Thursday, November 20, 2008

Kisah Cinta-Chapter 15

“Ada apa, Sarita?” Halbert terperanjat melihat gadis itu berdiri di depan pintu gerbang Kastil Quadville dengan mata sembab dan koper-kopernya di tanah.

Semenjak kepergian Sarita, Halbert melewati hari-harinya seperti padang pasir.

Belum seminggu Sarita berada di Quadville merawat Duke namun bertahun-tahun rasanya bagi Halbert. Dalam hari-hari belakangan ini sikap Ratu yang dingin sama sekali tidak berubah. Raja yang tidak menutupi kerinduannya pada Sarita pun tidak luput dari mata dinginnya.

Berkali-kali Halbert ingin pergi ke Quadville. Hanya Ratu Kathleenlah yang membuatnya tidak berani menginjakkan kaki di Quadville. Raja Marshall yang selalu terlihat ingin melesat ke Quadville, juga tidak berani.

Sikapnya itulah yang membuat Halbert semakin menyadari betapa dalamnya ketidaksukaan ibunya pada Sarita. Akhir-akhir ini Halbert merasa sikap ibunya kepada dirinya semakin dingin. Ratu terlihat sangat marah padanya untuk suatu alasan yang Halbert sendiri tidak ketahui hingga tidak mau berbicara dengannya kecuali ia mempunyai keperluan penting.

Halbert hanya dapat memaklumi sikap Ratu ini. Halbert sadar dan tahu Sarita bukan gadis yang dapat dicintainya. Sarita bukan gadis terhormat yang dapat diterima ibunya. Ia juga telah berulang kali memperingati dirinya sendiri. Namun semua itu tetap saja tidak ada gunanya. Ia jatuh cinta pada gadis itu! Halbert merasa kian hari cintanya kepada Sarita kian dalam hingga ia dapat meyakinkan dirinya sendiri tidak ada yang dapat menggantikan posisi Sarita di hatinya.

Di suatu saat ia menyesali dirinya sendiri yang telah mengirim Sarita pergi. Di saat lain ia berharap Duke Ephraim segera mengenali Sarita sebagai keturunannya dan mengakuinya sehingga gadis itu tidak akan pernah berpikir untuk meninggalkan Helsnivia.

Demi menyingkirkan kerinduannya pada Sarita, ia menyibukkan diri dengan tugas-tugas kerajaan. Demi membunuh waktu, ia berusaha mencari informasi tentang Sharon Elwood, satu-satunya putri Duke Vinchard. Namun tidak ada dari satu hal itu yang berguna. Hatinya terus merindukan Sarita dan pikirannya semakin tidak lepas dari Sarita.

Setiap ia mencari informasi tentang Sharon Elwood, seluruh jiwanya langsung tertuju pada Sarita. Setiap ia berusaha mengalihkan pikirannya, semakin ingin ia menemukan jejak Sharon Elwood.

Halbert yakin Sarita adalah keturunan Duke Vinchard namun ia tidak berani mengutarakan pendapatnya ini. Ia tidak bisa bertindak gegabah hingga orang lain mengetahui apa yang sekarang ada dalam pikirannya.

Duke of Vinchard bukan sembarang orang. Ia tidak akan suka bila gosip tiba-tiba beredar di sekitarnya. Bila sampai ada gosip yang menyangkut dirinya, Duke pasti segera menemukan sang sumber gosip dan membuat perhitungan dengannya tak peduli siapa sang sumber gosip itu.

Di atas semua itu, Halbert yakin Ratu Kathleen, yang sudah tidak suka pada Sarita, akan melakukan segala tindakan yang ia sendiri tidak berani bayangkan namun bisa ia pastikan tidak akan ia sukai.

Halbert sadar walaupun Sarita adalah keturunan Duke Vinchard, ibunya tidak akan menerimanya. Bagaimanapun juga Sarita adalah putri haram. Ratu Kathleen yang menjunjung tinggi moral itu tidak akan menerima seorang anak yang lahir di luar pernikahan menjadi menantunya. Halbert paham benar akan hal itu.

Namun sekarang yang menjadi permasalahan terbesar baginya bukanlah Ratu Kathleen melainkan Sharon Elwood!

