Friday, October 31, 2008

Kisah Cinta-Chapter 1

“Ya, Norbert, aku mengerti.”

Sarita meremas lembut tangan keriput Duke tua yang berbaring lemah itu. Matanya menatap sendu Duke yang mulai uzur oleh usia sementara itu otaknya terus berputar dengan sedih. Sarita tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada Duke of Cookelt. Ia tidak ingin menyakitinya.

Semua ini berawal dari kejadian beberapa minggu lalu sebelum Duke jatuh sakit. Tepatnya ketika sang Putra Mahkota Kerjaan Helsnivia berlibur ke Trottanilla.

Helsnivia memang hanya sebuah kerajaan kecil yang dikelilingi pegunungan dan diapit Negara-negara besar seperti Perancis dan Jerman. Namun kekayaan alam kerajaan itu serta kedudukan sang Putra Mahkota yang menjanjikan, lebih dari cukup untuk membuat para bangsawan berebut menjodohkan putri mereka dengan sang Putra Mahkota yang tampan dan gagah perkasa itu, termasuk keluarga Riddick.

Jauh sebelum sang Putra mahkota tiba, para ibu sibuk mendandani putri mereka dan para ayah mulai mengatur pertemuan dengan sang putra tunggal keluarga Severinghaus itu.

Duke Cookelt pun tidak ketinggalan.

Sejak mendengar rencana berlibur Pangeran Halbert, tiada hari dilalui Duke tanpa memikirkan cara untuk menjodohkan Sarita dengan Pangeran Halbert serta mencegah istrinya menjodohkan putri kandung mereka dengan sang Pangeran.

Ya, ia bukan anak kandung keluarga Riddick. Ia tidak sedarah dengan mereka. Ia hanyalah anak angkat keluarga ini. Namun Duke mencintainya jauh melebihi cintanya pada putra putrinya sendiri. Sikapnya inilah yang membuat Duchess of Cookelt beserta putra-putrinya tidak menyukai Sarita.

Mungkin ini adalah salahnya dan Duke pula. Duchess Belle membuat semua orang percaya ia adalah anak haram Duke. Dan Duke serta Sarita tidak pernah mempedulikannya. Mereka bahkan tidak pernah berusaha membantah tuduhan itu.

Bagi Sarita sendiri, sikap Duke bisa dimengerti. Ia juga dapat memahami kebencian keluarga Riddick padanya. Ayahnya adalah sahabat dekat Duke. Keduanya berasal dari derajat yang berbeda. Namun persahabatan mereka melampaui jurang di antara mereka.

Duke terus menyalahkan dirinya ketika ia terlambat menyelamatkan sahabat sehidup sematinya itu. Untuk menebusnya, ia mengambil anak putri tunggal sahabatnya dan mencurahkan semua cintanya padanya. Ia memberi segala yang terbaru untuknya, memanjakannya, mengagungkannya. Walau demikian, Sarita tetap tidak mengerti mengapa Duke bersikeras menjodohkannya dengan sang Pangeran yang tidak dikenal apalagi dicintainya itu.

“Hanya ini satu-satunya jalan bagimu untuk memasuki Helsnivia,” jelas Duke waktu itu.

Lalu mengapa? Mengapa harus dia? Mengapa harus Helsnivia?

Sarita tahu ibu yang tidak pernah dilihatnya berasal dari Helsnivia. Namun ia tidak pernah merasa ia berasal dari sana. Semenjak kematian ibunya saat melahirkannya, Sarita ikut ayahnya berpetualangan dari satu tempat ke tempat lain. Ayahnya yang seorang petualang itu tidak pernah menetap di satu tempat daalam waktu lama. Sarita pun merasa ia adalah seorang petualang yang tidak bertempat tinggal.

Itu adalah dulu. Semenjak Duke mengambilnya sebagai anak angkat, Sarita perlahan-lahan terbiasa unuk menetap. Enam tahun sudah ia tinggal di Trottanilla. Ia pun sudah merasa ia adalah bagian dari tempat ini.

Mengapa sekarang Duke bersikeras menyuruhnya pergi ke Helsnivia? Sarita tidak pernah merasa Helsnivia adalah tanah airnya. Mengapa pula ia hanya bisa memasuki Helsnivia melalui pernikahan dengan sang Putra Mahkota kerajaan itu?

