Wednesday, December 26, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 29

Quinn mendobrak pintu dari mana ia mendengar suara Eleanor. Menyadari bahaya yang mengancam Eleanor, ia langsung melemparkan pedangnya ke tangan Mathias sambil berseru, “Jauhkan tangan kotormu dari Eleanor, Mathias!”

Pisau di tangan Mathias jatuh. Mathias merintih kesakitan memegang tangannya yang tergores pedang Quinn.

Eleanor terkejut. Ia terperangah melihat Quinn berdiri di pintu.

“Apa yang kaulakukan, Eleanor!” seru Quinn, “Cepat menjauh!”

Teriakan itu langsung membangkitkan akal sehat Eleanor. Eleanor langsung berlari menjauh.

“Apa kau pikir aku akan melepaskanmu!?” Mathias mencabut pedang Quinn yang tertancap di dinding.

Quinn melihat gelagat tidak baik.

Mathias melemparkan pedang itu ke Eleanor.

Quinn langsung menerjang tubuh Eleanor tepat sebelum pedang itu mengenai gadis itu. Pedang itu menggores lengannya sebelum menancap di lantai.

Eleanor terkejut. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, Quinn berdiri di depannya dan membentak murka, “Apa yang kaulakukan, Mathias!!?”

Tinju Quinn melayang di wajah Mathias. Begitu keras tinjunya sehingga Mathias jatuh tersungkur.

“Apa kau sadar apa yang sudah kau,” Quinn terperanjat.

Eleanor memeluk tubuhnya erat-erat.

Mathias memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur.

“Quinn… Quinn…,” panggil gadis itu di sela-sela tangisnya.

Kemarahan Quinn langsung sirna.

Quinn membalikkan badan. “Eleanor,” panggilnya lembut. “Sudah aman,” ia memeluk Eleanor erat-erat. “Keadaan sudah aman, Eleanor.”

Di sela-sela air matanya, Eleanor melihat seseorang di belakang Quinn.

Sebilah pisau menancap di punggung Quinn.

“Quinn!” pekiknya.

Quinn jatuh menimpa Eleanor.

“Kalian berdua akan mati di sini,” Mathias tertawa, “Kalian akan mati!”

Quinn mencabut pedang di punggungnya. “Eleanor,” katanya perlahan sambil menahan sakit. Tangannya memegang wajah pucat itu. “Tetaplah di sini.”

“Kalian adalah pasangan yang menyedihkan. Kalian akan mati di sini.”

“Kau…,” bertumpu pada lututnya, Quinn berusaha berdiri.

“Kau memang menyedihkan, Quinn,” Mathias mengejek, “Kau semakin lemah.”

“Rupanya wanita jalanan itu sudah merubahmu. Sekarang kau tidak lebih dari seorang pembunuh.”

Wajah Mathias memerah oleh kemarahan. “DIAM!!!” Mathias mengayunkan pedangnya dengan brutal.

Quinn membawa Eleanor menjauhi pemuda yang sudah kehilangan kontrol itu sambil melindungi Eleanor.

“Kau tidak mengerti apa-apa! Kau tidak mengerti berapa lama aku menunggu hingga hari ini. Kau tidak mengerti betapa aku ingin membalas dendam padamu. Semua orang selalu mengaung-angungkanmu. Selalu, selalu, dan selalu! Di mata mereka kau adalah segalanya dan aku adalah sampah! Tapi semua akan segera berubah. Aku akan menjadi raja setelah kalian tidak ada. Aku akan membunuh kalian.”

Eleanor mencengkeram kemeja Quinn.Tubuhnya bergetar oleh takut – takut Mathias akan mengambil Quinn darinya.

“Kalau kau memang mengincar tahta, lakukan secara jantan!” seru Quinn, “Ambil pedangmu. Kita selesaikan secara jantan.”

“Kaupikir aku takut!?” Mathias mengambil pedang Quinn yang masih menancap di lantai.

“Quinn…”

“Jangan khawatir, Eleanor,” Quinn melepaskan pegangan Eleanor dan segera bersiap menerima serangan Mathias, “Aku tidak akan kalah oleh seorang pengecut seperti ini.”

Mathias menerjang maju.

Quinn menyambut serangan Mathias.

Eleanor mematung melihat permainan pedang keduanya. Matanya nanar. Kakinya lemas. Alam bawah sadarnya terus mengingatkan dirinya di mana ia berada sekarang. Otaknya terus memerintahkannya untuk membantu Quinn.

Quinn sadar mereka dapat membahayakan Eleanor bila mereka berkelahi di tempat ini. Perlahan namun pasti, ia menggiring Mathias meninggalkan ruangan itu.

Eleanor terus mendengar suara pertempuran yang mulai mereda di luar. Ia dapat mendengar bunyi pedang saling beradu. Ia dapat mendengar teriakan kesakitan. Ia dapat mendengar suara hantaman benda. Namun di atas semua itu, ia mendengar jelas bunyi hantaman ombak laut di dinding kapal.

Tubuh Eleanor bergetar keras. Mereka berada di tengah laut! Mereka jauh dari daratan!

Otak Eleanor terus memerintahkan tubuhnya untuk membantu Quinn. Alam bawah sadarnya melumpuhkan tubuhnya.

“PADUKA!!!”

Eleanor terperanjat. Ia dapat mendengar bunyi seseorang jatuh ke dalam laut. Kaki Eleanor langsung menerjang ke luar.

Beberapa prajurit melihat ke laut dengan panik.

Seseorang prajurit yang melihat kemunculan Eleanor langsung berseru, “Lindungi Paduka Ratu! Lindungi Paduka Ratu!”

Mereka langsung berada di sekitar Eleanor, melindunginya dari para perampok yang masih belum mereka ringkus.

Eleanor melihat dua sosok yang berkelahi dengan seru di laut. Mereka berdua menghilang ke dalam laut.

“QUINN! QUINN!” Eleanor berseru panik di pagar dek.

Sesosok tubuh muncul dari dalam laut.

“QUINNN!” pekik Eleanor histeris.

Eleanor melihat wajah orang yang terapung itu. Ia langsung mengenali wajah Mathias yang tidak sadar itu.

“Quinn, di mana Quinn?” Eleanor bertanya panik, “Di mana Quinn?”

Prajurit-prajurit itu terus melawan penjahat sewaan Mathias yang berusaha membunuh Eleanor.

Eleanor memutuskan. Ia telah memutuskan untuk mencari Quinn sendiri.

Quinn muncul dari dalam laut.

Eleanor melangkahi pagar dek.

Mata Quinn membelalak lebar melihat dek. “Jangan ke sini!” Quinn berseru, “Aku baik-baik saja!”

Eleanor menerjunkan diri.

“PADUKA RATU!!” teriak para prajurit yang tidak sempat menghentikan gadis itu.

“ELEANOR!” Quinn cepat-cepat berenang mendekati gadis itu.

“Quinn!” kepala Eleanor muncul di permukaan dan sesaat kemudian ia kembali tenggelam.

Eleanor menggerak-gerakkan tangan dan kakinya mencoba untuk tetap berada di permukaan. Eleanor merasa gaunnya membelit kakinya.

“Quinn!” Eleanor mencoba meraih permukaan.

Tubuh Eleanor tenggelam. Eleanor tidak dapat mempertahankan dirinya di permukaan laut. Eleanor merasa ia sungguh tidak berguna. Ia telah menarik Quinn dalam bahaya.

Quinn melihat Eleanor hilang dari permukaan laut dan ia menjadi semakin panik. Mencoba untuk tetap tenang, Quinn menyelam ke dalam laut dan mencari Eleanor.

“Quinn…,” Eleanor merasa lehernya tercekik.

Eleanor seolah-olah melihat Quinn. Eleanor melihat Quinn mendekat.

Quinn segera meraih tubuh Eleanor dan membawanya ke permukaan.

“BODOH!!!” hardiknya marah, “Bukankah kau sudah kuperintah untuk tetap di sana!? Bagaimana kalau lukamu bertambah parah!?”

Eleanor terbatuk-batuk memuntahkan air laut yang tertelan olehnya.

Quinn menatap tajam gadis itu.

“Quinn…,” Eleanor memeluk Quinn erat-erat. Tubuhnya kembali bergetar hebat.

Quinn tertegun. “Kau memang benar-benar liar,” bisiknya dan membawa gadis itu mendekat ke kapal perang kerajaan.

Sementara itu pertempuran di atas kapal penculik Eleanor itu sudah hampir usai.

“Paduka Raja dan Paduka Ratu ada di sana!” seseorang awak kapal yang bertugas di menara berseru sambil menunjuk ke arah Quinn dan Eleanor.

“Arahkan kapal mendekati mereka!” perintah Houghton, sang komandan, “Siapkan tali untuk menarik mereka.”

Para prajurit yang bertahan di kapal perang langsung bertindak. Mereka melemparkan tali ke arah Quinn.

Dengan satu tangannya yang bebas, Quinn menangkap tali itu.

“Eleanor, jangan melepaskan diri dari aku,” katanya sambil membelitkan tangan kanannya di tali itu. Tangan kirinya merapatkan tubuh Eleanor di tubuhnya. Lalu ia memberi sinyal pada prajurit di dek untuk mulai menarik mereka.

“Tarik mereka!” Houghton memberi aba-aba.

Para prajurit itu langsung menarik tali sekuat tenaga. Beberapa bersiap sedia di dek. Begitu keduanya mendekat, mereka langsung mengulurkan tangan.

“Paduka Ratu!” mereka mengulurkan tangan.

Eleanor menyambut uluran tangan itu.

Quinn membiarkan prajurit membantu Eleanor terlebih dulu. Kemudian mengulurkan tangannya. Ia begitu lega melihat Eleanor berdiri di antara para prajurit yang gembira melihatnya itu.

“Paduka, punggung Anda…,” Houghton cemas melihat darah di kemeja Quinn.

“Tidak mengapa. Ini hanya luka kecil,” Quinn tidak ingin membuat Eleanor cemas.

“Saya akan memerintahkan orang untuk segera menangani luka Anda,” Houghton segera mengambil tindakan.

Eleanor mematung.

Quinn selamat.

Quinn baik-baik saja.

Quinn berdiri di depannya sekarang.

Eleanor merasa sangat lega. Seluruh tenaganya menguap begitu saja.

Quinn terkejut. Ia cepat-cepat menangkap tubuh Eleanor.

“Paduka Ratu!!!” Houghton dan para prajuritnya juga ikut cemas.

Eleanor mencengkeram kemeja Quinn. “Aku takut. Aku takut kau pergi,” bisiknya di sela-sela air mata.

Quinn terperangah. “Jangan khawatir,” Quinn mendekapnya erat-erat, “Aku tidak akan pernah meninggalkanmu.” Quinn mengangkat tubuh Eleanor dan memberi perintah, “Bereskan tempat ini dan segera kembali ke Tognozzi!”

“Siap melaksanakan perintah, Paduka!” Houghton memberi hormat.

Eleanor melingkarkan tangannya di leher Quinn dan memeluk pemuda itu erat-erat. Ia tidak ingin melepaskan diri dari Quinn lagi.

Quinn membawa Eleanor ke dalam kabin kapal.

Houghton segera menyuruh dokter kapal pergi memeriksa keadaan Eleanor dan Quinn lalu membagi tugas kepada bawahannya. Sebagian ia perintahkan untuk mengambil alih kapal Duke Binkley, sebagian ia tugaskan untuk mengikat bawahan Duke Binkley dan sebagian lagi mengangkat tubuh-tubuh yang mengapung di laut termasuk tubuh sang Duke yang entah masih bernyawa atau tidak.

Melihat pertempuran di atas kapal sudah selesai, beberapa perahu kecil yang berada di sekitar dua perahu besar itu segera turun tangan memungut tubuh-tubuh yang terjatuh ke laut. Mereka bahkan tidak segan-segan menghajar mereka yang masih sadar.

Houghton mengawasi pekerjaan mereka dari dek tertinggi kapal perang.

Ketika mendapat tugas dari utusan Istana, ia sangat panik. Secepat mungkin ia menyiapkan pasukan dan kapal perang. Beberapa saat kemudian ketika ia dan kapal perangnya tiba di Tognozzi, rakyat segera menghampiri kapal.

“Kami melihat Paduka Ratu dibawa masuk sebuah kapal,” lapor mereka, “Kami sudah mengutus beberapa orang untuk mengejar mereka.”

Houghton sadar keadaan benar-benar gawat.

Sesaat kemudian ia melihat Quinn dan pasukan Istana mendekat.

Rakyat segera melaporkan apa yang baru saja mereka saksikan pada Quinn.

“Tunjukkan jalan pada kami!” Quinn segera memberi perintah pada mereka kemudian ia berbalik pada Jancer. “Jancer, bawa pasukan menggempur Arsten.” Quinn sudah kehilangan kesabarannya, “Aku tidak ingin seorang pun meninggalkan tempat itu sampai masalah ini tuntas!”

“Baik, Paduka,” Jancer segera melaksanakan perintah itu dengan membawa pasukannya meninggalkan Tognozzi.

Sejurus kemudian Quinn memimpin langsung kapal perang mengikuti petunjuk kapal-kapal rakyat. Mereka tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk menemukan kapal yang membawa Eleanor itu. Setiap beberapa meter, sebuah kapal rakyat menanti mereka untuk menunjukkan arah kepergian kapal itu. Karena itulah mereka dapat dengan segera mengejar kapal yang kemudian diketahui sebagai kapal keluarga Soyoz.

Houghton dapat melihat muka Quinn dipenuhi kemurkaan yang luar biasa ketika melihat bendera kapal itu. Kemurkaan yang tidak pernah dilihatnya itu membuatnya tidak berani melihat pemuda itu. Karena itu pula ia tidak tahu ketika pemuda itu sudah beranjak dari sisinya dan menyerbu ke kapal Duke Binkley bersama prajurit.

Houghton dapat memahami kemurkaan Quinn. Satu-satunya keluarga dekatnya telah mengancam jiwa gadis yang dicintainya.

Di atas kapalnya, rakyat terlihat menghajar bawahan Duke dengan puas. Mereka sangat marah para orang-orang yang berashil mereka pungut itu.

Houghton tidak mengerti mengapa mereka bisa semarah itu? Rakyat marah pada orang yang telah mengancam keluarga kerajaan adalah wajar. Namun kemarahan mereka ini tidak wajar.

“Karena dia adalah Eleanor.”

Houghton terperanjat melihat Quinn di belakangnya. Houghton adalah kapten kapal yang beberapa bulan lalu mengantar Quinn beserta para undangannya ke Corogeanu. Sepanjang perjalanan pergi ke pulau itu, Quinn tidak pernah meninggalkan sisi Eleanor. Demikian pula ketika mereka kembali ke Arsten. Sekarang ia juga tidak mengharapkan kemunculan Quinn.

“Apakah Jancer belum memberitahumu?”

Houghton teringat pembicaraannya dengan Jancer tak lama setelah drama penculikan Eleanor di Pittler.

“Aku tidak meragukan pilihan Grand Duke lagi,” kata Jancer saat itu, “Ratu Eleanor memang seorang ratu pilihan, gadis yang terpilh dari gadis terbaik Viering.”

Houghton kembali melihat rakyat yang mengiringi kapal perang. Sekarang ia dapat berkata pada Jancer, “Aku sependapat denganmu.”

Dalam sejarah Viering, tidak ada seorang Ratu yang seliar Eleanor. Namun juga tidak ada Ratu yang begitu dicintai rakyat seperti Ratu Eleanor.

“Bagaimana luka Anda, Paduka?” kini seluruh perhatian Houghton tertuju pada pemuda yang hanya mengenakan celana panjangnya yang masih basah. Perban putih membalut dadanya yang telanjang.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” jawab Quinn, “Aku akan segera pulih. Daripada mengkhawatirkan aku, lebih baik kau mengkhawatirkan mereka,” Quinn merunjuk pada penjahat-penjahat yang ada di tangan rakyat, “Aku tidak ingin kehilangan terdakwa-terdakwaku.”

Houghton langsung menyadari rakyat sudah membuat kawanan Mathias babak belur. “Saya akan segera memerintahkan mereka untuk berhenti.”

“Beritahu aku bila kita tiba di Tognozzi,” kata Quinn.

“Baik, Paduka.” Houghton tersenyum melihat kepergian pemuda itu. Pada akhirnya Quinn tidak tega meninggalkan Eleanor seorang diri.

“Baiklah,” ia kembali memperhatikan keadaan sekitar, “Ini akan menjadi pekerjaan besar.”



-----0-----


Quinn tersenyum memperhatikan Eleanor. Gadis itu sudah tertidur sebelum mereka tiba di kabin kapal. Ia sama sekali tidak terbangun ketika ia menanggalkan gaunnya. Pun ketika dokter kapal merawat luka di perutnya yang kembali terbuka.

“Kau pasti sangat lelah,” Quinn membelai wajah Eleanor, “Terlalu banyak hal yang terjadi hari ini.”

Eleanor mengeluarkan erangan panjang. Tangannya terangkat untuk mengusap mata.

Quinn tersenyum. “Kau bangun lebih cepat dari dugaanku.”

Eleanor melihat Quinn kemudian ia menyadari tubuhnya hanya tertutup oleh selimut. “Mengapa…?” Eleanor malu melanjutkan pertanyaannya. Ia mencengkeram selimutnya erat-erat untuk menutupi pundaknya yang telanjang.

“Ada apa, Eleanor? Kau malu?” Quinn heran, “Kita pernah tidur telanjang berdua.”

“Kapan!?” Eleanor panik, “Kau penipu! Kau membohongiku!”

“Kau tidak ingat?” Quinn mengerutkan dahinya. “Apakah aku perlu mengingatkanmu?” lanjutnya sambil mendekat.

“Kau maniak!” Eleanor melempar bantal.

Quinn menangkapnya dan tersenyum nakal sambil terus mendekat dengan membawa segala bahaya yang dikenalnya.

Eleanor geram. Ia meraih bantalnya yang lain dan melemparkannya sekuat tenaga ke arah Quinn.

Lagi-lagi Quinn menangkapnya dengan sukses.

Eleanor tidak terima. Ia menggenggam selimut yang menutupi tubuhnya dan melempar bantal-bantal putih yang lain ke arah Quinn.

“Maniak!” seru Eleanor murka.

Ketika bantal keempat dan terakhirnya sudah melayang ke arah Quinn, Eleanor bergerak mengambil barang-barang di atas meja.

“Hentikan, Eleanor! HENTIKAN!”

Eleanor meraih gelas – benda pertama yang teraih olehnya dari atas meja kecil semester di dari tempat tidur.

“Aku bilang hentikan!” Quinn menangkap tangan Eleanor sebelum ia mengambil gelas itu dan menindihnya.

Eleanor menatap tajam pria itu. “Aku membencimu!”

Quinn menempelkan dahinya di atas dahi Eleanor. “Syukurlah,” ia merangkum wajah Eleanor. “Melihat keliaranmu, aku tahu kau sudah pulih.”

Eleanor cemberut.

Quinn tersenyum lembut. Mata abu-abunya menatap Eleanor penuh kelegaan. “Kau benar-benar membuatku cemas. Rasanya aku hampir mati melihat kau menceburkan diri ke laut,” Quinn membelai Eleanor dengan hati-hati dan menciumnya dengan lembut.

Eleanor terlena. Ciuman Quinn membuatnya merasa ia seolah-olah mabuk. Pipinya terasa panas. Tubuhnya seperti terbakar.

Quinn merasakan perubahan suhu tubuh Eleanor. “Kau butuh istirahat,” Quinn menjauhkan diri dari Eleanor. “Aku akan memerintahkan mereka bersiap-siap berlabuh.”

“Kita masih di kapal?” Eleanor terkejut.

“Aku tidak punya pilihan lain. Gaunmu basah kuyup dan aku tidak mempersiapkan baju ganti untukmu. Aku tidak mau tiap orang mengira aku memperkosamu.”

Eleanor tertawa geli.

“Sekarang kau menertawakanku,” Quinn tidak senang. “Kita lihat apa kau masih bisa tertawa jika aku benar-benar memperkosamu.”

“Kau sudah mermperkosaku,” Eleanor mengingatkan.

“Tidak, Eleanor,” Quinn membenarkan, “Aku hanya menelanjangimu.” Ia tersenyum nakal, “Untuk yang kedua kalinya.”

Eleanor geram.

“Sekarang, istriku yang manis,” Quinn tersenyum nakal, “Jangan kau memamerkan tubuhmu yang molek itu. Tetaplah di sini. Aku akan melihat apakah gaunmu sudah kering..”

“Aku tidak peduli!” Eleanor sengaja membantah, “Aku ikut!” Eleanor mencengkeram selimut dan berdiri.

Quinn mengangkat Eleanor dan menidurkannya kembali di tempat tidur. “Dengarkan aku, istriku tercinta, kau benar-benar membuatku bergairah. Kau benar-benar cantik dan molek sehingga aku harus menahan sekuat tenaga untuk tidak memperkosamu. Percayalah padaku aku bisa melakukan segala yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya.” Quinn menatap Eleanor dengan penuh kasih. “Kau bisa membuatku melupakan segalanya dan aku ingin engkau mempunyai kenangan manis yang akan kauingat seumur hidupmu di saat pertamamu.”

Wajah Eleanor memerah.

“Karena itu, Eleanor, tetaplah di sini dan jangan membuat pertahananku goyah,” Quinn berkata serius, “Engkau tidak berada dalam kondisi yang sehat.”

“Aku janji,” kata Eleanor lirih.

Quinn mencium Eleanor. “Ini baru gadis manisku,” ia tersenyum.

Eleanor tidak dapat mengutarakan kebahagiaannya. Ia gembira dapat menyentuh Quinn lagi. Ia merasa begitu aman menyadari Quinn selalu ada untuknya.

Ini sungguh aneh. Dulu ia begitu takut akan lautan. Sekarang, walau menyadari ia tengah berada di atas lautan, ia sama sekali tidak takut. Eleanor tersenyum. Ini semua karena Quinn. Quinn membuatnya merasa aman. Eleanor percaya Quinn akan selalu menolongnya ketika ia dalam bahaya.

Pikiran itu membuatnya merasa sangat damai.

Quinn menutup pintu kamar kabin dengan hati-hati.

“Paduka, apa yang terjadi?” Houghton mendekat dengan cemas. “Saya mendengar seruan Anda.”

Quinn hanya tersenyum. “Houghton, sekarang kau bisa berlabuh. Kirim orangmu untuk memanggil kereta sewaan. Kami akan segera kembali ke Istana.”

“Apakah Paduka Ratu sudah bangun?” tanya Houghton.

“Ialah penyebab seruan yang kau dengar itu.”

Houghton pun tersenyum penuh arti. Sebagai seorang yang tidak pernah tinggal di Fyzool, ia hanya sering mendengar kisah Raja dan Ratu Viering.

Quinn meninggalkan Houghton ke tempat ia menjemur gaun Eleanor. Secepat mungkin ia kembali ke sisi Eleanor. Ia masih menyadari ketakutan Eleanor akan lautan.

“Gaunmu masih belum terlalu kering,” ujar Quinn sambil melangkah masuk.

Quinn tertegun.

Eleanor tidur meringkuk dengan nyenyaknya.

Quinn mengeluh panjang. “Rasanya aku seperti mempunyai bayi sendiri.”

“Mama…”

Quinn tersenyum menatap wajah tidur yang damai itu. “Kau benar-benar bayi besar,” ujarnya dan ia menambahkan, “Aku bukan ‘Mama’.”



*****Lanjut ke chapter 30

No comments:

Post a Comment