Halbert tidak mengerti. Mengapa ia tidak bisa menemukan satu jejak pun dari Sharon Elwood ini. Ia tidak dapat menemukan sebuah informasi pun mengenai wanita ini bahkan jejak kelahirannya! Halbert tidak percaya ia tidak dapat menemukan jejak wanita yang dilahirkan di Helsnivia ini namun itulah kenyataannya.

Ia tidak dapat bertanya pada orang lain mengenai putri Duke Vinchard karena hal itu akan membocorkan pendapatnya. Ia tidak dapat mengerahkan orang lain untuk mencari jejak Sharon Elwood karena itu akan menimbulkan kecurigaan orang lain. Namun ia juga tidak dapat menemukan sehuruf pun yang menyebutkan Sharon Elwood pernah muncul di dunia ini.

Ada kalanya Halbert berpikir Brudce, sang Kepala Rumah Tangga Quadville berbohong padanya. Ada kalanya pula Halbert berpikir gadis dalam lukisan itu adalah Sarita.

Bila Sharon Elwood pernah muncul di dunia ini, setidaknya ada catatan mengenai kelahiran wanita itu. Bila catatan itu hilang, tentu namanya tertulis dalam silsilah keluarga Elwood. Namun ia tidak menemukan secarik kertas pun yang menyebutkan Sharon Elwood!

Lebih mudah mempercayai Sarita adalah gadis dalam lukisan itu. Duke Norbert tentu bangga mempunyai putri secantik dan sejelita Sarita. Sudah sewajarnya Duke Norbert, sebagai orang tua yang mencintai putrinya, ingin memamerkan kecantikan putrinya pada teman-temannya. Namun, mengetahui Duke Ephraim telah lama hidup menyendiri, Duke Norbert takut Duke Vinchard akan tertarik pada putrinya. Karena itulah ia menyuruh sang pelukis memberi goretan yang berbeda pada lukisan itu. Duke Ephraim yang tidak mengetahui siapa gadis dalam lukisan pemberian Duke Norbert, menamai gadis itu Sharon dan menyebutnya sebagai putrinya.

Cerita kedua ini lebih mudah diterima oleh Halbert daripada pernyataan Brudce.

Pagi ini seorang pelayan Quadville tiba-tiba menemuinya dengan wajah panik dan memintanya segera pergi ke Quadville. “Pangeran, segeralah pergi ke Quadville. Duke... Duke Ephraim... ia...,” katanya dengan nafas terengah-engah.

Perkataan itu membuat Halbert langsung melesat meninggalkan Istana ke Quadville. Dalam perjalanan hanya satu yang ada dalam pikirannya: Duke Vinchard tidak mungkin meninggal dunia!

Air mata yang membasahi wajah pucat Sarita meruntuhkan segala keyakinannya. Ia begitu kasihan pada gadis itu sehingga tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Gadis itu tampak rapuh dan tak berdaya – tepat seperti ketika Duke Norbert meninggal dunia.

Hati Halbert ikut pilu melihat wajah sedih itu. Ia ingin membawa gadis itu ke dalam pelukannya dan membisikkan kata-kata yang menghibur. Mengingat penolakan Sarita di masa lalu, Halbert tidak yakin Sarita akan menyukainya.

“P-Pangeran,” bibir bergetar Sarita mendesiskan panggilan itu ketika ia berlari memeluk Halbert.

Halbert terperanjat. Ia tidak pernah membayangkan saat seperti ini terjadi. Sarita memeluknya!

“Oh, Sarita,” Halbert mendekap gadis itu erat-erat. Sebuah perasaan yang tidak dapat diungkapkan, memenuhi dadanya. Kehangatan inilah yang ia cari dari wanita-wanita lain. Perasaan inilah yang selalu menghantuinya selama berhari-hari. Halbert sadar ia tidak ingin melepaskan Sarita. Sekarang tidak. Besok juga tidak. Selamanya ia ingin gadis ini di sisinya!

Isak tangis Sarita membangunkan Halbert dari sensasinya.

Tiba-tiba Halbert merasakan sebuah perasaan bersalah. Ia telah berbahagia di atas kesedihan Sarita.

“Jangan menangis, sayang,” bisik Halbert, “Kau telah menjaga Duke dengan baik. Jangan bersedih. Duke pasti bahagia di alam sana.”

Sarita menggeleng. “Du… Duke… dia… dia… mengusirku.”

Halbert terperanjat. Bukankah Duke Vinchard meninggal dunia?

“D…dia mengatakan Papa adalah gelandangan,” Sarita mencoba menjelaskan di antara isak tangisnya.

Halbert merasa ini akan menjadi cerita panjang. “Jelaskan perlahan-lahan padaku di dalam, Sarita,” ia berkata lembut sambil mengangkat Sarita. Tanpa membuang waktu, Halbert memerintahkan prajurit yang mengawalnya menaikkan koper-koper Sarita ke dalam kereta dan membopong gadis itu ke dalam kereta.

Sarita pun memulai ceritanya di antara sela-sela tangisnya.

Sehari setelah kedatangannya, keadaan Duke sempat memburuk namun berkat kesigapan dan pengalaman Sarita merawat orang sakit, kesehatan Dule berangsur-angsur membaik. Penyakit Duke bukan hanya demam biasa seperti yang Brudce katakan di hari pertama ia berada di Quadville.

Dari hari ke hari merawat Duke, Sarita sadar sumber penyakitnya ini adalah pikirannya atau lebih tepatnya kerinduannya pada almarhum Duchess Vinchard, istrinya tercinta, Sharon Elwood.

Sarita sadar ada hal yang bisa ia lakukan untuk Duke dan ada hal yang tidak dapat ia lakukan untuk Duke. Ia dapat merawat Duke dengan baik. Namun ia tidak dapat mempertemukan Duke dengan almarhum Duchess.

Sarita percaya bila Duke bertemu Duchess maka ia akan pulih dalam kejapan mata. Namun tidak seorang pun dapat mempertemukan mereka yang kini telah terpisah dalam dua dunia. Saat ini yang dapat dilakukan Sarita hanyalah berperan sebagai Sharon.

Sering ketika Duke memanggil-manggil Sharon, Sarita berpikir apakah Duke tengah memimpikan Sharon.

Dari hari ke hari Duke semakin sering memanggil-manggil Sharon. Tak jarang ia menggenggam erat tangan Sarita hingga Sarita tidak rela meninggalkan pria tua yang tidak kehilangan wibawanya sekalipun ia terbaring sakit.

Semenjak Sarita berada di Quadville, hanya di malam pertama ia tidur di kamar mewahnya yang dipersiapkan Zielle. Di hari-hari berikutnya ia melalui malam yang panjang di sisi Duke Vinchard. Di saat terang hari, ia mengurus Cookelt di sela-sela tugas barunya merawat Duke of Vinchard. Begitu sibuknya ia hingga tidak ada satu waktu luangpun tersedia untuknya memikirkan Halbert. Kesibukannya itu pula yang membuat Zielle sering marah-marah padanya.

Dalam beberapa hal Zielle lebih cerewet dari Savanah. Ia tidak pernah terlambat memanggil Sarita untuk makan. Ia tidak pernah berhenti menyuruh Sarita beristirahat demi kesehatannya sendiri. Ia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengurus Sarita. Ia tidak dapat membiarkan satu cacat pun dalam penampilan Sarita.

Sikapnya yang terlalu berlebihan itu sering membuat Sarita berpikir apakah wanita ini sadar tujuannya berada di Quadville?

Sikap Brudce dan para pelayan lainnya di Quadville juga tidak berbeda. Mereka begitu menghormatinya. Satu patah kata darinya, maka para pelayan langsung melakukan segala hal untuk memenuhi keinginannya. Satu perintah darinya maka setiap orang akan melaksanakannya dengan sepenuh hati.

Sarita tidak dapat memahami cara tiap sosok di Quadville memperlakukannya.

Gunter juga sama sekali tidak membantu. Ia hanya tertawa ketika Sarita mengeluhkan sikap mereka yang menyanjungnya sebagai Ratu itu. Hanya satu komentar yang ia berikan, komentar yang tidak berguna dan sama sekali tidak membantu. “Kau akan terbiasa,” katanya.

Seiring dengan membaiknya kondisi Duke, Sarita mulai terbiasa dengan perlakuan tiap orang di Quadville.

Pagi ini adalah bukti nyata keadaan Duke Ephraim yang semakin membaik.

Seperti malam-malam sebelumnya, Sarita duduk di sisi Duke sambil menggenggam tangannya dan memandang wajah tenang Duke. Tidak ada yang ingin dilakukan Sarita selain menatap wajah yang menenangkan pikiran itu hingga kantuk menyerang.

“S-siapa?”

Sarita mendengar seeorang bertanya.

“Siapa kau?”

Sarita terkejut. Matanya membelalak melihat wajah segar Duke. Ia tidak tahu apakah Duke Vinchard sedang mengingau atau ia sudah benar-benar bangun.

Duke juga kaget melihat Sarita. “Berani-beraninya kau menampakkan mukamu di sini!!” ujarnya geram.

Sarita kaget mendengar suara keras Duke.

“PERGI!! Di sini bukan tempatmu!” Duke menunjuk pintu.

Wajah Sarita pucat pasi. Duke Ephraim telah mengenalinya sebagai anak haram almarhum Duke of Cookelt.

“Tidak, kau bukan Sharon,” Duke menatap tajam wajah Sarita, “Siapa kau?”

“S-saya…,” Sarita bingung. Ia sama sekali tidak dapat memahami situasi ini, “Saya adalah Sarita Yvonne Lloyd.”

“Lloyd!?” Duke memekik keras. “Beraninya kau menginjakkan kaki di sini, Lloyd!?”

Sadarlah Sarita Duke tidak sedang mengingau. Ia tidak mengerti apa yang dibicarakan Duke namun ia tahu Lloyd yang dikatakan Duke adalah dirinya.

“Siapa yang memasukkan gelandangan ini ke rumahku!?” Duke membunyikan bel dengan tidak sabar. “Brudce! Di mana dia!? Berani-beraninya mereka memasukkan seorang gelandangan ke rumahku!? Ithnan Lloyd seorang sudah cukup! Sekarang masih bertambah seorang gadis gelandangan!”

“P…papa? Anda mengenal Papa?” Sarita terperanjat.

“Mengenal, katamu!?” Duke mendengus, “Melihat mukanya saja aku tidak sudi! Gelandangan seperti dia sama sekali tidak pantas untuk seorang Elwood! Berani-beraninya dia membawa kabur Sharon. Semestinya ia sudah merasa terhormat seorang Duke seperti aku tahu gelandangan macam dia ada di dunia.”

“Papa bukan gelandangan!” Sarita membantah. “Papa tidak pernah mengemis pada seorang pun!” Sarita tidak dapat menerima hinaan Duke. “Walaupun kami tidak punya uang, kami tidak akan mengemis!”

“Apa yang kautahu, anak muda? Kau tidak tahu apa yang sudah diperbuat bajingan itu. Ia menculik Sharon dan membunuhnya demi uang.”

“TIDAK!” Sarita histeris, “Itu tidak benar! Papa tidak akan melakukannya!”

“DIA SUDAH MELAKUKANNYA!!” suara Duke pun tidak kalah keras. “Kau pikir karena siapa sekarang aku begini!? Kau pikir siapa yang telah menghancurkan hidupku!!?”

“Tidak…,” Sarita menggeleng, “Itu tidak benar.” Air mata menuruni wajah pucatnya. “Papa tidak mungkin melakukan itu. Papa hanya mencintai Mama seorang. Papa tidak pernah merebut seorang pun. Papa… Papa tidak pernah mengkhianati Mama.”

“Omong kosong! Apa kau pikir aku akan percaya pada omongan gelandangan!?” nampak jelas Duke tidak suka dibantah, “Brudce! Brudce! Di mana dia!!? Mengapa dia tidak segera mengusir gelandangan ini!” Duke membunyikan bel dengan tidak sabar. Ia sudah kehilangan batas kesabarannya sehinga ketika Brudce muncul ia langsung menyambar,

“Ke mana saja kau!? Apa kau tuli!?”

“M-mmaafkan kelambatan saya, Yang Mulia.”

“Mengapa seorang Lloyd bisa di sini!? Jelaskan mengapa seorang gelandangan bisa memasuki rumahku!!?”

“S-sssaya…,” Brudce melihat Sarita lalu berpaling pada Duke dengan ketakutan.

“Usir dia! Keluarkan dia dari sini! Tidak seorang Lloyd pun boleh menginjakkan kaki di sini!”

Atas perintah itulah sekarang Sarita menangis dalam pelukan Halbert.

Halbert tertegun. Ia hanya berpikir Duke pasti gembira dapat berkumpul lagi dengan cucunya. Tidak sedikitpun ia berpikir mengapa ia tidak dapat menemukan secarik kertas pun tentang Sharon Elwood. Duke Vinchard yang kolot itu tentunya sangat menentang hubungan putrinya dan almarhum Duke Norbert. Namun Sharon Elwood bersikukuh pada cintanya sehingga Duke mengusirnya. Karena kemarahannya pula Duke dengan segala kekuasaannya, menghilangkan semua bukti keberadaan Sharon Elwood. Itu pula penyebab Sarita tidak pernah tahu ia masih mempunyai keluarga di Helsnivia.

Penjelasan ini lebih masuk akal dari semua penjelasan yang pernah dipikirkannya.

“I-itu tidak mungkin,” isak Sarita. “Papa tidak mungkin melakukannya. Papa tidak pernah merebut Duchess.”

Halbert ikut bersedih. Ia memeluk Sarita erat-erat dan membiarkan Sarita meluapkan segala kesedihan dan amarahnya.

“Duke pembohong! Ia tidak mengenal Papa!” Sarita menjatuhkan tinjunya di dada Halbert, “Dia tidak tahu siapa Papa. Bagaimana dia bisa mengatakan Papa seperti itu!?”

Halbert membelai Sarita dengan lembut. Sekarang hanya dia seorang yang bisa melindungi Sarita. Hanya dia yang bisa memberi Sarita tempat berlindung.

Kereta melewati pintu gerbang Istana.

Halbert mengetuk jendela kecil yang memungkinkan ia berbicara dengan kusir kuda.

“Suruh prajurit memberitahu Wyatt hari ini aku tidak bisa melaksanakan tugasku. Aku punya urusan penting.”

“Saya mengerti, Yang Mulia.”

Panggilan itu langsung menyadarkan Sarita.

Sarita menenangkan diri dan mengatur jalan pikirannya.

Ithnan Lloyd yang disebut Duke of Vinchard pasti bukan ayahnya. Ayahnya hanyalah seorang pengelana miskin yang tidak mungkin mengenal seorang Duke. Ayahnya juga tidak pernah mencintai wanita lain selain ibunya apalagi membawa kabur seorang Duchess. Ayahnya juga bukan seorang perusak rumah tangga orang lain. Ketika mengembara bersama ayahnya, Sarita sering menjumpai orang yang bernama keluarga Lloyd. Tidak mungkin tidak ada seorang dari sekian banyak Lloyd yang bernama sama dengan ayahnya. Ithnan Lloyd yang dikenal Duke Vinchard pasti bukan Ithnan Lloyd yang ia kenal!

Mengapa ia harus bersedih? Ia tidak berencana tinggal di Quadville. Ia hanyalah seorang perawat yang diutus Pangeran Halbert untuk merawat Duke. Ia boleh meninggalkan Quadville ketika Duke sehat. Sekarang Dulke sudah sadar. Dengan kemarahannya yang meluap-luap pagi ini, Sarita dapat meyakinkan diri ia sudah tidak diperlukan di Quadville. Sekarang ia bisa meninggalkan Quadville dan Helsnivia, seperti rencananya di awal ia menginjakkan kaki di Quadville.

Sarita sudah benar-benar tenang ketika Halbert selesai berbicara dengan pengawal-pengawalnya. Ia meletakkan tangan di dada Halbert dan menjauhkan diri.

Halbert tidak menutupi kekecewaannya. Inilah Sarita, si gadis yang ia cintai. Di suatu saat ia begitu terbuka dan pada detik kemudian tertutup. Inilah gadis yang berhasil menjerat cintanya. Di detik ini ia memberinya kesempatan dan di detik kemudian ia menutupnya rapat-rapat.

“Terima kasih, Pangeran,” Sarita berkata tulus. “Saya sudah tidak apa-apa. Saya.”

“Aku akan membawamu ke sebuah tempat,” Halbert memotong. “Aku tidak pernah membawamu berkeliling Helsnivia. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menepati janjiku.”

“Janji?” Sarita bertanya-tanya. “Anda tidak pernah menjanjikan apa-apa pada saya.”

“Engkau pasti sudah tidak ingat,” Halbert berkelat. Di saat Sarita berterima kasih padanya, ia tahu gadis itu akan meninggalkannya. Itulah yang selalu dilakukan Sarita padanya. Memberinya kesempatan dengan tangan terbuka kemudian menutup diri rapat-rapat dan menjauhinya.

Tidak peduli gadis itu suka atau tidak, ia tidak akan membiarkan Sarita pergi dari sisinya. Penyiksaaan dalam seminggu ini sudah lebih dari cukup untuk membuktikan ketergantungannya pada Sarita.

Halbert sudah memutuskan ia akan melindungi Sarita dan dan tidak membiarkan seorangpun mengambil Sarita dari sisinya. Ia juga tidak akan pernah membiarkan Sarita meninggalkan sisinya. Halbert juga telah memutuskan akan membawa Sarita pulang ke Ririvia tanpa peduli penolakan ibunya. Ratu Kathleen harus memilih membiarkan Sarita tinggal atau ia ia pergi bersama Sarita.

Melihat wajah tanpa dosa Sarita, Halbert sadar. Halangan terbesarnya bukan ibunya melainkan Sarita sendiri.

Sebelum ia dapat mencegah orang lain mengambil Sarita dari sisinya, ia harus memastikan pikiran pergi meninggalkan Helsnivia pergi dari kepala Sarita untuk selama-lamanya.

Untuk itu Halbert bersumpah. Bila ia tidak bisa membuat Sarita jatuh cinta padanya maka hari ini ia akan melakukan segala hal untuk membuat Sarita jatuh cinta pada Helsnivia. Ia akan membuat Sarita tidak sanggup meninggalkan Helsnivia selama-lamanya. Hanya bila Sarita sudah jatuh cinta pada Helsnivia, ia mempunyai kesempatan untuk membuat Sarita jatuh cinta padanya.

Halbert yakin ia berhasil ketika sepanjang hari itu senyum gembira Sarita selalu mengembang. Dalam hati ia bersuka cita ketika Sarita mendesah penuh ketakjuban. Ia menyembunyikan kepuasannya ketika mata gadis itu bersinar-sinar melihat pemandangan yang ditunjukkannya.

Pada saat yang bersamaan, Halbert berharap gadis itu bisa tersenyum bahagia kepadanya. Sarita bisa melihatnya dengan mata yang berbinar-binar dan Sarita tanpa henti-hentinya memujinya. Namun untuk saat ini ia sudah harus berpuas diri dengan kondisi ini.

“Pangeran,” Sarita memutuskan ia harus mengatakan keputusannya sebelum mereka tiba di Ririvia, “Saya benar-benar berterima kasih pada kepedulian Anda. Sekarang Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya sudah jauh lebih tenang. Anda bisa menurunkan saya di Travlienne.”

Mengapa gadis ini selalu ingin meninggalkannya? Halbert melihat Sarita dengan sakit hati. “Tidak, Sarita. Kau akan pulang bersamaku.”

“Saya tidak dapat, Yang Mulia,” Sarita menolak halus, “Saya tidak dapat pulang bersama Anda.”

“Ke mana kau akan pergi, Sarita?” Mengapa Sarita tidak pernah mau tinggal di sisinya? “Kau tidak punya tempat tinggal. Kau tidak punya tujuan.”

“Benar,” Sarita mengakui, “Namun itu tidak berarti saya tidak bisa menemukan tempat tinggal.”

“Ke mana kau akan pergi?”

“Malam ini saya akan menemukan tempat menginap di Travlienne kemudian besok saya akan meninggalkan Helsnivia. Ketika Norbert meninggal dunia, saya sudah memutuskan untuk berpetualang seperti ayah saya.”

Halbert membelalak. Inikah alasan Sarita tidak mau tinggal di sisinya? Inikah sebab Sarita mempermainkannya? Karena Sarita ingin berpetualangan dengan cinta seperti Duke Norbert!

