Saturday, December 22, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 28

“Seperti keinginan Anda, Paduka,” lapor Jancer, “Minggu lalu kami sudah mengirim Todd dan bawahannya ke kepolisian Loudline. Menurut kabar yang kami terima dari Wayne, polisi sudah bergerak meringkus kawanan Todd yang belum tertangkap. Paling lambat Selasa mendapat mereka akan dihadapkan ke pengadilan.

“Kami juga telah menambahkan kesaksian Eleanor dan Mathias pada laporan itu,” kata Derrick pula.

“Pekerjaan bagus,” puji Quinn sambil merapikan kembali tumpukan kertas yang baru dibacanya.

“Apakah ini baik?” tanya Jancer, “Kita tidak memberi keputusan yang jelas tentang keterlibatan Duke Binkley.”

“Biar pengadilan yang memutuskan,” jawab Quinn, “Tugas kita hanya menulis laporan sejelas mungkin sesuai yang kita ketahui.” Quinn berdiri dan mendekati Jancer. “Serahkan laporan ini ke kepolisian Loudline hari ini juga. Biar Wayne bisa segera melaksanakan tugasnya.”

“Baik, Paduka,” Jancer menerima kembali laporan itu, “Apakah kami harus mengirim Duchess pula?”

“Tidak. Biarkan dia di sini sampai mereka membutuhkannya,” lalu Quinn melihat Derrick, “Sudah waktunya aku menemui wanita rendah itu.”

Mereka terperanjat.

“Saya tidak setuju!” cegah Jancer, “Duchess adalah wanita yang berbahaya.”

“Kalau kau memang ingin bertemu dengannya, kami bisa membawanya ke sini,” timpal Derrick, “Ia tidak pantas kaukunjungi.”

“Di sini terlalu banyak mata dan telinga,” Quinn terus melangkah ke pintu, “Derrick, temani aku.”

Derrick sadar ia tidak bisa mencegah Quinn. Demikian pula Jancer. maka Jancer menambah pasukan untuk mengawal Quinn ke ruang penjara bawah tanah dan Derrick menunjukkan jalan ke ruang tempat mereka menahan Simona.

Simona langsung menerjang pintu selnya mendengar kedatangan Quinn. “Aku akan membunuh kalian! Aku akan menghancurkan kerajaan ini!” serunya.

“Dia sudah gila,” komentar Derrick, “Apa yang bisa dilakukannya dari sini?”

“Apa kau lupa masih banyak anak buah Todd yang berkeliaran di Loudline? Mereka pasti akan meneruskan rencana ini ketika gadis ingusan itu berkeliaran di kota,” Simona mengingatkan, “Suatu saat nanti mereka pasti akan membunuh gadis itu!”

Demi keheranan mereka, Quinn tertawa geli. “Rupanya kau masih belum mendengar gosip itu. Eleanor pasti akan sangat berterima kasih padamu. Berkat kau, sekarang aku tidak perlu khawatir lagi melepas Eleanor seorang diri di Loudline. Penduduk Loudline tahu ratu mereka sering berkeliaran di kota dengan menyamar menjadi gadis desa. Sekarang anak kecil pun sibuk mencari-cari Ratu Eleanor di antara penduduk Loudline. Teman-teman Eleanor juga sudah bersumpah padaku akan menjaga baik Eleanor selama ia berada di kota.”

Simona marah mendengarnya. “Kusumpah kalian. Kusumpah kalian tidak akan mendapat keturunan!”

“Kau tidak perlu khawatir,” Quinn menanggapi dengan suara tegasnya, “Aku yakinkan kau dalam waktu dekat ini kau akan mendengar lahirnya putra kami.”

“Kaupikir aku buta!? Gadis itu tidak hamil! Ia tidak pernah hamil!”

“Tidak pernah tidak berarti tidak akan,” lagi-lagi Quinn menanggapi dengan kepala dinginnya, “Daripada memikirkan kami, lebih baik kau memikirkan masa depanmu,” Quinn memberitahu, “Hari ini laporanmu sudah diserahkan ke pengadilan. Hukuman yang menantimu tinggal menunggu hari.”

Simona membelalak.

“Kau boleh membujuk Mathias atau siapa pun untuk membebaskanmu,” kata Quinn lagi, “Tapi aku tidak menjamin itu adalah keputusan bijaksana. Di luar sana ada banyak orang yang ingin berjumpa denganmu.”

Derrick mengagumi Quinn. Simona adalah orang yang paling bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Eleanor namun Quinn tetap bersikap sebagai seorang raja yang bijaksana. Ia lebih mengutamakan keselamatan Simona dibandingkan meluapkan amarahnya. Kalau ia adalah Quinn, ia pasti akan membiarkan Simona mati di perjalanan ke Loudline di tangan orang-orang yang marah pada perbuatannya pada Eleanor.

“Ikutilah nasehatku. Jagalah sikapmu sampai hari itu tiba.”

“Mathias tidak akan melepaskanmu! Mathias pasti akan membalas dendam!”

“Kita pergi,” Quinn membalik badan.

“Kau tidak mengenal Mathias. Mathias pasti akan membalas dendam!”

Quinn sama sekali tidak terpengaruh oleh teriakan itu.

Derrick diam memperhatikan wajah tenang Quinn. Ia ingin tahu apa yang dipikirkan pemuda itu.

“Derrick, apakah menurutmu Mathias terlibat?”

Derrick kaget mendengar pertanyaan itu.Itu adalah yang selalu diucapkan tiap orang. Itu adalah pertanyaan yang selalu diajukan tiap orang pada Quinn.

“Aku tidak tahu,” Derrick menjawab jujur, “Itu mungkin saja tapi melihat ketakutan Mathias, hal itu rasanya mustahil.”

Quinn diam.

Derrick yakin pemuda itu pasti tahu seisi Viering menanti jawabannya. Sikap Quinn yang tidak jelas telah memecah Viering. Sebagian percaya Quinn ingin melindungi Mathias dan sebagian percaya Mathias tidak terlibat.

“Aku pun tidak tahu,” akhirnya Quinn menjawab, “Wanita sangat menakutkan. Ia bisa mengubah seorang pria.”

“Seperti Eleanor mengubahmu?” goda Derrick.

Quinn tidak menjawab. Matanya terpaku pada halaman Istana.


-----0-----


“Selamat, Paduka Ratu,” Dokter Lawrence tersenyum, “Luka di tangan Anda sudah sembuh.”

Eleanor berseru gembira. Hampir setengah bulan lamanya ia terbaring di tempat tidur. Musim dingin juga sudah ada di depan mata. Selama itu keadaannya sudah semakin membaik. Dokter sudah memperbolehkannya duduk di atas tempat tidur dengan bersandar pada tembok ditumpu bantal-bantal empuk seperti saat ini.

“Rasanya sudah lama aku tidak menggerakkan tanganku,” Eleanor menggerak-gerakkan jari-jarinya dengan gembira.

“Aku rasa itu bukan pilihan yang bagus,” keluh Irina, “Lihatlah Eleanor sudah siap-siap melompat pergi.”

“Oh,” Dokter Lawrence kaget, “Haruskah saya membalutnya lagi?”

“Tindakan bagus,” Irina langsung merestui.

“Benar,” Nicci sependapat, “Paduka Ratu tidak akan bisa memegang apa pun kalau tangannya terperban erat.”

“Tidak mau!” Eleanor langsung menyembunyikan tangannya di belakang bantal yang menyangga punggungnya.

“Kemarin Paduka Ratu diam-diam meninggalkan tempat tidur,” Nicci memberitahu.

“Itu karena aku bosan.”

“Kemarinnya lagi Anda pergi ke beranda.”

“Matahari sangat hangat. Apa salahnya aku berjemur matahari!?”

“Kemarinnya lagi Anda bermain api sampai api hampir membakar gaun tidur Anda dan Paduka Raja panik.”

“Api perapian hampir padam! Aku hanya ingin menghidupkannya kembali!” Eleanor membela diri, “Lagipula percikan api hanya kebetulan melompat ke gaun tidurku. Quinn hanya suka membesar-besarkan masalah!”

Irina pucat pasi mendengarnya. “Tampaknya kau masih tidak boleh melepas perban tangan Eleanor.”

“Benar,” Dokter Lawrence sependapat.

“Tidak! Tidak! Aku tidak mau!” Eleanor menolak, “Aku janji aku akan menurut.”

“Minggu lalu kau juga berjanji padaku akan menjadi gadis manis.”

Mereka melihat ke pintu.

Quinn memasuki kamar dengan tangan terlipat di belakang punggungnya diikuti Derrick.

Dokter Lawrence segera berdiri untuk menyambut Quinn. “Selamat siang, Paduka Raja,” katanya memberi salam.

“Selamat siang, Paduka,” Nicci membungkuk hormat dan memberi jalan pada Quinn ke sisi Eleanor.

“Selamat siang, Paduka,” Irina pun menjinjing ujung gaunnya – memberi hormat, “Maaf adik saya suka merepotkan Anda.”

“Jangan khawatir. Aku sudah biasa. Sekarang kalau ia tiba-tiba menjadi gadis manis, aku akan berpikir apakah dia benar-benar Eleanor.”

“Dia adalah iblis!”

“Eleanor!” hardik Irina. “Jaga bicaramu!”

Quinn tertawa. “Ini adalah kebiasaan barunya,” katanya memberitahu, “Memberitahu seisi dunia akan rahasiaku.”

Eleanor langsung membuang mukanya dengan marah.

Irina tidak suka melihat sikap Eleanor.

“Hari ini kau sangat cantik,” Quinn mengulurkan setangkai bunga pada Irina. “Jangan biarkan Eleanor merusak wajah cantikmu itu.”

“T-terima kasih, Paduka,” Irina menerimanya dengan gugup.

Eleanor membelalak marah. “Derrick,” perintahnya, “Bawa rangkaian bunga yang besar untukku.”

Derrick kaget.

“Hei! Hei!” protes Quinn, “Mana ada istri yang minta rangkaian bunga pada pria lain di depan suaminya?”

“Ingat, aku mau rangkaian bunga yang besar dan indah,” Eleanor mengabaikan Quinn.

Derrick bingung.

“Aku tahu,” Quinn menyimpulkan, “Kau cemburu.”

“Siapa yang cemburu!?” Eleanor membuang muka.

“Baiklah, aku bersalah. Aku menyesal,” kata Quinn, “Aku akan memberi rangkaian bunga yang besar untukmu.”

Eleanor tidak menghiraukannya.

“Eleanor, jangan keras kepala!” hardik Irina lagi, “Ini adalah penghujung musim gugur. Dari mana kau akan mendapatkan bunga sebanyak itu?”

Quinn tersenyum. “Irina, kau akan menjadi seorang ibu yang baik.”

Wajah Irina merah padam.

“Nah, Eleanor, apakah kau sudah mendengar kata ibu angkatmu?” Quinn berdiri di sisi Eleanor, “Jangan keras kepala.”

Saat itulah Irina melihat bunga-bunga yang disembunyikan Quinn di belakang tubuhnya.

Eleanor masih tidak memalingkan kepalanya melihat Quinn.

“Aku kalah darimu,” desah Quinn dan ia meletakkan rangkaian bunga yang sejak awal disembunyikannya dari penglihatan Eleanor, di atas pangkuan gadis itu.

Eleanor terkejut melihat bunga warna warni yang memenuhi pangkuannya. Begitu banyaknya bunga-bunga itu hingga mereka berserakan di sekitar tubuhnya. Eleanor melihat Quinn dengan mata terbelalak. Kemudian ia sibuk memungut bunga-bunga itu ke dalam pelukannya.

Quinn tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. “Lawrence,” katanya kemudian, “Apakah kau yakin akan melepas perban tangan Eleanor?”

Dokter Lawrence melihat Quinn dengan heran.

“Apakah kau tidak khawatir jantungku akan berhenti berdetak?”

“Anda benar!” Dokter Lawrence langsung tersadar. “Tampaknya saya harus memikirkan kembali keputusan saya.” Dokter melihat Eleanor, “Nah, Paduka Ratu,” ia mengulurkan tangan.

Merasakan gelagat tidak baik, Eleanor segera menyembunyikan tangannya di belakang punggung. “Aku tidak mau! Aku berjanji akan menjadi gadis penurut.”

“Bagaimana menurutmu, Nicci?” Quinn melihat pelayan yang sudah mengikuti Eleanor semenjak ia masih kecil.

“Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang lalu,” jawab Nicci, “Saya dapat meyakinkan Anda Paduka Ratu tidak akan menepati janjinya.”

“Aku sependapat,” Quinn mengangguk-angguk, “Sepertinya, aku juga harus mencabut semua janji-janjiku sebagai hukuman.”

“Tidak!” Eleanor berseru keras memprotes Quinn, “Kau sudah berjanji akan membawaku pergi setelah aku sembuh!”

“Apakah aku pernah menjanjikannya?” tanya Quinn lalu ia berpaling pada pelayan Eleanor yang berdiri di sisi Dokter Lawrence, “Nicci?”

Menyadari permainan Quinn, Nicci menjawab, “Saya rasa Anda tidak pernah menjanjikannya.”

“Irina?”

“Saya juga tidak pernah mendengarnya.”

“Lawrence?” Quinn ganti menanyai dokter yang menangani Eleanor.

“Saya berani bersumpah saya tidak pernah mendengar Anda menjanjikannya.”

“Aku juga tidak pernah mendengarnya,” Derrick langgung menanggapi.

“Nah, Eleanor?” Quinn menahan senyum gelinya melihat wajah cemberu Eleanor.

“Kau pernah menjanjikannya!” seru Eleanor keras kepala, “Kau sudah berjanji padaku!”

“Seseorang juga pernah berjanji padaku untuk menjadi gadis manis tapi ia selalu membuat jantungnya hampir berhenti.”

Eleanor marah. “Kau juga sering berjanji akan meluangkan waktu untuk menemaniku tapi mana buktinya!? Kau tidak pernah datang menemuiku!!”

“Aku berkata aku akan berusaha,” Quinn membela diri.

“Sama saja!” Eleanor kembali membuang wajah sambil menyilangkan tangan di dada.

“Baiklah,” Quinn menyerah, “Sekarang di depan orang-orang ini, aku membuat janji padamu. Aku akan mengajakmu pergi jika Dokter Lawrence mengijinkanmu.”

“Pembohong!” sahut Eleanor sengit tanpa memalingkan wajah.

“Melihat kesembuhan Anda yang cepat, saya yakin besok saya bisa mengijinkan Anda keluar,” sang Dokter menjanjikan pula dan ia segera menambahkan, “Namun itu bila Anda mau menuruti pesan-pesan saya dan tidak pernah menolak minum obat yang saya berikan untuk Anda.”

“Penipu!” Eleanor menanggapi lagi dengan sengit.

“Celaka,” Quinn kebingungan, “Eleanor benar-benar marah. Tampaknya hari ini aku harus menyusun rencana untuk besok. Lawrence, apakah besok kau bisa mengijinkanku membawa Eleanor pergi?”

“Tentu, Paduka Raja,” jawab Lawrence, “Namun saya berharap Anda mengijinkan saya ikut serta. Saya perlu mengawasi Paduka Ratu selama 24 jam.”

“Tentu,” Quinn meloloskan permintaan itu, “Tidak masalah.”

“Benarkah itu!?” Eleanor langsung melihat Quinn dengan mata berbinar-binarnya. “Benarkah besok kau akan mengajakku pergi?”

“Tentu,” Quinn berjanji, “Hanya bila kau adalah gadis manis.”

“Kau sudah berjanji!” rengek Eleanor, “Kau sudah berjanji padaku. Kau sudah berjanji di depan mereka.”

“Aku juga sudah memberi syarat.”

“Tidak ada! Tidak ada syarat itu!” Eleanor memprotes dengan gencar.

“Eleanor,” Irina yang memperhatikan pasangan itu berkomentar, “Sejak kapan kau menjadi manja seperti ini?”

“Apakah kau tidak tahu, Irina?” tanya Quinn, “Dia adalah gadis yang paling manja dan keras kepala yang pernah ada di dunia.”

“Quinn yang memulainya!” Eleanor membela diri, “Dia suka membuat janji kosong.”

“Eleanor!” tegur Irina, “Paduka Raja bukan orang yang tidak punya pekerjaan! Ia sibuk mengurusi urusan Viering. Sebagai seorang Ratu, kau tidak boleh menambahi beban Paduka. Engkau harus bisa membantunya memimpin kerajaan ini. Kau tidak boleh keras kepala!”

Eleanor langsung memasang wajah cemberut.

“Aku yakin kau akan menjadi seorang ibu yang baik,” Quinn tersenyum lembut pada Irina dan menambahkan, “Tidak seperti seseorang.”

Wajah Irina memerah padam.

“Aku juga bisa kalau aku mau!” protes Eleanor.

“Kalau kau mau,” Quinn menekankan.

Merasa diledek, Eleanor kembali memasang wajah marah.

Dokter Lawrence meringkas barangnya.

“Engkau akan pulang, Dokter?” tanya Derrick, “Kebetulan aku juga akan pulang. Aku akan mengantarmu.”

“Kau akan pergi, Derrick?” Eleanor bertanya kecewa, “Kalau kau pergi, siapa yang akan menemaniku?”

Quinn mengeluarkan suara batuk keras.

“Jangan pergi,” pinta Eleanor, “Kita sudah lama tidak berbincang-bincang.”

Derrick tersenyum. “Aku harus pergi sebelum seseorang membunuhku.”

“Siapa?” tanya Eleanor tertarik, “Apakah kau sudah punya kekasih? Siapa itu? Mengapa kau tidak pernah memberitahuku?”

Quinn mengeluarkan lagi suara batuk keras.

“Orang itu ada di sisimu,” Derrick membenarkan.

“Siapa?” Eleanor melihat sekelilingnya.

“Kau ini…,” akhirnya Quinn tidak dapat menahan kegeramannya, “Apa kau tidak sadar aku ada di sini?”

“Kau masih di sini?” Eleanor bertanya heran seolah baru menyadari keberadaan pemuda itu.

“Kau memang mencari mati,” Quinn menjatuhkan diri di atas Eleanor dan menggelitik gadis itu.

“Kita juga harus pergi,” Irina melihat Nicci penuh arti. Bersama Derrick dan Dokter, mereka meninggalkan kamar Eleanor tanpa suara.

“Untuk sementara Paduka Raja tidak ingin diganggu,” Derrick memberitahu prajurit Istana yang menjaga pintu kamar Eleanor, “Bila ada yang mencari beliau, katakan padanya untuk menunggu.”

Suara tawa yang terdengar ketika pintu terbuka, sudah memberitahu mereka apa yang harus mereka lakukan.

“Kami mengerti,” sahut mereka.

Beberapa saat kemudian, setelah mereka berpisah dengan Nicci dan Dokter Lawrence, Derrick bertanya pada kakaknya, “Irina, kau tidak jatuh cinta pada Quinn, bukan?”

Irina terperanjat. Serta merta wajahnya memerah. “A-apa maksud kata-katamu itu!? Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada Raja Quinn!? Ia adalah suami Eleanor!”

“Untunglah kau menyadarinya,” Derrick lega dan ia mengakui, “Aku sempat cemas melihat reaksimu di kamar Eleanor.”

Irina termenung. Ia tidak dapat memungkiri detak jantungnya yang sangat keras ketika Quinn memujinya. Ia juga tidak dapat menahan panas di wajahnya melihat senyum Quinn yang ditujukan padanya. Namun ia tidak dapat meyakinkan dirinya itu bukan reaksi cinta. Dari sekian banyak pujian yang diterimanya, baru kali ini ia tersipu.

“Irina,” Derrick menarik perhatian kakaknya, “Quinn minta aku menyampaikan sesuatu kepadamu. Ia ingin kau membujuk Earl Hielfinberg.”

“Membujuknya menjenguk Eleanor?” tanya Irina, “Aku rasa itu tidak mungkin. Kau tahu Earl sama keras kepalanya dengan Eleanor.”

“Quinn percaya Earl akan mendengarmu.”

Irina termenung. Seperti semua orang yang mengenal Eleanor, ia pun tahu Eleanor sangat merindukan ayahnya namun Earl bersikukuh untuk tidak bertemu muka dengan putri kesayangannya. “Aku akan mencobanya tetapi aku tidak dapat berjanji.”


-----0-----


Suara ketukan di pintu menarik perhatian Eleanor dan Nicci.

“Pasti Irina!” sahut Eleanor gembira.

“Anda tidak boleh turun dari tempat tidur, Paduka Ratu!” Nicci memperingati ketika melihat gadis itu sudah bersiap-siap turun dari tempat tidur, “Biar saya yang membuka pintu.”

“Baiklah,” Eleanor kecewa. Dengan tidak sabar, ia menanti kemunculan Irina di balik pintu. Ia heran ketika melihat seorang prajurit berbicara dengan serius kepada Nicci. Jarak yang cukup jauh dari tempat tidurnya ke pintu dan suara mereka yang kecil, membuatnya tidak dapat mendengar percakapan mereka.

Tak lama kemudian Nicci menutup pintu dan dengan senyum gembira ia berkata, “Saya punya berita bagus untuk Anda, Paduka Ratu. Paduka sudah mendapat ijin Dokter Lawrence dan ia sedang menanti Anda di Tognozzi saat ini.”

“Benarkah itu!?” Eleanor langsung bersorak gembira. “Aku harus segera bersiap-siap,” Eleanor turun dari tempat tidur, “Quinn pasti tidak senang menungguku terlalu lama.”

“Hati-hati dengan luka Anda!” Nicci khawatir melihat gerakan lincah gadis itu yang terkesan sembrono.

“Aku harus segera bersiap-siap atau Quinn akan marah-marah,” Eleanor membuka lemari bajunya.

“Jangan khawatir,” Nicci menenangkan, “Prajurit itu mengatakan Raja meminta Anda untuk tidak tergesa-gesa.”

Namun Eleanor tidak mendengarnya, ia sudah membongkar isi lemari bajunya.

Nicci pun tersenyum. Ia tahu benar majikannya tidak dapat berdiam diri di dalam kamar. Berminggu-minggu berbaring di atas tempat tidur, bukanlah hal yang bisa diterimanya. Hanya Raja Quinnlah yang bisa membuatnya berbaring selama itu di atas tempat tidur. Sekarang ia tentu telah mencapai titik di mana ia sudah tidak dapat menahan dirinya untuk tidak bermain keluar seperti kesukaannya.

Dengan sigap, Nicci membantu Eleanor berdandan kemudian mengantar gadis itu ke kereta yang sudah menantinya. Senyum gembira di wajah Eleanor membuatnya turut bergembira.

Beberapa saat kemudian Nicci berdiri di depan pintu Istana sambil melambaikan tangan hingga kereta yang membawa Eleanor menghilang. Kemudian ia pergi untuk merapikan kamar Eleanor yang berantakan oleh ulah gadis itu.

Dengan kepergian Eleanor, pasukan yang biasanya menjaga pintu kamar Eleanor pun menghilang.

Ketika merapikan kamar Eleanor, Nicci berpikir sudah berapa lamakah ia tidak merasakan kesunyian seperti ini. Selalu ada saja yang dilakukan Eleanor hingga ia kewalahan. Selalu ada saja yang diributkan Eleanor hingga suasana kamar yang besar ini tidak pernah sesunyi ini.

Nicci melihat tempat tidur Eleanor yang sekarang sudah kosong. Ia pun tersenyum bahagia untuk majikannya yang liar itu.

“Paduka Raja benar-benar memahami Anda,” gumamnya, “Ia tidak akan membuat Anda bersedih.”

Ketika merapikan bunga dalam vas yang kemarin dipetik Quinn untuk Eleanor, Nicci teringat komentar Eleanor sepanjang malam kemarin.

“Lihatlah bunga-bunga ini. Apakah kau percaya ini adalah musim gugur!? Besok aku akan meminta Quinn memetiknya lagi untukku. Aku akan membuat kamarku serasa seperti musim semi!”

“Paduka Ratu pasti akan senang bila ia kembali sore ini kamarnya sudah penuh oleh bebungaan,” pikir Nicci.

Segera setelah tugasnya selesai, Nicci segera menuju kebun Istana sambil menenteng sebuah keranjang besar.

“Apakah Eleanor sedang tidur, Nicci?” cegat Quinn melihat wanita itu di Hall Istana.

“Paduka!?” Nicci terperanjat. “Anda di sini?”

“Aku berada di tempat ini sejak pagi.”

“Bu-bukankah Anda menanti Paduka Ratu di Tognozzi?”

Quinn langsung bersiaga. Ia menjadi was-was tetapi ia tetap berusaha tenang. “Katakan apa yang terjadi.”

“Beberapa saat lalu seorang prajurit memberitahu Paduka Ratu bahwa Anda menanti beliau di Tognozzi. Menurut prajurit itu, Anda akan membawa Paduka Ratu bepergian.”

“Sudah berapa lama Eleanor meninggalkan Istana?” tanya Quinn.

“Kira-kira dua sampai tiga jam yang lalu.”

“Terima kasih, Nicci,” kata Quinn, “Sekarang panggil Jancer menghadapku sesegera mungkin di Ruang Kerjaku”

Nicci bingung mendengar perintah itu tetapi ia tetap berkata, “Baik, Paduka.”

Quinn segera bergegas ke Ruang Kerjanya. Ia tidak membutuhkan penjelasan lebih panjang lagi untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Ia juga tidak perlu memutar otak untuk mengetahui dalang di balik semua ini.

Setelah berulang kali gagal membunuh Eleanor, akankah Mathias melepaskan gadis itu?

Quinn geram. Simona benar-benar merupakan racun. Ia telah mencoreng muka kerajaan ini dan ia telah mempengaruhi Mathias menjadi seseorang yang tidak ia kenal.

Begitu sampai di Ruang Kerjanya, Quinn mengeluarkan peta dari laci meja kerjanya. Quinn mempelajari segala rute yang mungkin diambil para penculik Eleanor itu dari Tognozzi.

Quinn tidak akan melepaskan para penculik itu. Sekali ia pernah kecurian. Sekali pula ia pernah hampir kecurian dan sekarang ia kembali kecurian!

Quinn tidak bisa meremehkan masalah keamanan Eleanor. Ia tidak lagi bisa mengandalkan para prajurit tangguh Viering. Setiap orang bisa membohongi Eleanor atas namanya. Harus ia sendirilah yang mengawasi Eleanor siang dan malam.

“Saya datang membawa Jancer menghadap Anda, Paduka,” kata Nicci.

“Aku punya tugas lain untukmu, Nicci,” kata Quinn, “Beritahu Vicenzo aku ingin ia membersihkan Ivory Chamber. Aku dan Eleanor akan pindah ke sana mulai dari malam ini.”

Lagi-lagi Quinn membuat Nicci bingung dengan perintah yang diucapkannya dengan penuh ketenangan itu. “Baik, Paduka,” Nicci memberi hormat kemudian mengundurkan diri dari ruangan itu.

“Kita punya masalah gawat,” Quinn tidak membuang waktu untuk menjelaskan keadaan pada Kepala Pengawal Istana itu, “Siapkan prajurit berkuda terbaikmu sesegera mungkin. Kita akan melakukan pengejaran. Mereka menculik Eleanor.”

Jancer terkejut. Ia telah memperketat pengawalan terhadap Eleanor semenjak peristiwa usaha pembunuhannya yang terakhir dan ia masih saja kecurian.

“Perintahkan pula seorang prajurit untuk menghadap Houghton dan memintanya menyiapkan kapal perang tercepatnya. Kirim prajurit ke Tognozzi untuk memerintah mereka menutup pelabuhan sampai kita tiba. Kita tidak punya banyak waktu. Mereka telah meninggalkan Istana dua sampai tiga jam yang lalu.”

“Hamba mengerti, Paduka,” Jancer menegapkan dada dan memberi hormat ala prajurit. “Saya akan menyiapkan prajurit saat ini juga.”

Dalam waktu singkat suasana Istana menjadi ramai.

Prajurit berlarian di sepanjang koridor Istana untuk mempersiapkan diri. Para penjaga kuda dengan sigap memasang pelana para kuda andalan Viering. Beberapa prajurit diutus untuk menghadap Komandan Angkatan Laut Viering dan beberapa diperintahkan untuk segera ke Tognozzi dan memerintahkan pejabat setempat menutup pelabuhan.

Quinn pun segera menanggalkan baju santainya dengan baju perangnya dan ia bergegas memimpin prajurit yang mulai berkumpul di halaman Istana.

Kesibukan mendadak di dalam Istana membuat para pengunjung Istana terheran-heran tetapi mereka hanya dapat berspekulasi sendiri tentang keadaan yang sebenarnya.

Nicci pun mulai menyadari keadaan dan ia menjadi ketakutan karenanya. Ia telah membiarkan mereka menculik Eleanor!!

Seharusnya ia curiga ketika prajurit itu mengatakan Dokter Lawrence memberikan restunya pada Raja Quinn. Ia sendiri juga tahu luka di perut Eleanor belum sembuh bahkan sebuah gerakan sembrono Eleanor akan membuka kembali luka itu.

Seharusnya ia curiga ketika prajurit itu menyebut Tognozzi. Tidak mungkin Quinn tidak tahu ketakutan Eleanor akan laut. Mengapa ia menunggu gadis itu di Tognozzi? Ia tidak mungkin menantinya di pelabuhan bila ia tidak ingin mengajaknya berlayar.

Nicci terus menyalahkan dirinya sendiri. Ia berdoa demi keselamatan gadis yang disayanginya itu.


-----0-----


Eleanor terbangun dengan sakit yang teramat sangat di kepalanya. Otaknya mengulang kembali kejadian yang baru saja dialaminya.

Ia merasa sangat gembira ketika kereta mulai bergerak meninggalkan Fyzool. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Quinn. Namun ia mulai merasa curiga ketika melihat laut melalui jendela kereta. Ia tidak mendengar dengan jelas di mana Quinn menantinya namun ia yakin Quinn tidak akan membawanya ke laut. Quinn sudah berjanji padanya.

“Berhenti!” Eleanor berteriak pada kusir kuda. Kereta terus melaju dengan kencang. “Berhenti, kataku!” serunya keras-keras. Melihat kusir kuda yang sengaja mengacuhkannya, Eleanor mulai merasa tidak tenang. Ia mencoba membuka pintu kereta namun pintu itu terkunci rapat. Ia juga tidak dapat membuka jendela kereta.

Eleanor langsung sadar ia sudah masuk dalam perangkap. Karenanya Eleanor langsung menerjang ketika pintu kereta terbuka.

Sayangnya, bagi Eleanor, seorang pria bertubuh besar menghadangnya. Sebelum ia sempat memberikan perlawanan, seseorang memukul kepalanya dari belakang hingga ia pingsan.

“Kau sudah bangun?”

Eleanor terkejut mendengar suara itu. “Mengapa kau ada di sini?” tanyanya kemudian ia merasakan tubuhnya terayun-ayun. “Di…di… mana kita?” tanyanya panik.

“Kita sudah jauh dari Viering,” jawab Mathias sambil mendekati Eleanor, “Quinn tidak akan menganggu kita.”

“A-apa yang kaulakukan?” Eleanor menghindari Mathias ke sisi ranjang yang lain. Ayunan ombak laut membuatnya kembali sadar saat ini ia berada di tempat yang paling ditakutinya, laut!

Mathias memanfaatkan kelengahan Eleanor itu untuk menarik gadis itu ke dalam pelukannya.

Eleanor langsung tersadar. “Lepaskan!” rontanya, “Lepaskan aku! Lepaskan!”

“Sekarang kau tidak bisa kabur. Di tempat ini hanya ada aku dan kau! Tidak akan ada yang menganggu kita,” Mathias menjatuhkan ciumannya di sekujur tubuh Eleanor sementara tangannya terus menggerayangi tubuh gadis itu.

“TIDAAAKKK!” ronta Eleanor, “LEPASKAN! LEPASKAN AKU!!!” Kepanikan dan ketakutan Eleanor langsung pecah dalam tangisannya. “Quinn!” serunya memanggil, “Quinn!!”

Mata Mathias langsung membelalak penuh kemarahan mendengar nama itu. “DIAM!” Mathias menampar Eleanor dengan keras hingga Eleanor terpelanting ke atas ranjang.

Eleanor memegang pipinya yang memerah karena sakit sambil menatap Mathias dengan mata nanarnya.

“Quinn! Quinn! Selalu Quinn! Semua wanita memilih Quinn. Setiap orang mengelu-elukannya. Mengapa setiap orang selalu menyanjung Quinn!!? MENGAPA!? Katakan mengapa!??” Mathias memprotes tanpa dapat dihentikan, “Apa bagusnya Quinn? Apa kekuranganku!?”

Eleanor tidak berani mengeluarkan suara melihat pemuda yang sudah lepas kendali itu.

“Quinn tidak lebih dari seorang pemerintah, pemarah, dan penghancur kebahagian orang lain! Ia suka memerintahku melakukan segala keinginannya. Ia melarangku menikahi wanita yang kucintai. Ia mencacatiku karena menikahi Simona. Sekarang ia merampas Simona dariku. Katakan, apa salahku!? Apa salahku menikahi wanita yang kucintai!? Mengapa kalian tetap saja memilih Quinn!??”

“Kau sudah gila,” komentar Eleanor.

“Ya, aku sudah gila. Dunia ini sudah gila!” balas Mathias, “Simona benar. Bila aku menjadi raja, tidak akan ada yang berani menghinaku.”

Eleanor sadar pemuda ini sudah lebih gila dari Simona.

“Jangan khawatir, setelah aku membunuh Mathias, aku akan menjadikanmu ratuku.”

“Matipun aku tidak sudi!” sahut Eleanor.

Mathias menertawakan Eleanor. “Apa kau pikir aku bodoh? Kau menikahi Quinn karena statusnya.”

“Aku menikahinya karena aku mencintainya!”

“Quinn hanya menginginkan keturunan darimu.”

“Tidak! Ia mencintaiku!”

“Tidak akan lagi setelah ini,” Mathias mendekati Eleanor, “Aku akan membuatmu melahirkan anakku.”

Eleanor kembali panik. Ia meronta-ronta sekuat tenaganya dari pelukan Mathias. Hanya nyeri yang tiba-tiba muncul di perutnyalah yang melemahkan perlawanannya. “Quinn! Quinn!” Eleanor memanggil-manggil suaminya dalam tangisan paniknya.

“Panggilah sesukamu. Ia tidak akan datang,” Mathias dengan kasar merobek gaun Eleanor.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan panik di pintu.

“Aku tidak ingin diganggu!” seru Mathias murka.

Ketukan itu tidak berhenti. “Keadaan sangat gawat, Yang Mulia. Kapal perang kerajaan sudah mengejar kita.”

“PERSETAN!” Mathias mengumpat kasar sambil melemparkan tubuh Eleanor ke atas tempat tidur. Kemudian ia melangkah ke pintu.

Eleanor memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari jalan kabur.

“Apa kaukira kau dapat kabur!?” Mathias mencengkeram tangan Eleanor.

Eleanor kaget.

“Quinn tidak akan selamat. Ia akan mati sebelum ia mencapai kapal ini!” Mathias mengumumkan.

“Tidak!” bantah Eleanor, “Quinn bukan seorang yang lemah. Ia pasti akan menyelamatkanku.” Eleanor tahu ia harus mencari cara untuk mengulur waktu hingga Quinn tiba. “Ia pasti akan menghukummu!”

“DIAM!” Mathias menampar Eleanor lagi.

Eleanor jatuh tersungkur di lantai karena kerasnya tamparan itu.

“Mengapa!? Mengapa tidak seorang pun menghargaiku!? Mengapa Quinn selalu mendapatkan yang terbaik sedangkan aku selalu dihina!?”

Eleanor melihat ke pintu. Ia sadar itulah satu-satunya pintu keluar dan satu-satunya kesempatan untuk kabur adalah saat ini, saat Mathias kembali kehilangan kendali atas emosinya!

“Kau pun begitu.”

Eleanor terperanjat. Ketika ia membalikkan badan, Mathias sedang melihat ke arahnya.

“Aku begitu mencintaimu, tetapi mengapa engkau membenciku?”

Eleanor merasakan bahaya ketika Mathias berjalan ke arahnya. Ia berjalan mundur menjauhi pemuda itu. Sedetik pun ia tidak berani memindahkan matanya dari Mathias.

Bahaya yang dirasakannya semakin mendekati kenyataan ketika Mathias mengeluarkan sebilah pisau dari sakunya.

“Aku akan mengantarmu ke dunia sana,” Mathias menghunuskan pisaunya. “Aku tidak akan membiarkan seorang pun yang menolakku, hidup.”

Eleanor jatuh tersungkur karena gugupnya. Tiba-tiba luka di perutnya terasa sangat perih. Eleanor memegang perutnya.

“Sekarang kau tidak bisa lari.”

Eleanor kaget menyadari Mathias sudah berada di depannya. Pedangnya yang berkilat tertimpa sinar matahari, terangkat tinggi-tinggi. Eleanor memejamkan matanya – sadar ia tidak bisa lari dari takdirnya.



*****Lanjut ke chapter 29

No comments:

Post a Comment