Saturday, November 1, 2008

Kisah Cinta-Chapter 2

Halbert menatap bayangan dirinya di cermin untuk terakhir kalinya. Setelah yakin penampilannya rapi dan meyakinkan, ia berangkat.

Seperti yang telah direncanakannya untuk liburan ini, hari-harinya dipenuhi oleh petualangan-petualangan alanya dan satu-satunya petualangan yang hanya dapat dimengerti olehnya. Ini adalah perjuangan yang panjang untuk mendapatkan ijin libur panjang dari orang tuanya, dan ia tidak ingin mensia-siakannya. Sepanjang hari ia mempunyai janji dengan paling sedikit tujuh wanita cantik. Jika ada yang bertanya padanya mengapa ia menikmatinya? Jawabannya adalah ini adalah hobinya. Apa ia tidak pernah bosan? Ini adalah petualangan. Kapan ia akan berhenti? Seorang petualang tidak pernah terpuaskan.

Ya, ini adalah petualangan modelnya. Ia tidak butuh orang lain mengerti tentangnya. Ia tidak butuh orang lain memahaminya. Seorang petualang tidak membutuhkan semua itu.

Sayangnya, ia adalah seorang Putra Mahkota. Sebagai satu-satunya penerus tahta Kerajaan Helsnivia, ia punya kewajiban meneruskan tahta. Hanya inilah satu-satunya hal yang membuatnya terikat, tapi tidak menghentikan jiwa petualangnya.

Saat ini ia masih dua puluh tiga tahun. Ia masih mempunyai beberapa tahun sebelum orang tuanya mulai mengusiknya dengan urusan pernikahan. Ketika saat itu tiba, Halbert telah memutuskan, ia akan memilih wanita terbaik yang pernah ia kencani.

Hingga saat ini ia belum menemukan wanita itu dan ia tidak terlalu pusing untuk menemukannya. Ia masih mempunyai banyak waktu. Kalau pada saatnya ia masih belum dapat menemukannya, ia hanya perlu memilih wanita yang dirasakan pengalamannya akan menjadi Ratu dan ibu yang baik.

Semua orang tahu tentang jiwa petualangannya. Namun tetap saja ada orang tua yang berusaha menjodohkan putri mereka dengannya.

Halbert pun sudah tahu hal yang semua akan terjadi pada liburannya ke Trottanilla ini. Namun, siapa peduli? Hal itu justru memperkaya petualangannya.

Tiada hari yang lebih menyenangkan dari berada di sini. Ini adalah surganya!

Andaikan bisa, Halbert ingin memperpanjang liburannya di sini. Namun sayangnya, orang tuanya telah mengirim utusan mengingatkan hari Minggu mendatang ia harus pulang. Ini berarti liburannya hanya tinggal tiga hari! Dan sebagai seorang Pangeran yang bertanggung jawab, Halbert tidak bisa mengabaikan perintah itu, bukan?

“Biarlah hari itu tiba,” gumam Halbert melangkah pergi, “Sampai hari itu tiba, aku tidak akan mensia-siakan waktuku.”

Hari ini Halbert mempunyai banyak janji dan salah satunya adalah putri Duke of Cookelt. Tentu saja dengan putri sah sang Duke.

Sejujurnya Sarita, sang putri haram Duke jauh lebih cantik dari Dorothy, sang putri sah Duke. Sayangnya, ia adalah putri yang dilahirkan di luar pernikahan sah. Dan sebagai seorang Pangeran, Halbert tidak mau mempertaruhkan reputasinya dengan berhubungan seorang putri haram.

Ia memang pernah menjalin hubungan dengan Sarita tetapi itu demi menghormati Duke Norbert.

Halbert sempat mengira Sarita adalah putri sah Duke ketika melihat Duke menggandengnya ke arahnya dalam sebuah pesta dansa yang diselenggarakan oleh Earl of Striktar. Ia baru tahu gadis itu adalah putri haram Duke of Cookelt setelah Duchess Belle memberitahunya. Kemudian Halbert membuktikan sendiri cinta Duke yang lebih besar pada putri haramnya dibanding putri sahnya. Duke selalu mengajukan putri haramnya itu dibanding putri sahnya. Duke juga selalu mendesaknya mengajak pergi Sarita dan pada akhirnya melamarnya untuk putri haramnya itu.

Duke adalah seorang pria yang tampan dan gagah ketika ia masih muda. Ia terkenal dengan reputasinya sebagai penakluk wanita sebelum ia menikah dan setelah menikah ia tidak memutuskan hubungannya dengan kekasih-kekasihnya itu. Bertahun-tahun setelah pernikahannya, Duke tiba-tiba menghentikan kebiasaannya dan sepuluh tahun setelahnya, ia membawa pulang Sarita.

Halbert menduga di saat Duke bertemu ibu Sarita itulah, petualangannya berhenti.

Jika Sarita tidak mewarisi kecantikan ibunya, maka tentunya ia masih membawa warisan kecantikan ibunya. Melihat paras cantik Sarita, Halbert percaya ibu Sarita adalah wanita yang jelita hingga Duke Norbert mencintainya dan keturunannya melebihi keluarga sahnya.

Halbert merasa Sarita jauh lebih jelita dari yang diingatnya ketika melihat gadis itu menuruni tangga ke arahnya sebagai jawaban pelayan yang mengabarkan kedatangannya. Rambut panjangnya yang kuning pucat melambai lembut seiring langkah-langkah ringannya yang membuatnya tampak seperti melayang. Tubuhnya yang kecil ditambah sepasang mata biru mudanya yang sayu, membuat setiap orang ingin melindunginya. Wajahnya yang kecil tampak begitu serasi dengan tubuh moleknya yang ramping.

“Dorothy sedang bersiap diri, Yang Mulia,” nada lembut mengalun dari bibirnya yang menggoda. “Bila Anda berkenan, silakan menanti di Ruang Tamu. Saya akan meminta pelayan mengantar Anda.”

Bila Sarita berpikir sikap dinginnya akan menarik perhatiannya, ia salah. Halbert sudah banyak melihat wanita yang tiba-tiba bersikap dingin padanya setelah hubungan mesra mereka. Namun sikap dingin itu langsung berubah setelah Halbert membalasnya dengan sikap dingin yang sama. Mungkin Sarita adalah salah satu di antara wanita yang membencinya setelah tahu hubungan mereka tidak akan berlanjut ke tingkat yang lebih jauh. Atau mungkin Sarita adalah salah satu di antara wanita-wanita licik yang tahu bagaimana menjerat pria. Sayangnya, Halbert bukanlah mangsa yang mudah. Biarlah orang memandang sebelah mata usianya yang masih muda. Halbert tahu ia sangat berpengalaman dengan wanita sejak pemuda seusianya masih bermain pedang-pedangan.

“Tidak perlu repot-repot, Lady Sarita,” jawab Halbert sama sopannya, “Saya akan menanti di sini.”

“Bila itu keinginan Anda, Yang Mulia, saya tidak akan memaksa,” kata Sarita, “Bila Anda mengijinkan, saya akan memastikan Dorothy segera muncul.”

“Silakan,” sambut Halbert.

Dalam hatinya, Halbert mencibir Sarita. Gadis itu pasti kecewa besar. Ia pikir Halbert akan mengikuti undangannya. Halbert dapat memastikan Sarita akan mengeluarkan segala daya tariknya untuk memikatnya jika ia mengikuti usul gadis itu ke Ruang Tamu.

Baru saja Sarita menginjakkan kaki di tangga teratas ketika seorang pria muncul dari dalam koridor di sisi kanan tangga.

“Di sini rupanya anda berada, M’lady,” Halbert mendengar pria itu berkata pada Sarita dan ia merasa aneh. Sejauh yang diketahuinya, setiap orang sebisa mungkin tidak menyebut gadis itu dengan gelar “Lady” apalagi memanggilnya. Tidak seorang pun suka akan gadis itu. Tidak seorang pun tertarik untuk membicarakannya.

“Ah, rupanya waktu telah berlalu,” gadis itu berkata ramah, “Maafkan saya, saya tidak dapat mengantar Anda.”

“M’lady,” Owen menangkap tangan Sarita, “Pikirkan baik-baik tawaran saya.”

“Tentu,” Sarita memberikan jawabannya sembari tersenyum manis dan di saat yang bersamaan menarik tangannya. “Terima kasih atas perhatian Anda. Sungguh menyesal saya tidak bisa mengantar Anda. Selamat siang.”

Tanpa menanti jawaban lawan bicaranya, Halbert melihat gadis itu melangkah pergi.

Dalam hatinya, Halbert memuji cara lembut gadis itu dalam mengusir lawan bicaranya. Namun pada saat yang bersamaan ia juga mencibir gadis itu akan kepura-puraannya. Apapun tawaran pria itu, Halbert percaya Sarita tertarik.

“Rupanya Anda di sini, Yang Mulia Pangeran Halbert,” akhirnya Owen menyadari keberadaan orang lain dan bergegas menuruni tangga, “Maafkan saya tidak menyapa Anda semestinya. Saya adalah guru privat Tuan Muda Chris. Anda bisa memanggil saya Owen,” ia mengulurkan tangan. “Sungguh suatu kehormatan dapat bertemu dengan Anda.”

Tepat seperti reaksi Sarita ketika mereka pertama kali bertemu! Hanya saja saat itu Sarita tampak seperti seorang peri cantik yang malu-malu menunjukkan pesonanya.

“Senang berkenalan dengan Anda,” kata Halbert pula.

“Apakah Anda datang untuk menjemput Lady Sarita?”

Apa yang membuat pria ini ia akan mempertaruhkan reputasinya hanya untuk seorang anak haram?

“Tidak. Saya datang untuk menjemput Lady Dorothy,” Halbert menjawab sopan.

“Oh,” Owen melihat kesalahannya, “Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Saya menduga Anda datang untuk Lady Sarita.”

“Tidak mengapa.”

“Seperti yang Anda lihat, Lady Sarita jauh lebih mempesona dari Lady Dorothy. Setiap pria di sekitar tempat ini ingin merebut hati Lady Sarita. Setiap pria ingin menawarkan segala yang terbaik untuk Lady Sarita terutama di saat-saat seperti ini.”

“Apakah yang Anda maksud kondisi Duke Norbert?”

“Tentu saja. Semua orang tahu Duchess Belle tidak akan membiarkan Lady Sarita tinggal di Sternberg bila sesuatu terjadi pada Duke. Saat itu Lady Sarita tidak mempunyai tempat berteduh. Setiap pria di tempat ini ingin memanfaatkan kesempatan itu.”

Halbert pernah mendengarnya sendiri dari mulut Dorothy tentang rencana Duchess Belle mengusir Sarita bila Duke Norbert wafat. Baginya, pria yang benar-benar ingin mendapatkan Sarita pasti hanya pria hidung belang yang tidak tahu malu. Tentu saja pria ini adalah salah satunya.

“Ingin sekali saya menemani Anda berbincang. Namun saya harus segera pulang sebelum istri saya curiga.”

Tepat sudah dugaannya.

“Silakan,” kata Halbert.

Halbert tahu masih ada waktu yang cukup panjang sebelum Lady Dorothy muncul. Walau ia sudah terbiasa olehnya, dalam hati ia tetap berharap Sarita akan mempercepat Dorothy. Halbert tidak mau waktunya terbuang percuma oleh penantian yang tidak berguna ini.

Lima belas menit sudah berlalu semenjak kepergian Owen ketika Chris muncul menyapanya.

“Selamat siang, Yang Mulia Pangeran.”

“Selamat siang, Chris.”

“Apakah Anda melihat Sarita?”

“Kurasa ia pergi memanggil kakakmu.”

Chris tersenyum lebar. “Tolong jangan katakan apapun pada Sarita tentang perjumpaan kita ini.”

“Baik,” Halbert juga melihat tidak ada gunanya ia memberitahu Sarita.

“Selamat bersenang-senang, Yang Mulia,” Chris melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Sternberg.

Dua puluh menit berlalu sudah sejak kepergian Chris namun Dorothy belum juga muncul. Sarita juga tidak menampakkan wajahnya. Halbert mulai dibuat lelah olehnya.

Apa yang dapat diharapkannya dari perkataan seorang wanita? Ia sudah sangat berpengalaman dalam hal ini. Ia tahu baik hal ini.

Halbert tidak sabar.

Lima menit berlalu ketika akhirnya Dorothy muncul.

“Selamat siang, Yang Mulia Pangeran Halbert,” kata Dorothy ketika ia muncul di tangga teratas.

Halbert melihat gadis cantik itu. Ia tampak bersinar di bawah sinar mentari. Permata berlian yang menghiasi gaunnya menambah kecermelangan rambut merahnya yang tertata rapi. Penampilannya yang mempesona, membuat Halbert merasa penantiannya tidak sia-sia. Ia segera menyambut gadis itu.

“Apakah Anda sudah siap, Tuan Puteri?” Halbert mengulurkan tangannya.

Dorothy tersenyum tersipu-sipu. “Dengan segenap jiwa raga saya,” Dorothy menyambut uluran tangan itu.

Halbertpun tidak membuang waktu membawa Dorothy pergi ke tempat perjanjian mereka.

Halbert bukanlah seorang pria yang suka membanding-bandingkan. Namun perbedaan tingkah laku dua kakak adik seayah yang berbeda ini benar-benar tidak dapat menghentikan Halbert membandingkan mereka.

Tidak perlu menyebut beda lamanya waktu ia menanti dua gadis ini. Halbert tidak pernah dibuat Sarita menanti. Sebaliknya, Saritalah yang menantinya.

Tentu saja Sarita yang menantinya bersiap diri. Duke Norbert selalu mengantar Sarita ke villa tempat ia tinggal di Trottanilla. Beginilah cara Duke memaksanya menemani putri kesayangannya. Begitu Duke tahu ia punya waktu luang, ia pasti akan langsung mengusulkan ide. Dan seperti takut ia akan ingkar janji, Duke mengantar Sarita lima belas menit sebelum waktu perjanjian mereka.

Perbedaan yang mencolok di antara mereka adalah sikap diam Sarita dan sikap manja Dorothy. Perbedaan mencolok lainnya adalah Sarita tidak pernah menyebut apapun tentang keluarganya dan Dorothy selalu mengobral gosip keluarganya terutama tentang Sarita.

Sudah rahasia umum kalau Duke Norbert hanya mencintai Sarita dan Duchess Belle lebih mencintai Dorothy di antara dua anak kandungnya. Perbedaan dukungan di antara mereka mungkin membuat Dorothy terdesak sehingga ia selalu menjelek-jelekkan Sarita di depannya.

Halbert tidak peduli akan hal itu karena ia sendiri tahu ia tidak akan memilih seorang pun di antara mereka betapapun cantiknya mereka. Sekalipun mereka bisa mentolerir jiwa petualangannya, ia tidak akan mencintai mereka. Mereka berdua bukanlah wanita terbaik yang pernah dikencaninya. Dorothy terlalu suka menjelek-jelekkan orang lain dan Sarita, walau tidak diragukan lagi kecantikannya, adalah anak haram.

Halbert tidak pernah lagi berhubungan dengan Sarita semenjak Duke melamarnya untuk Sarita!

Sepanjang hidupnya, itulah lelucon terbesar yang pernah dialaminya. Memang banyak orang tua yang mengajukan putri mereka padanya, tapi tidak ada yang terang-terangan seperti yang dilakukan Duke of Cookelt.

Suatu sore ketika ia baru pulang dari kencannya, pelayan memberitahunya bahwa Duke of Cookelt tengah menantinya di Ruang Tamu.

Halbert pun bergegas menyambut tamunya. Di saat itu Halbert hanya berpikir Duke tengah mencari kesempatan untuk memaksanya pergi dengan Sarita lagi. Kala itu jadwal kencan Halbert mulai sibuk sehingga ia tidak punya waktu luang untuk Sarita. Halbert sama sekali tidak memikirkan maksud lain ketika melihat wajah gembira Duke Norbert melihat kemunculannya.

“Selamat sore, Duke,” sambut Halbert, “Apakah Anda telah lama menanti saya?”

“Selamat sore, Yang Mulia Pangeran,” jawab Duke, “Saya tidak menanti Anda untuk waktu yang lama.”

“Keperluan penting apakah yang membuat Anda datang?”

“Saya datang untuk putri saya, Sarita.”

Halbert pun telah menduganya.

“Saya datang untuk mengajukan Sarita sebagai calon mempelai Anda.”

Halbert membelalak. Dari sekian ratus orang tua yang mengajukan putrinya padanya, tidak seorang pun mengajukan putrinya secara terang-terangan seperti ini.

“Saya percaya Anda tertarik pada Sarita. Ia adalah gadis tercantik di Trottanilla dan ia adalah seorang gadis yang berhati lembut. Saya dapat mengatakan Sarita adalah gadis impian setiap pria di dunia. Anda pasti menyesal kalau Anda tidak segera menikahinya.” Lalu Duke menambahkan, “Saya yakin Sarita akan menjadi pasangan yang cocok untuk Anda. Ia akan menjadi seorang ibu yang lemah lembut dan ratu yang bijaksana.”

Kekagetan Halbert membekukan lidahnya.

“Saya akan memikirkannya,” Halbert akhirnya mendapatkan kembali suaranya.

“Anda tidak akan menemukan gadis lain sesempurna Sarita di dunia ini,” Duke mendesak Halbert.

Ingin sekali Halbert berseru pada Duke namun tata krama membuatnya berkata tenang,

“Tentu, Duke Norbert. Putri Anda adalah gadis yang sempurna namun saya tidak bisa membuat keputusan sepenting ini secara mendadak. Saya akan memikirkannya baik-baik.”

“Sarita adalah pilihan terbaik yang Anda buat.”

Halbert benar-benar harus menahan emosinya.

“Saa sangat menghargai kepedulian Anda,” Halbert berusaha berkata sesopan mungkin, “Bagaimanapun juga ini bukan hanya menyangkut saya tapi juga seluruh rakyat Helsnivia. Berilah saya waktu untuk memikirkannya. Saya yakin tidak seorangpun yang akan meragukan pilihan saya sebelum saya memberi jawaban.”

Duke of Cookelt termenung. “Anda benar. Saya tidak bisa memaksa Anda memberi keputusan secara mendadak.”

Halbert lega. Bila Duke terus mendesaknya, dapat dipastikan ia akan kehilangan kontrol dirinya. Ia paling tidak suka didesak menikah. Ia lebih membenci orang lain memaksanya menikahi seseorang. Sekalipun itu adalah orang tuanya, Halbert tidak akan membiarkan mereka memaksakan calon pengantin mereka padanya.

“Pastikan Anda memikirkannya baik-baik,” kata Duke dengan penuh harapan. Kalimat itu terus diucapkannya berulang kali hingga kereta keluarga Riddick membawanya pergi.

Bagaimana jawaban Halbert?

Tidak perlu diragukan lagi. Jawabannya adalah TIDAK!! Seumur hidup Halbert tidak akan pernah berpikir untuk menjalin affair dengan anak haram itu apalagi menikahinya.

Beberapa hari setelah mengajukan lamarannya, Duke Norbert jatuh sakit dan dari hari ke hari sakitnya kian parah. Dengan terbaringnya Duke di atas tempat tidur, Halbert tidak pernah lagi bertemu Sarita. Ia juga tidak bertemu gadis itu ketika ia mengunjungi Duke.

Sarita melesat dengan cepat melewati tempat mereka berdiri.

Halbert merasa ia sudah gila. Baru saja ia memikirkan gadis itu dan sekarang ia melihat bayangan gadis itu.

“Dasar anak pelacur!” hujat Dorothy.

Halbert bingung.

“Lihatlah itu, Pangeran,” Dorothy menunjuk rumah bordil di ujung jalan.

Halbert melihat Sarita memasuki tempat haram itu dengan tergesa-gesa.

“Anak haram itu memang tidak tahu malu. Papa terbaring sakit dan ia pergi mencari pria jalang.”

Halbert tidak terlalu memikirkan di mana Sarita berada ketika ayah yang sangat mencintainya terbaring sakit. Ia juga tidak peduli tapi apa yang dilihatnya benar-benar membuatnya tidak habis pikir. Sarita memang benar-benar putri seorang pelacur!

“Mama sudah berbaik hati mencarikan suami yang pantas untuknya tapi anak haram itu tidak tahu terima kasih. Ia lebih suka mencari pria jalang daripada pria terhormat. Benar-benar anak pelacur!”

Mulai sudahlah Dorothy membuka affair-affair keluarganya. Halbert tidak ingin mendengarnya. Urusan keluarga mereka bukanlah urusannya. Ia berhubungan dengan Dorothy hanya untuk bersenang-senang bukan untuk menjadi bagian keluarga itu.

“Papa lebih parah lagi! Earl of Mongar bersedia menjadi suami Sarita sudah baik tetapi ia menolak. Ia terlalu memanjakan Sarita. Ia memberikan segala yang terbaik untuk Sarita tapi ia lupa siapa Sarita itu. Putri haram seperti dia tidak akan pernah diterima di kalangan terhormat seperti kita.”

Halbert tidak tertarik. Biarlah Sarita menikah dengan Earl of Mongar atau pria jalang atau siapa pun juga. Itu bukan urusannya dan ia tidak ingin tahu!

“Tapi begitu Papa meninggal, Sarita tidak akan bisa menghindar lagi. Mama sudah menyiapkan segalanya untuk pernikahannya. Sarita pasti berterima kasih seorang Earl mau menikahinya.”

Kepala Halbert berputar cepat untuk menutup mulut Dorothy.

“Lady Dorothy, bukankah Anda ingin melihat opera?” Halbert bertanya, “Di rumah opera manakah pertunjukan yang menarik Anda itu?”

Dorothy langsung mencari-cari rumah opera yang menjadi alasannya meminta Pangeran Halbert menemaninya. Ketika ia menemukannya, ia melingkarkan tangan di siku Halbert dan dengan bangga berjalan di sisinya.

Sesaat sebelum mereka memasuki gedung itu, Halbert melihat kuda Sarita masih ada di depan rumah border.

Itu bukan urusannya, Halbert mengingatkan dirinya. Halbert tidak mau tahu tapi sepanjang hari itu ia tidak dapat menghentikan dirinya sendiri berpikir bagaimana mungkin seorang anak meninggalkan ayah yang sangat mencintainya terbaring sakit di tempat tidur dan bersenang-senang dengan pria jalang di rumah bordir. Inikah yang dinamakan anak durhaka? Halbert tidak dapat mengerti dan ia tidak habis pikir dibuatnya.

Memang seseorang tidak bisa menilai orang lain hanya dari penampilannya.

Halbert ingat Sarita begitu memukai di saat mereka bertemu. Rambut pirang pucatnya yang hampir putih, tertata rapi dan berhiaskan pernak-pernik batu mulia. Gaun biru mudanya senada dengan sepasang mata biru mudanya yang dalam. Bulu matanya yang lentik memahkotai sepasang matanya yang malu-malu. Bibirnya yang memerah tersenyum manis – memberi nuansa menyegarkan pada wajahnya yang manis. Gerakannya yang lemah gemulai begitu memukau. Suaranya yang lembut menenangkan pikiran. Tutur katanya lembut dan di atas semua itu, ia pendiam dan tidak banyak menuntut!

Halbert sempat memberinya nilai wanita terbaik yang pernah ditemuinya. Ia mungkin memantapkan diri untuk memilih Sarita kalau saja ia tidak tahu latar belakang Sarita. Sekarang setelah melihat sendiri Sarita mengabaikan orang tuanya yang sakit parah untuk tindakan yang terhina, Halbert bersyukur atas mulut penggosip Dorothy.

Di luar sana masih banyak wanita terhormat yang lebih pantas untuk mendampinginya. Halbert tidak terburu-buru untuk menemukannya, ia masih punya banyak waktu.

1 comment:

  1. Masih ingin tau seluk beluk sarita ini. Lanjut baca.

    ReplyDelete