“Tidak!” Halbert berkata tegas, “Kau tidak akan pergi ke mana-mana!” Ia sudah memutuskan tidak akan membiarkan pria lain mendapatkan Sarita. “Kau akan tinggal di Ririvia.” Ia tidak akan membiarkan Sarita melakukan petualangannya. Ia akan melakukan segala cara untuk mencegah Sarita menemui pria lain!

“Saya sangat berterima kasih pada semua yang telah Anda lakukan untuk saya. Namun Anda tidak mempunyai hak untuk mengatur saya,” Sarita mengingatkan kenyataan yang Halbert sendiri pun tahu, “Saya setuju pulang bersama Anda ke Helsnivia murni karena saya ingin menjauhi keluarga Riddick. Saya sangat berterima kasih atas pertolongan Anda dan kepedulian Anda sehingga saya masih tetap bisa melaksanakan tugas yang dipercayakan Norbert tanpa berada di sekitar keluarga Riddick. Saya juga berterima kasih atas segala usaha Anda untuk menjauhkan Chris dari saya. Tidak satu pun satu tindakan Anda yang tidak saya hargai. Namun semua ini sudah cukup. Saya tidak bisa terus merepotkan Anda. Anda masih mempunyai banyak hal yang perlu Anda perhatikan. Saya juga tidak bisa terus menggantungkan diri pada kebaikan Anda. Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya lagi. Saya bukan anak kecil. Saya telah terbiasa hidup berpetualang. Saya bisa menjaga diri.”

“Mengapa kau tidak pernah mau menetap di Istana?” akhirnya Halbert mengutarakan pertanyaan yang mengganjal di hatinya.

“Anda tahu mengapa,” jawab Sarita tenang. Ketika berada di Ririvia, Sarita tidak pernah merepotkan diri mengikuti perkembangan sekitarnya. Ia tidak pernah mengikuti gosip yang berputar sekitar Istana. Namun ketika ia berada di Quadville, Sarita mulai menyadari gosip yang berputar di sekitar dirinya dan sang Pangeran.

Selama ia berada di Quadville, Zielle hampir tidak pernah absen dari sisinya. Ketika ia sibuk mengurus Cookelt, Zielle akan selalu siap melayaninya dan mengingatkan waktu. Ketika ia menjaga Duke Vinchard, Zielle akan selalu menemaninya.

Dari wanita itulah Sarita menyadari gosip yang terus berkembang dengan kemunculannya di Ririvia. Dari wanita itu pula ia tahu Halbert tidak berbohong. Ia adalah wanita pertama yang dibawa Halbert pulang! Sayangnya itu bukanlah sesuatu yang membuatnya bangga. Semakin Zielle bercerita tentang gosip tentangnya, semakin Sarita menyadari jurang di antara mereka. Sekarang seisi Helsnivia sudah tahu Pangeran mereka yang suka bermain wanita membawa pulang seorang anak haram. Semua orang tahu Pangeran yang mereka cintai memamerkan sang anak haram di pesta Viscount Padilla. Tidak seorang pun di Helsnivia yang tidak tahu siapa Sarita Yvonne Lloyd, sang anak haram almarhum Duke of Cookelt!

“Saya dan Anda tidak berasal dari dunia yang sama. Saya tidak pantas menginjakkan kaki di Istana. Saya tidak cocok tinggal di Istana yang megah.”

“Siapa yang mengatakannya!? Siapa!?” sahut Halbert, “Tidak seorang pun melarang kau tinggal di Istana. tidak seorangpun melarangmu tinggal bersamaku. Hanya kau seoranglah yang tidak menyukainya. Hanya kau yang melarang dirimu sendiri.”

“Anda benar,” Sarita tidak menyangkal, “Saya melarang diri saya memasuki Istana karena saya tidak bisa mencemarkan nama Anda.”

“Omong kosong!”

Kereta berhenti. “Kita sudah tiba di Istana, Pangeran,” seseorang mengumumkan.

“Tanpa seijinku, kau tidak akan meninggalkan Istana!” Halbert menegaskan dan ia melesat dari kereta.

Sarita melihat kepergian Halbert dengan pasrah. Ia tidak mengerti mengapa pemuda ini tidak mau melepaskannya.

“Yang Mulia Paduka Raja dan Ratu menanti Anda dan Lady Sarita di Ruang Baca,” seorang pelayan menyambut kedatangan Halbert.

Sarita dapat menebak hal ini akan terjadi. Ia telah membuat sang Pangeran meninggalkan tugas-tugasnya. Apa ia mengharapkan sambutan hangat sang Ratu yang tidak pernah menyukainya?

Halbert tidak membuang waktu. Ia harus menegaskan pada orang tuanya bahwa Sarita tidak akan meninggalkan Istana. Sarita akan tinggal di sisinya dengan atau tanpa persetujuan orang tuanya.

“Ke mana saja kau!?” sambut Ratu tidak senang.

Sarita hanya berdiam diri di belakang Pangeran.

“Sarita tidak akan meninggalkan tempat ini! Ia…” Halbert terkejut melihat Duke of Vinchard duduk di depan ibunya. Mengapa Duke ada di sini?

Sarita juga menyadari keberadaan Duke ketika Duke berdiri dari kursinya yang memunggungi pintu. Tanpa ia sadari, ia bersembunyi di belakang Halbert.

Sesuatu membuat Halbert merasa ia harus melindungi Sarita. Ia melingkarkan tangan di pundak Sarita dan mendekapnya erat.

“Sarita akan pulang bersama Duke Vinchard ke Quadville!” Ratu berkata dengan suara tegasnya.

Baik Sarita maupun Halbert terperanjat.

Sarita mencengkeram kemeja Halbert erat-erat sementara Halbert mempererat pelukannya.

Duke of Vinchard tidak melepaskan pandangannya dari Sarita. Sinar kemurkaan yang ditunjukkannya pagi ini sudah hilang dari matanya. Sebaliknya, sebuah sinar yang tak terbaca terlihat di sana.

“Sarita, kau tidak sebatang kara,” Raja membuka suara. “Duke of Vinchard adalah kakekmu.”

“Ka…kek…,” Sarita melihat Raja kemudian pada Duke.

Halbert sudah mencurigai hal ini. Namun ia tetap terkejut mendengar pernyataan ayahnya.

“Kau adalah satu-satunya keturunan Duke Vinchard,” Raja Marshall melanjutkan dengan suaranya yang lembut, “Ibumu, Sharon Elwood adalah putri Duke of Vinchard.”

“Sharon… Elwood…,” Sarita mengulangi dengan suara lirihnya.

“Mungkin ini terlalu mendadak bagimu. Percayalah, kami tidak membohongimu. Kami juga mengerti engkau tidak pernah mengetahui siapa ibumu.”

“Cukup!” Ratu memotong, “Hari sudah malam. Duke Vinchard baru sembuh. Ia membutuhkan istirahat. Halbert, antar Duke pulang.”

“Tidak perlu, Kathleen,” untuk pertama kalinya Duke membuka suara. “Selamat malam,” Duke berpamitan dan ia meninggalkan ruangan itu.

Sarita melihat pada Duke yang terus melangkah pergi kemudian pada Raja dan Ratu.

“Pulanglah bersama Duke, Sarita,” Raja tersenyum.

Sarita tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Otaknya masih belum sepenuhnya mencerna fakta yang baru saja didengarnya. Namun ia tahu saat ini ia hanya dapat mengikuti anjuran itu.

Semenjak menemui ibu Sarita, Halbert selalu menginginkan gadis itu pulang ke pelukan keluarganya. Namun sekarang ia tidak sanggup ditinggalkan gadis itu lagi. Dengan berat hati, ia melepaskan Sarita. Sinar sedih dan patah hati matanya mengikuti punggung gadis itu.

“Sekarang,” suara geram Ratu menarik perhatian Halbert, “Apa yang harus kulakukan denganmu?”

“Aku ingin beristirahat, Mama,” Halbert tidak menunggu reaksi ibunya. Saat ini ia hanya ingin menyendiri. Ia butuh waktu untuk menyembuhkan patah hatinya.

1 comment:

  1. Sarita tdk sebatang kara, dia sudh tau siapa ibu yg sebenarnya

    ReplyDelete