Karena Helsnivia adlah satu-satunya negara di daratan ini yang belum pernah dikunjunginya?

Itu mustahil. Di usia sebelas tahun, Sarita sudah mengunjungi hampir setiap negara di daratan ini. Ia juga tidak pernah berambisi mengunjungi setiap negara di dunia ini.

Karena Duke ingin memastikan ia mempunyai masa depan yang mantap? Kalau memang itu alasannya, mengapa harus sang Putra Mahkota? Ia tidak pantas untuknya. Ia juga tidak menginginkan seorang bangsawan. Ia sadar ia tidak memiliki setetes darah biru pun dalam tubuhnya. Namun karena Duke Norbert adalah orang yang berjasa besar padanya, ia harus menurutinya, bukan?

Atas dasar itulah ia menuruti keinginan Duke untuk diperkenalkan pada sang Putra Mahkota setelah antrian panjang dalam pesta yang diselenggarakan Earl of Striktar.

Pertemuan itu berlangsung lancar bahkan sang Pangeran sempat mengajaknya keluar dalam beberapa kesempatan. Ketika Duke of Cookelt melihatnya sebagai hal bagus, Sarita melihatnya sebagai hal biasa.

Pangeran Halbert adalah pemuda seperti itu, bukan? Tertarik pada satu wanita dan beberapa saat kemudian menghempaskannya untuk wanita yang lebih baik.

Sarita sudah banyak mendengar cerita senada. Di dunia ini hanya satu pria setia yang diketahui dan diakuinya yaitu ayahnya.

Sarita tahu ayahnya sangat mencintai ibunya. Karena cintanya yang besar itulah, ia selalu menangis tiap kali Sarita mengungkit tentang ibunya. Sarita sudah terbiasa dengan ketidaktahuannya akan ibu kandungnya, latar belakangnya, serta tanah air ibunya. Sejujurnya, Sarita tidak peduli akan hal itu. Ketika ayahnya masih hidup, Sarita merasa ayahnya lebih dari cukup. Ayahnya memberinya cinta dan kenangan yang tak terlupakan. Setelah ayahnya tiada pun Sarita tidak pernah merasa kesepuan. Duke Norbert telah memberinya cinta yang tidak akan pernah didapatkannya dari orang lain.

Sekarang ketika sang Duke terbaring sakit, ia ingin melakukan sesuatu untuk menyenangkannya. Sarita tahu ini mungkin permintaan terakhirnya karenanya ia ingin mengabulkannya. Sayangnya, ini tidaklah semudah ucapan.

Sang Putra Mahkota memang tertarik padanya tapi ia tidak akan pernah bersedia untuk menikah dengannya apalagi bertunangan.

Apakah yang harus dilakukan Sarita untuk menangkap hati sang Pangeran? Bagaimana ia harus mejelaskan hal ini pada Duke Norbert?

Sarita tidak tahu. Ia benar-benar pusing. Menyenangkan Duke adalah segala yang ia ingin lakukan saat ini. Dan menaklukan Halbert adalah hal yang paling tidak menarik perhatiannya.

“Aku telah berjanji pada Ithnan suatu hari nanti aku akan memulangkanmu ke Helsnivia.”

“Aku mengerti, Norbert,” Sarita tidak ingin membantah.

“Sebelum aku mati, aku ingin melihatmu…”

“Norbert,” Sarita memotong, “Aku mengerti. Aku tidak akan mengecewakanmu. Kau juga tidak boleh mengecewakanku. Sekarang aku ingin kau tidur.” Sarita membenahi selimut Duke. “Aku akan meninggalkanmu. Aku yakin tak lama lagi Danya akan tiba.” Sarita membungkuk untuk mencium kening Duke. “Jadilah anak baik.” Sarita tersenyum penuh kasih padanya.

“Senyum itulah yang memberi kehangatan padaku,” Duke tersenyum dan memejamkan mata.

Sarita pun dengan tenang mengambil nampan berisi sarapan Duke dan keluar.

Sarita bersandar di pintu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Pikirannya kacau balau.

“Ternyata hanya Tuan Puteri yang bisa membujuk Duke.”

“Hanya kesabaran yang dibutuhkan untuk menghadapinya,” Sarita menyerahkan kembali nampan itu pada pelayan.

“Yang Mulia Duchess mencari Anda,” katanya kemudian.

“Chris membuat ulah apa lagi?” tanya Sarita. Hanya satu alasan Duchess Belle memanggilnya yaitu mengurus Chris, putra terkecil mereka. Sarita tidak tahu Duchess selalu mencarinya dalam urusan ini karena ia lebih dapat dipercayai daripada Dorothy, putrinya atau karena kewajibannya sebagai anak angkat keluarga Riddick. Sarita pun tidak terlalu mempedulikannya.

“Sekarang Duchess ada di mana?” tanya Sarita.

“Beliau menanti Anda di kamarnya.”

“Aku akan menemuinya,” kata Sarita, “Bila Danya datang, minta ia untuk menungguku. Aku ingin bicara dengannya.”

“Baik, Tuan Puteri.”

Sarita pun melangkah ke kamar Duchess yang terpisah beberapa kamar dari kamar Duke.

“Siapa?” tanya Duchess lantang – menjawab ketukan pintu Sarita.

“Sarita,” jawab Sarita.

“Masuk!”

Barulah Sarita membuka pintu.

“Aku akan pergi,” Duchess Belle memoleskan bedak di wajah cantiknya yang belum pudar oleh usia.

“Pergi lagi?”

Duchess langsung melotot. “Kau tidak punya hak untuk mengaturku, anak haram!”

Sarita langsung menutup mulut rapat-rapat.

Inilah uniknya sang Duchess. Ia tidak percaya Sarita bukan putri kandung Duke dengan wanita rendahan. Duchess membenci Sarita dan terus menyalahkan Duke atas dosanya ini. Namun setiap orang tahu Duchess juga membuat dosa yang sama. Dengan melihat Dorothy dan Chris, tiap orang sudah dapat mengatakan mana anak kandung Duke. Hanya saja tidak ada yang pernah membicarakan hal itu.

Duchess menyebut dirinya wanita terhormat yang setia. Namun di manakah ia ketika Duke terbaring sakit?

“Satu jam lagi bangunkan Dorothy. Ingatkan ia untuk pergi merapikan rambutnya. Sore ini ia mempunyai janji dengan Pangeran Halbert,” tangan Duchess terus sibuk dengan dandanannya, “Pastikan Chris tidak kabur dari pelajarannya.”

Ya, inilah Duchess.

“Kalau ada yang mencariku, katakan aku mengurus urusan penting.”

“Saya mengerti, Duchess.”

“Kau bisa pergi sekarang. Aku tidak membutuhkanmu.”

Sarita meninggalkan Duchess yang sibuk memberi sentuhan terakhir pada dandanannya sebelum ia pergi untuk urusan pentingnya.

“Dia pergi lagi?” Duke menyambut kedatangannya.

“Kau masih belum tidur?” Sarita balik bertanya dengan heran.

“Dia akan pergi menemui pria itu lagi, bukan?”

“Aku tidak tahu,” Sarita duduk di sisi Duke, “Dengar, Norbert,” ia meraih tangan Duke, “Sekarang bukan waktunya kau memikirkan hal ini.”

“Kalau sudah tahu akhirnya akan begini, dulu aku tidak akan melepaskan ibumu.”

“Percuma, Norbert,” sahut Sarita, “Kau tahu pada akhirnya kau tetap akan kalah dari Papa.”

Duke tertawa namun beberapa saat kemudian tawanya berubah menjadi batuk.

Sarita cepat-cepat mengambil kain dalam ember di sisinya. “Kau batuk darah lagi,” katanya cemas.

“Aku sadar tidak lama lagi aku,” ia memegang tangan Sarita.

“Cukup, Norbert,” Sarita tidak suka mendengarnya.

“Sebelum aku mati, aku ingin melihatmu pulang ke Helsnivia.”

Sarita termenung. Lagi-lagi Norbert mengungkit keinginannya menjodohkannya dengan sang Putra Mahkota Kerajaan Helsnivia.

“Kau tahu, Norbert,” kata Sarita lembut, “Kalau hanya pergi ke Helsnivia, aku bisa melakukannya kapan saja.”

“Kau tidak mengerti, Sarita. Hanya Pangeran Halbert yang bisa membawamu pulang.”

Sarita menutup bibirnya rapat-rapat. Ia tidak ingin berdebat dengan Norbert.

“Aku ingin bisa berkata pada Ithnan di alam sana, ‘Aku telah memulangkan putrimu.’,” lalu ia melanjutkan dengan lebih serius, “Dengar Sarita, setelah aku mati, aku ingin kau mengurus harta warisanku. Aku tidak akan memberikan sepersenpun pada Belle. Aku ingin Chris mengantikanku.”

Sarita tidak menyukai arah pembicaraan ini. Sarita tidak mau kehilangan orang yang dicintainya. Otak Sarita berputar untuk menemukan topik yang bisa menghentikan Norbert memberikan wasiatnya. Namun Sarita merasa otaknya tersendat semenjak Duke jatuh sakit dan Pangeran Halbert tidak tertarik lagi padanya sejak Duke mengutarakan keinginannya.

Suara kuda yang sayup-sayup mendekat melegakan Sarita.

“Aku akan menyambut Danya,” Sarita langsung melompat.

Sarita bersandar di pintu kamar Duke dan membiarkan tubuhnya jatuh lemas di lantai.

“Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan?”

Sarita tidak tahu haruskah ia putus asa atau belajar menjadi wanita cerdik. Pikiran ini hanya membuatnya kian frustasi dan sedih.

“Anda tidak apa-apa?”

Sarita terkejut. Ia melihat pelayan itu membungkuk ke arahnya dengan cemas.

“Tidak, aku tidak apa-apa,” Sarita menyeka air matanya dan berdiri.

“Menjaga orang sakit memang bukan pekerjaan mudah sekalipun untuk Anda.”

“Aku tidak mengeluh untuknya, Dokter Danya,” kata Sarita, “Aku senang melakukannya.” Sarita membuka pintu. “Norbert menantimu di dalam.” Sarita tidak ingin memperpanjang basa-basi dengan dokter tua ini.

“Apakah Dorothy sudah bangun?” tanya Sarita pada pelayan yang mengawal kedatangan dokter keluarga ini.

“Tolong pastikan ia bangun setengah jam lagi,” pinta Sarita, “Dan tolong katakan pada Chris tak lama lagi Owen akan datang. Minta ia bersiap-siap di Study Room.”

“Ya… ya…,” kata pelayan itu sambil lalu.

Sarita tahu ia harus berhati-hati dengan kata-katanya dalam memberi perintah pada pelayan di rumah ini karena statusnya. Namun, tetap saja ada yang tidak suka padanya. Ada pula yang mulai menunjukkan rasa tidak suka mereka semenjak Duke jatuh sakit. Pelayan itu adalah salah satunya.

Sarita tidak peduli. Ia tidak terlalu memikirkan sikap mereka karena satu-satunya alasan ia menetap di rumah ini adalah Duke Norbert.

Sarita masuk ke dalam kamar Duke.

Dokter Danya langung menoleh padanya.

“Beberapa saat lalu ia kembali batuk darah,” Sarita memberitahu.

“Ya, aku dapat melihatnya,” Dokter menyimpan kembali teleskopnya. “Bisakah kita berbicara, Tuan Puteri?”

“Tentu.” Sarita membuka pintu dan membiarkan Dokter Danya keluar kemudian mengikutinya.

“Apakah rencana Anda setelah Duke meninggal?”

Sarita tidak menyukai pertanyaan ini tapi ia tetap menjawab dengan sopan. “Saat ini saya tidak mau memikirkannya.”

“Duke sudah tidak lama lagi,” Dokter Danya mengingatkan, “Sudah tidak ada obat yang dapat menyembuhkannya. Penyakitnya sudah mulai menggerogoti paru-parunya. Itulah sebabnya ia batuk darah. Anda tahu Anda tidak bisa tinggal di sini setelah kepergian Duke. Duchess Belle tidak menyukai Anda. Anda hanyalah anak haram Duke,” dan ia menambahkan dengan penuh arti, “Anda bisa tinggal di tempat saya kalau Anda berkenan.”

Inilah salah satu hal baru yang tidak disukainya semenjak Duke jatuh sakit. Orang-orang seperti Danya mulai mengungkit-ungkit soal kedudukannya. Dan yang paling tidak disukainya dari perkataan Dokter Danya adalah vonisnya atas nasib Duke!

Dokter Danya bukanlah orang pertama yang mengatakannya dan bukan satu-satunya orang yang mengatakannya. Sarita tahu ada maksud tersembunyi di balik undangan baik hati mereka, yaitu menjadi gundik mereka! Entah apa yang membuat mereka berpikir Sarita mau menjadi gundik mereka. Tentu saja jawabannya adalah TIDAK! Namun Sarita tetap berkata sopan,

“Terima kasih, Dokter. Saya akan mempertimbangkannya.”

“Anda harus mempertimbangkannya baik-baik,” tekan Dokter Danya, “Hanya keajaiban yang bisa memperpanjang nyawa Duke hingga hari ini. Tapi kita harus ingat sewaktu-waktu ia bisa meninggalkan kita. Tentunya Anda tidak ingin mensia-siakan masa depan Anda, bukan?”

“Saya akan mempertimbangkannya baik-baik,” Sarita mengulang dengan menahan perasaan muaknya.

“Pastikan hal itu,” Dokter Danya meraih tangan Sarita.

“Tentu,” Sarita menarik tangannya, “Terima kasih atas perhatian Anda.”

Semua pria sama saja. Mereka lebih tertarik pada membawanya pulang ke rumah mereka sebagai wanita simpanan daripada mengkhawatirkan Duke. Kalaupun ada yang memperhatikan Duke melebihi dirinya, itu adalah karena kekayaan dan kekuasaan keluarga Riddick semata.

Halbert adalah salah satu dari mereka. Sarita dapat memastikan Halbert mengunjungi Duke hanya karena kesopanan semata. Andai ia benar-benar khawatir akan Duke, tentunya ia sering mengunjungi Duke. Namun nyatanya ia hanya sekali melihat Duke walau selama beberapa hari terakhir ini ia tidak pernah absent dari Sternberg.

Sarita tidak membuang waktu berbasa-basi dengan Dokter tua itu. Ia tidak merasa pentingnya menanyakan tindakan apa yang harus dilakukannya untuk Duke of Cookelt. Apa perlunya Sarita bertanya pada sang dokter sudah menjatuhkan vonis mati itu? Maka Sarita langsung berkata,

“Saya akan mengantar kepulangan Anda. Saya tidak ingin membuat pasien-pasien Anda yang lain menanti.”

Usiran halus itupun tidak dapat ditolak Dokter Danya.

“Jangar repot-repot, Tuan Puteri. Duke lebih membutuhkan Anda dari saya.”

“Maka, selamat jalan, Dokter Danya,” kata Sarita sopan, “Terima kasih atas segalanya.”

“Besok saya akan datang lagi.”

Sarita tersenyum. Dalam hati ia berpikir apa perlunya memanggil Danya setiap hari. Tidak ada satu tindakan berarti pun yang diambil Danya sejak ia memvonis umur Duke Norbert. Setiap hari ia datang hanya untuk mengulang-ulang kalimat yang sama. Sarita sama sekali tidak mengerti jalan pikiran orang kaya.

Duchess Sarita memanggil Danya setiap hari dan ia bertindak seakan-akan ia sangat mencemaskan Duke. Bangsawan-bangsawan yang lain mengirim bunga untuk Duke tapi mereka tidak pernah muncul. Yang terparah adalah putra kandung sang Duke!

Sarita dapat memaklumi sikap Dorothy karena ia memang bukan putri kandung Norbert. Tapi Chris!?

Sarita tidak tahu. Mungkin inilah yang disebut salah didikan. Salah siapakah itu? Sarita juga tidak jelas.

Menilik dari umur pernikahan Duke dan Duchess of Cookelt dan usia Dorothy, satu hal sudah jelas. Pernikahan mereka didahului oleh kehamilan Duchess Belle.

Yang tidak jelas bagi Sarita adalah mengapa Duke Norbert mau bertanggung jawab atas dosa yang tidak dilakukannya. Karena Duchess Belle adalah wanita yang cantik? Sarita rasa bukan karena itu. Sarita sering mendapati Duke Norbert bermain api dengan wanita-wanita lain.

Jelas sudah pernikahan mereka bukan juga karena cinta.

Kedudukan, kekuasaan, atau kekayaan adalah satu-satunya sebab yang terpikirkan oleh Sarita. Tiga hal inilah yang sering didengarnya dari pernikahan orang lain. Rasanya cinta sejati sudah menjadi alasan yang langka.

Sarita sering berharap ia dapat menemukan pria seperti ayahnya. Namun dengan wasiat Duke ini, rasanya itu tidak mungkin. Tapi… mungkin juga ia salah. Halbert tidak mengatakan persetujuannya dan tidak menolak keinginan Duke, namun sikapnya sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan jawabannya.

Sarita benar-benar tidak tahu ia harus bersenang untuk dirinya sendiri atau pusing memenuhi keinginan terakhir ayah angkatnya selama enam tahun terakhir ini.

“Apa yang sedang Anda lamunkan, Tuan Puteri?”

Sarita kaget.

Owen tersenyum pada Sarita.

“Rupanya Anda,” ujar Sarita pada pria yang usianya dua kali usianya itu.

“Anda menunggu seseorang?” tanya Owen, “Apakah Anda menunggu saya untuk menyampaikan jawaban Anda?”

“Tidak,” Sarita langsung menjawab. Apa yang membuat Owen berpikir ia akan menerima ajakannya? Owen sudah berkeluarga dan yang terutama, Sarita tidak mencintainya! “Chris sudah berada di Study Room.” Sarita memberitahu kemudian menambahkan dengan tegas, “Sekarang saya harus menemui Dorothy.”

Tanpa basa-basi lagi Sarita meninggalkan Owen seorang diri.

Owenlah sang pria beruntung itu. Ia bisa mengundang Sarita sebelum yang lain karena ia adalah satu-satunya orang yang setiap hari keluar masuk Sternberg.

Sarita tidak mau memikirkan para pria itu terlalu lama. Sekarang yang harus ia lakukan adalah membangunkan Dorothy atau wanita itu akan murka besar padanya seperti yang pernah terjadi hanya karena Sarita disibukkan oleh kondisi Duke Norbert yang tiba-tiba memburuk.

“Dorothy, kau sudah bangun?”

Karena ia tidak mendapat jawaban, Sarita mengijinkan dirinya sendiri untuk masuk.

“Dorothy,” Sarita berdiri di sisi wanita itu, “Kau harus menemui penata rambutmu siang ini.”

Dorothy membalik badannya memunggungi Sarita dan menutupi telinganya dengan bantal.

“Aku tidak mau bertanggung jawab kalau Pangeran Halbert tidak melihatmu menarik.”

Dorothy langsung membalik badannya – memeloti Sarita. “Kenapa kau tidak membangunkan aku lebih awal!?” Dorothy meloncat berdiri. “Berhenti memanggilku Dorothy!”

“Maafkan saya, Lady Dorothy,” kata Sarita sopan.

“Apalagi yang kautunggu!? Cepat panggil pelayan! Aku butuh air mandi! Aku butuh kereta! Aku tidak punya waktu!”

“Baik, Lady Dorothy,” kata Sarita lagi dan ia mengundurkan diri.

“Sama akar, sama buah,” gumam Sarita ketika menutup kembali pintu kamar Norbert.

4 comments:

  1. Akhirnya ketemu juga yang bikin novel2 keren... XD Thanks you yaaa... sangat menginspirasi saya! X)
    update2 lagi.. Semangat!

    ReplyDelete
  2. Suka novel ini,nemunya di bukuoryzaee dev pas baca lansg jatuh cinta..

    ReplyDelete
  3. wah mantap nih... lanjut gan..

    oh iya, jangan lupa berkunjung ke blog ane ya.. : wirasr.blogspot.com

    ReplyDelete
  4. Izin baca lagi boringnya ketemu ini, dan menarik buat dibaca semangat terus ya...

    ReplyDelete