Thursday, December 27, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 30

Quinn merasakan Eleanor bergerak dalam tidurnya. Ia menutup buku yang sedang dibacanya dan meletakkannya di atas meja di sisi tempat tidur.

Sepasang mata biru jernih Eleanor menatap Quinn dengan bingung dan heran.


“Kau sudah bangun?” Quinn tersenyum lembut sambil merapikan rambut di kening Eleanor.

“Mengapa kau di sini?” tanya Eleanor. Matanya menjelajahi sekelilingnya dengan bingung, “Di mana aku?”

“Kita sudah berada di Istana dan sekarang kau tidur di atas tempat tidur kita.”

“Tempat tidur kita?” ulang Eleanor heran.

Quinn tersenyum lembut. “Aku tidak bisa membiarkanmu terbangun di malam hari dan tidak seorang pun berada di sisimu.” Quinn membaringkan diri di sisi Eleanor. “Aku ingin menjadi orang pertama yang kau lihat di saat kau membuka matamu yang indah itu.”

Eleanor teringat luka tusuk di punggung Quinn. “Lukamu?”

“Sudah tidak apa-apa,” katanya, “Lawrence telah mengobatinya. Untung pedang itu tidak melukai daerah vital. Dalam beberapa hari ia akan sembuh.” Dan Quinn tersenyum penuh kemenangan, “Lukaku masih lebih baik dari lukamu.”

Mata Eleanor menjadi sendu. Ini semua karena tindakannya yang gegabah.

“Aku tidak apa-apa,” Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya.

Sepasang tangan Eleanor menyentuh dada Quinn. “Kau tidak boleh berada di dekatku,” katanya sambil menjauhkan diri, “Aku tidak mau membuatmu sakit.”

“Tidak apa,” Quinn memeluk Eleanor erat-erat, “Aku tidak mudah sakit sepertimu,” senyum nakal tersungging di wajah tampannya, “Aku bahkan ingin menyerap penyakitmu itu. Melihatmu terbaring tidak berdaya di tempat tidur sungguh membuat hatiku sakit daripada melihat tingkah liarmu.”

“Aku dengan senang hati akan menularkannya padamu,” Eleanor mencari tempat yang nyaman di dalam pelukan Quinn.

“Lawrence memintaku menyuruhmu minum obat begitu kau sadar.”

Senyum bahagia di wajah Eleanor langsung hilang.

“Aku tahu kau tidak menyukainya. Sejujurnya, sayangku,” Quinn merangkum wajah Eleanor, “Aku ingin sekali menggantikanmu tetapi tidak untuk saat ini. Kau lebih membutuhkannya daripada aku.”

Eleanor memasang muka masamnya.

“Jangan membuat hatiku sakit dengan melihatmu terbaring tanpa daya di tempat tidur, sayangku,” bujuk Quinn, “Jadilah gadis manis yang penurut hingga kau pulih.”

Eleanor melingkarkan tangan di leher Quinn – menahannya beranjak dari tempat tidur. “Aku tidak mau kau tinggalkan,” rengek Eleanor manja.

“Jangan menggodaku, Eleanor,” Quinn memperingatkan, “Kau tahu bagaimana ampuhnya godaanmu padaku hingga aku harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak berubah menjadi seorang monster.”

“Jangan pergi,” mata biru Eleanor menatap Quinn dengan sendu.

Quinn mengeluh panjang. “Tuhan akan menghukumku karena ini,” keluhnya. Ia membaringkan Eleanor di tempat tidur, menindihnya dan membuainya dengan cara-cara manis yang ia ketahui.

Eleanor pasrah. Ia menyerahkan diri sepenuhnya pada Quinn. Ia membiarkan Quinn menuntunnya ke dunia yang belum pernah ia masuki.



-----0-----


Sinar mentari yang menyusup melalui tirai jendela menyilaukan mata Eleanor. Eleanor membuka matanya.

Quinn bersandar di atas tumpukan bantal-bantal, sedang menatap Eleanor lekat-lekat.

Wajah Eleanor bersemu melihat dada telanjang Quinn.

“Aku tidak dapat mempercayai diriku sendiri,” gumam Quinn, “Aku telah bercinta sepanjang malam dengan orang sakit!” Quinn tersenyum bahagia, “Aku benar-benar kalah darimu. Kau benar-benar…”

Mata Eleanor bersinar geli melihat Quinn seperti kesulitan mengungkapkan pikirannya.

“Seorang penggoda,” akhirnya Quinn menemukan kata yang tepat.

Alis mata Eleanor terangkat. “Kukira kau akan mengatakan pelacur.”

“Kukira, sayangku,” Quinn menunduk, “Aku telah berjanji untuk tidak mengatakan hal itu. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali.”

“Apakah aku telah berhasil?” Eleanor merangkul leher Quinn, “Apakah aku berhasil menggodamu?”

“Tentu, sayangku?” Quinn mencumbu Eleanor lagi, “Kau sangat berhasil.”

Eleanor kembali luluh dalam cumbuan Quinn.

“Kau begitu menggairahkan sehingga tidak ada hal lain yang terpikirkan olehku selain berada di sisi dan bercinta denganmu sepanjang hari,” bisik Quinn tanpa menghentikan cumbuannya.

Eleanor tersenyum bahagia.

“Setelah semua ini selesai,” bisik Quinn, “Aku harus membantumu mengenakan kembali pakaianmu dan membuatmu meminum obatmu atau Lawrence akan memenggalku.”

Eleanor tertawa geli mendengarnya.

“Kau berani menertawakanku?” ancam Quinn sambil menatap Eleanor tajam.

“Mengapa tidak?” Eleanor mendekatkan wajahnya, “Aku yakin ia pasti akan menghukummu karena telah bercinta dengan pasiennya.”

“Aku akan mengatakan padanya bahwa kaulah yang memulainya.”

“Sekarang, mungkin,” Eleanor tersenyum penuh kemenangan, “Tetapi tidak selalu.”

“Kau ini,” geram Quinn sambil menindih Eleanor.

Eleanor tertawa geli. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini dalam hidupnya.

Beberapa saat kemudian ketika Quinn akhirnya muncul di ruangannya, matahari hampir mencapai tahta tertingginya di langit. Ia segera memanggil bawahan-bawahannya, sebuah tugas yang seharusnya telah ia lakukan pagi ini.

“Kami sudah mengamankan Arsten,” lapor Jancer, “Tidak seorang pun bisa meninggalkan Arsten tanpa seijin dari Anda.”

“Kami sudah mengirim seluruh awal kapal Duke ke kepolisian Loudline. Kepala kepolisian Loudline, Wayne berjanji akan segera memproses tindakan kejahatan mereka,” lapor Houghton pula. “Dan Duke Mathias sudah kami masukkan ke dalam penjara bawah tanah Fyzool.”

“Berkas-berkas Simona sudah kami tarik kembali dan sekarang kami sedang menyelesaikan pemeriksaan terhadap Mathias,” Derrick melaporkan perkembangan tugasnya, “Saat ini kami masih meminta keterangan dari Mathias. Kami yakin dalam waktu singkat ini kami akan segera menyelesaikan laporannya.”

“Jancer, kau bisa menyerahkan pengamanan Arsten kepada Geert. Suruh ia mengirim prajurit terbaiknya mengawasi tempat itu. Kita masih memerlukan kesaksian tiap orang di sana,” setelahnya Quinn beralih pada Houghton, “Houghton, tugasmu dalam masalah ini sudah selesai. Dan untukmu, Derrick, aku ingin kau segera menyelesaikan laporanmu.”

“Kami mengerti,” sahut mereka bersamaan.

“Kalian bisa pergi sekarang,” kata Quinn.

Sepeninggal mereka, Quinn mengeluarkan pedang keluarga Soyoz yang masih ada di bawah mejanya. Matanya terpaku pada ukiran di pedang itu. Pikirannya kacau balau.

Quinn tidak tahu dengan wajah apakah kelak ia harus bertemu ayah ibu Mathias. Ia tidak tahu lagi bagaimana ia harus bertanggung jawab pada keluarga Soyoz. Selama ini ia selalu berusaha mencegah Mathias melakukan perbuatan yang akan mengecewakan mendiang orang tuanya. Ia selalu memperingatkan Mathias ketika tindakannya menjadi bahan pembicaraan Viering. Mathias sudah mencoreng nama baik Binkley ketika ia menikahi Simona. Sekarang ia bukan hanya mencoreng wajah Binkley namun juga mempermalukan keluarga Soyoz.

Sudah dapat dipastikan Mathias tidak dapat menghindarkan diri dari hukuman mati. Ia bukan hanya telah mencoba membunuh Eleanor namun juga telah mencoba membunuhnya. Luka di punggungnya adalah bukti yang paling jelas. Quinn juga tidak dapat mengingkari perbuatan Mathias lagi. Ia tidak dapat lagi menutup ebelah mata atas perbuatan Mathias ini.

Quinn teringat masa-masa kecilnya bersama Mathias yang sangat dikaguminya. Saat itu tidak terpikirkan olehnya Mathias akan menjadi seperti apa ia hari ini. ia sama sekali tidak pernah menduga setelah kematian orang tua mereka, Mathias mulai berubah hingga menjadi, seperti kata Mathias sendiri, sampah. Ketika mereka bermain bersama, sedikitpun tidak pernah terlintas di pikiran Quinn, suatu hari nanti ia akan menjadi orang yang mengirim Mathias ke ajalnya. Mungkin orang-orang akan menyuruhnya marah pada Mathias namun ia tidak dapat. Ia masih menyayangi kakak sepupunya itu. Ia bersedih atas kelemahan Mathias hingga ia terpengaruh oleh Simona.

Ketukan di pintu mengagetkan Quinn.

Quinn dengan cepat menyembunyikan pedang itu di bawah mejanya.

“Lady Irina dan Earl Hielfinberg ingin bertemu,” lapor prajurit.

“Biarkan mereka masuk.”

Prajurit segera memberi jalan pada kedua tamunya.

“Selamat siang, Paduka,” sambut Irina dengan wajah panik yang tidak dapat ditutupi oleh senyumannya.

“Eleanor baik-baik saja,” Quinn langsung menjawab kecemasan Irina itu.

“Di mana dia?” tanya Irina, “Kami tidak dapat menemukan Eleanor di kamarnya. Nicci juga tidak ada.”

“Sejak kemarin malam Eleanor telah aku pindah ke Ivory Room,” Quinn memberitahu.

“Ivory Room?” Irina mengulangi. Ruangan itu adalah kamar terbesar dan termewah Fyzool. Seperti namanya, seluruh lantai hingga dinding ruangan itu terbuat dari marmer. Marmer itu pula yang membuat ruangan itu dingin dan sejuk di hari-hari panas. Namun di musim dingin seperti ini, tanpa pemanasan yang memadai, ruangan itu bukanlah pilhan yang bagus.

Sejauh yang Irina ketahui, sudah lama ruangan itu kosong. Tidak ada raja-raja terdahulu Viering yang suka menempati ruangan itu. Entah apa tujuan ruangan itu dibangun. Mungkin raja yang memerintahkan pembangunan Istana Fyzool adalah satu-satunya orang yang pernah menempati ruangan itu.

“Nicci ada di sana,” lanjut Quinn, “Ia bisa membukakan pintu untuk kalian.” Quinn menatap Earl dan tersenyum, “Saya senang Anda mau datang lagi.”

“Irina telah menyadarkan saya. Saya tidak bisa terus menghidari ketakutan saya. Semakin saya menghindari Eleanor, semakin ingin saya menemuinya dan semakin takut saya kehilangannya.”

“Anda bisa tinggal di sini selama yang Anda inginkan. Namun untuk kali ini, saya bersikeras mengundang Anda tinggal setidaknya hingga Eleanor sudah cukup sehat untuk mengunjungi Anda di Schewicvic.”

Earl Ruben tertawa. “Saya khawatir Anda perlu menyiapkan ruangan untuk Bernard.”

“Saya tidak keberatan. Istana mempunyai lebih dari cukup ruangan untuk menampung kalian. Bila kau menginginkannya, Irina, kau juga bisa tinggal di sini.”

“Saya menerima tawaran Anda dengan senang hati, Paduka,” Irina berterima kasih, “Namun saya khawatir saya tidak bisa meninggalkan Mangstone. Ayah dan adik saya masih memerlukan saya untuk mengurusi hal-hal kecil.”

“Kau bisa,” Quinn bersikeras, “Mereka harus mulai terbiasa mengurusi diri mereka sendiri. Suatu hari nanti kau juga akan meninggalkan Mangstone ke sisi orang yang kaucintai.”

Wajah Irina memerah mendengarnya. “Saya masih belum menemukan orang itu.”
“Tinggallah di sini. Jangan terus mengurung diri di Mangstone. Aku percaya kau akan segera menemukan orang itu.”

Irina semakin tersipu mendengarnya.

“Mengenai tawaran Anda, Paduka,” kata Earl, “Saya akan memikirkannya dengan serius.”

“Eleanor pasti akan sangat senang bila Anda mau tinggal di sini,” Quinn memahami keputusan Earl, “Segeralah temui Eleanor. Aku yakin saat ini ia sudah bangun.”

Mereka pun segera mengundurkan diri dari ruang kerja Quinn dan segera menuju Ivory Room.

“Paduka benar, Irina,” kata Earl, “Kau tidak boleh terus menghabiskan waktumu memikirkan Eleanor. Eleanor sudah bukan anak kecil. Ia sudah dewasa dan sudah menikah. Aku sangat berterima kasih atas semua yang telah kaulakukan untuknya.”

“Mengapa Anda tiba-tiba berkata seperti itu?” tanya Irina, “Saya tidak pernah merasa terbebani oleh Eleanor. Saya menyayanginya seperti adik saya sendiri.”

“Aku tahu. Namun apakah kau pernah berpikir Bernard juga sangat ingin melihatmu menikah?”

“Saya masih belum memikirkannya,” Irina membela diri.

“Engkau memang seorang gadis yang baik. Engkau lebih mementingkan Eleanor dan Derrick daripada dirimu sendiri. Aku dapat memahami mengapa Bernard begitu membanggakanmu. Tidakkah kau pikir Bernard akan semakin bahagia bila engkau menikah?”

Irina segera mencari jalan untuk menghidari pembicaraan ini. Pernikahan bukanlah hal yang saat ini ada dalam pikirannya. Ia masih belum berpikir untuk menikah bukan saja karena ia masih belum menemukan pasangan yang cocok tetapi juga karena ia masih mencemaskan Derrick. “Saya yakin jalan tercepat ke Ivory Room adalah ini,” Irina membelok tiba-tiba.

Dari arah yang berlawanan, muncul seorang pria yang juga tampak tergesa-gesa. Seperti Irina, pria itu tidak melihat Irina sampai mereka bertubrukan dengan keras. Begitu kerasnya tubrukan mereka hingga Irina jatuh terpelanting.

“Irina, kau tidak apa-apa?” Earl Hielfinberg dengan cemas membantunya berdiri.

“Irina?” pria itu melihat Irina lekat-lekat, “Apakah Anda adalah Irina, putri Grand Duke Bernard yang terkenal itu?”

Mata Irina bertemu sepasang mata biru yang dalam itu. Tanpa dapat dikendalikannya, jantungnya berdegup kencang melihat wajah menarik pria itu.

“Ah, maafkan ketidaksopanan saya,” pria itu segera berlutut, “Nama saya adalah Stariy Yarichiv, putra dari seorang bangsawan kecil Rusia,” pria itu mengambil tangan Irina dan menciumnya, “Saya sungguh merasa beruntung dapat bertemu dengan Anda. Sudah lama saya mendengar kecantikan Anda.” Ia menatap Irina lekat-lekat. “Saya minta maaf yang sedalam-dalam atas kecerobohan saya beberapa saat lalu. Saya tidak melihat Anda. Apakah Anda bersedia mengampuni saya, M’lady?”

“T-tentu saja,” wajah Irina merah padam. Jantungnya sudah tidak dapat lagi dikontrolnya.

Irina terperanjat. Ia sudah benar-benar melupakan tujuan mereka semula. “Maafkan saya, er…”

“Stariy, Stariy,” pria itu mengulang namanya.

“Maafkan saya, Tuan Yarichiv,” Irina mengulang, “Saya ingin segera menemui Eleanor.”

“Apakah orang ingin Anda temui itu adalah Ratu Eleanor?” tanya Stariy.

“Benar,” Irina membenarkan.

“Bagaimana keadaan Ratu?” tanya Stariy, “Apakah benar ia hampir dibunuh oleh Duke Mathias? Saya mendengar berbagai macam desas-desus tentangnya di Tognozzi.”

Walaupun mengetahui kebenarannya, Irina memilih untuk bersikap hati-hati. “Maafkan saya. Saat ini saya tidak mempunyai wewenang untuk membicarakan hal tersebut. Namun saya dapat memberitahu Anda Eleanor baik-baik saja. Saat ini ia sedang beristirahat.”

“Dapatkah saya menjenguk Ratu Eleanor?”

“Saya khawatir Anda memerlukan ijin Yang Mulia Raja Quinn.”

“Kau bisa mengantarnya meminta ijin Raja, Irina,” Earl memotong pembicaraan mereka, “Aku bisa pergi sendiri ke Ivory Room.”

“Apakah Anda berkenan mengantar saya menemui Yang Mulia Raja Quinn?” pria itu bertanya penuh harap.

“T-tentu,” lagi-lagi pandangan pria itu membuatnya kehilangan kontrol atas emosinya.

Earl Ruben tersenyum melihat Irina menunjukkan jalan kepada pria itu dan meneruskan langkahnya ke kamar baru Eleanor.

Penjagaan di kamar baru Eleanor lebih ketat dari sebelumnya. Prajurit yang menjaga pintu Ivory Room sudah bertambah hingga 6 orang. Tiga berjejer di sisi kiri dan tiga berjejer di sisi kanan pintu putih besar yang berdaun dua itu.

Prajurit yang tepat berada di kanan kiri pintu Ivory Room langsung menyilangkan tombak mereka – menghadang jalannya.

“Aku adalah Earl of Hielfinberg, ayah Ratu Eleanor,” Earl memberitahu mereka.

Prajurit segera mengetuk daun pintu. Tanpa membuka pintu, ia melaporkan kedatangannya, “Seorang pria yang mengaku sebagai Earl of Hielfinberg, ayah Ratu Eleanor, ingin menemui Ratu.”

Earl Ruben dibuat kaget oleh kecurigaan mereka. Namun ia dapat memahaminya. Setelah kejadian demi kejadian yang menimpa Eleanor, Quinn tentu tidak ingin kecurian lagi. Andai Eleanor masih di Schewicvic, ia pun akan melakukan hal yang sama. Bahkan mungkin ia akan melarang seorang pun menemui Eleanor.

Sebagai jawaban, Nicci muncul membuka pintu.

“Selamat siang, Yang Mulia,” sambut wanita itu ramah, “Paduka Ratu sangat senang mendengar kedatangan Anda.”

Baru setelah itulah prajurit menurunkan tombak mereka dan mempersilakan Earl masuk.

Ketika kakinya menginjak lantai marmer Ivory Room, Earl merasakan hawa dingin dari setiap sisi ruangan yang didominasi warna putih itu. Seperti namanya, seluruh bagian ruangan ini terbuat dari marmer putih. Meja kecil di sisi kanan kiri ranjang dan meja rias yang terletak tak jauh dari sisi tempat tidur terbuat dari marmer. Perapian besar yang berada di dinding seberang tempat tidur juga terbuat dari marmer. Hanya tempat tidur dan kursi-kursi yang tidak terbuat dari marmer.

Tempat tidur Eleanor melintang di tembok kiri, tepat di depan pintu kaca besar menuju serambi. Ranjang yang ukurannya hampir dua kali ranjang di kamar lama Eleanor itu berdiri kokoh di atas karpet putih tebal. Tiang-tiangnya yang berlapis emas putih dihiasi oleh ukiran artis terampil. Tali keemasan mengikat rapi kelambu putih yang menaungi tempat tidur di keempat tiang tempat tidur. Hanya kelambu pada sisi kepala tempat tidur yang bersandar pada tembok yang dibiarkan jatuh lembut.

Tirai pintu kaca menuju serambi dibiarkan terbuka sehingga sinar matahari bisa memasuki kamar. Demikian pula tirai jendela-jendela di sisi pintu serambi.

“Papa,” Eleanor yang bersandar di atas tumpukan bantal, mengulurkan tangannya.

Earl segera memeluk putrinya erat-erat.

“Aku merindukanmu, Papa,” kata Eleanor.

Ketika melihat sisi luar tempat tidur yang dekat pintu serambi kosong, Earl Hielfinberg mengerti mengapa Quinn memilih kamar yang lebih dingin ini.

“Bagaimana keadaanmu?” Earl bertanya penuh perhatian.

“Aku sudah lebih baik.”

“Lebih baik apanya?” Nicci memprotes, “Demam Anda masih belum turun tetapi Anda sudah ingin turun tempat tidur. Tak heran Raja memilih kamar ini. Dari ruang kerjanya, Raja bisa terus mengawasi setiap gerakan Anda”

Mata Eleanor membelalak. “Ruang Kerja Quinn ada di depan kamar ini?”

“Ruang Kerja Raja ada di seberang kamar,” Nicci membenarkan, “Anda bisa melihatnya dari serambi.” Tepat setelah Nicci menyelesaikan kalimat itu, ia menyadari kesalahannya. Eleanor sudah melompat dari tempat tidur sebelum ia bisa menyadarinya dan menuju serambi.

Eleanor tersenyum lebar melihat punggung Quinn di jendela sisi lain gedung Istana yang berseberangan dengan serambi Ivory Room. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, “QUINN!!!”

Di Ruang Kerjanya, Quinn terkejut mendengar panggilan itu. Kepalanya langsung menoleh ke jendela di belakangnya. Ia melompat dari tempat duduknya ketika melihat Eleanor berdiri di serambi hanya dengan mengenakan gaun tidurnya.

“APA YANG KAUPIKIR SEDANG KAULAKUKAN!!??” Quinn membuka jendela lebar-lebar.

Irina dan Stariy yang masih berada di ruangan itu terperanjat.

Eleanor melambai-lambaikan tangannya dengan gembira.

“MASUK KE DALAM SEKARANG JUGA!!”

Orang-orang yang berada di halaman juga terperanjat. Mereka menengadah melihat asal seruan marah itu.

“TIDAK!!” Eleanor berseru keras kepala, “Aku bosan!”

“Aku tidak peduli kau bosan atau tidak. MASUK SEKARANG JUGA ATAU…”

“ATAU APA!?” tantang Eleanor.

Semua orang menengadah melihat keduanya saling berseru dari kejauhan.

“Sudah lama kita tidak mendengarnya,” seseorang menceletuk.

“Benar. Rasanya sudah bertahun-tahun Istana tidak seramai ini,” yang lain tertawa geli.

Stariy benar-benar keheranan melihat Raja muda yang beberapa saat lalu terlihat penuh wibawa itu kini berteriak marah-marah tanpa kendali.

“Eleanor…,” Irina tidak sanggup lagi mengutarakan keluhannya atas sikap Eleanor.

Earl terbengong melihat ulah Eleanor dan Quinn.

“Mereka sering seperti ini,” Nicci memberitahu.

“Tidak ada bantahan! Kembali ke dalam sekarang juga!” Quinn memperingatkan dengan tajam, “Jangan biarkan aku mengucapkannya untuk yang ketiga kalinya!”

“Aku tidak mau!” Eleanor membantah keras kepala, “Jangan biar…” Pandangan Eleanor mengabur.

“ELEANOR!!!!” Quinn berteriak panik.

Tubuh Eleanor jatuh lemas di pagar pembatas serambinya.

Irina pingsan.

Stariy dengan cepat menangkap Irina.

Earl berdiri kaku karena kagetnya.

Nicci segera berlari menangkap tubuh Eleanor sebelum gadis itu jatuh bebas dari lantai tiga.


-----0-----


“Maafkan saya. Maafkan saya. Maafkan saya, Paduka,” Nicci menyatakan penyesalannya sedalam-dalamnya. “Maafkan saya.”

Quinn duduk di sisi Eleanor dengan tangan menyangga kepalanya yang berat oleh beban pikiran akan Eleanor.

“Aku tidak sengaja,” Eleanor membela diri.

“TIDAK SENGAJA APANYA!!!!?” Quinn menyahut marah, “Kurang sedikit saja kau sudah mati.”

“Jangan berteriak sekeras itu!” Eleanor memegang kepalanya, “Kau membuat kepalaku semakin sakit. Bagaimana pun juga, aku adalah orang sakit.”

“KALAU KAU MEMANG SADAR KAU MASIH SAKIT, MENGAPA KAU BERANI KE SERAMBI!!!!????”

Kepala Eleanor berdenyut semakin keras oleh teriakan itu.

Quinn mendesah panjang. “Aku tidak tahu sampai kapan jantungku bisa bertahan. Aku ingin kau cepat sembuh dan berkeliaran seperti dulu daripada setiap saat membuat jantungku copot.”

“Maafkan kelalaian saya, Paduka.”

“Ini bukan salahmu, Nicci. Aku sudah tahu Eleanor akan membuat ulah.”

Eleanor sama sekali tidak senang mendengar tuduhan itu.

“Aku akan mengunci pintu serambi dan menambah orang untuk membantumu mengawasi Eleanor sampai ia benar-benar sembuh,” Quinn memutuskan untuk mengambil tindakan tegas, “Aku juga akan menambah prajurit di setiap pintu kamar ini termasuk pintu serambi dan jendela-jendela.”

“Aku bukan penjahat!” Eleanor memprotes.

“Aku bisa meyakinkanmu. Engkau akan menjadi penjahat terbesar Viering dalam waktu dekat,” Quinn memperingatkan dengan tidak senang.

“Kau tidak akan apa-apa. Kau adalah iblis!”

“Tutup mulutmu, Eleanor!”

Nada dalam suara Quinn membuat Eleanor sadar pemuda itu tidak dalam suasana hati untuk berdebat.

Quinn meletakkan kedua sikunya di atas paha. Jari-jarinya yang saling bertautan, menumpu dahi kepalanya yang tertunduk.

“Nicci,” dalam suaranya terdengar kelelahannya, “Katakan pada Bernard aku tidak akan muncul untuk sisa hari ini. Lalu katakan pada Jancer aku minta ia menambah pasukan untuk Eleanor. Beritahu Vicenzo pula aku ingin pelayan Eleanor ditambah. Pilihlah sendiri berapapun pelayan yang kau pikir bisa membantumu mengawasi Eleanor, Nicci.”

“Saya mengerti, Paduka.”

Tak lama setelah kepergian Nicci, Irina membungkuk dalam-dalam. “Maafkan saya, Paduka. Saya tidak bisa mendidik Eleanor dengan benar.”

Quinn sama sekali tidak bersuara.

“Maafkan kegagalan saya. Saya yakin Eleanor tidak bermaksud membuat keributan.”

“Benar. Dia hanya ingin mencabut nyawaku secepat mungkin,” Quinn bergumam.

“Aku!” protes Eleanor terhenti oleh lirikan tajam Quinn.

“Saya benar-benar tidak menyangka Ratu bisa berbuat seperti itu,” komentar Stariy.

“Aku juga tidak bisa menduga kapan dia akan membuat jantungku berhenti,” Quinn sependapat lalu ia melihat keduanya, “Tinggalkan kami berdua. Hari ini aku sudah cukup lelah untuk melakukan yang lain. Maafkan aku, Stariy. Bisakah besok kita membicarakannya lagi?”

“Saya mengerti, Paduka,” Stariy dapat memahami kepenatan pemuda itu dan ia berpaling pada Eleanor, “Semoga Anda cepat sembuh, Paduka Ratu.”

Sesuai dengan perintah Quinn, mereka bergegas meninggalkan tempat itu.

Eleanor tidak berani bergerak juga tidak berani mengeluarkan suara. Ia tidak pernah melihat Quinn sedemikian murkanya. Eleanor tahu Quinn tidak membutuhkan bantahan.

“Eleanor…,” Quinn menjatuhkan diri di atas Eleanor dan menyusupkan kepalanya dalam-dalam di lekukan leher gadis itu. “Kumohon… kumohon padamu, Eleanor, jangan membuat sesuatu yang mengkhawatirkanku.”

Eleanor tidak pernah mendengar Quinn begitu putus asa. Ia tidak pernah melihatnya begitu tidak bertenaga seperti ini.

“Berjanjilah padaku kau akan menurutiku. Berjanjilah kau akan beristirahat dengan tenang dan tidak membuat ulah apa pun sampai engkau benar-benar sembuh. Berjanjilah padaku, Eleanor.”

Eleanor terpaku.

“Aku tidak bisa hidup dengan ini. Aku tidak sanggup kehilanganmu. Aku tidak sanggup lagi menanggung beban pikiran akan kehilanganmu. Aku sungguh takut, Eleanor. Aku sungguh takut kehilanganmu. Setiap saat aku berpikir kegilaan apa yang tengah kau lakukan. Jangan biarkan aku hidup dalam ketakutan ini. Aku tidak sanggup.”

Sang Raja Viering yang ditakuti setiap orang di Viering, ketakutan. Quinn yang penuh wibawa itu memohon padanya!

Bunga kegembiraan dalam hati Eleanor mekar. Ia dapat merasakan besarnya cinta Quinn padanya. Eleanor menaikkan tangannya memeluk Quinn. “Maafkan aku,” katanya bersungguh-sungguh. “Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku berjanji akan menuruti perintah dokter. Aku berjanji padamu aku akan berdiam diri di tempat tidur sampai aku pulih. Aku berjanji tidak akan membuat keonaran lagi.”

Quinn mengangkat tubuhnya mendengar rentetan janji Eleanor. “Aku tidak sekedar membutuhkan janji.”

“Aku juga tidak sekedar berjanji,” Eleanor tersenyum melihat ketidakpuasan di mata Quinn. Ia tahu Quinn benar-benar mencemaskannya.

Quinn hanya menatap ke dalam mata Eleanor. “Katakan, Eleanor.”

Eleanor memberikan senyumannya yang termanis dan mengatakannya, “Aku mencintaimu.”

Quinn pun menyambutnya dengan ciuman yang panjang.


-----0-----


“Selamat pagi, Paduka.”

“Selamat pagi, Bernard,” balas Quinn.

“Bagaimanakah keadaan Paduka Ratu?”

“Ia sudah membaik tetapi panasnya masih belum turun. Sekarang ia sedang tidur nyenyak.”

“Tidur nyenyak?” Grand Duke tidak percaya. Ia tahu benar bagaimana sulitnya membuat Eleanor bertahan di atas tempat tidur sepanjang hari. Hingga detik lalu ia yakin Quinn pun tidak dapat apalagi setelah mendengar keributan yang dibuat Eleanor kemarin.

“Ia tidak mempunyai tenaga untuk berbuat apa pun selain tidur,” Quinn tersenyum penuh arti.

Grand Duke menangkap arti yang tersembunyi dalam kalimat itu dan ia tersenyum pula. Sering ia merasa keputusannya tepat. Namun Eleanor juga sering membuatnya khawatir telah mengambil keputusan yang salah. Namun sekarang tiada lagi yang perlu ia khawatirkan tentang kedua orang ini. Hanya Quinn yang bisa mengatasi Eleanor. Demikian pula Eleanor. Hanya ia yang bisa memberikan kebahagiaan pada Quinn.

“Bernard,” Quinn tiba-tiba berubah menjadi serius, “Sudah waktunya kita menyelesaikan masalah ini. Segera kumpulkan orang-orang yang terlibat. Secepatnya lusa besok aku tidak ingin mendengarnya lagi. Dan, Bernard, panggil Stariy menemuiku.”



*****Lanjut ke chapter 31

No comments:

Post a Comment