Sunday, November 2, 2008

Kisah Cinta-Chapter 3

“Demi Tuhan, Chris!” pekik Sarita, “Apa kau sadar apa yang kaulakukan!? Ayahmu terbaring sakit dan kau mempermalukan nama keluarga Riddick. Apa kau pikir Norbert akan senang mendengarnya!? Kau akan membuatnya mati saat ini juga!”

“Biar saja ia mati,” balas Chris, “Ia tidak mencintaiku! Ia hanya mencintaimu!”

Tangan Sarita melayang dengan cepat ke wajah Chris.

“Hei!” protes Chris marah.

“Katakan itu lagi,” ancam Sarita, “Dan kali ini aku akan memastikan namamu tercoret dari daftar ahli waris Norbert.”

“Kau tidak punya hak! Kau bukan kakakku!”

“Ya, aku bukan kakakmu,” balas Sarita dingin, “Tapi jangan lupa ayahmu lebih mempercayaiku daripada kalian. Satu saja kalimat keluar deriku, kau tidak akan pernah mewarisi gelar Norbert.”

Chris geram. Ia marah.

“Kau bisa menyingkirkanku saat ini juga,” Sarita mengemukakan pikiran Chris, “Kau bisa membunuhku. Aku tidak peduli. Tapi kau tahu bila aku tidak ada, kau tidak akan mewarisi gelar Duke of Cookelt sampai Duchess Belle meninggal atau…,” Sarita mengancam, “Mungkin tidak akan pernah mewarisinya seumur hidupmu.”

Chris semakin geram dibuatnya.

Chris boleh lebih tinggi darinya. Ia boleh lebih tegap dan besar dari ia yang hanya tiga tahun lebih tua. Sarita tidak takut. Sarita sadar Chris tidak dapat berbuat apa-apa padanya. Chris pun tahu hanya Sarita yang bisa membawanya ke gelar Duke of Cookelt.

Duchess of Cookelt yang gila harta dan kekuasaan tidak akan melepaskan begitu saja kuasanya atas harta keluarga Riddick setelah kematian Duke. Bahkan sudah terlihat tanda-tanda ia rela memberikan gelar itu pada pria lain yang tak bergelar dan jauh lebih kaya dari keluarga Riddick. Semenjak Duke of Cookelt jatuh sakit, Duchess Belle mulai mencari pria muda yang berambisi dan kaya raya.

Sarita memang bukan bagian dari keluarga Riddick tapi Duke mempercayainya sebagai tangan kanannya. Duke bahkan berniat menunjukkan Sarita sebagai wali Chris sampai putranya itu cukup usia dan matang.

“Mengapa kau tega mengatakan hal sekejam itu?” air mata Sarita jatuh, “Tidakkah kau sadari besarnya cinta Norbert padamu? Apa yang akan dikatakannya kalau ia tahu perbuatanmu? Tidakkah kau pernah berpikir hatinya akan hancur melihat apa yang telah kau perbuat?”

“Memangnya apa salahku?” Chris tidak terima, “Papa sendiri juga sudah mempermalukan namanya sendiri,” mata Chris mengejek Sarita.

“Harus berapa kalikah kukatakan padamu, aku bukan putri Norbert.”

“Mana buktinya” tantang Chris, “Aku juga bisa mengatakan aku bukan putra Duke of Cookelt, tapi mana buktinya!? Mama sendiri yang mengatakan kau adalah putri Papa dengan seorang pelacur. Apa salahnya aku pergi ke tempat itu?”

“Kau tahu apa yang dilakukan ayahmu itu tidak benar, lalu mengapa kau mengikutinya!?” suara Sarita meninggi dengan tidak sabar.

“Siapa yang mengatakannya!?” bantah Chris, “Itu umum. Owen berkata seorang pria akan terlihat lebih berwibawa dengan mempunyai banyak wanita di sisinya.”

Sarita putus asa. Kata-katanya sama sekali tidak berguna untuk Chris.

Ia datang ke rumah terkutuk itu dengan wajah tebal. Ia sama sekali tidak mempedulikan omongan orang lain. Ia bahkan tidak memikirkan nama baiknya sendiri. Dengan niat bulat, ia datang untuk membawa Chris pulang.

Sang pemilik menduga ia adalah seorang gadis muda yang hendak bergabung. Para tamu menduga ia adalah salah satu di antara wanita penghibur yang datang terlambat. Para wanita penghibur melihatnya dengan sorot mata tidak suka. Namun Sarita tidak peduli semua itu. Ia menahan rasa malu dan jijiknya. Dengan langkah-langkahnya yang tegas, Sarita mencari Chris di antara para pria jalang yang menggodanya.

Pemuda yang menjadi penyebab kesialannya ini duduk dengan suka cita di antara para wanita yang berpakaian tidak sopan.

Sarita harus menahan dirinya untuk tidak berteriak pada putra satu-satunya Duke of Cookelt itu. Ia tidak peduli kalau ia mempermalukan Chris. Sarita hanya tidak mau mempermalukan dirinya lebih dalam lagi.

Ia berdiri tegak di depan Chris. Matanya menatap tajam pemuda itu dan bibirnya mengatup rapat.

Untuk beberapa saat Chris tidak mempedulikan keberadaannnya. Ia terus menggoda wanita-wanita di sampingnya. Namun tatapan tajam Sarita membuat mereka tidak nyaman sehingga mereka pergi meninggalkan Chris berdua dengan Sarita.

“Apa maumu?” itulah kalimat pertama yang diucapkan Chris. Itupun diucapkannya dengan kasar.

“Pulang saat ini juga sebelum aku bertindak,” kata Sarita tegas dan dingin.

“Memangnya apa yang bisa kaulakukan?” tantang Chris.

“Jangan memaksaku, Chris,” Sarita memperingati dengan tajam.

“Kau kira aku takut padamu?” Chris menyilangkan tangan di dadanya dan menatap Sarita dengan angkuh.

“Baik,” Sarita berkata dingin, “Lakukan apa yang kausuka. Selamat tinggal.”

Tidak butuh satu menit untuk menyadarkan Chris apa yang bisa dilakukan Sarita. Sebelum Sarita mencapai pintu, ia telah mengikuti gadis itu dan tanpa membantah lagi pulang bersama Sarita.

Sarita tak habis pikir rusaknya keluarga Riddick. Di manakah letak kesalahan dalam keluarga ini sehingga tak satupun yang peduli pada Duke? Di mana salah salah pendidikan moral keluarga ini sehingga Chris yang masih empat belas tahun ini suka menghabiskan waktu bersama pelacur-pelacur hina itu.

Sarita frustasi. Tiba-tiba saja ia merasa masa depan keluarga Riddick dan Cookelt ada di pundaknya. Sarita berusaha melakukan yang terbaik demi Duke Norbert tapi semua itu tidak berguna. Satu-satunya hal yang membuat Chris segan padanya adalah posisinya di mata Duke Norbert.

Beberapa tahun terakhir ini ketika kesehatan Duke mulai berkurang, ia berusaha mengubah kepribadian Chris. Setelah Duke terbaring lemah di tempat tidur, ia berusaha mempersiapkan Chris menjadi penerus Duke Norbert. Tapi apakah yang bisa dilakukannya? Putra satu-satunya yang begitu dijaga Duke Norbert itu sama sekali tidak menghargai cinta ayahnya. Ia bahkan menginginkan kematian ayahnya secepat mungkin.

Duchess of Cookelt sudah tidak perlu dikatakan. Ia tidak mencintai Duke. Ia hanya mencintai harta dan kekuasaan keluarga Riddick ini. Ia bahkan tidak segan-segan merebut kuasa atas harta dan wilayah kekuasaan keluarga Riddick dari putranya.

Dorothy juga tidak perlu dibicarakan. Tahu ia tidak bisa turun dalam perebutan antara ibu dan adik setengah darahnya, ia memilih memanfaatkan kecantikannya untuk merebut hati pria kaya raya.

Entah apa jadinya keluarga ini setelah kepergian Duke.

Sarita putus asa. Ia tidak tahu bagaimana ia harus bertanggung jawab pada orang yang telah begitu berjasa padanya.

“Tuan Puteri, Anda baik-baik saja?”

Sarita terkejut. Melalui sela-sela air matanya, ia menatap pengacara kepercayaan Duke of Cookelt, Graham.

Pria tengah baya itu berlutut di depan Sarita. “Kuatkan diri Anda,” Sarita tersenyum, “Menjaga orang sakit memang tidak mudah. Belum lagi ditambah tingkah keluarga Riddick.” Graham meletakkan tangan di pundak Sarita dan berkata, “Saya selalu siap membantu Anda.”

“Oh, Graham,” ingin sekali Sarita mengeluarkan segala unek-uneknya, “Kau begitu manis,” Sarita tersenyum manis.

“Ini jauh lebih baik,” Graham menghapus air mata Sarita, “Jangan biarkan Duke melihat wajah sedih Anda.”

Graham membuat Sarita tersadar. “Apa yang membuatmu datang?” tanyanya ingin tahu.

Graham adalah seorang pria yang baik. Ia adalah satu-satunya pria yang benar-benar menghargainya. Hanya ia pula yang tidak terpengaruh Duchess Belle. Ia selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Duke. Namun beberapa hari belakangan ini ia sangat sibuk.

“Duke memanggil saya.”

Sarita terperanjat. Apakah ini artinya Duke Norbert tidak tidur seperti dugaannya? Apakah ini artinya Duke mendengar perdebatannya dengan Chris?

“Jangan khawatir, Tuan Puteri,” hibur Graham melihat wajah pucat Sarita, “Semua tidaklah seburuk pikiran Anda.”

Sarita mencoba tersenyum di atas kekhawatirannya.

“Haruskah kita menemui Duke sekarang?” Graham mengulurkan tangannya.

Sarita menerima uluran tangan itu dan membersihkan gaunnya serta menyeka sisa-sisa air matanya sebelum membuka pintu tempat ia bersandar dan menangis.

“Kaukah itu, Sarita?” sambut Duke.

“Ya, Norbert. Ini aku,” Sarita berdiri di ujung tempat tidur. Sarita tidak berani mendekat. Ia tidak mau Norbert melihat matanya yang masih memerah. “Dan Graham,” tambah Sarita.

“Mengapa kau menangis, Sarita?”

Sarita kaget.

“Katakan apakah Chris membuat ulah lagi? Aku mendengar teriakan kalian.”

Sarita semakin pucat pasi.

“Biasalah, Duke,” Graham tersenyum, “Chris masih anak-anak. Sudah biasa pemuda seusianya membuat tingkah.”

“Kuharap ia tidak melakukan sesuatu yang memalukan.”

Sekarang Sarita berharap ia langsung berdebat dengan Chris di tempat terkutuk itu.

“Jangan khawatir, Norbert,” Sarita segera menjawab, “Ia baik-baik saja. Kau bisa mempercayaiku.”

“Mendekatlah, Sarita.”

Sarita tidak berani mendekat tapi ia tidak bisa mengabaikan permintaan itu.

“Katakan padaku,” Norbert meraih tangan Sarita, “Apa yang membuatmu menangis?”

Sebelum Sarita menjawab, Norbert berkata,

“Aku bermimpi bertemu orang tuamu. Mereka menanyakan keadaanmu padaku dan aku berjanji pada mereka aku tidak aku meninggalkanmu seorang diri sebelum aku melihatmu pulang ke Helsnivia.”

Pecahlah lagi air mata Sarita. Sarita berlutut di sisi Norbert. “Kaulah, Norbert,” isaknya, “Kaulah yang membuatku menangis. Hentikan omong kosong ini. Jangan membuatku semakin bersedih.”

“Sarita, putri cilikku yang cantik,” Norbert membelai kepala Sarita dengan jari jemarinya yang bergetar, “Aku juga tidak ingin meninggalkanmu namun nyawaku ini bukanlah milikku. Tuhanlah yang memilikinya dan sekarang Ia memberitahu waktuku sudah tidak banyak.”

“Jangan mengatakan itu,” isak Sarita, “Jangan pernah mengatakan omong kosong ini selama kau masih di sini!”

Norbert tersenyum sedih.

“Tuan Puteri,” Graham meletakkan tangan di pundak Sarita. Hatinya ikut pedih melihat Sarita. “Kuatkan diri Anda.”

“Ah, Graham, rupanya kau sudah ada di sini,” kata Duke dengan suara lemahnya.

“Ya, Yang Mulia Duke,” Graham tersenyum.

“Apakah kau sudah siap membuat surat wasiatku?” tanyanya.

Sarita mencengkeram tangan Norbert. Matanya terbuka lebar.

“Kapanpun Anda menginginkannya, Yang Mulia,” jawab Graham.

“Hentikan omong kosong ini!” sergah Sarita, “Tidak ada surat wasiat! Norbert akan sehat kembali.”

“Sarita…,” ujar Duke sedih dan ia terbatuk-batuk – membuat Sarita panik.

Sarita menyeka darah yang keluar dari mulut yang bergetar itu dengan sabar.

Graham dibuat sedih oleh pemandangan itu.

Sarita melihat wajah tua yang pucat itu. Sekalipun ia menyangkalnya, Sarita tahu Norbert sudah tidak dapat ditolong lagi. Maka ia pun duduk lemas di lantai.

Norbert menggenggam tangan gadis itu seolah-olah ingin memberinya kekuatan.

Graham menarik kursi terdekat, duduk dan mengeluarkan secarik kertas dan pena – mempersiapkan diri mencatat segala yang dicuapkan Duke.

Sarita tidak mau mengetahui isi surat wasiat Duke. Ia pun beranjak bangkit.

“Sarita,” tangan Duke menarik tangan Sarita dan ia kembali terbatuk-batuk, “Aku ingin kau ada di sini,” pintanya.

Satu-satunya hal yang paling tidak diinginkan Sarita adalah mengabaikan permintaan orang yang begitu berjasa padanya. Maka, ia pun kembali duduk di lantai di sisi Duke – menggenggam tangannya.

“Tulislah, Graham,” kata Duke dengan suara lemahnya, “Aku, Norbert Riddick, Duke of Cookelt ke 27, pada hari ini mewariskan seluruh harta keluarga Riddick beserta wilayah kekuasaannya pada Chris Riddick, satu-satunya penerusku. Hingga Chris mencapai usia dua puluh satu tahun, Sarita Yvonne Lloyd akan menjadi walinya.”

Jari-jemari Graham terhenti.

Sarita membelalak kaget.

“Itu tidak mungkin, aku masih belum…”

“Aku sudah memutuskannya,” Duke of Cookelt berkata tegas seperti saat ia masih sehat.

“Itu tidak mungkin, bukankah begitu Graham?” Sarita berpaling pada pertolongan yang lain.

“Bila M’lord sendiri yang menunjuk,” kata Graham, “Maka tak seorangpun bisa berbuat apa-apa.”

Sarita terdiam. Ia sudah berkata pada dirinya sendiri. Begitu Norbert meninggal dunia, ia akan memutuskan segala hubungan dengan keluarga ini. Sarita bahkan berancang-ancang untuk memulai petualangannya sendiri. Tapi… nampaknya hal itu tidak mungkin lagi.

“Tidak ada satu keputusan Chris pun yang dibuat tanpa persetujuan Sarita,” Duke meneruskan.

Sarita merapatkan bibirnya rapat-rapat. Ia tahu ia tidak punya suara. Maka ia pun membiarkan Graham menulis segala yang dikatakan Duke dan mengantar Graham ke pintu setelah Duke selesai.

Sarita tidak mau membahas surat wasiat itu. Ia memilih untuk bersikap tidak tahu apa-apa ketika Duchess bertanya padanya apa keperluan Duke memanggil Graham pada saat mereka berkumpul di Ruang Makan malam itu.

“Omong kosong!” seru Duchess Belle, “Kau bersama tua bangka itu sepanjang hari. Tak mungkin kau tidak tahu apa tujuan tua bangka itu memanggil Graham.”

Sarita benar-benar tidak mengerti keluarga ini. Selamanya ia tidak akan dapat memahami kesirikan, curiga serta persaingan dalam keluarga ini.

“Bagaimana mungkin ia tahu, Mama,” Dorothy ikut turun suara, “Kalau sepanjang hari ia menghabiskan waktu di rumah pelacuran.”

Mata Duchess Belle langsung membelalak lebar. Mulutnya menganga.

“Dasar tidak tahu malu!” pekik Duchess setelah ia mencerna kemarahannya. “Apa kau ingin mempermalukan nama keluarga ini, makhluk haram!?”

Sarita tidak mau berpendapat.

“Katakan apa tujuanmu melacur!?” gunung kemarahan Duchess meletus, “Apa kau kurang puas dengan Earl of Mongar!? Apalagi yang kaucari!? Kaukira ada pria yang mau wanita terhina seperti kau!?”

Sarita sama sekali tidak ingin memberi tangggapan. Telinganya sudah kebal oleh caci maki Duchess.

Duke terbaring tak berdaya di kamarnya. Namun sang Duchess lebih tertarik mengetahui kepada siapa kuasa atas harta keluarga Riddick diwariskan. Dorothy lebih tertarik menyudutkan dirinya dan Chris, sang pewaris Duke of Cookelt, berpura-pura menjadi anak baik.

Tingkah keluarga ini membuat perut Sarita mual. Kondisi Duke sudah menghilangkan selera makannya belum lagi ditambah ulah tiga orang ini.

Tanpa memberi tanggapan apapun, Sarita berdiri.

“Mau ke mana kau!?” bentak Duchess of Cookelt, “Aku belum selesai denganmu!”

“Yang Mulia Duchess of Cookelt,” akhirnya Sarita membuka mulut, “Bila Anda memang ingin tahu, mengapa Anda tidak langsung bertanya pada Graham?” dengan tenangnya Sarita melanjutkan, “Di antara kita tidak ada hubungan darah. Saya tidak akan mencampuri urusan Anda. Saya pun berharap Anda menghormati saya.” Kemudian Sarita tersenyum manis, “Selamat malam,” dan ia membalik badannya menuju pintu.

“Dasar makhluk hina tidak tahu diri!” seru Duchess.

“Pelacur hina!” timpal Dorothy.

Sarita menutup pintu dengan perlahan – menghentikan laju makian kedua wanita itu ke dalam telinganya.

Sarita bersandar di pintu. Air matanya menetes lagi untuk Duke. Ia merasa begitu kasihan pada Duke. Keluarganya lebih mencintai hartanya daripada dirinya sendiri.

Sarita segera menghapus air matanya. Ia tidak mau terlalu berlarut dalam kesedihan. Ia lebih tidak mau seorang dari tiga orang itu melihatnya menangis. Sarita tidak suka membiarkan mereka berpikir ia menangis oleh caci muka mereka. Pikiran itu hanya akan membuat mereka semakin berkuasa atasnya. Sesungguhnya Sarita tidak peduli pada caci maki mereka terutama Duchess dan putrinya.

Sarita menuju kamar Duke.

Duke sudah tidur pulas. Ia tampak begitu tenang. Seulas senyum menghiasi wajah tuanya.

“Selamat malam, Norbert,” bisik Sarita, “Bermimpilah yang indah dan segeralah sembuh.” Hati Sarita pedih memikirkan Duke akan meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Sarita merapikan selimut Duke, mencium kedua pipinya, memastikan jendela kamar Duke tertutup rapat kemudian kembali kekamarnya.

Baru beberapa langkah Sarita meninggalkan kamar Duke ketika Chris mencegatnya.

“Jadi,” Chris berkata dengan nada mengejeknya, “Sepanjang hari ini kau melacurkan dirimu.”

Sarita tidak menanggapi. Ia terus berjalan menuju kamarnya.

“Kalau kau begitu ingin menemukan pria kaya untuk menunjang kehidupanmu setelah Papa meninggal, mengapa kau tidak tinggal saja di sini? Kau bisa menjadi gundikku.”

Sarita terperanjat. Chris pikir karena siapakah ia pergi ke tempat terkutuk itu? Beraninya ia berkata seperti itu padanya!?

“Atau mungkin kau lebih tertarik pada tawaran Owen?”

Sarita langsung membalikkan badan. Matanya menatap tajam pemuda itu.

“Jangan berpura-pura suci, Sarita,” ejek Chris, “Aku mengerti kalau kau sudah lelah menjaga tua bangka itu. Kau tidak perlu berpura-pura menjadi anak berbakti. Kau pun mengharapkan kematian tua bangka itu bukan?”

“Beraninya kau!” tangan Sarita melayang.

Chris menangkap tangan Sarita. “Aku tidak akan membiarkanmu menamparku dua kali dalam sehari.”

“Kau anak yang tidak berguna!” maki Sarita, “Bisa-bisanya kau mengharapkan kematian ayahmu sendiri!” Air mata Sarita jatuh lagi.

“Lihatlah dirimu,” Chris tersenyum mengejek, “Walau kau marah, kau masih tetap cantik,” Chris menarik Sarita ke dalam pelukannya, “Aku tidak percaya tidak seorang pria pun yang lolos dari kecantikanmu.”

“Lepaskan aku!” Sarita memberontak.

Chris tertawa geli.

“Apa yang kaulakukan!” Sarita mendorong Chris kuat-kuat. “Lepaskan aku!”

“Jangan berpura-pura lagi, Sarita,” Chris mengejek Sarita. Matanya menatap Sarita penuh nafsu – membuat Sarita bergidik.

“Kau tertarik pada ide tidur bersamaku, bukan?”

Jantung Sarita melompat kaget. “Kau sudah gila!” makinya.

Chris tertawa dengan suara tawa yang membuat Sarita jijik. “Ya, aku sudah gila. Aku tertarik pada kakak setengah darahku.”

“Aku bukan kakakmu!”

“Ya, kau bukan kakakku.”

Sarita tidak menyukai nada pemuda ini.

“Kau memang bukan kakakku. Kita hanya saudara seayah beda ibu. Tidak akan ada yang memprotes kalau kau tinggal bersamaku. Semua pria juga mempunyai simpanan.”

“Mati pun aku tidak sudi!”

“Sarita… Sarita…,” gumam Chris, “Kata-katamu dengan keinginanmu berbeda jauh.”

“Apa maksudmu!?” Sarita dibuat tidak nyaman olehnya.

“Kau memang pandai berpura-pura,” Chris membelai wajah Sarita. Sepasang mata hijaunya menatap lekat-lekat wajah Sarita dengan penuh nafsu.

Cara Chris membelainya, cara Chris menatapnya, membuat Sarita bergidik. Mau tidak mau Sarita teringat pada mata jalang pria-pria di rumah pelacuran. Sarita sadar ia harus segera melepaskan diri dari bahaya yang ditebarkan Chris.

Sarita menginjak kaki Chris dengan tumit sepatunya.

Chris merintih kesakitan.

Sarita memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur.

“Mau ke mana kau!?” Chris menarik tangan Sarita dan mengurungnya di dinding. “Kau tidak akan ke mana-mana!”

“Lepaskan aku!” Sarita mendorong Chris.

“Kau benar-benar membuatku bergairah,” tangan Chris menuju dada Sarita.

Sarita panik. Tangannya melayang menampar wajah Chris.

Chris menangkap tangan Sarita. “Sudah kukatakan aku tidak akan membiarkanmu menamparku dua kali dalam sehari,” Chris menahan kedua tangan Sarita di tembok dan ia menunduk untuk mencium Sarita.

Otak Sarita berputar cepat. Sebelum ia sendiri menyadarinya, kakinya telah melayang ke daerah di antara kedua paha Chris.

Chris menjerit kesakitan.

Sarita tidak membuang waktu untuk kabur. Ia berlari secepat mungkin ke dalam kamar Duke.

Begitu ia menutup pintu kamar, Sarita bersandar di pintu dengan lega. Hanya tempat inilah yang bisa melindunginya dari nafsu Chris. Hanya keberadaan Duke Norbertlah yang bisa menghentikan kegilaan Chris.

Sarita tidak tahu dari mana Chris belajar menjadi pria jalang. Siapa yang mengisi otak pemuda itu dengan nafsu gilanya? Sarita tidak tahu lagi apa yang harus dilakukannya dengan pemuda ini.

Semua pria sama saja. Mereka begitu bangga bila mereka mempunyai banyak wanita simpanan. Tak seorang pun merasa hal itu salah dan mereka telah meracuni pikiran para pemuda. Karena itulah Sarita yakin ia tidak akan pernah menikah.

Namun Chris bukan hanya diracuni pria-pria itu. ia juga telah diracuni oleh ibu dan kakaknya. Mereka telah merusak pemuda yang akan menjadi pemimpin keluarga Riddick! Bahkan ketiganya mendoakan kematian Duke!

“Teganya…,” gumam Sarita, “Teganya mereka…”

“Sarita, kaukah itu?” sebuah suara lirih mengalun dari tempat tidur.

Sarita terperanjat. Ia segera menghapus air matanya. “Ya, Norbert, ini aku,” Sarita mendekat.

“Apa yang mereka lakukan padamu?”

“Tidak ada,” jawab Sarita, “Mereka tidak melakukan apa pun padaku.”

“Mengapa kau menangis?”

Sarita tidak dapat menjawab.

“Aku bermimpi bertemu orang tuamu,” Duke berkata, “Mereka mengajakku pergi berlayar namun sebelum aku menjawab, kau yang masih gadis kecil berlari ke arahku sambil menangis.”

Pecahlah sudah air mata Sarita. Sarita berlutut di sisi Duke dan menangis tersedu-sedu. Ia tidak perlu diterangkan apa arti mimpi itu.

“Sarita, putriku,” Duke Norbert meletakkan tangan keriputnya di kepala Sarita, “Aku telah berjanji pada orang tuamu untuk membuatmu selalu tersenyum. Jangan menangis. Aku tidak ingin melihatmu menangis.”

“Baik, Norbert,” Sarita menghapus air matanya, “Aku tidak akan menangis lagi.”

“Kau jauh lebih cantik kalau tersenyum.”

Melalui sinar rembulan yang menyelinap melalui jendela, Sarita melihat seulas senyum di wajah Duke. Sarita pun mencoba tersenyum walau hanya seulas senyum sedih.

“Aku bahagia. Aku bisa berkata pada Ithnan, aku telah membesarkan putri tercintanya dengan penuh cinta. Gadis kebanggaannya telah menjadi seorang wanita cantik. Ithnan akan sangat bangga melihatmu.”

Duke tersenyum bahagia – membuat Sarita pilu.

“Kau begitu mirip ibumu,” kata Duke, “Melihatmu, rasanya seperti melihatnya lagi. Ibumu adalah seorang gadis cantik yang periang. Ia tidak pernah menangis. Ia tidak pernah mengeluh bahkan dalam keadaan yang paling sulit.”

Duke terbatuk-batuk.

Sarita segera membasahi kain dengan air di dalam baskom yang selalu tersedia di sisi pembaringan. Dengan telaten, ia membersihkan wajah Duke Norbert. Hatinya hancur melihat darah itu.

Duke tersenyum sedih. “Kau mewarisi ketelatenan ibumu dan ketegaran ayahmu. Kau adalah pusaka mereka. Aku akan begitu sedih meninggalkanmu seorang diri.” Duke kembali terbatuk-batuk.

“Oh, Norbert,” pinta Sarita, “Jangan berbicara lagi.”

“Satu-satunya penyesalanku,” batuk kembali menghentikan Duke melanjutkan kalimatnya.

Sarita harus menahan kuat-kuat air mata di pelupuk matanya. “Norbert,” katanya menahan isak tangis, “Kumohon, beristirahatlah.”

“Ithnan begitu ingin memulangkanmu ke Helsnivia,” Duke Norbert mengabaikan permintaan Sarita.

Sarita tidak dapat menahan air matanya lagi. Ia menggigit bibirnya rapat-rapat untuk mencegah isak tangisnya terdengar oleh Duke. Dengan mulut tertutup rapat, ia mendengarkan Duke sambil menyeka bibir Duke ketika ia kembali batuk.

Malam ini akan menjadi malam yang melelahkan tapi Sarita tidak akan mengeluh. Saat ini ia hanya ingin melewatkan setiap detik yang berharga ini dengan ayah angkat tercintanya.

1 comment: