Friday, December 28, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 31

“Tidak, Eleanor,” Quinn berkata tegas, “Aku punya rapat penting besok pagi.”

“Ayolah,” rengek Eleanor manja, “Kau telah membuat aku tidur sepanjang hari. Sekarang kau harus menemaniku.”


“Kau membutuhkan banyak istirahat. Demikian pula aku saat ini,” Quinn kembali menegaskan, “Atau aku harus memperpanjang kurunganmu di sini.”

“Kau telah mengurungku sepanjang hari di sini,” Eleanor menyilangkan tangan di depan dada dan memasang wajah cemberut, “Kau telah berjanji untuk segera melepaskanku tetapi kau terus mengurungku.”

“Dengar, istriku tercinta,” Quinn bangkit. Ia merangkum wajah Eleanor dan berbicara dengan lembut seolah-olah sedang membujuk anak kecil, “Aku tidak mau mengambil resiko apa pun. Tindakan heroikmu yang berbahaya itu telah membuat lukamu kembali terbuka. Untungnya, kau tidak memperparah lukamu. Kau masih belum sepenuhnya pulih. Sejujurnya, bila ada yang harus marah, itu adalah aku. Kau telah membuat jantungnya berhenti berdetak ketika melihatmu melompat ke dalam laut dengan kondisi yang seperti itu. Lalu kau terus membuat ulah. Terakhir, kau hampir jatuh dari beranda. Aku tidak tahu berapa nyawa yang harus kumiliki untuk tetap bisa berada di sini.”

Eleanor membuang wajah cemberutnya.

“Aku berjanji begitu kau membaik, aku akan membiarkanmu melakukan segala yang kauinginkan.”

Eleanor sama sekali tidak mau melihat Quinn.

Quinn mengeluh panjang. “Aku lelah. Aku ingin tidur.” Quinn kembali membaringkan diri di atas tempat tidur dan menutup matanya.

“HEI!” protes Eleanor, “Aku belum selesai!”

Quinn pura-pura tidur.

“Quinn!” panggil Eleanor.

Quinn sengaja mengeluarkan dengkurannya.

Eleanor kesal.

Wajah tidur Quinn tampak begitu damai.

Mata Eleanor menatap lekat-lekat wajah tampan pria yang menjadi suaminya itu dan senyum manis merekah di bibirnya. Tangan Eleanor menelusuri setiap lekukan wajah tampan itu dan mengukirnya dalam-dalam di lubuk hatinya. Eleanor menyukai setiap lekukan di wajah pria yang dicintainya itu. Ketika jari-jemarinya menyentuh bibir Quinn, kenangan-kenangan akan cumbuan Quinn mengalir deras di dalam benaknya. Eleanor menyukai cara Quinn mencumbunya. Eleanor menikmati setiap sentuhan bibir Quinn. Quinn sungguh pandai dalam hal ini, Eleanor harus mengakui itu dan ia pun menyukainya. Quinn benar-benar tahu bagaimana mencumbunya.

Eleanor menyukai segala yang berhubungan dengan Quinn.

Eleanor suka mendengar pria itu berbicara baik ketika ia sedang gembira, marah ataupun kesal.
Eleanor suka melihat pria itu berjalan mendekatinya.

Eleanor suka melihat pria itu kewalahan menghadapi sikap keras kepalanya.

Eleanor suka cara pria itu menatapnya.

Eleanor menyukai pelukan pria itu yang hangat.

Eleanor tersenyum bahagia. Tidak pernah ia membayangkan kebahagian seperti ini. Ia merasa dadanya sesak oleh kebahagiaan hingga ia tidak yakin ia akan sanggup menampungnya.

Eleanor membaringkan diri di atas Quinn. Ia mencintai pria ini dengan segenap jiwa raganya.
Quinn melingkarkan tangan di atas punggung Eleanor. “Begini lebih baik,” katanya lembut.

“Kau belum tidur?” tanya Eleanor.

“Aku harus meyakinkan kau tidur nyenyak sebelum aku tidur. Aku tidak mau kecurian lagi.”

“Quinn…,” Eleanor bertanya, “Bagaimana kabar Mathias dan Simona?”

Quinn terdiam. Ia tahu cepat atau lambat Eleanor pasti menanyakan nasib orang-orang yang berusaha membunuhnya dan ia tidak berniat menutupinya.

“Mereka sudah diserahkan ke pengadilan. Sekarang pihak pengadilan sedang memeriksa berkas-berkas yang telah disiapkan pihak Istana.”

Eleanor sudah dapat menduga akhir dari nasib mereka. Percobaan membunuh seorang Ratu bukanlah kejahatan kecil.

Sering dalam hari-hari belakangan ini ia memikirkan nasib keduanya. Sering ia mengetahui bagaimana keadaan dua orang yang telah mencoba membunuhnya. Namun Nicci maupun Irina bukanlah orang tepat untuk ditanyai. Derrick juga tidak bersedia memberitahunya. Sekarang Quinn menjawab pertanyaan yang sering menghantuinya dan ia merasa tidak seharusnya ia bertanya.

Eleanor bersedih untuk mereka. Andai saja Simona dapat menyesuaikan dirinya dengan baik… Andai saja Mathias dapat berpikir jernih…

Quinn mendengar Eleanor mendesah.

“Kau kasihan pada mereka?”

“Apakah itu aneh?”

Quinn tersenyum menatap wajah tanpa dosa Eleanor. “Tidak. Itu membuktikan betapa pemurahnya kau. Sejujurnya, aku juga sering memikirkan nasib Mathias. Ketika kami masih kecil, aku tidak pernah berpikir ia akan menjadi seperti saat ini. Ia adalah seorang kakak yang penyayang dan penuh tanggung jawab.”

“Setiap orang bisa berubah,” Eleanorpun tersenyum, “Sekarang tidurlah. Jangan memikirkan Mathias lagi. Ia adalah seorang pria dewasa yang mampu bertanggung jawab atas segala tindakannya. Aku tidak akan membiarkanmu tidur sendirian.” Dan Eleanor mengingatkan, “Besok kau harus bangun pagi.”

“Aku tidak bisa tidur ketika tahu kau masih terjaga.”

“Aku telah tidur sepanjang hari. Sekarang aku tidak mengantuk.”

“Aku tahu cara yang paling ampuh untuk membuatmu tidur nyenyak,” Quinn membalik badan dan menindih Eleanor. Gadis satu ini memang gadis yang selalu merepotkan. Namun ia juga adalah gadis yang telah memberi warna dalam hidupnya yang monoton.



-----0-----


Quinn menghempaskan diri di kursi – memperhatikan tumpukan kertas di meja.
Hari ini ia bekerja seperti prajurit tempur. Pagi ini, setelah meninggalkan Eleanor yang masih tidur pulas, ia disibukkan oleh rapat rutin dengan para menteri kemudian disusul oleh pertemuan dengan Derrick dan Jancer. Kemudian ia memberi pengarahan kepada Stariy Yarichiv sebagai satu-satunya penerus Mathias. Siang hari ia mengurung diri di dalam ruang kerjanya menyelesaikan tugas-tugas kerajaan. Sorenya ia masih harus mengatur tugas-tugas yang akan diwakilkannya pada para menteri dan Bernard.

Quinn lega baik hari ini maupun kemarin Eleanor tidak membuat ulah. Gadis itu telah menepati janjinya dan kini saatnya ia melaksanakan janjinya. Karena itulah ia harus segera menyelesaikan semua tugasnya sehingga besok ia bisa pergi dengan tenang.

Quinn memeriksa tumpukan kertas di mejanya untuk terakhir kali dan beranjak menemui Eleanor.

Seharian ini ia terus menahan keinginan menemui Eleanor. Sekarang ia sudah tidak sabar lagi untuk merasakan gadis itu di pelukannya. Ia ingin mengubur semua keletihannya dalam kehangatan Eleanor. Namun ketika ia melihat raut wajah Lawrence, ia sadar keinginannya bukanlah sesuatu yang mudah untuk didapatkan. Tidak dari seorang Eleanor.

“Aku tidak mengharapkan berita bagus darimu,” Quinn menyapa sang dokter yang bertanggung jawab atas Eleanor.

“Anda terlalu memahami Paduka Ratu,” Lawrence tersenyum penuh arti.

“Apa kau pikir Eleanor bisa bertahan lebih dari 2 hari?”

Lawrence tertawa. Sejak ulah terakhirnya yang membuat seisi Istana panik, Eleanor berubah menjadi seorang gadis manis yang penurut. Kemarin Lawrence merasa heran melihat kelakuan Eleanor yang berubah total itu. Hari ini ketika melihat wajah cemberutnya, Lawrence sadar pasti Quinn yang membuatnya menjadi penurut.

“Bagaimana keadaan Eleanor?”

“Paduka Ratu pulih lebih cepat dari yang saya perkirakan. Luka-lukanya sudah hampir menutup sempurna. Namun Paduka Ratu masih perlu mewaspadai kesehatannya sampai ia benar-benar pulih.”

“Siapkan obat-obatan yang diperlukan Eleanor untuk jangka waktu yang tak terbatas. Mulai besok kau tidak perlu datang lagi.”

Quinn membuat Lawrence khawatir ia telah melakukan kesalahan hingga Quinn perlu melarangnya mendekati Eleanor lagi.

“Aku harus memikirkan cara menyenangkan hati Eleanor sebelum ia mencabut nyawaku.”

Lawrence tersenyum mendengarnya.

Melihat langkah-langkah gembira Quinn, ia tahu pemuda itu telah menemukan kebahagiaan sejatinya. Ia turut gembira karenanya. Ia yakin masa depan kerajaan ini cerah di tangan pasangan itu.

Eleanor melihat ke pintu ketika mendengar pintu terbuka.

Quinn tersenyum.

Eleanor memalingkan wajah. Ia mengacuhkan Quinn dengan pura-pura tidur.

“Aku mendengar akhir-akhir ini kau dalam suasana hati muram,” Quinn melangkah masuk. “Lawrence memarahiku karena aku tidak bisa membuat pasien istimewanya tersenyum,” Quinn duduk di sisi Eleanor.

Eleanor segera membalik badan memunggungi Quinn.

Quinn membungkuk, mengurung Eleanor di antara kedua tangannya. “Apakah kau ingin bermain kucing-kucingan denganku?”

“Kau penipu!” Eleanor menatap tajam pria itu.

“Penipu? Aku?”

“Kau telah berjanji untuk tidak mengurungku di sini.”

“Lukamu belum sembuh total, Eleanor, dan suhu badanmu masih belum turun. Aku tidak mau mengambil resiko.”

Eleanor membuang wajah.

“Dengarlah, Eleanor, istriku tercinta,” Quinn mengulurkan tangan meraih wajah Eleanor. “Aku juga tidak ingin mengurungmu di sini tetapi aku tidak dapat membahayakan dirimu.” Mata Quinn menatap lembut wajah kesal itu. “Aku berjanji padamu. Aku janji akan membawamu ke tempat yang menyenangkan setelah lukamu benar-benar kering dan kau sudah cukup sehat untuk berpergian.”

“Kau pasti akan mengingkari janjimu lagi,” gerutu Eleanor.

“Tidak,” Quinn meyakinkan, “Aku tidak pernah mengingkari janjiku terutama janjiku padamu.” Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya. “Katakan, sayangku, ke mana kau ingin melewatkan bulan madu kedua kita?”

“Bulan madu?”

“Apakah kau ingin mengulangi bulan madu pertama kita?”

“Tidak,” Eleanor segera menyahut, “Aku tidak mau ke sana lagi.”

“Kau harus mengatasi ketakutanmu, Eleanor.”

“Tidak sekarang,” Eleanor cemberut.

“Baiklah,” Quinn mengalah, “Apakah kau mempunyai tempat yang ingin kau kunjungi?”

“Apa kau serius?” Eleanor masih tidak percaya.

“Kau tidak mempercayaiku?” Quinn tidak senang. “Setelah semua kejadian yang menguras tenagaku ini, aku ingin melewatkan waktu bersamamu seorang.”

Eleanor diam memperhatikan Quinn baik-baik. “Hanya kita berdua?”

“Hanya kau dan aku.”

“Kau akan selalu bersamaku?”

“Aku tidak akan meninggalkanmu.”

Eleanor semakin tidak mempercayai Quinn. “Tidak ada tugas kerajaan?”

“Tidak akan ada,” Quinn menjawab mantap, “Aku berjanji padamu, istriku tercinta. Aku tidak akan meninggalkan sisimu barang sedetik pun walau pun itu demi Viering. Bulan madu ini hanyalah untuk kita berdua. Aku ingin menikmati saat-saat bahagia bersamamu tanpa gangguan apa pun.”

Eleanor tersenyum bahagia.

“Jadi, ke mana kau ingin melewatkan bulan madu kedua kita?”

“Aku menyerahkannya padamu,” Eleanor bergelayut manja, “Boleh ke mana pun asal tidak ke Corogeanu.”

“Ya, Paduka Ratu,” Quinn tersenyum. “Hamba akan melaksanakan perintah Anda sebaik-baiknya.”


-----0-----


“Kami sudah mendapat kepastian dari pengadilan,” lapor Grand Duke, “Dalam waktu dekat mereka akan dihadapkan pada pengadilan.”

“Terima kasih, Bernard,” Quinn tersenyum puas. “Aku masih punya satu tugas lagi untukmu.”

“Apakah itu, Paduka?” tanya Grand Duke.

“Aku sudah meminta Derrick untuk membantuku menjalankan tugas-tugasku untuk beberapa waktu selama aku meninggalkan Loudline. Kuharap kau mau mengawasinya.”

Grand Duke dan Derrick terperanjat.

“Bernard, kau adalah orang yang paling kupercaya dan Derrick adalah orang yang paling tepat untuk melanjutkan tugasmu menjadi penasehat Kerajaan yang utama.”

Grand Duke Bernard terperangah.

Quinn berdiri dan berjalan menghampiri mereka.

“Eleanor percayamu, Derrick. Dan aku percaya pada Eleanor.”

Derrick tidak dapat berkata-kata. Tugas ini terlalu tiba-tiba. Quinn sama sekali tidak mengatakan apa-apa ketika memanggilnya menghadap.

“Mulai saat ini sampai beberapa waktu mendatang, kuserahkan Viering pada kalian,” ia menepuk pundak Bernard dan berjalan ke pintu.

“Anda mau ke mana?” Derrick langsung bertanya.

“Membawa Eleanor pergi sebelum ia membuat ulah,” jawab Quinn tanpa menghentikan langkah kakinya, “Kali ini aku bisa benar-benar tamat kalau aku tidak segera membawa Eleanor pergi.”

Quinn membuka pintu.

“Satu hal lagi,” Quinn menoleh, “Aku tidak tahu kapan aku akan pulang.”

Keduanya terkejut.

“Kalian tidak ingin aku kehilangan nyawaku sebelum kembali ke Fyzool, bukan?” tanyanya sambil tersenyum.

Keduanya memperhatikan Quinn menutup pintu rapat-rapat diiringi suara tawanya.

“Tugas ini tidak akan mudah, Derrick,” Grand Duke berkata serius, “Apakah kau sudah siap?”

“Aku selalu siap kapanpun juga, Papa,” Derrick pun menjawab dengan serius.


-----0-----


Quinn mengulurkan tangan memegang dahi Eleanor. “Panasmu sudah mulai turun.”

Eleanor yang duduk bersandar di bantal-bantal memasang wajah masam.

“Kau tidak senang mendengarnya?” Quinn heran.

“Kau bohong!” Eleanor kesal, “Katamu tidak akan mengurungku. Kau ingkar janji!”

“Eleanor,” Quinn meraih gadis itu dalam pelukannya, “Ketahuilah aku pun tidak suka mengurungmu, tapi aku harus yakin kau cukup sehat dan lukamu cukup kering. Aku tidak mau melihatmu berbaring di sini berhari-hari tanpa reaksi.”

Wajah masam Eleanor tidak berubah.

“Percayalah padaku, sayang.”

“Aku,” Quinn menutup mulut Eleanor dengan tangannya.

“Jangan katakan aku membencimu karena aku tidak suka mendengarnya.”

Eleanor membuang wajah.

Quinn mendesah. “Aku selalu kalah darimu.”

Eleanor melihat Quinn dengan senyum manisnya.

“Aku akan menyuruh pelayan membantumu berganti baju. Kita akan pergi ke rumah musim semiku. Aku yakin kau akan menyukainya.”

Eleanor tersenyum gembira. Ia melingkarkan tangan di leher Quinn. “Aku suka sekali,” Eleanor bergelayut manja.

“Tidak ada hadiah untukku?” Quinn bertanya heran.

“Hadiah?” Eleanor ikut-ikutan heran tapi matanya bersinar nakal.

“Kau ini,” Quinn mendorong Eleanor ke tempat tidur dan mencium bibirnya dengan lembut.

Eleanor memeluk badan Quinn yang menindihnya. Eleanor kecewa ketika Quinn langsung melepaskan diri.

“Kalau aku terus menerus di sini, aku khawatir kita tidak akan segera berangkat. Kau ingin segera ke sana, bukan?”

Senyum ceria langsung menghiasi wajah manis Eleanor.

“Jangan bertindak gegabah atau itu hanya akan membuatku menahanmu di sini lagi!” Quinn memperingati Eleanor ketika melihat gadis itu siap meloncat dari tempat tidurnya.

Lagi-lagi Eleanor memasang wajah cemberut.

Quinn tidak dapat lagi menahan tawa gelinya. Gadis ini memang sungguh mudah ditebak.

“Kau….”

Quinn melihat Eleanor dengan tajam.

Eleanor ingat Quinn tidak suka mendengar kata 'benci’. Saat ini ia juga tidak berani mengambil resiko memilih kata itu.

“Kau menyebalkan!” akhirnya ia memilih kata ini.

“Menyebalkan?” Quinn termenung, “Bagus. Aku sudah setingkat lebih maju.”

Eleanor ingin sekali memaki Quinn namun ia sadar saat ini hal itu terlalu beresiko. Belakangan ini ia sadar ada saatnya kemarahan Quinn tidak boleh dilawan.

Quinn tertawa geli melihat raut wajah Eleanor. “Tunggulah di sini. Aku akan segera memanggil Nicci.” Ia menyematkan ciuman di kening Eleanor sebelum meninggalkan kamar Eleanor.

Tak sampai semenit setelah kepergian Quinn, Nicci datang dengan tergesa-gesa. “Anda harus bergegas, Paduka Ratu,” Nicci dengan cepat merapikan rambut Eleanor, “Semua sudah siap kecuali Anda. Baju-baju Anda dan obat-obatan sudah dikirim ke Pinhiero pagi ini.”

“Pagi ini?”

“Kemarin malam Paduka Raja menyuruh kami mempersiapkan segalanya agar pagi ini Anda bisa segera ke Pinhiero.”

Quinn telah mempersiapkan semua ini untuknya!

Pengetahuan itu membuat Eleanor semakin bahagia. Eleanor makin mencintai pria itu.

“Eleanor sudah siap?” Quinn melangkah masuk.

Eleanor melihat Quinn dengan senyum termanisnya. Pria itu telah menanggalkan pakaian dinasnya. Sebagai gantinya, ia mengenakan kemeja putih dipadu celana hitam. Ia tampak begitu santai dan elegant.

Nicci menyematkan hiasan terakhir di rambut Eleanor. “Sudah, Yang Mulia,” katanya kemudian.

Eleanor mengulurkan tangan.

Quinn menyambutnya dengan membopong Eleanor. “Segeralah bersiap-siap, Nicci,” katanya pada pelayan pribadi Eleanor, “Segera susul kami begitu kalian siap.”

“Baik, Paduka.”

Quinn membopong Eleanor keluar.

Eleanor meletakkan kepala di pundak Quinn. Tangannya melingkari leher Quinn dengan mesra.
Di dalam kereta, Eleanor duduk merapat di sisi Quinn. Ia menyandarkan kepala di pundak Quinn dengan mesra.

“Apa-apaan kau ini?”

“Rasanya aku makin mencintaimu.”

“Tentu saja kau harus. Kalau tidak, aku akan mengurungmu,” goda Quinn.

Raut wajah Eleanor menjadi masam.

Quinn tertawa geli. “Aku akan menyukai liburanku ini.”

Sadar telah dipermainkan, Eleanor kesal. Eleanor bergerak menjauh.

“Kau tidak akan bisa menjauh dariku,” Quinn menarik gadis itu merapat.

Eleanor menjulurkan lidahnya.

“Hidup bersamamu memang menyenangkan,” desis Quinn tersenyum bahagia, “Selalu dipenuhi hal-hal baru yang tidak pernah terpikirkan olehku.”

Eleanor bergelayut manja.

Quinn menunduk mencium Eleanor.



*****Lanjut ke epilog

No comments:

Post a Comment