melihat seorang pun.

“Jangan pergi, Papa.”

Kali ini Halbert tahu dari mana suara itu berasal.

“Biarkan aku ikut, Papa,” Halbert mendengar isak tangis Sarita, “Aku tidak mau ditinggal sendiri.”

Halbert tidak berpikir panjang lagi untuk masuk.

“Papa…”

Halbert langsung menuju asal suara itu.

Sarita tampak begitu kesakitan. Sebuah kain basah berada di keningnya. Wajahnya basah oleh keringat. Bibirnya terus menerus memanggil Papa dan mengulangi kalimat: aku tidak mau ditinggal sendiri; jangan pergi.

Halbert melihat sekeliling – mencari sesuatu yang bisa dijadikan tempat menandah air.

Di meja kecil di sisi tempat tidur, Halbert melihat sebuah baskom penuh berisi air. Halbertpun segera mengambil kain di kening Sarita yang membara, menyeka keringat di wajah pucatnya, membasahi kain itu lagi, dan kembali menyeka wajah Sarita.

“Papa…,” mata Sarita terbuka.

Halbert membalikkan badannya untuk membasahi kain.

“Jangan pergi!” Sarita menangkap tangan Halbert dan mencengkeramnya kuat-kuat.

Halbert tertegun. Sebulir air mata mengalir dari mata pilu yang tertutup rapat itu.

“Aku tidak akan pergi. Aku akan selalu berada di sisimu,” bisik Halbert lembut dan ia duduk di sisi Sarita. “Aku janji,” Halbert menggenggam tangan Sarita.

Sarita tersenyum.

Lagi-lagi Halbert tertegun. Ia tidak pernah melihat senyum manis Sarita yang seperti ini. Sarita tampak begitu bahagia dan damai sehingga Halbert tidak tega menarik tangannya dari genggaman Sarita.

Sarita memejamkan matanya namun tangannya masih menuntut bukti keberadaan Halbert di sisinya.

Dengan tangannya yang terbebas, Halbert terus menyeka keringat Sarita dan dengan sabar membisikkan kata-kata lembut yang menenangkan gadis itu. Matanya terus menatap wajah yang menderita itu.

Kematian Duke Norbert pasti merupakan pukulan besar bagi Sarita.

Apakah yang akan dilakukan Sarita setelah ini?

Untuk beberapa alasan yang tidak diketahuinya, Sarita tidak mau kembali ke Sternberg. Apakah Sarita akan tinggal di tempat ini? Bersama pemuda itu?

Ingatan akan pemuda yang menyambut Sarita, membuat Halbert mual. Saat ini ia berada di rumah pemuda itu!

Tiba-tiba Halbert sadar sewaktu-waktu pemuda itu akan muncul.

Halbert beranjak bangkit.

Melalui jendela di seberang tempat tidur, ia tidak melihat tanda-tanda pemuda itu. Namun Halbert tidak mau mengambil resiko. Ia segera mengompres Sarita kembali dan beranjak pergi.

Apa yang sedang dilakukannya!? Apa yang akan dikatakan dunia!? Ia tidak pernah menjaga orang sakit sebelumnya. Ia juga tidak pernah menunggu orang sakit seperti ini. Sekarang ia menunggui anak haram, pelacur yang tidak tahu malu, gadis licik yang melamarnya, dan… dan…

Halbert melihat wajah cantik yang pucat itu. Kesedihan gadis ini bukanlah sebuah sandiwara. Mungkin kesedihannya, penderitaannyalah yang membuatnya iba dan pada akhirnya membawanya ke tempat ini.

Cukup sudah! Sarita tidak sendiri lagi. Siapa pun pemuda itu, Sarita sudah mempunyai orang yang akan menjaganya.

Saat itulah ia baru benar-benar menyadari betapa kecilnya rumah ini – kalau mau disebut rumah. Tempat ini hanya mempunyai satu perapian di seberang pintu masuk. Dapur kecil di sisi kanan pintu. Sebuah meja kayu persegi berdiri di depan perapian bersama empat kursi kayu tua yang mengelilingi keempat sisinya. Singkat kata, ruang tamu, ruang makan, ruang keluarga, dan dapur menjadi satu di tempat ini. Hanya satu pintu di sisi kiri perapian yang membatasi ruang ini dengan ruang tidur Sarita.

Halbert tidak dapat memahami bagaimana Sarita akan tinggal di tempat ini, rumah yang pasti tidak lebih besar dari kamar Sarita di Sternberg.

Ketika Halbert memperhatikan perlengkapan dapur yang begitu minim, barulah ia menyadari betapa kotornya tempat ini.

Debu tebal dapat dijumpai di setiap sudut.

“Betapa malasnya penghuni rumah ini,” gumam Halbert.

Tiba-tiba saja Halbert tersadar. Di mana pemuda itu tidur? Di mana Sarita tidur? Akankah mereka berdua tidur bersama? Pikiran itu membuatnya kembali mual dan pada saat yang bersamaan membangkitkan kewaspadaannya.

Halbert segera meninggalkan rumah itu.

Baru saja Halbert mencapai kereta kudanya ketika dua ekor kuda menuju rumah itu. Seorang adalah pemuda itu dan yang seorang lagi, Halbert yakini, adalah sang dokter.

Sekarang pemuda itu sudah kembali bersama dokter. Tidak ada alasan lagi bagi Halbert untuk tinggal lebih lama lagi.

1 comment: