Tuesday, November 18, 2008

Kisah Cinta-Chapter 14

“Siapakah Anda?” mata jeli Brudce memperhatikan Sarita lekat-lekat.

“Saya adalah Sarita Yvonne Lloyd. Pangeran Halbert mengirim saya untuk merawat Duke of Vinchard,” jawab Sarita sopan.

Brudce terperanjat.

Sarita yakin pria tua ini pasti tidak tahu kedatangannya.

Prajurit menurunkan koper-koper Sarita yang sudah beranak-pianak menjadi lima koper – satu kopernya sendiri dan empat koper berisi barang-barang yang dikemasi Savanah untuknya.

Begitu mendengar Sarita akan pergi ke Quadville, Savanah terlihat sangat gembira hingga wajah dingin kakunya tidak dapat menutupi kegembiraannya itu. Ia langsung mengemasi barang-barangnya dan mempersiapkan keberangkatannya ke Quadville.

Sarita bersumpah ia melihat senyum puas Ratu Kathleen ketika mereka berpapasan di Hall.

Si anak haram akhirnya meninggalkan Istana!

Tidak seorang pun memprotes Sarita membawa pergi gaun-gaun yang bukan miliknya selama si anak haram tidak mencemari Istana.

Halbert pun terkesan ingin segera mengusirnya pergi. Tak sampai sepuluh menit setelah Halbert memerintahkannya pergi, pemuda itu sudah menyiapkan kereta kuda untuknya. Bahkan Halbert terlihat sangat gelisah ketika ia tidak segera muncul. Mungkin hanya Raja Marshall yang tidak tega ditinggalkannya. Berulang kali ia menyuruh Sarita kembali ke Istana bila ia tidak betah.

Tentu saja Sarita tidak akan kembali! Betah atau tidak, ia tetap akan meninggalkan Helsnivia. Pasti karena sudah tahu pikirannya inilah, Halbert memerintahkan prajurit untuk mengawal kepergiannya ke Quadville.

“Selamat datang, Tuan Puteri,” Brudce pulih dari kekagetannya. “Kami dengan senang hati menyambut kedatangan Anda,” katanya hormat. “Saya adalah Brudce, Kepala Rumah Tangga Quadville. Bila Anda membutuhkan sesuatu, jangan ragu mengatakannya pada saya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk Anda.”

Sarita terperangah. Inikah cara mereka menyambut seorang gadis yang akan menjadi perawat tuan mereka? Tampaknya Duke yang satu ini bukan orang yang mudah dihadapi.

“Bila Anda berkenan, saya akan membawa Anda menemui Duke sementara pelayan mempersiapkan kamar Anda.”

Ia pasti tidak tahu! Entah apa yang dipikirkan Halbert. Apa sekarang ia berpikir untuk menyembunyikannya di sini?

“Tentu,” Sarita tersenyum, “Saya akan senang sekali bertemu dengan Duke.”

Dengan tangannya, Brudce memerintahkan pelayan untuk membawa masuk koper-koper Sarita.

Sarita dapat melihat mata para pelayan pria itu terus memperhatikannya. Mereka pasti berpikir perawat seperti apakah dia? Datang dengan lima koper besar hanya untuk menjaga seorang sakit. Sarita tidak peduli. Toh bukan semuanya miliknya.

Brudce membawa Sarita ke kamar Duke of Vinchard.

Sarita mengikuti Brudce tanpa suara.

Brudce berhenti di depan pintu kayu putih. “Duke adalah seorang yang keras. Ia suka segalanya dilaksanakan seperti keinginannya,” Brudce memberitahu, “Kadang kala ia menjadi sangat pemarah dan cerewet.” Brudce melihat Sarita lekat-lekat. “Saya berharap Anda memahaminya. Bertahun-tahun ia tinggal di sini seorang diri.”

“Saya mengerti.”

Brudce mengetuk pintu dengan perlahan.

Seseorang membuka pintu. “Ada apa, Brudce?”

Sarita terperanjat.

Pria yang membuka pintu itu juga terkejut. “Mengapa Anda ada di sini, Lady Sarita?”

“S-saya pikir,” Sarita melihat Brudce lalu pada Gunter Elwood, pria yang baru dikenalnya kemarin malam.

“Apakah Anda mengenal Tuan Puteri, Tuan Muda?” tanya Brudce tidak kalah kaget.

“Ya,” jawab Gunter, “Semalam kami bertemu di pesta Viscount Padilla.” Gunter tidak melepaskan mata dari Sarita, “Apakah yang membuat Anda datang?”

“Pangeran mengirim saya untuk merawat Duke,” jawab Sarita. Sarita merasa sekarang giliran mereka menjawab kebingungannya. “Mengapa Anda di sini? Saya pikir Duke tinggal seorang diri.”

“Duke memang tinggal seorang diri,” jawab Gunter, “Aku adalah cucu keponakannya.”

“Tuan Muda Gunter adalah penerus Duke of Vinchard,” tambah Brudce.

Sarita bertanya-tanya. Apa yang sedang direncanakan Halbert? Tidak mungkin Halbert tidak tahu tentang ini. Apa mereka sedang bersekongkol untuk mempermainkannya?

“Apakah kau ingin bertemu Duke?” Gunter memberi jalan, “Ia baru saja tidur.”

“Bila Anda tidak keberatan.”

“Tentu saja tidak.”

“Tuan Muda,” kata Brudce, “Bila Anda mengijinkan, saya akan menyiapkan kamar untuk Tuan Puteri.”

“Pergilah, Brudce,” Gunter merestui, “Aku akan menemani Sarita.”

“Mari, Sarita,” Brudce meletakkan tangan di punggung Sarita dan dengan lembut membawanya masuk. “Kau tidak keberatan aku memanggilmu Sarita, bukan?”

“Tidak. Saya sama sekali tidak keberatan,” Sarita melangkah masuk.

“Kau bisa memanggilku Gunter,” Gunter menutup pintu dengan perlahan.

Sarita terpaku melihat seorang pria tua terbaring di tempat tidur. Sebuah perasaan rindu muncul di dadanya. Rasanya seperti melihat Duke Norbert terbaring di tempat tidur hanya saja ia jauh lebih tua.

“Kau tidak apa-apa, Sarita?” Gunter bertanya lembut melihat mata basah Sarita.

“Saya tidak apa-apa,” Sarita mengejap-ngejapkan matanya. “Rasanya seperti melihat Norbert,” bisiknya.

“Aku turut berduka atas ayahmu, Sarita.”

“Terima kasih,” Sarita mendekati Duke Vinchard yang tengah tidur pulas.

“Ia masih tidur,” Gunter memberitahu.

Sarita duduk di kursi di sisi tempat tidur. Ia meraih tangan keriput Duke dan meletakkannya di pipinya. Ah, betapa rindunya ia akan perasaan ini.

“Apakah kau mau berkeliling Quadville, Sarita?” tanya Gunter, “Aku akan mengantarmu berkeliling.”

“Tidak,” Sarita meletakkan tangan Duke kembali di sisi tubuhnya dan melihat Gunter, “Saya ingin berada di sini. Duke mungkin membutuhkan sesuatu jika ia terbangun.”

Gunter tersenyum. “Kau adalah seorang perawat yang baik. Aku percaya Duke akan menyukaimu.”

Sarita mengalihkan wajahnya kepada Duke.

“Aku harus pergi. Brudce akan memberitahumu jika kamarmu siap.”

Sarita mengangguk. “Selamat jalan.”

“Selamat siang, Sarita.”

Sarita tidak memperhatikan kepergian Gunter. Matanya kembali pada Duke Vinchard yang membuatnya merindukan Duke Norbert.

Berhari-hari dibutuhkan Sarita untuk memulihkan rasa sedihnya. Berhari-hari ia berjuang mengatasi kerinduannya pada Duke Norbert. Sekarang pria tua d hadapannya ini membangkitkan kembali kerinduannya. Hanya kesibukannya sebagai wali Chrislah yang dapat membuatnya melupakan sedih.

Tiba-tiba Sarita teringat tugas-tugasnya yang belum disentuhnya sama sekali hari ini. Sarita ragu apakah Halbert sudah meringkasnya untuknya? Apakah yang harus dilakukannya untuk mengirim suratnya pada Graham? Bagaimana surat-surat Graham akan tiba di tangannya?

Sarita berdiri menuju pintu.

Tunggu dulu! Langkah kakinya terhenti di depan pintu. Ia sama sekali tidak tahu di mana kamar barunya. Ia tidak tahu jalan kecuali jalan ke pintu masuk!

“Sharon…”

Sarita melihat tempat tidur.

“Sharon, kaukah itu?”

Mata Duke melihat ke arahnya dengan sayu.

“Sharon?”

Sarita kembali ke sisi Duke. “Ya, aku di sini,” ia berlutut di sisi Duke dan menggenggam tangannya dengan lembut.

Ayahnya dan Duke Norbert sering seperti ini ketika mereka akan meninggal.

Duke of Vinchard tidak akan meninggal, bukan? Sarita berpikir sedih. Sarita tidak mau melihat orang lain pergi di hadapannya.

“Sharon, kau sudah pulang,” Duke tersenyum lemah. Tangannya terulur meraih kepala Sarita. “Kau sudah pulang, Sharon.”

Sarita melihat senyum bahagia di wajah Duke dan ia memutuskan untuk terus bermain sebagai Sharon. “Ya, aku sudah pulang,” bisik Sarita.

Senyum di wajah Duke semakin melebar kemudian tangannya jatuh lemas.

Detak jantung Sarita terhenti. ‘Ia tidak mungkin mati!’ Dengan panik ia memeriksa nafas Duke.

Sarita langsung duduk lega di lantai ketika merasakan nafas Duke yang teratur. Matanya mengawasi nafas Duke of Vinchard yang teratur itu. Perasaannya kembali tenang.

Sarita meraih kursinya dan duduk mengawasi senyum di wajah Duke.

Duke Norbert juga tersenyum seperti ini ketika ia meninggal. Sarita tidak ingat apakah ayahnya juga tersenyum ketika ia pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Suara ketukan di pintu menyadarkan Sarita dari lamunannya.

Sarita beranjak bangkit untuk membuka pintu.

“Utusan Pangeran Halbert datang mengantar ini untuk Anda,” Brudce menyerahkan sebuah kotak coklat pada Sarita, “Katanya ini sangat penting.”

Sarita membuka tutupnya dan ia terkesiap. Savanah rupanya melupakan kertas-kertas kerjanya.

“Ia juga berkata setiap hari ia akan datang pada waktu biasa untuk mengantar surat-surat Anda.”

Sarita merasa ia harus berterima kasih pada Halbert. Halbert benar-benar memperhatikannya dalam hal satu ini. Bahkan ketika ia sudah tidak ada di Ririvia pun, Halbert masih mengutus orang khusus untuknya.

“Tuan Puteri,” Brudce berkata hati-hati, “Saya mendengar tentang ayah Anda. Saya turut berdua cita.”

“Terima kasih.” Ini kali kedua ia menerima bela sungkawa hari ini.

“Kamar Anda sudah hampir siap. Apakah Anda mau memeriksanya?”

Sarita melirik Duke Ephraim yang masih tidur nyenyak. “Tentu,” jawabnya.

“Ijinkan saya membawanya untuk Anda, Tuan Puteri,” Brudce mengulurkan tangan.

“Tidak perlu. Aku sangat memerlukannya,” Sarita menolak halus, “Brudce, aku punya satu permintaan.”

“Katakan, Tuan Puteri. Saya akan melakukan apa pun permintaan Anda.”

“Bisakah kau memindahkan sebuah meja kerja untukku ke dalam kamar Duke?”

Raut wajah Brudce jelas menyatakan ia tidak dapat memahami permintaan Sarita tapi ia tetap berkata, “Tentu, Tuan Puteri.”

“Terima kasih, Brudce,” Sarita tersenyum, “Aku akan meletakkan kotak ini di dalam kemudian aku akan pergi denganmu.”

“Baik, Tuan Puteri. Saya akan menanti Anda di sini.”

Sarita segera meletakkan kotak itu di sisi tempat tidur kemudian menemui Brudce.

Brudce membawa Sarita ke kamar kedua setelah kamar Duke. “Saya mempersiapkan kamar ini untuk mempermudah Anda,” ia membuka pintu kamar.

Tiga orang wanita sibuk memindahkan isi koper-koper Sarita ke ruang ganti. Dan dua orang lain sibuk merapikan tempat tidur.

Kelimanya bekerja di bawah pengawasan seorang wanita tua.

Mereka langsung berhenti mendengar langkah kaki Sarita dan menatapnya lekat-lekat.

Sarita merasa pandangan mereka seperti berkata: inikah si perawat kaya itu?

“Oh, Tuan Puteri Sarita,” wanita tua itu menyambut Sarita dengan haru, “Saya sungguh gembira Anda mau datang.” Wanita itu menggenggam jari Sarita erat-erat hingga gadis itu kesakitan.

“Apa yang kalakukan di sini, Zielle?” Brudce bertanya kaget, “Bukankah aku melarangmu ke sini?”

“Kau tidak berhak melarangku menemui Tuan Puteri,” protes Zielle.

Sarita hanya dapat berdiri dengan bingung.

“Maafkan atas gangguan kecil ini, Tuan Puteri,” Brudce berkata dengan nada bersalahnya, “Saya sudah melarang Zielle tapi rupanya ia terlalu bersemangat untuk menemui Anda.”

“Jangan dipikirkan,” Sarita berpikir begitu sulitkah menjaga Duke Vinchard hingga wanita tua ini begitu bersemangat untuk menemuinya? Pasti wanita ini adalah orang yang merawat Duke sebelum ia datang. Tak heran ia terlihat begitu antusias.

“Zielle,” Sarita tersenyum lembut. “Mengapa kau tidak beristirahat? Aku yakin mereka bisa mengatur kamarku.”

“Tugas saya adalah melayani Anda!” Zielle bersikeras.

Sarita heran. Beginikah cara keluarga ini memperlakukan seorang perawat? Ia tidak pernah mendengar seorang perawat dilayani secara khusus.

Mungkinkah…

Sarita menatap lekat-lekat wajah tua itu.

Mungkinkah Ratu Kathleen memerintahkan Zielle mengawasinya? Wanita ini terlihat berbeda dari Savanah tapi mungkin tujuan mereka sama. Apakah sekarang Ratu Kathleen mau memastikan ia tidak akan menemui putranya lagi?

Sarita merasakan sebuah keinginan kuat untuk menulis surat pada Ratu Kathleen menyatakan ia tidak tertarik pada Halbert dan ingin segera menjauhinya selekas mungkin setelah Duke membaik dan sebelum ia benar-benar jatuh cinta hanya untuk patah hati.

“Aku sungguh menghargainya namun aku di sini bukan untuk dilayani. Keberadaanku di sini adalah untuk menjaga Duke Vinchard sesuai perintah Pangeran Halbert.”

Zielle memperhatikan Sarita lekat-lekat hingga Sarita merasa tidak nyaman.

“Makan siang akan segera tersedia,” Brudce menarik perhatian Sarita, “Apakah Anda ingin pelayan mengantar makanan ke kamar Duke?”

“Bila itu tidak merepotkan,” sambut Sarita, “Aku akan sangat senang bila kau mau melakukannya.”

“Tentu, Tuan Puteri,” Brudce cepat-cepat berkata dengan hormat, “Adalah kehormatan bagi kami untuk dapat melayani Anda.”

Sarita menyerah.

Entah apa yang mereka pikirkan. Mereka terus memperlakukannya dengan hormat seperti memperlakukan majikannya. Apakah karena mereka tahu ia adalah putri almarhum Duke of Cookelt? Sarita tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Orang-orang di Sternberg pun tidak memperlakukannya sehormat ini.

Sarita mengijinkan dirinya sendiri untuk tidak memusingkan masalah ini. Untuk saat ini ia tahu pekerjaannya bertambah.

Ia tidak akan menyalahkan Halbert. Menjaga Duke Vinchard membawa kepuasan tersendiri bagi Sarita sambil mengurus Cookelt.


-----0-----



“Halbert, di mana Sarita?” tanya Raja Marshall. “Seharian ini aku tidak melihatnya. Apakah ia belum kembali?”

“Aku mengirimnya ke Quadville,” jawaban itu membelalakkan mata Raja.

“Ke…… Quadville,” Raja belum pulih dari kekagetannya.

“Aku memintanya menjaga Duke of Vinchard.”

“KAU GILA!??” Raja Marshall panik, “Dari sekian banyak tempat, mengapa kau harus mengirimnya ke sana!? Apa kau.”

“Marshall!” seru Ratu tidak senang. Mata dinginnya langsung menutup mulut Raja Marshall rapat-rapat. “Tidak ada pembicaraan tentang gadis itu!” ia menegaskan lalu beralih pada Halbert. “Mengerti!?”

Halbert tidak mengeluarkan satu patah katapun. Ratu memang tidak menyukai Sarita semenjak mereka bertemu tapi baru kali ini ia benar-benar menunjukkannya.

Halbert menyadari Ratu Kathleen mempunyai alasan bagus untuk membenci Sarita. Sarita bukan anak dari keluarga terhormat. Ia adalah anak haram. Bagaimana ia mengharapkan ayah ibunya menerima Sarita?

Gadis itu sendiri adalah suatu masalah lain.

Jelas terlihat Sarita ingin menjauhinya. Setiap saat ia selalu berkata ingin pergi, ingin pergi, dan ingin pergi. Sekarang ia sudah benar-benar pergi!

Halbert mendesah. Mengapa ia membuat keputusan segegabah itu? Belum sehari ia berpisah dengan Sarita. Sekarang ia sudah begitu merindukannya.

“Aku peringatkan jangan sampai aku mendengarmu pergi ke Quadville,” Ratu Kathleen membaca pikiran Halbert, “Jangan salahkan aku mengurungmu kalau itu sampai terjadi,” ia mengancam serius, “Aku tidak ingin mendengar kau berhubungan dengannya!”

Halbert tidak bersuara.

“Besok ayahmu ada pertemuan penting di Travlienne. Aku ingin kau pergi dengannya.”

“Ya, Mama.” Saat Ratu Kathleen mulai berkata keras, tidak ada yang boleh melawannya.

Memang orang sabar bisa menjadi sangat menakutkan ketika marah.

“Cepat habiskan makananmu dan segera tidur!” perintah Ratu, “Besok masih banyak tugas menantimu.”

“Ya, Mama.” Mungkin kesibukan yang paling diperlukannya saat ini. Kesibukan hingga tidak suatu saat pun tersisa untuknya memikirkan Sarita.

Halbert termenung. Mampukah dia?


-----0-----



Sarita memperhatikan Dokter memeriksa Duke Vinchard dengan was-was.

Sudah dua hari ini ia merawat Duke. Selama dua hari ini pula Duke tidak sadar diri. Hanya ingauannyalah yang meyakinkan Sarita Duke masih hidup.

Kemarin Sarita sudah meminta Gunter memanggil dokter namun pria itu mengatakan dokter keluarga mereka sedang sibuk. Baru siang inilah Gunter muncul bersama dokter.

Dokter selesai memeriksa Duke.

Sarita dengan tidak sabar menanti dokter meringkas peralatannya.

“Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya Sarita.

Dokter Freddy tersenyum, “Tak diragukan lagi putri Sharon.”

“Sharon?” Sarita heran. “Siapa dia?”

“Dokter Freddy,” Gunter mengulangi pertanyaan Sarita, “Apakah Duke sudah membaik?”

Sang dokter terkejut. “Oh ya… ya…,” katanya gugup.

Sarita melihat dua pria itu dengan bingung.

“Jangan khawatir. Keadaan Duke sudah lebih stabil,” Dokter Freddy memberitahu, “Saya yakin dalam waktu dekat ini Duke akan sembuh seperti semua. Anda memang seorang perawat yang baik, Lady... er… Lady…”

“Sarita Yvonne Lloyd,” Sarita menyebut namanya. “Nama salah Sarita Yvonne Lloyd.”

“Yvonne Lloyd…,” Dokter Freddy mengulangi dengan takjub.

Sarita mulai merasa ada yang tidak beres dengan dokter ini. Semenjak ia memasuki kamar, ia selalu terlihat seperti ini. Anehnya, Sarita sama sekali tidak merasa jijik padanya seperti yang dirasakannya pada pria-pria di Trottanilla. Dokter Freddy bukan terpesona olehnya. Tidak mungkin semua pria di Helsnivia tahu akan masa silamnya. Itu tidak mungkin! Pasti ada alasan lain yang membuatnya terbengong-bengong seperti ini.

Mungkinkah… Mungkinkah Pangeran Halbert?

Tidak! Itu mustahil! Halbert tidak mungkin melakukan ini padanya. Tapi… mungkin juga penyebabnya adalah Halbert – hubungannya dengan sang Putra Mahkota Helsnivia.

“Sarita,” Gunter membuyarkan lamunan Sarita, “Aku akan mengantar dokter pulang. Aku yakin ada pasien lain yang menantinya.”

“Sebelum Anda pergi, bisakah Anda memberitahu apa yang harus saya lakukan?”

“Anda lebih tahu dari saya,” jawab Dokter Freddy, “Kabari saya kalau Duke sudah bangun.”

Sarita mengantar mereka sampai ke pintu.

“Mengapa Anda tidak memberitahu saya, Tuan Muda Gunter?” Sarita mendengar Dokter Freddy bertanya pada Gunter ketika mereka menjauh.

“Aku tidak tahu, Freddy. Aku tidak yakin hubungannya dengan Sharon.”

Ini bukan kali pertama Sarita mendengar nama itu. Duke selalu memanggil nama itu dalam ingauannya. Sarita merasa ia perlu tahu tentang Sharon dan hubungannya dengan penyakit Duke ini.

“Sharon…”

Sarita menuju tempat tidur. “Aku di sini,” Sarita menggenggam tangan Duke. Sesaat Sarita melihat senyum di wajah keriput Duke. Ia merasa Duke menggenggam tangannya erat-erat.

Sarita tersenyum. Hubungan antara dua manusia memang sulit dijelaskan. Ia baru melihat Duke Ephraim dua hari lalu namun ia merasa seperti sudah mengenalnya sejak lama. Ia baru mendengar suara Duke Ephraim dua hari lalu namun rasanya ia sudah lama merindukan suaranya. Baru dua hari mereka bertemu tapi Duke sudah bukan orang asing. Sarita menyayanginya. Sarita mencintainya sebagai keluarganya.

Sarita mendengar pintu diketuk dan sesaat kemudian Brudce masuk membawa kirimannya dari Trottanilla.

“Terima kasih, Brudce,” Sarita beranjak dari sisi Duke, “Brudce, ada suatu hal yang ingin aku ketahui.”

“Katakan, Tuan Puteri,” kata Brudce, “Saya akan menjawab sejauh yang saya ketahui.”

“Siapakah Sharon?”

Brudce terkejut mendengar pertanyaan itu.

“Duke selalu memanggil namanya. Dokter Freddy juga menyebutnya. Apakah dia adalah almarhum Duchess?”

“Ia…,” mata Brudce melirik Duke, “Saya tidak tahu. Maafkan saya, Tuan Puteri. Saya tidak dapat menjawab pertanyaan Anda.”

Sarita merasa Brudce berbohong tapi ia tidak dapat memaksanya mengatakan sesuatu yang tidak bisa dikatakannya.

“Tidak mengapa,” kata Sarita, “Aku akan bertanya pada yang lain.”

Sarita yakin pasti ada seseorang dalam bangunan ini yang mengenal seorang wanita yang bernama Sharon ini. Namun ketika Sarita menanyakannya pada setiap orang di Quadville, tidak ada yang dapat menjawab pertanyaannya itu. Reaksi mereka semua sama dengan reaksi Brudce: takut dan tidak tahu!

Semakin sering Sarita mendapat jawaban seperti itu, semakin Sarita yakin mereka tahu siapa Sharon yang selalu dipanggil Duke. Duke Vinchard pastilah orang yang membuat mereka tidak berani menyebut wanita itu padanya.

Hanya satu jawaban yang berbeda yang ia dengar dari mulut Gunter namun itu sama sekali tidak membantu. “Bagaimana aku bisa mengetahuinya? Aku tidak setua Duke,” kata Gunter ketika Sarita bertanya. Sarita percaya pria ini pun berbohong padanya. Ia mendengar sendiri Gunter menyebut nama Sharon pada Dokter Freddy.

Pada akhirnya, Sarita mengambil kesimpulan Sharon adalah almarhum Duchess yang begitu dicintai Duke sehingga dalam mimpi pun ia sering menjumpainya. Yang terpenting, ia tidak mempunyai urusan dengan Sharon. Tugasnya saat ini adalah merawat Duke hingga Duke sehat!

1 comment: