Wednesday, December 5, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 10

Eleanor tidak percaya ini semua!

Beberapa saat yang lalu ia masih bebas seperti burung di angkasa. Beberapa saat yang lalu ia masih bercanda bersama ayahnya dan Grand Duke Bernard. Sekarang ia sudah duduk di sini, di dalam kamar pengantinya – menanti kehadiran suaminya!


Eleanor benar-benar tidak mempercayai semua ini. Ia tidak mempercayai semuanya semenjak ia mendengar ide gila itu.

Beberapa saat yang lalu ia masih duduk bersama Quinn dalam pesta pertunangan mereka dan sekarang mereka telah resmi menjadi sepasang suami istri!

Semua ini terlalu cepat. Terlalu cepat sehingga Eleanor tidak benar-benar memahami apa yang tengah terjadi.

Semua ini terasa seperti mimpi buruk dan ketika Eleanor membuka matanya, ia telah menjadi istri dari Yang Mulia Paduka Raja Kerajaan Viering, Quinn Arcalianne!

Eleanor bukan lagi burung bebas di angkasa.

Eleanor adalah Yang Mulia Paduka Ratu Kerajaan Viering!

Eleanor benar-benar tidak dapat mempercayai semua ini.

Ia tidak dapat lagi mempercayai kehidupannya sendiri semenjak ia tahu Earl menerima pinangan Raja Viering.

Ia tidak percaya sekarang ia telah menjadi alat pelahir pewaris tahta Viering!

Semua ini sulit dipercayai! Terlalu sulit untuk dipahami!

Namun, bagi semua orang hal mudah dipahami. Sebagian dari penduduk Viering percaya dengan cerita cinta tertutup mereka dan sebagian percaya ini hanyalah sebuah pernikahan untuk mencegah Simona menjadi Ratu Viering. Dan bagi dunia, pernikahan ini tidaklah lebih dari sebuah kenyataan berkurangnya seorang perjaka tampan.

Pesta berlangsung dengan meriah seperti yang diinginkan Quinn. Walaupun ini hanyalah sebuah pernikahan politik, Quinn tidak mau main-main. Eleanor benar-benar dibuat kaget olehnya termasuk Irina.

Sehari setelah pesta pertunangan itu, Quinn mengirim beberapa orang ke Mangstone.

Malam itu, setelah para tamu pulang, Eleanor dipulangkan kembali ke Mangstone atas permintaan Earl. Katanya, demi kemudahan persiapan pernikahan Eleanor. Dilihat dari jarak, memang Mangstone lebih dekat ke Istana daripada Schewicvic.

Quinn, tentu saja, mengetahui hal itu. Tetapi tidak seorang pun di Mangstone tahu ketika rombongan itu tiba di Mangstone. Di antara mereka ada penata rambut yang khusus datang untuk mempersiapkan tatanan rambut Eleanor di hari pernikahannya. Juga ada perancang busana yang khusus didatangkan Quinn untuk membuat gaun pernikahan Eleanor.

Irina yang tidak merencanakan ini, tentu saja kaget. Raja telah menyerahkan masalah ini padanya namun ia tiba-tiba mengambil alih. Hal ini lebih dari cukup untuk menjelaskan keseriusan Quinn atas pesta pernikahannya ini dan ia pun menjadi semakin serius mendidik Eleanor menjadi seorang lady.

Hari itu Eleanor memang telah menjadi seorang lady yang ia harapkan. Namun, hal itu tidaklah berlangsung lama. Sesaat setelah para tamu termasuk Paduka Raja pulang, Eleanor kembali ke sifat aslinya.

Eleanor masih belum mengganti gaunnya ketika Ruben masuk sambil tertawa.

“Dengar, dengar,” ia mengumumkan, “Paduka berkata kau adalah seorang gadis yang penurut!” Dan ia pun kembali tertawa geli.

“Ia bahkan memuji Papa. Katanya ia tidak salah memilih orang.”

“Dengar itu, Eleanor. Dengarlah itu,” Irina histeris.

“Countess pasti akan gembira mendengarnya,” kata Nicci pula.

Sementara itu, Eleanor memasang wajah muramnya. Ia sama sekali tidak menikmati pujian itu tetapi setidaknya ia tahu bahwa ia telah berhasil memberi pandangan baik kepada para tamu hari ini dan terutama, mencapai targetnya! Sekarang mereka tentu tidak akan lagi berani meragukan Grand Duke Bernard dan menyalahkan hubungan erat antara Grand Duke dan ayahnya.

Eleanor juga tidak terlalu tertarik apakah mereka akan percaya dengan cerita karangan mereka. Sejujurnya, ia tidak keberatan setiap penduduk Viering tahu pernikahan ini hanyalah sebuah cara untuk menyelamatkan wajah Viering. Ia tidak terlalu peduli karena memang itulah kenyataannya. Bahkan ia percaya akan sulit merubah pandangan semua orang walaupun ia telah berusaha keras untuk itu.

“Aku tidak peduli,” Eleanor berdiri.

“Apa yang kaukatakan?” Irina bertanya.

“Tuan Puteri, apa yang Anda lakukan?” Nicci berseru ketika Eleanor menuju serambi.

“Menikmati waktu bebasku,” Eleanor memalingkan kepala – menjawab pertanyaan pelayannya kemudian melompat.

“TUAN PUTERI!” Nicci langsung jatuh lemas.

“Eleanor, kembali!” Irina langsung mengejar Eleanor. Namun Eleanor sudah melompat ke pohon di bawah serambi kamarnya. Dengan lincahnya seperti seorang tupai, gadis itu melompat dari satu dahan ke dahan yang lain – menjauhi serambi kamarnya.

Derrick mendudukkan Nicci di kursi kemudian menuju serambi.

“Derrick,” Irina menyambut kedatangan pemuda itu, “Cepat kejar Eleanor!”

“Aku tidak mau!” Derrick menolak. “Eleanor sudah besar. Ia tidak perlu kita menjaganya sepanjang waktu.”

Irina menatap geram adiknya kemudian melompat dari serambi.

Derrick membelalak kaget. Irina yang bernyali kecil itu berani melompat dari serambi ke pohon yang beberapa meter berada di bawah!

Nicci yang baru saja pulih, jatuh lemas lagi.

Derrick pun tidak berpikir panjang. Ia langsung mengejar kedua wanita itu. Ia benar-benar dibuat panik oleh Irina, bukan Eleanor. Derrick tahu benar betapa ahlinya Eleanor dalam hal satu ini tetapi Irina… Walaupun gadis itu juga bisa memanjat pohon, karena paksaan mereka, Irina tidak cukup mahir untuk menjadi tupai liar.

Begitulah malam seusai pesta pertunangan itu mereka habiskan dengan menjadi tupai di Schewicvic. Kemudian keesokan paginya Eleanor harus kembali ke Mangstone, menjalani pelatihannya yang membosankan dan melelahkan.

Hari demi hari berlalu begitu lambatnya bagi Eleanor dan ketika ia sudah tiba di hari yang paling dinanti-nantikan oleh Irina, ia merasa waktu berlalu terlalu cepat. Ia sama sekali belum siap untuk memasuki Istana. Ia masih ingin bermain dengan bebas di luar sana. Eleanor tidak terlalu bodoh untuk mengetahui apa yang telah menantinya sesaat setelah ia menginjakkan kaki di Istana. Namun ia juga tidak terlalu penurut untuk membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Sudah cukup ia membiarkan Quinn berpikir ia adalah istri idamannya. Ia tidak mau melewatkan hari-hari mendatang dengan berpura-pura ia adalah seorang gadis yang anggun dan penurut. Quinn harus tahu siapa gadis yang ia nikahi hari ini!

Eleanor sudah berniat membuka kedoknya dalam pesta pernikahan. Namun, sayangnya, Simona tidak hadir. Eleanor juga tidak terlalu terkejut. Ia sudah dapat menduga Mathias tidak berani muncul. Eleanor juga tidak terlalu terkejut bila penyebabnya adalah Simona. Seorang wanita murahan seperti dia tidak setiap hari mendapat kesempatan untuk berpesiar keluar negeri. Begitu ia mendapatkannya, ia tidak akan dengan mudah melepaskannya.

Eleanor sudah memutuskan!

“Apakah Anda membutuhkan sesuatu, Paduka Ratu?” sepasang prajurit yang menjaga pintu kamarnya langsung bertanya ketika ia membuka pintu.

“Apakah saya perlu memanggil pelayan untuk Anda?”

Eleanor melihat prajurit di kanan kirinya itu.

“Tidak,” jawab Eleanor, “Aku tidak membutuhkan apa pun.”

“Jangan khawatir, Paduka Ratu,” sekarang prajurit di sisi kiri Eleanor berkata, “Kami akan menjaga keselamatan Anda hingga Paduka Raja tiba. Kami tidak akan membiarkan seorang pun menganggu Anda.”

“Maka,” kata Eleanor, “Aku bisa tenang sekarang.” Eleanor tersenyum manis dan berkata, “Selamat malam.” Kemudian ia menutup pintu.

“Sial!” Eleanor menjatuhkan diri di atas tempat tidur dan berpikir.

Apa yang harus dilakukannya sekarang. Ia tidak ingin terus berdiam diri menanti seseorang yang belum pasti akan muncul. Ia juga tidak tertarik untuk tidur walau ia telah berganti gaun tidur. Ia juga tidak bisa keluar dari kamar ini. Sepasang prajurit di depan pintu pasti tidak akan membiarkannya lepas begitu saja. Mata Eleanor beralih ke pintu kaca menuju serambi.

Benar! Ia masih mempunyai jalan keluar yang lain. Baginya, pintu keluar tidak selalu berarti pintu!

Eleanor langsung beranjak bangkit.

Pintu terbuka.

Eleanor terkejut.

Quinn masuk dengan tenangnya.

Eleanor baru melihat Quinn membawa sebuah buku ketika ia menarik kursi ke sisi pembaringan.

Baru saja Eleanor berpikir Quinn mengira ia adalah seorang anak kecil ketika pria itu duduk dan menekuni buku yang dibawanya.

“Kukira kau akan membacakan dongeng pengantar tidur untukku,” Eleanor membuka pembicaraan.

Quinn tidak meninggalkan matanya dari buku yang sedang dibacanya. Ia juga tidak menyahut.

“Apakah kau mendengarku?” Eleanor mendekatkan tubuhnya.

Quinn sama sekali tidak terusik.

“Apakah kau tiba-tiba menjadi tuli?” tanya Eleanor lagi.

Lagi-lagi Quinn tidak menanggapi.

“Apakah mungkin kau menjadi bisu dalam beberapa jam?”

Quinn tenggelam dalam bacaannya.

Eleanor kesal. Ia benar-benar bosan.

Semenjak pesta pernikahan itu pelayan-pelayan membawanya ke kamar ini. Mereka membantunya menanggalkan gaun pengantinnya yang merepotkan itu. Mereka membantunya membersihkan diri. Mereka membantunya berganti baju tidur dan mereka pulalah yang menyuruhnya menanti Quinn di kamar ini.

Sekarang Quinn sudah tiba tetapi pria itu mendiamkannya. Malah pria itu seakan-akan sudah menjadi batu yang tuli dan bisu!

Eleanor tidak pernah tahu apa yang terjadi setelah seorang pria dan wanita menikah. Ia tidak penah bertanya dan tidak seorang pun pernah memberitahunya!

Irina hanya pernah memberitahu bahwa pernikahan yang bahagia selalu terjadi pada sepasang insan yang saling mencintai. Cinta mereka yang tulus dan agung akan membawa benih-benih kehidupan ke dunia ini.

Eleanor berpikir bagaimana mungkin semua itu terjadi padanya? Pernikahannya bukan atas dasar cinta walau mereka selalu mengatakan itu pada setiap orang. Yang terpenting, Eleanor tidak menyukai Quinn. Bahkan ia membencinya! Demikian pula Quinn. Pria itu jelas-jelas tidak menyukainya.

Satu-satunya alasan Quinn tetap menikahinya adalah masa depan Viering!

Waktu Quinn tidak banyak dan tidak mudah mendapatkan seorang gadis sepertinya yang rela menikah hanya demi memberikan keturunan.

Eleanor melihat tidak ada yang dapat mengusik Quinn.

Eleanor benar-benar bosan.

Entah berapa lama ia menanti seorang diri di dalam kamar ini. Eleanor tidak tahu pasti tetapi ia tahu ia sudah hampir menjamur karena kebosanannya.

Mata Eleanor menjelajahi kamar barunya yang luas itu.

Kamar ini tidak jauh berbeda dari kamarnya di Schewicvic kecuali kamar ini lebih luas dan jelas lebih mewah. Langit-langitnya yang tinggi berhiaskan lukisan dan ukiran-ukiran hasil karya tangan ahli. Semua perabotan di dalam ruangan ini jelas sekali merupakan hasil karya orang yang memang ahli dalam bidangnya. Benar-benar sebuah kamar yang diharapkan dari Istana Fyzool yang megah.

Dari pintu kayu megah itu, seperangkat meja dan sofa terlentang di tengah ruangan. Ranjang bertiangnya yang berpoleskan emas berdiri kokoh di antara pintu masuk dan pintu kaca.

Mata Eleanor terhenti di pintu kaca yang menuju serambi.

Tanpa berpikir lebih lama, Eleanor beranjak dari tempat tidur. Ia membuka pintu itu lebar-lebar dan melangkah ke serambi.

Eleanor memperhatikan kegelapan malam di sekitarnya.

Tak sesuatu pun nampak dengan jelas dalam kegelapan taman Istana yang luas. Hanya sinar di beberapa sudut bangunan utamalah yang memberikan penerangan dalam gelapnya malam.

Di kejauhan tampak sinar-sinar kecil rumah penduduk yang bersatu dengan gelapnya suasana sekitarnya.

Eleanor melihat ke bawah dan ia tidak melihat seorang pun nampak. Lalu ia melihat jendela-jendela yang berjajar rapi di kedua sisi serambinya juga di atas dan di bawah tempatnya berdiri.

Rasa ingin tahu Eleanor bangkit. Ia belum menyempatkan diri untuk melihat-lihat suasana Istana semenjak kedatangannya hari ini.

Hari sudah larut. Setiap penghuni Istana telah kembali ke peraduannya dan memasuki dunia mimpi mereka yang indah.

‘Kami akan menjaga keselamatan Anda sampai Paduka Raja tiba.’

Seulas senyum puas menghiasi wajah Eleanor dan ia meninggalkan serambinya. Takkan ada yang bisa melarangnya berkeliling Istana saat ini.

Dengan gembira ia melangkah ke pintu kamarnya.

“Kau kira kau akan ke mana?”

Eleanor terperanjat.

Quinn menatapnya dengan tajam.

“Kau bisa bicara?” Eleanor heran lalu ia tersenyum, “Kukira aku telah menikahi sebuah patung bisu.”

Quinn menggunakan kesempatan itu untuk menutup pintu. “Kau tidak akan ke mana-mana!” Quinn menegaskan.

Eleanor memasang muka masamnya. “Kau tidak bisa melarangku,” tangan Eleanor meraih pegangan pintu.

Tanpa banyak bicara, Quinn mengangkat Eleanor.

“Turunkan!” Eleanor memprotes, “Turunkan aku!”

Tangan Eleanor menghantam dada pria itu tetapi Quinn tetap berjalan ke tempat tidur.

“Kau tidak berbicara denganku dan aku juga tidak boleh keluar. Apa maumu?” Eleanor meluapkan kekesalannya ketika Quinn membaringkannya di tempat tidur.

“Dengar,” Quinn memperingati dengan nada beratnya.

Mata Eleanor menangkap buku yang sesaat lalu dibaca Quinn. “Hei!” Eleanor meraih buku itu, “Kau juga membacanya.”

Quinn terdiam.

Eleanor duduk bersila di tempat tidur. “Aku juga menyukai buku ini,” Eleanor membuka buku itu, “Papa juga sangat menyukainya.”

Quinn diam memperhatikan Eleanor yang membalik-balik buku itu dengan riang.

“Aku sudah membacanya berkali-kali tetapi aku tidak pernah bosan. Aku juga suka merundingkannya bersama Papa.”

Alis Quinn terangkat.

“Kau mau membicarakannya denganku?” Eleanor bertanya penuh semangat.

Tanpa disadarinya, Quinn tersenyum melihat tingkah Eleanor yang seperti anak kecil meminta permen itu.

Eleanor terperangah. “Kau juga bisa tersenyum,” Eleanor keheranan.

“Apa aku tidak boleh tersenyum?” Quinn bertanya kesal.

“Tidak,” Eleanor tersenyum manis, “Kau jauh lebih tampan bila tersenyum.”

Quinn membuang mukanya.

Eleanor tertawa geli. “Pernikahan ini mungkin tidak akan sangat membosankan,” katanya dan ia kembali menekuni buku itu.

Quinn melihat Eleanor yang kembali sibuk dengan bukunya dan duduk di sisi Eleanor. ‘Tampaknya tidak sulit mengatur gadis ini,’ pikirnya puas sambil duduk di sisi Eleanor.



*****Lanjut ke chapter 11

No comments:

Post a Comment