Tuesday, December 4, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 9

Perlahan-lahan halaman Schewicvic dipenuhi oleh kereta para tamu undangan.

Para wanita tampak cantik dan anggun dalam balutan gaun mereka yang berwarna-warni. Para pria tampak gagah dalam baju resmi mereka. Senyum tersungging di setiap wajah yang meramaikan Schewicvic.


Berbagai macam bunga yang berwarna-warni tertata rapi di setiap sudut Schewicvic. Taman Schewicvic yang telah ditata cantik sejak seminggu lalu, siap menampung setiap hadirin yang ingin menikmati keindahan Schewicvic.

Setiap orang berkumpul dan berbincang-bincang dengan teman-teman mereka. Ada yang tengah membicarakan pacuan kuda yang akan berlangsung. Ada yang membicarakan masalah politik dan ada pula yang tengah membicarakan pesta pertunangan ini.

Keheningan dan ketenangan Schewicvic selama sepuluh tahun ini tersibak oleh keceriaan setiap orang yang memenuhi Hall utama Schewicvic.

“Sudah lama Schewicvic tidak seramai ini,” komentar Derrick.

“Ya,” guman Grand Duke Bernard, “Ruben tidak suka mengadakan pesta. Ia lebih banyak mengurung diri di Ruang Perpustakaan Schewicvic semenjak kepergian Virgie.”

“Hari ini Earl tampak bahagia,” Derrick melihat Earl yang tidak henti-hentinya menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.

Grand Duke tidak menanggapi. Ia sibuk memperhatikan gerbang belakang Schewicvic.

Dari pintu belakang itulah sang Paduka Raja Quinn akan masuk. Menurut skenario yang mereka buat, Quinn akan dibawa menemui Eleanor. Mereka akan diberi kesempatan untuk mengenal satu sama lain. Kemudian mereka berdua akan muncul bersama-sama di Hall utama tempat pesta diselenggarakan. Berdasarkan skenario yang telah mereka sepakati pula, Eleanor akan diperkenalkan sebagai kekasih Quinn yang tidak pernah muncul.

Detik-detik menjelang pesta pertunangan ini, semakin banyak orang yang meragukan Eleanor. Semakin banyak yang mempertanyakan keputusan Duke of Krievickie. Earl tidak menyukainya. Ia tidak mau seorang pun berpikir Eleanor terpilih karena hubungan dekatnya dengan sang Grand Duke. Earl tidak mau putrinya menikah di bawah olok-olok orang lain.

Ketika ia mengeluhkan gencarnya gosip yang terus berkembang ini kepada Grand Duke Bernard, Irina secara tidak sengaja mendengarnya. Dan ialah yang kemudian memikirkan skenario ini. Quinn yang sudah tidak suka kehidupan pribadinya menjadi sarapan setiap orang, langsung menyetujui skenario mendadak ini. Satu-satunya orang yang tidak setuju adalah Eleanor. Ia sempat memberontak kemarin malam hingga Irina khawatir Eleanor akan kembali ke sifat lamanya setelah semenjak hari Kamis ia bersikap sangat anggun dan lemah lembut. Namun sayangnya Eleanor tidak mempunyai suara. Ia sudah tidak mempunyai suara semenjak ia ditetapkan menjadi calon pengantin Quinn, sang Ratu terpilih Viering.

Pagi ini ketika Eleanor dipulangkan ke Schewicvic, ia masih memasang wajah cemberutnya. Satu-satunya yang membuat Irina berlega hati adalah Eleanor masih menjaga tata kramanya. Earl juga seisi Schewicvic sempat dibuat terperangah oleh perubahan sikap Eleanor setelah dua minggu lebih berada di Mangstone.

“Paduka Raja sudah datang,” Grand Duke Bernard memberitahu.

Derrick melihat kereta kerajaan yang bergerak mendekati gerbang belakang Schewicvic.

“Aku akan segera menyambutnya,” Derrick langsung bergerak. Tugasnya hari ini adalah mengawal Quinn ke kamar Eleanor dan ayahnya bertugas memastikan tak seorang pun Paduka Raja Quinn telah datang dari gerbang belakang Schewicvic.

Pasukan pengawal Raja langsung membentuk barikade di pintu belakang Schewicvic. Sementara itu seorang prajurit membuka pintu kereta.

Seorang pemuda berambut kuning kecoklatan turun. Sinar mata abu-abu yang tegas menatap langsung Derrick.

“Selamat datang, Paduka,” Derrick membungkuk memberi hormat, “Kami telah menantikan kedatangan Anda.”

“Tunjukkan jalannya padaku,” suara berat Raja muda itu berkata penuh wibawa.
Dengan langkahnya yang anggun dan penuh wibawa, ia memasuki pintu belakang Schewicvic.

Derrick langsung membawa Quinn ke kamar Eleanor.

Sementara itu Irina tengah mengagumi hasil karyanya.

“Kau benar-benar cantik,” gumamnya tiada henti.

Nicci menangis gembira. “Countess pasti akan gembira melihat Anda saat ini.”

Eleanor berdiri dengan tenangnya di hadapan kedua wanita yang sepanjang pagi ini terus sibuk mendadaninya. Mata biru cerahya memandang keduanya tanpa rasa tertarik. Mentari sore yang mengintip dari balik gunung, menyinari rambut keemasan Eleanor yang tertata rapi layaknya seorang putri negeri dongeng. Gaun hijau cerahnya membuatnya semakin cantik dan menyegarkan di puncak musim yang menyengat ini. Lekuk-lekuk kain sifon yang lembut menonjolkan bentuk tubuhnya yang sempurna.

“Kau akan menjadi pusat perhatian malam ini,” Irina terus mengagumi Eleanor, “Kau akan membawa pulang hati setiap pria di Viering.”

Eleanor tertawa sinis. “Terima kasih,” katanya tidak senang, “Aku tidak ingin menjadi saingan Quinn.”

“Kalian akan menjadi pasangan yang serasi malam ini,” Irina tersenyum bahagia. Matanya hijaunya tidak pernah lepas dari Eleanor.

“Hanya malam ini,” Eleanor menegaskan pada dirinya sendiri.

“Mengapa Paduka Raja belum tiba?” tanya Nicci cemas.

“Aku tidak tahu,” Eleanor duduk di depan meja riasnya untuk menegaskan ketidaktertarikannya atas kehadiran Quinn. Ia menatap tajam bayangan dirinya di dalam cermin. Seumur hidup tidak pernah ia merasa kepalanya seberat ini. Ia tidak tahu dan tidak mengerti mengapa ia harus mengenakan permata berwarna-warni di atas kepalanya. Kata Irina itu untuk membuatnya tampil semakin cantik tetapi bagi Eleanor itu hanya membuatnya semakin pendek.

“Kurasa tak lama lagi ia akan segera datang,” Irina berkomentar.

Eleanor juga berharap pria itu akan segera datang. Ia sudah tidak sabar memberi pelajaran pada orang-orang yang bermulut usil itu. Ia tidak sabar menunjukkan dirinya pada orang-orang yang sedang menanti kemunculannya itu.

Seseorang mengetuk pintu.

“Itu pasti mereka,” kata Irina gembira.

Nicci langsung beranjak membuka pintu.

“Kalian sudah siap?” Derrick melihat ke dalam ruangan. Matanya terpaku pada sosok Eleanor yang duduk manis di depan meja rias. Ia terpesona. Tidak pernah ia melihat Eleanor secantik ini. Gadis yang tengah duduk di sisi Irina itu bukan Eleanor yang dikenalnya. Ia adalah seorang gadis yang terlahir dari sebuah bunga musim semi di musim yang panas menyengat ini.

“Sebaiknya kita tidak menganggu mereka,” Irina mendorong adiknya menjauh.

Nicci menangkap maksud Irina. Dari posisinya berdiri, ia juga dapat melihat Raja Quinn yang terpaku melihat Tuan Puterinya yang cantik. Ia pun mengundurkan diri dari dalam ruangan itu. Dengan perlahan ia menutup pintu kamar Eleanor.

Eleanor menatap pemuda di depannya lekat-lekat. Seperti dugaan Eleanor, ia sama sekali tidak tampak seperti seorang Raja. Eleanor lebih mudah mempercayai pemuda di depannya ini adalah seorang playboy kelas atas daripada seorang Raja dari kerajaan besar seperti Viering. Dengan reputasinya yang panjang, ia lebih tepat disebut seorang ladykiller.

Mata abu-abunya yang hijau kekuningan menatap Eleanor lekat-lekat seolah-olah ia adalah satu-satunya wanita ia yang pernah ia temui di dunia ini. Sebuah senyum ramah tersungging di wajahnya yang tampan. Kemeja malam resminya membalut tubuhnya yang gagah tegap. Rambut kuning kecoklatannya tertata rapi.

Quinn melangkah anggun dan penuh wibawa ke arah Eleanor. Langkah-langkahnya yang penuh percaya diri membawa suatu pesona yang membuat mata setiap orang terpaku padanya.

Dalam hatinya Eleanor tersenyum sinis. ‘Tak heran setiap wanita di Viering bertekuk lutut di hadapannya,’ pikirnya sinis.

Quinn berlutut di depan Eleanor. Tangannya terulur meraih tangan Eleanor yang berada di pangkuannya.

“Senang berjumpa dengan Anda, M’lady,” katanya sopan, “Anda sungguh cantik seperti sekuntum bunga segar di padang pasir.” Dan ia pun mencium tangan Eleanor.

Eleanor terperanjat. Dadanya berdegup kencang.

“S-senang berjumpa dengan Anda, Yang Mulia.”

Quinn tersenyum melihat rona memerah di wajah cantik itu.

Eleanor mengumpat dirinya sendiri. Ia tidak dapat menerima reaksi dirinya sendiri atas sikap Quinn yang mendadak ini. Mengapa ia harus malu!? Mengapa ia harus tersipu-sipu!?

‘Ah,’ ia membela dirinya sendiri. Seumur hidupnya, ia hanya berkumpul dengan tiga orang pria, ayahnya, Grand Duke Bernard, dan Derrick. Mereka tidak pernah memperlakukannya seperti ini. Yang terutama, pria di hadapannya ini adalah seorang ladykiller yang ahli dalam menaklukan wanita!

Eleanor bersumpah ia tidak akan jatuh dalam jerat pria ini! Sekali lagi ia menegaskan, ia tidak akan menjadi Echo kedua! Ia adalah seorang Narcissus.

“Saya ingin menghabiskan waktu berbincang-bincang dengan Anda tetapi para undangan telah menanti,” Quinn kembali berdiri tegak.

‘Dan pria ini mempunyai mulut yang manis!’ Eleanor memberitahu dirinya sendiri.

“Apakah Anda berkenan menunjukan jalan pada saya?” pria itu mengulurkan tangan.

“Tentu,” Eleanor menyambut uluran tangan itu.

Quinn menyembunyikan senyum puasnya. ‘Bernard memang dapat dipercaya,’ pikirnya puas. Gadis ini benar-benar seperti keinginannya. Cantik, mempesona, lugu, penurut, dan tidak bertele-tele.

Eleanor kembali memarahi dirinya sendiri ketika ia menyadari betapa lugunya dirinya sendiri. Ia pasti terlihat seperti seorang gadis lugu yang tengah terpesona oleh daya tarik pria tidak berhati ini! Namun Eleanor masih dapat menahan dirinya sendiri untuk tidak merusak rencananya sendiri. Ia masih ingin membuktikan pada dunia siapa Eleanor dan mengapa sang Grand Duke kepercayaan Yang Mulia Paduka Raja Quinn memilihnya!

Dengan langkah-langkahnya yang penuh keyakinan, Eleanor membawa Quinn ke Hall Utama. Eleanor tidak ingin membuang waktu berbasa-basi dengan Quinn. Ia sudah cukup tahu tentang Quinn. Dan ia tidak peduli apakah pria itu cukup mengenalnya atau tidak. Ia yakin masa lalunya tidak penting untuk pria ini. Bagi pria ini, yang terpenting adalah ia bersedia memberinya seorang keturunan!

Sikap diam Eleanor benar-benar membuat Quinn puas. Ia benar-benar senang dengan pilihan Bernard ini. Gadis ini benar-benar memenuhi segala kriteria yang diberikannya pada Bernard. Tidak rugi ia mengikuti skenario ‘kekasih yang disembunyikan’ Irina.

Pasukan pengawal Quinn langsung membentuk barikade di tangga yang menuju Hall Utama.

Setiap undangan langsung tahu Quinn telah tiba.

“Yang Mulia Paduka Raja Quinn dan Lady Eleanor of Hielfinberg tiba,” Fauston – sang Kepala Rumah Tangga Hielfinberg mengumumkan.

Eleanor langsung menegakkan kepala dan memasang senyum bahagia.

Quinn mengapit lengan kanan Eleanor di sikunya dan ia melangkah dengan penuh wibawa di sisi Eleanor.

Untuk sesaat setiap undangan sore ini terperangah. Mata mereka tidak lepas dari sepasang insan yang menuruni tangga dengan penuh percaya diri itu. Senyum di wajah mereka melukiskan kebahagiaan mereka hari ini.

Gaun hijau Eleanor menyapu lembut lantai tangga. Lekukan-lekukan gaunnya melambai seirama dengan gerakannya yang lemah gemulai. Mata biru cerahnya sungguh memberikan kesegaran yang tak terlukiskan di hari yang menyengat ini. Rambut pirangnya yang cerah sungguh tampak serasi dengan kulit kuning kecoklatannya yang halus.

“Eleanor benar-benar cantik,” gumam Derrick.

“Apakah kau menyesal tidak merebutnya dari Paduka?” goda Irina.

“Kurasa ia lebih cocok menjadi pendamping Paduka,” kata Derrick lagi, “Lihatlah. Semua orang pasti sependapat denganku.”

Irina menatap wajah-wajah terpesona para tamu. Hampir setiap orang menunjukkan raut terpesona mereka dan tidak sedikit yang iri melihat pasangan yang serasi itu.

Eleanor yang cantik memesona dan Quinn yang gagah tampan.

Irina tersenyum melihat mereka berdua.

“Eleanor benar-benar luar biasa,” gumam Duke of Krievickie kepada sahabatnya.

“Ia benar-benar mirip Virgie.”

Grand Duke dapat melihat air mata menggenangi sepasang mata Earl Ruben.

“Ia benar-benar cantik seperti Virgie,” ia merangkul pundak Earl, “Virgie pasti tersenyum bahagia di alam sana.”

Dengan penuh percaya diri, Eleanor melangkah di antara para undangan yang memberi jalan kepada mereka. Ia sedikit pun tidak tampak seperti seorang gadis yang telah dipingit selama sepuluh tahun lebih.

Fauston langsung memberi tanda kepada para pemain musik untuk mulai memainkan lagu.

Raja Quinn berlutut di depan Eleanor. Tangannya terulur – mengundang Eleanor.

“Apakah Anda bersedia berdansa dengan saya, M’lady?”

‘Ia benar-benar tahu bagaimana mengambil hati wanita,’ Eleanor berkata sinis pada dirinya sendiri.

“Dengan senang hati,” Eleanor menyambut uluran tangan Quinn.

Quinn meletakkan tangannya yang lain di pinggang Eleanor dan mulai berdansa bersama gadis itu.

“Semoga Eleanor tidak melakukan kesalahan,” gumam Irina.

“Tidak akan,” kata Derrick, “Hari ini Eleanor bukan Eleanor yang kita kenal.”

Derrick mempunyai alasan tersendiri untuk mengatakan hal itu. Ia tidak pernah melihat Eleanor seserius ini. Pandangan mata gadis itu tidak pernah lepas dari keceriaan. Ia juga tidak pernah bersikap seangkuh dan seanggun ini. Sekalipun Irina telah berusaha keras membentuk Eleanor menjadi apa yang dilihatnya saat ini, Derrick tahu Eleanor tidak akan pernah bisa menjadi seorang lady yang angkuh dan anggun seperti para lady pada umumnya.

Eleanor adalah seorang gadis yang ramah. Ia dapat dengan cepat menjalin hubungan baik dengan setiap orang dari segala usia dan segala golongan. Ia tidak pernah memilih teman. Ia tidak pernah membedakan orang yang satu dari orang yang lain. Sungguh mustahil gadis yang memilih berbelas kasihan pada pencuri itu dapat berubah menjadi seorang yang angkuh – yang berjalan dengan kepala terdongak tinggi di keramaian hanya dalam dua hari.

Derrick masih ingat jelas peristiwa enam tahun lalu itu. Eleanor kecil dan ia kabur dari Irina. Mereka berdua berkuda ke pedesaaan. Ketika mereka beristirahat di sebuah peristirahatan di pinggir jalan, seseorang membawa pergi kuda Eleanor. Derrick yang melihatnya langsung berteriak dan mengejar pria itu. Teriakan Derrick menarik perhatian setiap orang. Seorang polisi yang kebetulan melewati tempat itu langsung bergerak menghentikan pria pencuri itu.

“Apakah Anda mengejar pencuri kuda ini?” tanya polisi yang berhasil membekuk pria itu.

“Terima kasih,” kata Derrick menerima tali kendali kuda Eleanor, “Ia telah mencuri kuda adik saya. Bawa saja ia ke kantor polisi dan hukum seberat-beratnya.”

Eleanor yang datang kemudian langsung melotot. “Apa yang kau lakukan!?” bentaknya saat itu.

Derrick langsung membusungkan dada. Ia merasa telah berjasa bagi Eleanor, gadis kesayangannya.

“Aku memberikan kudaku padanya. Mengapa kau mengejarnya?”

Derrick pun langsung membelalak. Dan polisi itu kebingungan sementara pria itu melongo.

“Maaf,” Eleanor berkata sopan kepada polisi itu, “Kakak saya telah salah paham. Ia tidak tahu saya telah memberikan kuda saya kepada pria ini.” Kemudian kepada pria itu ia berkata, “Maafkan kakak saya. Ia pasti telah menduga Anda telah mencuri kuda saya.”

Eleanor mengambil tali kendali kudanya dari tangan Derrick kemudian menyerahkannya pada pria itu. “Rawatlah kuda ini baik-baik,” Eleanor tersenyum ramah, “Ia adalah seekor kuda yang penurut. Tidak sulit untuk memeliharanya.”

Tampak jelas pria itu kebingungan ketika menerima tali kendali kuda coklat milik Eleanor. Ia masih terlihat linglung ketika pergi seiring lambaian tangan Eleanor.

Eleanor kembali menegaskan kepada polisi, “Maaf telah merepotkan Anda. Ini semua hanya kesalahpahaman di antara kami.”

“Untunglah kalau semua sudah jelas,” kata polisi itu.

Eleanor tersenyum manis – semanis ketika ia mengantarkan kepergian pencuri kudanya.

“Maafkan saya,” mau tak mau Derrick meminta maaf.

Sepeninggal polisi itu Derrick menuntut, “Pria itu jelas-jelas mencuri kudamu.”

“Biar saja ia membawa pergi kudaku,” kata Eleanor santai sambil berjalan kembali ke pondok peristirahatan.

“Apa maksudmu!?” Derrick menuntut jawaban.

“Dengar, Derrick,” Eleanor tiba-tiba berhenti. Ia menatap serius Derrick dan berkata, “Pria itu pasti membutuhkan uang. Aku tidak keberatan ia mengambil kudaku selama itu bisa membantunya. Aku masih mempunyai banyak kuda di Schewicvic. Lagipula,” mata biru Eleanor menatap Derrick penuh harapan, “Apakah kau tidak ingin memberi tumpangan padaku?”

“Tidak setiap hari kau bisa memberi tumpangan padaku,” Eleanor berlagak jual mahal dan Derrick pun kalah olehnya.

Mereka tidak pernah menceritakan pengalaman mereka itu pada seorang pun termasuk Irina. Dan Derrick tidak pernah melupakannya. Itu adalah untuk pertama kalinya ia melihat sisi Eleanor yang pemurah.

Saat ini lebih mudah bagi Derrick untuk mempercayai Eleanor sedang menjalankan sesuatu yang tidak diketahuinya.

Derrick mengulurkan tangan pada Irina, “Kau mau berpasangan denganku?”

Irina terkejut.

“Ah,” Derrick sadar, “Kau pasti ingin aku bersikap seperti Raja.” Derrick pun berlutut di depan Irina. “Apakah Anda bersedia berdansa bersama saya, M’lady?” ia mengulurkan tangannya.

Irina tertawa geli dibuatnya. “Tentu, M’lord,” ia pun menerima uluran tangan Derrick.

Ketika mereka telah berada di tengah lantai dansa bersama Eleanor, Derrick bergumam, “Kapan aku akan menemukan pasangan yang lain selain kau.”

“Kau sama sekali tidak manis,” gerutu Irina, “Masih lebih baik kau mempunyai aku sebagai pasanganmu daripada tidak sama sekali.”

Derrick tertawa. “Mestinya kau berkata masih untung aku tidak menyalahkanmu. Gara-gara kau sampai sekarang aku tidak mempunyai pasangan.”

Irina berpikir keras. “Mungkin kau benar. Kau memang patut disalahkan.”

“Hei! Hei!” Derrick memprotes, “Kau yang memintanya. Kau selalu berlari padaku setiap kali kau diusili pria.”

“Sudah sepatutnya kau melindungi aku. Setiap hari kerjamu hanya bermain-main dengan Eleanor,” Irina menatap tajam Derrick. “Ah, aku tahu. Kau sedang cemburu pada Raja makanya kau menggodaku.”

“Siapa yang cemburu?” giliran Derrick yang merasa ia sedang dipermainkan.

“Ah…,” Irina mendesah panjang, “Pantas saja sampai sekarang kau masih seorang diri. Di sisimu ada seorang gadis yang menarik tetapi kau buta.”

“Hei, apa maksud semua ini. Bukankah kita ingin bersenang-senang?” Derrick menganti topik.

Irina menatap adiknya dan tersenyum mesra. “Sudah lama kita tidak bersenda gurau seperti ini.”

“Kalau Eleanor sudah masuk Istana, kita akan semakin jarang berkumpul lagi. Hari-hari mendatang pasti akan sepi tanpa Eleanor.”

“Jangan memulai,” Irina memperingati, “Kau hanya akan memberi alasan baru pada Eleanor untuk kabur.”

“Saat ini ia tidak akan kabur,” gumam Derrick.

“Apa katamu?” tanya Irina.

“Tidak ada,” Derrick memilih untuk berdiam diri. Mereka tidak banyak berbicara setelahnya. Mereka membaur di lantai dansa bersama pasangan-pasangan yang lain.

Beberapa saat kemudian mereka duduk di dalam Ruang Jamuan, siap menyantap sajian yang telah disiapkan untuk mereka.

Eleanor duduk di antara Quinn dan Derrick. Sedangkan Irina berada di depannya.

Irina telah mengatur tempat duduk ini sedemikian rupa sehingga ia bisa mengawasi Eleanor. Irina benar-benar tidak mau kecurian. Matanya selalu bersiap siaga untuk melirik tajam Eleanor bila gadis itu membuat suatu kesalahan.

Derrick menghela nafas panjang dibuatnya. Irina benar-benar seperti seorang ibu yang khawatir putrinya akan melakukan sesuatu yang memalukan. Namun di sisi lain Derrick dapat memaklumi sikap Irina ini.

Hari ini adalah pertama kalinya Eleanor muncul di kalangan bangsawan dan hari ini akan menjawab semua pertanyaan yang telah menghantui seisi Viering selama hari-hari terakhir ini.

Karena itulah tidak seorang pun melewatkan kesempatan untuk bertanya pada Eleanor ketika mereka telah menyelesaikan santapan malam dan berkumpul di Ruang Duduk. Beberapa tamu memilih pulang tetapi beberapa memilih untuk bergabung bersama calon pasangan mempelai di Ruang Duduk.

Di antara mereka, tentu saja, ada beberapa wartawan yang memang sengaja diundang.

Eleanor duduk dengan anggunnya di sisi Quinn. Dari kejauhan Irina dan Derrick mengamati sofa panjang tempat keduanya duduk dikerumui orang-orang yang sudah siap dengan pertanyaan mereka.

Eleanor sama sekali tidak berniat membuka percakapan. Ia membiarkan orang-orang yang ingin tahu itu memulai percakapan.

“Saya dengar Anda mempunyai hubungan spesial dengan Derrick. Apakah itu benar?” seorang wanita bertanya pada Eleanor.

Eleanor tersenyum penuh arti. Wanita itu pasti adalah satu dari sekian pengagum sang dingin Derrick. Ia sudah mendengar adanya sekelompok orang yang diam-diam mengagungkan Derrick. Namun, sayangnya, Derrick tidak pernah tertarik pada mereka karena ia sudah memiliki dua wanita yang menarik di sisinya.

“Bagiku ia adalah kakak angkat. Kami sudah bermain bersama semenjak kanak-kanak.”

“Apakah itu benar?” Wanita itu terus mendesak. “Saya sering melihat kalian berduaan. Bahkan beberapa hari lalu aku melihat kalian di Loudline.”

Eleanor terkejut. Ia sudah berhati-hati tetapi rupanya masih ada yang melihat mereka.

“Saya dengar semenjak pertunangan kalian diumumkan, Anda tinggal di Mangstone.”

“Apakah ini ada hubungannya dengan Lord Derrick?” seorang wanita langsung menyahut.

“Apakah Anda berusaha menghabiskan waktu bebas Anda yang tersisa bersama Lord Derrick?” seseorang berkata tidak percaya.

Seulas senyum sinis mengembang di wajah Quinn.

Irina langsung melirik adiknya, “Sekarang pembicaraan mengarah padamu.”

Derrick tidak tahan melihat kerumunan orang-orang itu mendesak Eleanor.

Tangan Irina terulur menghadang jalan Derrick. “Kalau kau maju, kau hanya akan membuat keadaan semakin buruk,” ia memperingati.

Mungkin setiap orang di ruangan ini tidak menyadari senyum sinis Quinn itu tetapi Eleanor melihatnya. Ia tidak suka melihatnya. Pria itu seperti tengah menuduhnya berbuat serong. Eleanor ingin sekali memberikan senyum kepuasannya yang manis sebagai jawaban. Sang calon istri sempurna yang dimintanya telah membuat cacat. Eleanor tidak peduli. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sempurna. Eleanor juga tidak ingin memberi tanggapan pada setiap orang yang tengah memusatkan perhatian pada dirinya itu tetapi ia berkata,

“Berarti Quinn telah merebutku dari Derrick,” kata Eleanor santai, “Tetapi, kenyataannya ia telah merebut diriku dari diriku sendiri.”

Semua kebingungan mendengar jawaban Eleanor.

Mata Quinn langsung menatap tajam Eleanor.

“Semenjak bertemu dengannya, ia telah membuatku melupakan diriku sendiri. Aku merasa seperti menjadi diriku yang lain. Aku sama sekali tidak pernah membayangkan diriku yang sekarang ini ada. Ia telah membuat hidupku terasa lebih berarti.”

Quinn menyembunyikan senyum sinisnya dalam sinar matanya.

Eleanor menyadarinya dan ia sama sekali tidak menyukainya. Sedikit pun tidak! Ia tahu ia tidak akan pernah menyukai pria ini.

“Apakah pernikahan kalian ini direncanakan karena pernikahan Duke Mathias?”

“Tidak. Sama sekali tidak!” jawab Quinn tegas.

“Akan merupakan kebohongan besar bila kami mengatakan tidak,” lagi-lagi Eleanor membuat mata Quinn melotot. “Bila pernikahan ini tidak direncanakan dengan baik, apa jadinya pernikahan kami?”

Jawaban cerdas Eleanor membuat semua orang tertawa.

“Aku begitu iri melihat kebahagian mereka berdua dan aku berkata pada Quinn bahwa sudah saatnya kami mengikat perjanjian,” lanjut Eleanor, “Aku bersikeras padanya bahwa aku tidak mau menanti lebih lama lagi.”

“Mengapa selama ini tidak pernah terdengar kabar tentang kalian?”

Pertanyaan itu membuat keduanya terkejut. Juga Duke of Krievickie.

“Itu karena ayahku,” jawab Eleanor sebelum Quinn membuka mulut, “Papa begitu takut aku menjadi santapan lezat kalian sehingga ia bersikeras untuk tidak membiarkan hubungan kalian diketahui orang lain selain keluarga dekat kami sendiri.”

Derrick tersenyum. “Sungguh tidak kusangka ia sepandai ini.”

“Eleanor memang pandai berbicara,” kata Irina, “Sekarang aku yakin mereka tidak akan dapat melukai Eleanor.”

“Ya,” Derrick sependapat, “Kecuali mereka dapat menang dari Eleanor.”



*****Lanjut ke chapter 10

No comments:

Post a Comment