Thursday, November 13, 2008

Kisah Cinta-Chapter 13

Sarita memperhatikan Halbert berjalan di antara sekompi pengagumnya dengan sedih. Halbert tidak akan pernah kekurangan wanita. Bahkan wanita yang telah ditinggalkannya rela mengantri lagi hanya untuk dapat bersamanya.

Semalam setelah Halbert pergi, ia langsung berbaring di tempat tidur tapi ia tidak dapat tidur. Tubuhnya terus mengenang Halbert. Pikirannya tidak dapat lepas dari Halbert. Sentuhan Halbert telah membuatnya takut – takut akan dirinya sendiri.

Ketika Halbert menyentuhnya, Sarita takut. Namun sentuhan Halbert yang begitu lembut membuatnya tenang. Ciumannya yang begitu memabukkan membuatnya melupakan segala ketakutannya. Hanya Tuhan yang tahu persis apa yang membuat Halbert tiba-tiba berhenti.

Namun Sarita percaya Halbert pasti sadar betapa berbedanya dunia mereka. Halbert pasti sadar ia, sang Putra Mahkota, tidak bisa membuat affair apapun dengan seorang gadis biasa.

Pagi ini ketika mendengar langkah kaki Halbert, ia memutuskan ia HARUS berbicara dengannya!

Sarita memperhatikan senyum Halbert menyambut sapaan wanita-wanita cantik itu. Ia menyadari Halbert akan melupakannya seperti ia melupakan wanita-wanita yang pernah melintasi petualangan cintanya. Sarita tidak menyukai itu! Ia tidak ingin menjadi seorang dari mereka!

“Anda mendapat sambutan hangat seperti biasa,” Sarita kaget menyadari ia masih bisa tersenyum manis.

“Mengapa kau di sini?” Halbert turun dari kudanya, “Di mana Wyatt?”

“Mari kita masuk,” Halbert memberi jalan pada Sarita.

Ah, tentu saja ia tidak mengharapkannya. Halbert pasti tidak mau terlihat bersama si gadis miskin.

Seorang dari pengawal Sarita mengambil tali kekang kuda dan membawanya kembali ke istal di belakang Istana.

“Apakah kau menungguku?” Halbert dengan tidak sabar mengungkapkan luapan kegembiraannya.

Sarita mundur dengan kaget.

Halbert memperhatikan ekspresi kepanikan di wajah cantik Sarita dengan kecewa.

Pagi ini ia meninggalkan Istana jauh lebih awal dari biasanya untuk melepaskan segala frustasinya. Tapi ia gagal. Sedikitpun ia tidak bisa berhenti memikirkan Sarita.

Sejak awal ia tahu gadis ini berbeda dengan wanita-wanita yang lain. Di awal pertemuan mereka, ia memutuskan Sarita tidak akan pernah menjadi wanitanya. Sekarang pun tidak!

Pertama ia melihatnya sebagai anak haram yang mempesona dan angkuh. Kemudian ia melihat kerapuhannya di balik wajah cantiknya yang dingin. Sekarang ia tahu ia bisa berbicara berbagai hal dengannya tanpa merasakan perbedaan antara pria dan wanita.

Begitu ia melihat Sarita di pintu, ia menyadari betapa ironisnya cinta ini. Sarita membuatnya berada dalam posisi yang membingungkan – disukai atau dibenci? Kadang ia begitu hangat dan terbuka. Kadang ia begitu dingin dan menjauh.

Ironis! Benar-benar ironis! Mengapa ia bisa jauh cinta pada seorang gadis yang begitu polos? Tapi inilah Sarita, bukan? Ia adalah si gadis cantik yang tidak menyadari pesonanya sendiri. Halbert ingin tahu apakah Sarita masih akan sedemikian acuhnya jika ia sadar akan daya tariknya.

Semalam ia benar-benar tersiksa. Butuh usaha keras untuk tidak mencium Sarita dan mengungkapkan segala cintanya. Ia begitu merindukan Sarita, gadis yang hanya berbatasan tembok dengannya namun jauh dari jangkauan. Ia begitu ingin memeluk Sarita, menciumnya, mencintainya dengan segala kelembutan yang ia tahu.

Hanya penolakan inilah yang menghentikannya.

Sarita mengikuti Halbert melintasi Hall tanpa suara.

Semalam Halbert telah membuatnya sadar ia tidak akan pernah mejadi Sarita yang dulu lagi. Ia akan selalu merindukan sentuhan Halbert. Ia akan selalu merindukan kehangatan pelukannya.

Sarita sadar sebelum ia benar-benar tergila-gila pada Halbert, ia harus pergi sejauh mungkin dari pemuda ini. Halbert sudah sadar jiwa petualangannya tidak bisa membawanya membuat affair dengan gadis biasa. Sekarang ia pasti akan melepaskannya.

‘Setelah aku pergi, akankah ia mengenangku?’ Sarita berpikir sedih tanpa melepaskan mata dari pemuda yang begitu tampan dan gagah ini. Tidak! Ia tidak bisa membiarkan dirinya sendiri jatuh semakin jauh dalam pesona pemuda yang hanya akan menyakitinya ini.

“Pangeran,” Sarita berkata perlahan namun jelas, “Hari ini saya akan meninggalkan Istana.”

Langkah kaki Halbert langsung terhenti. Matanya menatap Sarita dengan tidak percaya. Semalam ia baru menyadari cintanya pada gadis ini dan pagi ini gadis ini ingin pergi meninggalkannya!

“Kau tidak akan ke mana-mana,” Halbert menegaskan.

“Saya adalah tamu Anda, bukan tawanan. Saya bisa pergi kapanpun saya mau. Anda tidak berhak menghalangi saya.”

“Begitu inginkah kau pergi?” Wajahnya yang tegang tidak melepaskan setiap ekspresi Sarita. “Mau pergi ke mana kau!?”

Sarita tidak bisa membiarkan pikirannya mengembara. “Ke mana pun kaki saya melangkah.”

“Tidak, Sarita. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi,” Halbert menegaskan. Dengan cepat ia mencari alasan tepat untuk melarang Sarita, “Kau tidak punya tujuan. Kau tidak punya tempat berteduh.” Dan kaki Halbert melangkah cepat menjauhi Sarita.

“Di mana langit menaungi, itulah rumah saya. Sejak kecil saya terbiasa tidur di mana pun.”

“Tidak,” bibir Halbert berdesis menahan emosi. Inilah gadis yang menjerat hatinya. Apa yang membuat Sarita berpikir ia akan membiarkannya pergi!? “Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkan Ririvia! Selangkahpun tidak!” Dan ia berjalan cepat meninggalkan Sarita.

Sarita berdiri termangu. Mengapa Halbert masih tidak dapat membiarkannya pergi? Hanya Tuhan yang tahu apa yang dimainkan jiwa petualangan pemuda itu.

Suasana makan pagi itu lebih dingin dari biasanya. Untuk alasan yang yang tidak diketahui Sarita, Halbert tidak dalam suasana hati senang. Ia yang biasanya selalu mengobrol dengan ayahnya tentang urusan Helsnivia, diam seribu bahasa.

Sarita tidak mau terlalu berspekulasi tentang sumber suasana hati Halbert. Sarita sudah memutuskan untuk pergi dengan atau tanpa sepengetahuan Halbert. Ia mendapat ijin dari Raja Marshall untuk meninjau gudang pangan mereka di Travlienne. Sarita berencana untuk langsung meningalkan Ririvia setelahnya.

Tapi ketika Sarita kembali ke kamarnya, ia ragu rencananya akan berjalan mulus.

“Saya sudah menyiapkan kereta untuk Anda,” Savanah menyambut kedatangannya dengan senyum.

Sarita tidak tahu bagaimana Savanah tahu tentang rencana kepergiannya ke Travlienne.

“Apakah Anda sudah siap untuk pergi” Savanah mengambil sebuah topi untuknya dan demi kekagetan Sarita sendiri, Savanah membawa topi untuk dirinya sendiri!

“Saya akan menemani Anda,” ia menjawab kekagetan Sarita.

Bagus! Ratu Kathleen pun tidak mau ia pergi tanpa memuaskan jiwa petualang putra kesayangannya.

“Ke mana Anda akan pergi, M’lady?” pengawal Sarita langsung bertanya, “Pangeran memerintah kami untuk tidak membiarkan Anda meninggalkan Istana.”

Tentu saja! Ia adalah sang Pangeran di tempat ini.

“Paduka Raja memberi Lady Sarita ijin untuk meninjau gudang di Travlienne. Aku akan pergi bersamanya,” Savanah menjawab.

“Maka kami pun akan pergi bersama Anda,” kata prajurit yang lain.

Lengkaplah sudah! Mengapa ia bisa melupakan tiga petugas penjaranya ini?

“Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri.”

“Kami diperintah untuk menjaga keselamatan Anda selama Anda berada di Helsnivia,” Savanah memberitahu.

“Pangeran memerintah kami untuk tidak meninggalkan Anda selangkah pun.”

Dan ia tidak punya suara? Sarita melihat tiga orang itu dengan putus asa. Tampaknya ia harus memikirkan cara lain.

Sekarang Ratu Kathleen sudah campur tangan. Halbert pasti puas melihatnya pergi tanpa meninggalkan seorang pun dari tiga petugas penjaranya.

Sarita mengikuti Savanah memasuki kereta dengan tidak senang. Apakah Halbert akan membiarkannya pergi setelah ia membuat berita besar seperti teman-teman kencannya yang lain?

Di dalam Ruang Tahta, Halbert memikirkan Sarita dengan putus asa. Pikirannya sudah tidak lagi tertuju pada pembicaraan orang tuanya. Ia berniat membuka jendela dan matanya memangkap pemandangan yang menakutkan itu.

Ia harus menghentikan Sarita!

“Mau ke mana kau!?” suara tinggi Ratu menghentikannya.

“Sarita mau pergi, Mama!”

“Kau tidak akan ke mana-mana!” Ratu menegaskan dengan suara dinginnya.

“Aku harus menghentikannya!”

“Jangan berpikir untuk menyentuhnya!” Ratu Kathleen memperingati, “Ia bukan untukmu!”

“Ia akan pergi,” Halbert memberitahu dengan tidak sabar, “Ia tidak punya tempat tinggal. Aku harus menghentikannya,” Halbert membuka pintu.

“BERHENTI!” seru Ratu.

Halbert terkejut. Ibunya tidak pernah berseru seperti ini padanya.

“Ia tidak akan ke mana-mana,” Ratu menatapnya dengan murka.

“Sarita tidak akan pergi ke mana-mana, Halbert,” Raja Marshall memberitahu dengan suaranya yang sabar – berbeda dengan Ratu yang kehilangan control melihat tingkah putranya.

“Tapi…”

“Pergi kunjungi Duke Vinchard!” perintah Ratu.

Duke of Vinchard? Ada apa dengannya? Bukankah kemarin malam ia masih sempat mengunjungi Istana?

“Duke Vinchard jatuh sakit. Cepat kunjungi dia. Jangan membuatku malu!”

Halbert terperangah melihat wajah murka ibunya yang lembut. Mata hijau yang menatap tajam padanya itu menyalahkannya.

“Cepat pergi!” Ratu sudah hampir berteriak karena kesalnya.

Halbert tidak membantah. Ratu yang marah seperti ini tidak dapat diajak berunding. Ini kali pertama Halbert melihat ibunya murka seperti ini.

Halbert dapat memahami mengapa Ratu murka. Mereka tengah membicarakan masalah kerajaan dan ia membingungkan Sarita.

Sikap ibunya sudah mulai berubah sejak Sarita menginjakkan kaki di Istana. Ratu tentulah murka. Ia telah membawa pulang wanita. Halbert tidak pernah melakukannya sebelumnya dan ketika ia melakukannya untuk kali pertama, ia membawa pulang anak haram. Tentu saja Ratu Kathleen marah. Belum lagi ditambah sikap ayahnya yang hangat. Setiap ada kesempatan Raja pasti akan berbicara dengan Sarita. Halbert pun pernah melihat mereka tertawa bersama di suatu siang di Ruang Perpustakaan.

Halbert tidak ingin bersitegang dengan Ratu yang akhir-akhir ini sudah panas. Ia segera mempersiapkan diri untuk pergi ke Quadville, kediaman Duke of Vinchard. Namun pikirannya terus tertuju pada ketakutannya akan kepergian Sarita.

Atas dasar apa Ratu yakin Sarita tidak akan pergi ke mana-mana? Tapi Raja yang tidak ingin Sarita pergi pun yakin. Tentu ada sesuatu yang mereka tentang kepergian Sarita ini, yang tidak ia ketahui.

‘Setidaknya Sarita tidak membawa kopernya,’ Halbert mencoba meredakan kepanikannya melihat koper besar Sarita masih di samping tempat tidur.

Satu jam kemudian Halbert sudah berada di Quadville.

“Selamat datang di Quadville, Pangeran,” sambut Brudce – sang Kepala Rumah Tangga Quadville.

“Aku mendengar Duke of Vinchard jatuh sakit.”

“Istana memang cepat,” Brudce tersenyum.

“Apa yang terjadi? Kemarin malam aku melihatnya meninggalkan Istana.”

“Duke sudah tua, Yang Mulia. Sudah sewajarnya ia sakit-sakitan.”

Halbert tidak mempercayainya. Walau Duke sudah berkepala tujuh, Halbert masih sering melihatnya pergi berkuda atau berburu. Duke of Vinchard memang sudah tua namun jiwanya tidak pernah menua.

Brudce membawa Halbert menemui Duke of Vinchard.

Seorang pria tua yang terbaring dengan wajah lesu di tempat tidur membuat Halbert tertegun. Sekalipun ia tidak pernah membayangkan akan melihat Duke of Vinchard yang keras dan aktif ini terbaring tanpa daya di tempat tidur.

“Siapa? Sharonkah?” suaranya yang lemah bertanya.

“Pangeran Halbert datang menjenguk Anda, M’lord,” Brudce memberitahu.

Halbert berdiri di sisi Duke. “Saya dengar Anda jatuh sakit. Apakah Anda sudah merasa lebih baik?”

Duke memalingkan wajah.

Halbert melihat Brudce dengan bingung.

“Duke sedang dalam suasana hati buruk. Ia selalu seperti ini setiap kali ia sakit. Tidak seorang pun berani mendekatinya ketika ia dalam suasana hati buruk kecuali saya.”

Untuk seorang pria yang selalu aktif seperti Duke of Vinchard, sudah sewajarnya ia tidak suka berdiam diri di tempat tidur.

“Apakah kau sudah memanggil Dokter?”

“Sudah, Yang Mulia.”

“Apa katanya?”

Duke hanya terkena demam biasa tapi…,” Brudce hanya mengangkat bahu dengan pasrah.

Halbert melihat Duke. Untuk pria tua seusianya, demam biasa pun bisa mematikan. Halbert bersimpati padanya. “Adakah yang bisa saya lakukan untuk Anda?” Halbert memegang tangan keriput itu.

Duke sama sekali tidak menghiraukannya.

Halbert mengikuti pandangan Duke. Seketika tubuhnya membeku.

Sarita! Bagaimana lukisan Sarita biasa berada di sini!? Halbert melihat Duke yang tampak tidak bertenaga itu. Apakah Duke datang ke Istana untuk dirinya sendiri? Apakah ini alasan ibunya menyuruh Savanah mengawasi Sarita? Entah bagaimana Duke mengetahui tentang Sarita. Hidup seorang diri di Kastil Quadville yang megah tanpa istri dan anak pasti membuatnya kesepian. Halbert sudah mendengar Duchess of Vinchard meninggal puluhan tahun lalu tanpa meninggalkan keturunan pada Duke. Apakah kecantikan Sarita pun mempesona Duke of Vinchard?

Halbert berdiri di bawah lukisan itu dan memperhatikannya lekat-lekat. Saat itulah ia sadar gadis muda dalam lukisan itu bukan Sarita. Gadis itu benar-benar mirip Sarita kecuali sepasang mata hijaunya yang menantang penuh keberanian.

Halbert terkesiap.

“Siapa dia?” ia bertanya pada Brudce.

Brudce diam membisu. Matanya melirik Duke yang terus menatap lukisan itu dari tempat tidur lalu pada Halbert yang menatapnya dengan wajah pucat.

“Ia adalah Lady Sharon Elwood, putri Duke Vinchard.”

“Putri Duke!?” Halbert membelalak.

“Duchess hanya meninggalkan seorang putri ketika ia meninggal. Duke sangat mencintai Lady Sharon. Namun Tuan Puteri memilih untuk pergi meninggalkan Duke demi pria yang dicintainya.”

Penjelasan singkat itu langsung membuat Halbert menghambur keluar. “Aku pergi dulu, Brudce. Aku akan mengirim orang untuk merawat Duke.”

Halbert yakin ia baru menemui ibu Sarita. Dapat dimengerti mengapa Duke of Vinchard tidak merestui cinta putrinya. Menjadi wanita simpanan pria lain bukanlah suatu hal yang bisa diterima orang seperti Duke of Vinchard.

“Di mana Sarita?” tanya Halbert begitu ia menginjakkan kaki di Istana.

“Lady Sarita belum kembali, Yang Mulia,” jawab Wyatt.

Jawaban itu membuat Halbert langsung melesat ke kamar Sarita.

Koper Sarita masih di sisi tempat tidur.

Halbert membuka isinya – memastikan Sarita tidak bermain licik dengannya.

Bagus, baju-baju Sarita masih di sana.

Tunggu dulu! Akhir-akhir ini Sarita tidak mengenakan gaun-gaun katunnya yang kasar.

Sarita beranjak ke lemari baju Sarita.

Deretan gaun-gaun sutra Sarita yang berjajar rapi di dalam lemari membuat Halbert lega tapi itu tidak mampu membuatnya tenang. Ia terus berjalan mondar-mandir dari pintu ke pintu serambi.

Halbert sudah hampir meledak ketika akhirnya ia mendengar langkah-langkah kaki ringan Sarita mendekat.

“Ke mana saja kau!?”

Sarita kaget. Pintu kamarnya terbuka bahkan sebelum ia memegang pegangan pintu dan wajah murka Halbert menyerangnya.

“Aku pergi bicara denganmu!” Halbert menarik Sarita dengan kasar dan menutup pintu di hadapan tiga orang yang masih belum pulih dari kaget itu.

Sarita melihat Halbert dengan bingung. Ada apa dengan pemuda ini? Apa jiwa petualangannya sekarang menyesali kesempatan yang telah disia-siakannya semalam?

“Ke mana saja kau!?” Halbert bertanya dengan murka.

“Saya pergi ke Travlienne,” jawab Sarita – kebingungan oleh kemurkaan Halbert yang tidak beralasan. Dan ia menambahkan, “Paduka Raja mengijinkan saya pergi.”

“Papa tidak ingin kau pergi,” desis Halbert, “Ia bahkan takut kau tidak betah tinggal di Istana.”

Jadi inilah alasannya. Pantas saja akhir-akhir ini Raja Marshall selalu bertanya apakah ia betah, apakah ia membutuhkan sesuatu.

“Saya mendapat ijin untuk meninjau gudang pangan di Travlienne untuk referensi pembangunan gudang Cookelt yang baru.”

Kemurkaan Halbert langsung mereka oleh nama itu. Ia duduk di ranjang.

Tiba-tiba saja ia merasa kepenatan yang teramat sangat. Matanya menatap gadis yang masih menatapnya dengan mata tidak berdosanya. Ia begitu takut kehilangan Sarita tapi gadis ini terus menerus menyatakan ingin pergi. Mungkin setelah kembali ke pelukan keluarganya pikiran itu akan pergi dari kepala cantik itu.

“Siapa nama ibumu, Sarita?”

Suara lembut Halbert membuat Sarita kian kebingungan. “Saya tidak tahu,” dan ketika melihat ekspresi wajah Halbert, ia menambahkan. “Papa tidak pernah menyebut apapun tentang dia.”

Halbert termenung. Ini artinya Sarita benar-benar tidak tahu ia masih punya keluarga di Helsnivia.

“Kemasi barangmu, Sarita. Kau akan tinggal di Quadville.”

Sarita membelalak. Halbert tidak mau ia pergi dan sekarang ia mengusirnya!?

“Duke of Vinchard jatuh sakit. Ia membutuhkanmu.”

“Membutuhkan saya? Mengapa?”

“Karena kau berpengalaman merawat orang sakit,” jawab Halbert – menolak memberikan jawaban yang sebenarnya. Ia tidak mau mengatakan apa pun mengenai temuannya ini sebelum ia membuktikan kebenarannya. “Akau melihat kau merawat almarhum Duke Norbert dengan sangat baik. Duke Ephraim pasti akan senang kalau kau mau merawatnya.”

Sarita melihat wajah tampan yang sekarang melembut itu. Ia tidak mengerti. Ia tidak tahu apa yang dipikirkan petualang satu ini. Tapi Sarita tidak menolak.Pergi ke Quadville adalah langkah pertama yang bagus untuk menjauhi Halbert. Di Quadville tidak ada Savanah maupun dua prajurit yang selalu mengekornya. Ia bisa memulai petualangannya dari Quadville.

1 comment: