Saturday, December 22, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 27

Seminggu berlalu sudah sejak percobaan pembunuhan Eleanor.

Panas Eleanor sudah berangsur-angsur turun. Luka di tangannya sudah mulai mengering. Namun menurut Dokter Lawrence, luka di perutnya tidak akan sembuh secepat luka di kedua telapak tangannya.


Earl Hielfinberg juga sudah menunjukkan batas kesehatannya. Sekarang atas nasihat dokter, ia beristirahat di kamar lain yang tak jauh dari kamar Eleanor. Earl bukan saja lelah karena menunggui Eleanor sepanjang hari namun juga karena kecemasannya. Pada awalnya ia menolak namun setelah dibujuk oleh banyak orang, akhirnya ia mau menurut.

Todd juga masih menutup mulut. Ia tetap berpura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi di tempat persembunyiannya di Pittler. Ia terus mengelak pertanyaan demi pertanyaan yang diutarakan padanya. Sikapnya ini membuat Derrick sering lepas kendali hingga para prajurit kewalahan mencegah Derrick melukai tahanan mereka. Bawahan Todd juga tidak banyak membantu. Mereka tidak tahu siapa dalang peristiwa ini. Sebagian dari mereka bersikap keras kepala seperti Todd dan sebagian hanya tahu mereka diperintah Todd.

Di Arsten juga tidak tampak pergerakan yang mencurigakan. Simona masih tetap tidak terlihat di dalam maupun sekitar Arsten. Mathias juga tidak pernah menunjukkan sikap yang mencurigakan. Ia juga tidak pernah mengumumkan hilangnya pedang pusaka keluarga mereka.

Quinn merasa sudah saatnya ia mengambil tindakan tegas. Mulanya ia ingin menanti Mathias mengumumkan hilangnya pedang warisan keluarga mereka. Namun tampaknya sekarang ia harus memanggil kakak sepupunya itu dan menanyakan langsung keberadaan pedang yang digenggam Eleanor ketika ia ditemukan.

“Eleanor, dalam waktu dekat ini aku akan meringkus semua yang menyebabkanmu seperti ini. Aku berjanji padamu.”

Quinn termenung melihat Eleanor. Hari-hari belakangan ini semangatnya terus mengendur. Ia merasa seluruh tenaganya telah dibawa Eleanor tidur.

Dulu ia selalu berharap Eleanor dapat bersikap tenang. Ia tidak menyukai setiap keributan yang dibuat Eleanor di Istananya. Sekarang ketika harapan itu terkabul, ia mengharapkan yang sebaliknya. Quinn tidak sanggup melihat gadis liarnya tidak berdaya seperti ini.

“Hari itu seharusnya aku mengikatmu,” gumam Quinn. Mata kelabunya yang sendu menatap lekat-lekat wajah yang tertidur nyenyak itu. Tangannya membelai lembut setiap lekuk wajah Eleanor.

“Aku telah berusaha mencegahmu tetapi aku kalah. Kau tahu aku selalu kalah darimu,” Quinn menggenggam kedua tangan Eleanor erat-erat dan menunduk dalam-dalam, “Andai saja aku berusaha lebih keras, semua ini tidak akan terjadi. Kau tidak akan celaka. Kau adalah poin penting dalam perebutan tahta ini. Kaulah pion untuk memberiku keturunan.”

“Pion penting?”

Quinn terperanjat.

Mata biru jernih Eleanor menatapnya tajam.

“Eleanor!?” Quinn terpekik kaget, “K-kau sudah sadar?”

“Ya,” kata Eleanor sinis, “Cukup sadar untuk mendengar semuanya.”

Quinn terdiam.

Tidak ada gadis yang marah pertama kali tersadar dari tidur panjangnya.

Tidak ada seorang gadis pun yang berani menatapnya seperti itu.

Tidak ada seorang gadis pun yang sanggup menunjukkan kemarahannya ketika ia masih lemah.

Tidak ada seorang gadis pun selain Eleanor!

Quinn tersenyum lega. “Ini baru kau,” katanya sambil merengkuh Eleanor dalam pelukannya.

“Beginikah caramu memperlakukan poin pentingmu?”

“Tidak, Eleanor,” Quinn membenarkan, “Kau bukan poin pentingku. Bukan lagi.”

“Oh?” Eleanor terkejut. “Setelah kau berhasil menyingkirkan Simona, kau juga akan menyingkirkanku?” suaranya tertahan oleh kesedihan yang tiba-tiba menyiksa dadanya.

“Tidak,” Quinn menjauhkan Eleanor dari pelukannya. Ia menatap Eleanor lekat-lekat dan menegaskan, “Aku belum mempunyai cukup bukti untuk menahan Simona walaupun sekarang kami masih memperdalam penyelidikan. Aku yakin dalam waktu dekat kami akan menemukan bukti keterlibatan mereka dalam usaha pembunuhanmu ini.”

“Dan setelah itu kau akan mendepakku?”

“Setelah semua ini apakah kau kira aku sanggup?” Quinn tersenyum lembut.

“Mengapa tidak?” Eleanor balik bertanya, “Kau selalu mengeluh mengeluhkan setiap tindakanku. Kau tidak pernah menyukaiku.”

“Ya,” Quinn mengakui, “Harus kuakui itu tetapi tidak selalu seperti itu.”

Eleanor tidak mempercayai pemuda itu. “Katakan yang sejujurnya padaku. Kau tahu kau tidak bisa membohongiku.”

Quinn tersenyum geli. “Apakah aku bisa berbohong di saat seperti ini?”

“Kau menertawakanku,” protes Eleanor, “Kau menertawakanku karena aku tidak punya harga diri, karena aku menjadi istrimu demi tahta. Aku adalah pelacur kelas atas.”

“Tidak. Aku tidak pernah berpikir seperti itu.”

“Tapi kau mengatakannya!”

Quinn terperanjat. “Itu dulu,” ia mengakui, “Sekarang tidak lagi. Besok, lusa, dan seterusnya juga tidak akan.”

Eleanor membuang wajah.

Quinn mengulurkan tangan menyentuh pipi Eleanor dan memalingkan wajah Eleanor ke arahnya. Tangannya yang lain melingkari pinggang Eleanor.

“Jangan menghindariku.”

Eleanor mengarahkan pandangannya ke tempat lain.

“Kau memang…,” Quinn tidak dapat mengutarakan.

“Liar!” sahut Eleanor.

“Ya,” Quinn mengulum senyumnya, “Tapi kadang-kadang”

“Tidak punya aturan,” potong Eleanor. Eleanor menatap lekat-lekat mata kelabu Quinn, “Bukankah itu yang mau kaukatakan!? Aku liar, tidak bisa diatur, tidak punya adat, binal dan entah apa lagi yang ada dalam pikiranmu.”

“Ya, Eleanor, kau tidak bisa diatur dan kadang-kadang tidak punya aturan. Tapi karena itulah aku mencintaimu.”

Eleanor terdiam. Ia memandang Quinn penuh ketidakpercayaan.

“Aku bersyukur kau bukan gadis anggun yang membosankan itu. Aku berterima kasih pada Tuhan atas keliaranmu itu,” Quinn bersungguh-sungguh, “Kalau bukan karena keliaranmu itu, mungkin kau sudah mati sekarang.”

Quinn mendekap Eleanor erat-erat, “Aku tidak mau menjadi duda di usia semuda ini.”

“Ba… bagaimana mungkin?” Eleanor tidak percaya, “Kau sedang mabuk, Quinn?”

Quinn menjawab pertanyaan itu dengan ciuman lembutnya.

Eleanor terperangah.

“Kau merasakan anggur? Mencium bau anggur?”

Eleanor menggeleng.

Quinn berkata serius. “Aku mencintaimu.”

“Mengapa?”

“Kau selalu butuh penjelasan,” Quinn tersenyum, “Aku mencintaimu karena kau adalah kau. Kau penuh semangat, bebas. Kau membuat hidupku yang monoton menjadi bergairah dan penuh kejutan.”

“Aku bersungguh-sungguh, Eleanor,” tegas Quinn melihat raut wajah Eleanor, “Kalau bukan kau, takkan ada yang tahan menjadi istriku dan digunjingkan orang lain tiap saat. Kalau bukan kau, takkan ada yang dapat menghentikan kebiasaan burukku. Karena kaulah aku menemukan hidup yang penuh gairah. Kau membawa gairah pada hidupku yang monoton ini. Kau membuatku menemukan gadis yang benar-benar kucintai seumur hidupku. Aku mencintaimu karena kau adalah kau,” tegas Quinn lagi.

“Apakah itu belum cukup?”

“Biar aku pikir dulu,” Eleanor meletakkan tangan di pundak Quinn.

“Khawatirnya, aku tidak memberimu kesempatan,” Quinn membaringkan Eleanor, menindihnya dan menciumnya dengan penuh kasih.

Quinn membelai wajah Eleanor. “Kau begitu menggairahkan,” gumamnya.

Eleanor tersenyum. Tangannya menggelantung di leher Quinn.

“Sayangnya,” Quinn menjauhkan diri, “Untuk beberapa waktu, aku harus mengurungmu di kamar.”

Eleanor membelalak.

“Kalau perlu, aku akan menahanmu di tempat tidur.”

“Aku tidak mau!” protes Eleanor.

“Kau baru sadar setelah pingsan berhari-hari. Lukamu belum sembuh. Kau butuh istirahat total.”

Eleanor memasang muka masam.

“Kau membuatku tidak tega.”

Eleanor tidak mengubah raut wajahnya. “Aku membencimu.”

“Setelahnya kau akan mencintaiku kembali,” lanjut Quinn.

Eleanor membelalak. “Bagaimana kau tahu?”

“Kupikir aku selalu tahu apa yang kaupikirkan.”

Eleanor memasang lagi muka masam.

Quinn tertawa geli.

“Apa yang kautertawakan!?”

“Kadang kau seperti anak kecil.”

“Aku tidak peduli padamu!” Eleanor menghindari Quinn.

“Kalau aku mencari wanita lain?” goda Quinn.

“Aku juga akan mencari pria lain!”

“Katamu kau mencintaiku.”

“Aku tidak pernah mengatakannya. Kau yang mengatakannya.”

“Aku akan membuatmu mengakuinya.”

“Coba saja,” tantang Eleanor.

“Kalau aku berhasil?”

“Tidak akan!”

“Kalau, Eleanor, kalau,” Quinn menekankan.

“Kau berhasil,” jawab Eleanor, “Kau mendengar yang kaumau.”

“Kau tahu apa yang kumau?”

“Tentu saja! Kau ingin aku berkata ‘aku mencintaimu’.”

Quinn tersenyum penuh kemenangan, “Kau telah mengatakannya.”

Eleanor terperangah. “K… kau…”

Quinn menghela nafas. “Berdebat denganmu sungguh melelahkan. Kau pandai memilih kata-kata.”

Eleanor membalik badan.

“Hei!” Quinn menahan. Ia mengangkat Eleanor dan memangkunya.

Eleanor menghindari pandangan Quinn.

“Apa kau marah padaku?” tanya Quinn bersalah, “Apa mengucapkan tiga kata ‘aku cinta padamu’ sungguh berat untukmu?”

Eleanor tidak menanggapi.

“Kalau kau tidak suka, aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan melakukannya lagi.”

“Sungguh?”

“Kau bisa memegang kata-kataku.”

“Aku tidak suka dikurung di kamar atau di tempat tidur. Aku ingin bebas seperti dulu.”

“Baiklah.”

Eleanor berpaling – melihat wajah bersalah Quinn dengan senyum puas. “Kau tidak bisa mengurungku, kau sudah berjanji.”

“Kau!” Quinn kaget.

“Aku mencintaimu,” Eleanor melingkarkan tangan di leher Quinn.

“Kau sungguh pandai berbicara,” desah Quinn.

“Tapi kau mencintaiku karena itu.”

“Ya,” Quinn mendesah panjang dan menunduk mencium Eleanor, “Katakan lagi, Eleanor.”

Eleanor tersenyum. “Aku mencintaimu.”

Dan Quinn merasa kepenatannya selama seminggu belakangan ini sirna. Tangan Quinn terus menjelajahi tiap lekuk wajah Eleanor. Dengan hati-hati ia membaringkan Eleanor kembali sementara bibirnya terus mencumbu Eleanor. Hatinya dipenuhi oleh perasaan cinta yang tak dapat diutarakannya dengan kata-kata. Quinn tidak pernah menyangka seorang wanita bisa membuatnya luluh seperti ini.

Eleanor merengkuh kepala Quinn dan saat itulah rintihan kesakitan terlepas dari mulutnya.

Quinn kaget. “Kau tidak apa-apa?” ia baru sadar luka-luka Eleanor masih belum pulih.

Eleanor juga baru sadar kedua telapak tangannya dibungkus oleh kain putih.

“Aku akan memanggil Lawrence,” Quinn beranjak dari sisi Eleanor.

Eleanor segera menarik baju Quinn. Lagi-lagi rintihan kesakitan terlepas dari mulutnya.

“Jangan banyak bergerak,” Quinn berkata cemas. “Aku tidak ingin lukamu kembali terbuka.”

“Aku ingin minum,” protes Eleanor.

Lagi-lagi Quinn menyadari kecerobohannya. Eleanor baru saja sadar dari tidur panjangnya. Tentunya ia sangat kehausan setelah berhari-hari tidak minum setetes air pun.

“Tunggulah aku,” Quinn membungkuk mencium kening Eleanor, “Aku akan segera kembali.”

Baru saja Eleanor berpikir Quinn akan pergi ke mana ketika ia melihat pemuda itu melangkah ke meeja di dekat kaki pembaringan. Di atas meja riasnya, ia melihat sebuah teko dan sebuah gelas.

Quinn menuangkan segelas air untuk Eleanor.

Eleanor tertawa geli.

Quinn kembali di sisi Eleanor dengan wajah tidak senang. “Apa yang kautertawakan?”

“Aku pikir kau akan ke mana, ternyata…,” Eleanor tidak dapat menghentikan tawanya sampai rintihan kesakitan kembali terlepas dari mulutnya. Tangannya memegang erat-erat perutnya.

“Lihatlah!” Quinn marah, “Aku sudah memperingatimu.” Quinn segera meletakkan gelas di meja kecil sisi pembaringan Eleanor dan menyingkap selimut Eleanor.

Eleanor membelalak kaget ketika Quinn membuka kancing baju tidurnya.

“A-apa yang kaulakukan!?” Eleanor panik ketika kancing sepanjang kerah baju tidurnya hingga ujung gaun tidurnya itu hampir terbuka setengahnya.

“Diamlah!” Quinn memperingati dengan tajam. “Biarlah aku memeriksa lukamu.”

Wajah Eleanor sudah merah padam ketika tangan Quinn memeriksa kain yang membalut perutnya itu dengan teliti.

“Sepertinya lukamu tidak terbuka kembali,” Quinn duduk di sisi Eleanor dengan lega. “Lain kali jangan melakukan tindakan yang bisa membuatku sakit jantung.”

“Aku tidak bisa berjanji,” kata Eleanor jujur.

Quinn menatap tajam Eleanor.

“Kau menyukaiku karena itu, bukan?” Eleanor tersenum manis.

“Kau…,” Quinn merasa ia benar-benar kalah telak oleh senyum yang menggoda itu.

Eleanor berusaha mengancingkan kembali baju tidurnya dengan jari-jarinya yang tidak bebas.

“Apa yang kau lakukan?” Quinn panik.

“Aku hanya ingin mengancingkan gaun tidurku,” Eleanor membela diri. “Aku tidak bisa terus seperti ini, bukan?”

Quinn melihat dada Eleanor yang hampir telanjang. Tanpa banyak suara, ia merapikan kembali gaun tidur Eleanor kemudian membantu gadis itu duduk. Tangan kirinya terus memeluk pundak gadis itu dengan lembut sementara tangannya yang lain mengambil gelas di meja. Dengan telatennya ia membantu Eleanor meneguk air.

Suara keributan di depan pintu menarik perhatian Quinn.

“Berbaringlah kembali,” Quinn membaringkan Eleanor dengan hati-hati kemudian menarik selimut menutupi tubuh gadis itu, “Aku akan memanggil dokter dan mengabarkan keadaanmu pada Earl.”

“Papa ada di sini?” Eleanor kaget.

“Benar,” Quinn tersenyum, “Karena itu kali ini aku ingin kau menjadi gadis manis. Aku tidak main-main, Eleanor.”

“Aku berjanji,” senyuman Eleanor tidak sanggup menghilangkan keraguan Quinn. Namun Quinn juga tidak dapat berbuat apa-apa. Ia harus memeriksa keributan di luar sebelum Eleanor juga mendengarnya dan sesegera mungkin memanggil Lawrence.

“Apa yang kalian maksud selain Nicci dan Quinn, tidak ada yang boleh memasuki kamar Eleanor!?” Mathias menuntut jawaban. “Kalian tahu siapa aku!? Aku adalah Duke of Pittler.”

“Maafkan kami,” prajurit itu berkata, “Kami hanya menjalankan perintah yang diberikan pada kami.”

Prajurit lain turut bersuara, “Paduka Raja sendiri yang memerintahkan kami untuk melarang tiap orang kecuali Nicci memasuki kamar Paduka Ratu.”

“Apa kalian pikir aku akan percaya!? Quinn tidak mungkin melarangku menemui Eleanor!”

“Benar. Aku yang memerintahkan mereka mencegah setiap orang kecuali Nicci memasuki kamar Eleanor,” Quinn muncul dari balik pintu dengan segala wibawanya.

Para prajurit itu terperanjat. “Maafkan kami, Yang Mulia Paduka,” mereka segera berlutut, “Kami tidak berniat membuat keributan.”

Mathias pucat pasi. Ia tidak menduga akan bertemu langsung dengan Quinn di sini. Sejak hari Irina mendapatkannya di dalam kamar Eleanor, Mathias telah mengutus orang untuk memperhatikan kamar Eleanor. Dari orang itu pula, Mathias mempelajari pola pengunjung-pengunjung Eleanor. Dan siang seperti ini Quinn tidak pernah berada di kamar Eleanor. Sepertinya hari ini adalah pengecualian.

“Kebetulan engkau datang, Mathias. Aku ingin berbicara denganmu.”

Mathias sadar ia tidak bisa lari. Mathias tegang dan takut ketika Quinn terus berdiam diri.

Dalam hatinya ia mulai menyalahkan Simona. Bila Simona tidak bertindak gegabah, ia tidak akan menghadapi situasi saat ini. Bila Simona tidak terus mendesaknya, ia tidak akan berusaha membunuh Eleanor.

Mathias panik. Mungkinkah Quinn tahu ia pernah berusaha membunuh Eleanor? Mungkinkah Irina telah memberitahunya? Mungkinkah Quinn tahu saat ini ia membawa racun yang ingin diminumkannya pada Eleanor? Mungkinkah Quinn ingin menangkapnya?

“Masuklah,” Quinn membuka pintu ruang kerjanya.

Mathias semakin panik melihat ketenangan Quinn. Ia sadar sikap Quinn yang seperti tidak pernah terjadi apa-apa ini justru lebih membahayakan dari kemarahannya yang meledak-ledak.

Quinn duduk di meja kerjanya dan menatap langsung ke mata kakak sepupunya itu. “Mathias,” ia membuka mulut.

“A-aku tidak tahu!” Mathias berkata panik, “Aku tidak tahu apa pun! Semua ini rencana Simona. Dia sama sekali tidak memberitahuku! Simona merencanakan semua ini. Ia ingin membunuh Eleanor. Aku sama sekali tidak tahu. Aku tidak terlibat!”

Quinn terperanjat. Ia tahu Mathias adalah seorang pengecut tapi sama sekali tidak disangkanya Mathias jauh lebih pengecut dari yang diduganya. Ia mengajak Mathias memang karena ia ingin memancing pengakuannya. Ia ingin menanyakan keberadaan pedang keluarga Soyoz pada Mathias tapi tak disangka…

“Mathias, apa kau sadar dengan perkataanmu itu?”

“Sekarang Simona ada di Arsten,” kata Mathias pula dengan panik, “Kau bisa mengirim orang menangkapnya. Aku tidak tahu. Aku tidak terlibat dengan masalah ini!”

“Aku mengerti,” kata Quinn, “Sampai kami menangkap Simona, aku tidak ingin kau meninggalkan ruangan ini.” Quinn pun segera menyuruh orang untuk memanggil Jancer menghadap.

Sama seperti dirinya, Jancer terkejut bukan oleh pengakuan Mathias melainkan oleh kegugupannya.

Jancer melihat Quinn setelah mendengar pengakuan Mathias.

“Kau tahu apa yang harus kaulakukan,” Quinn berdiri dari kursinya, “Aku ingin menemui Eleanor.” Saat ini yang paling diinginkan Quinn adalah menyembunyikan kepalanya di lekuk leher Eleanor dan melepaskan semua kekacauan pikirannya ini. Quinn tahu Binkley terlibat dalam masalah ini tetapi tetap saja pengakuan Mathias membuatnya kaget. Quinn mempercepat langkahnya. Ia ingin segera mengubur segala kepenatannya dalam pelukan hangat Eleanor.

Namun kejutan itu lebih besar ketika membuka pintu kamar Eleanor.

“Eleanor, apa yang kaulakukan!?” ia menyerbu panik melihat Eleanor bukan saja telah turun dari tempat tidur tapi telah menuju serambi. “KEMBALI KE TEMPAT TIDURMU SAAT INI JUGA!!!”

Seruan marah itu mengagetkan setiap orang yang mendengarnya.

“Apa yang terjadi?” tanya orang-orang.

“Pasti Paduka Ratu membuat ulah lagi,” seorang spontan menjawab sambil tersenyum arti.

“Paduka Ratu!?”

“Apakah Paduka Ratu sudah sadar?”

“Aku ingin melihat keadaan di luar,” Eleanor membela diri.

“KEMBALI!!!” Quinn mencengkeram pergelangan tangan Eleanor.

“LEPASKAN!!” Eleanor memberontak, “KAU TIDAK BISA MELARANGKU! Aku ingin melihat keadaan di luar!”

“Paduka Ratu sudah sadar!” Mereka mengenal baik seruan yang tidak mau kalah itu. “Paduka Ratu sudah sadar!!” Mereka bersorak gembira.

“Kembali ke tempat tidurmu saat ini juga,” untuk ketiga kalinya Quinn memerintahkan Eleanor. Namun kali ini ia tidak membuang waktu untuk bersilat lidah dengan Eleanor. Ia segera mengangkat Eleanor dan menindihnya di tempat tidur sehingga Eleanor tidak dapat berbuat apa-apa.

Eleanor merintih kesakitan merasakan perih di perutnya yang serasa seperti teriris-iris.

Quinn dengan kaget memeriksa perut Eleanor. “Lihatlah apa yang sudah kaulakukan!” ia menuduh Eleanor melihat noda merah di kain putih itu. “Aku akan memanggil dokter,” dan ia menegaskan, “Kali ini aku memaksamu berdiam diri di tempat tidur. Kalau kau masih berani meninggalkan tempat tidurmu, jangan salahkan aku mengikatmu.”

Demi sakit yang menyerang perutnya, Eleanor tidak sanggup membantah Quinn.
Quinn langsung bertindak cepat.

Dalam waktu singkat, Eleanor sudah membuat keributan baru di Fyzool. Begitu sibuknya orang-orang sehingga Mathias yang ditahan di ruangan Quinn juga mengetahuinya. Simona yang beberapa saat kemudian tiba di Fyzool pun langsung mengetahuinya.

“Aku akan membunuhnya!” teriak Simona, “Aku akan membunuh mereka! Aku akan membunuh pengkhianat itu!! Mathias, aku akan menarikmu ke akhirat!!” teriakan histeris sang Duchess of Binkley mengisi kedinginan penjara bawah tanah Fyzool.


-----0-----


“Aku benar-benar tidak percaya!” seru Derrick melihat reaksi ketakutan Mathias ketika ia diharapkan pada Simona. Hingga hari ini, beberapa hari setelah Eleanor sadar, ia masih sering mengucapkannya.

“Aku juga sukar mempercayainya,” Quinn mengakui, “Aku tidak mengerti mengapa aku pernah mengagung-agungkannya.”

“Untung Irina menolaknya,” kata Derrick, “Tapi, andai Irina mau menikahinya, ia mungkin menjadi seorang gentleman sejati. Aku percaya Irina akan mendidiknya dengan ketat.”

“Sekarang apa yang harus kami lakukan, Paduka?” tanya Jancer.

“Biarkan gosip itu terus beredar,” jawab Quinn, “Untuk saat ini kita cukup memfokuskan diri pada masalah ini. Segera selesaikan penyelidikan. Aku ingin Simona segera diharapkan ke pengadilan. Mengenai Mathias, perdalam penyelidikan. Periksa apakah pengakuan Simona benar. Semakin cepat semakin baik. Aku tidak mau dibuat pusing lagi karenanya.”

“Tapi kulihat keadaanmu tidak membaik,” komentar Derrick.

“Kau tahu Eleanor,” Quinn mengakui, “Sepuluh kepala tidak cukup untuk memikirkan gadis liar itu.”

Derrick tertawa. “Eleanor tidak pernah mau diam di tempat tidur. Karena itulah Irina selalu takut ia jatuh sakit.”

“Jancer, Derrick,” Quinn berdiri, “Kuserahkan sisa masalah ini pada kalian.”

“Jangan khawatir. Aku akan segera menyelesaikannya,” Derrick menjamin, “Aku juga ingin segera melihat mereka dihukum.”

Quinn meninggalkan ruangannya.

“Anda mau ke mana, Paduka?” tanya Jancer.

“Mengawasi Eleanor,” jawab Quinn.

“Kau benar-benar dibuat pusing olehnya,” komentar Derrick lagi.

“Setan pun tidak tahu apa yang direncanakan Eleanor,” Quinn melambaikan tangan dan meninggalkan mereka.

Tawa geli Derrick mengiringi kepergian Quinn.

“Paduka sudah berubah,” komentar Jancer, “Ia tampak lebih bahagia.”

“Ya,” Derrick sependapat, “Hanya dia yang bisa mengatasi Eleanor dan hanya Eleanor yang bisa mengimbangi Quinn.”


-----0-----


Dokter Lawrence tertawa geli.

“Tidakkah itu keterlaluan, Lawrence?” Eleanor melapor pada dokternya dengan penuh semangat, “Kemarin ia benar-benar mengikatku!”

Sang dokter kesulitan menghentikan tawanya. “Paduka melakukannya untuk kebaikan Anda. Ingat di hari Anda sadar, Anda sudah membuat ulah sehingga luka Anda terbuka lagi dan Anda demam lagi.”

“Paduka Raja sangat khawatir sampai ia sendiri tidak tidur semalaman,” Nicci mengingatkan pula dengan tajam.

“Aku akan mati bosan,” Eleanor cemberut.

“Aku jamin itu tidak akan terjadi. Aku sudah mati karena sakit jantung sebelum kau mati bosan.”

Mereka melihat ke pintu.

“Selamat siang, Paduka Raja,” Nicci dan Dokter Lawrence menyambut.

“Engkau adalah iblis! Kau tidak akan mati semudah itu.”

Alis Quinn terangkat. “Apakah itu kesibukan barumu? Menyebarkan rahasiaku?”

Eleanor membuang muka dengan kesal.

Quinn tertawa geli.

Dokter Lawrence tersenyum. Belum seminggu ia mengenal Eleanor namun ia sudah dapat memahami mengapa Fyzool tidak pernah tidur selama Eleanor membuka matanya.

“Bagaimana keadaan Eleanor?” tanya Quinn.

“Sudah lebih baik. Saya yakin Paduka Ratu akan segera pulih,” dan Dokter Lawrence menegaskan, “Selama ia tidak membuat ulah dan mau meminum obatnya.”

“Serahkah itu padaku,” Quinn berjanji. “Aku merestuimu mengambil segala tindakan medis untuk membuat Eleanor diam.”

“Saya mengerti, Paduka,” Dokter Lawrence tersenyum penuh arti, “Maka saya akan memberinya dalam bentuk cairan untuk mempermudah Anda.”

“Itu akan sangat membantu,” Quinn tersenyum pula.

Eleanor kesal melihat persekongkolan mereka. Ia melihat Nicci berdiri di kaki tempat tidur. “Nicci, Papa?”

Nicci tidak tahu harus menjawab apa. Ketika tahu Eleanor sudah sadar, Earl of Hielfinberg bersikeras untuk kembali ke Schewicvic tanpa menemui Eleanor. Ia juga tidak pernah datang menjenguk Eleanor. Earl takut. Setelah melihat Eleanor, ia tidak akan tega berpisah dengan putri kesayangannya.

Eleanor sedih.

Quinn duduk di sisi Eleanor. “Kau bisa menemuinya di Schewicvic,” ia memegang tangan Eleanor dengan lembut.

“Benarkah?” mata Eleanor bersinar gembira.

“Kalau kau sudah pulih,” Quinn menekankan, “Aku yakin saat itu akan segera tiba kalau kau mau menjadi anak manis.”

Eleanor langsung cemberut.

Quinn tertawa geli dibuatnya.

“Saya harus segera kembali,” Dokter Lawrence meringkas peralatan kedokterannya. “Ini adalah obat untuk hari ini,” ia menyerahkan sebotol cairan pada Quinn.

“Seperti biasa?” tanya Quinn.

“Ya, Paduka. Seperti biasa.”

Eleanor langsung waspada.

“Saya akan mengantar Anda, Dokter,” kata Nicci.

“Maaf, aku tidak bisa mengantarmu, Lawrence.”

“Tidak perlu, Paduka Ratu. Anda cukup berbaring di sini demi kesehatan Anda.”

“Kau dengar itu?” Quinn memperingati Eleanor, “Semua orang ingin kau segera sembuh.”

“Kecuali kau.”

“Tidak. Aku sangat menginginkannya melebihi mereka.”

“Kau ingin aku mati bosan!”

“Apa kau pikir aku tega?”

“Kemarin kau mengikatku!” Eleanor mengingatkan Quinn atas perlakuannya kemarin. Demi mencegah Eleanor yang memaksa turun dari tempat tidur, Quinn melaksanakan ancamannya. Ia mengingat tangan Eleanor pada tiang-tiang tempat tidur sehingga gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa selain berbaring.

“Jadi,” Quinn menyimpulkan, “Itu alasannya.”

“APA!?”

Mereka sudah benar-benar melupakan Lawrence maupun Nicci yang memutuskan untuk mengundurkan diri tanpa suara.

Quinn membungkuk menangkap bibir yang cemberut itu. “Kau tahu, sayang, kau tidak cocok dengan wajah ini.”

Eleanor marah. “Aku membencimu! Aku benci!”

“Itu bagus,” Quinn dengan santai membuka botol obat Eleanor, “Karena setelahnya kau sudah tidak punya kebencian lagi yang tersisa.”

Eleanor membelalak melihat Quinn meminum obat itu. “Aku tidak mau,” Eleanor memberontak dari sepasang tangan yang meraih tubuhnya, “Aku tidak mau!” ia berusaha menjauhkan diri dari Quinn.

Quinn merangkum wajah Eleanor dan tersenyum penuh kemenangan.

“AKU TIDAAK,” mulut Quinn menutup mulutnya. Cairan obat yang dibencinya mengalir ke mulutnya tanpa dapat dihentikan dan terus menuruni tenggorokannya.

“Ini baru anak manis,” Quinn tersenyum puas.

Eleanor melihat pemuda itu dengan marah.

Quinn mengambil air di meja. “Kau mau minum sendiri atau.”

“Aku akan minum sendiri!” sahut Eleanor marah.

“Khawatirnya, aku tidak ingin kehilangan kesempatan.”

“Aku bisa minum sendiri!” Eleanor bersikeras.

“Apa yang bisa kaulakukan dengan tanganmu yang seperti itu?” Quinn menunjuk telapak tangan Eleanor yang terbungkus perban hingga ruas jari-jarinya.

“Kau pasti sengaja,” Eleanor menuduh, “Kau pasti menyuruh Lawrence mengikatku seperti ini.”

Quinn hanya tersenyum. Ia memasukkan isi gelas ke dalam mulutnya dan kembali meminumkannya pada Eleanor dari mulut ke mulut.

Eleanor memberontak. Air mata membasahi sepasang mata murkanya. Namun amarahnya langsung sirna ketika Quinn mulai mencumbunya, mencium matanya yang basah dan menjelajahi wajahnya.

“Aku benar-benar tidak tega,” bisik Quinn, “Aku tidak suka melihatmu seperti ini,” Quinn mencium bibir Eleanor lagi, “Jadilah gadis manis dan segera pulih. Aku ingin membawamu keluar.”

Eleanor mengangguk. Ia sudah benar-benar luluh dalam cumbuan Quinn. Tangannya terulur memeluk Quinn tapi kemudian ia kesal menyadari perban mencegah tangannya bergerak bebas.

Quinn melepaskan tangan Eleanor dari lehernya dan mencium jari-jari Eleanor yang muncul dari dalam perbannya. “Kalau kau tidak banyak menggerakkan tanganmu, Lawrence akan segera melepasnya.”

“Aku akan sangat bosan,” Eleanor cemberut.

“Tidak akan. Aku tidak akan membiarkanmu bosan,” Quinn berjanji, “Aku akan menemanimu setiap kali aku ada waktu kosong.”

“Mustahil!” Eleanor merajuk lagi.

“Aku pasti akan meluangkan waktu,” Quinn bersungguh-sungguh, “Aku sudah terserang penyakit. Aku tertular Earl Hielfinberg tapi aku tidak berusaha mencegahnya.”

Eleanor terperangah.

Quinn berbaring di sisi Eleanor. “Setiap kali berada di sini, aku tidak ingin pergi lagi. Aku ingin selalu berada di sisimu. Mencumbumu seperti ini,” ia mencium gadis itu lagi, “Katakan, Eleanor.”

“Aku mencintaimu,” Eleanor mengatakan apa yang paling ingin didengar Quinn saat ini, “Aku sangat mencintaimu.”

Hati Quinn dipenuhi kebahagiaan. Ia mencumbu Eleanor dengan segala kelembutan yang diketahuinya. Ia membelai Eleanor dengan kelembutan yang baru dipelajarinya.

Ketukan pintu terdengar sangat keras.

“Sialan!” umpat Quinn, “Siapa yang berani mengangguku!?”

Eleanor tersenyum. “Lihatlah siapa itu. Mungkin ada yang mencarimu.”

“Siapapun itu, ia harus menungguku. Aku masih tidak ingin berpisah dengan istri tercintaku.”

Eleanor bahagia mendengarnya. Ia mencari kehangatan di dada Quinn.

“Ada apa?” Quinn bertanya dengan suara keras.

“Duke of Binkley datang menjenguk Ratu,” lapor prajurit dari balik pintu.

Eleanor dan Quinn saling bertatapan.

Quinn berdiri untuk merapikan baju tidur Eleanor dan membenahi selimutnya. “Biarkan dia masuk,” kata Quinn setelahnya.

Eleanor tidak dapat melihat pria yang berdiri di pintu.

Mathias tidak berani menatap Quinn. Ia sudah mempersiapkan diri ketika mendengar Quinn ada di dalam kamar Eleanor. Namun tetap saja keberaniannya hilang melihat wibawa pemuda itu.

“Maafkan saya, Duke Binkley,” suara lembut mengusir ketakutan Mathias, “Saya tidak dapat menyambut Anda dengan baik. Dokter hanya mengijinkan saya berbarng.”

Mata Mathias terpaku pada gadis yang berbaring di tengah ranjang besar itu. Sepasang mata biru cerah menatapnya dengan lembut.

“B-bagaimana keadaan Anda, Paduka Ratu?” tanya Mathias.

“Sudah hampir pulih.” Mathias memperhatikan tiap gerakan bibir Eleanor lekat-lekat. “Quinn berjanji ia akan membawaku pergi bila aku sudah pulih.”

Quinn tidak menyukai cara Mathias menatap Eleanor.

“Hanya bila kau sudah pulih,” Quinn membungkuk mencium Eleanor.

“Aku akan segera pulih.”

“Bila kau mau menjadi gadis manis.”

Mathias merasa seperti disingkirkan. Ia meninggalkan mereka tanpa suara.

‘Apa kau tidak pernah berpikir mengapa kau selalu dinomorduakan?’ Mathias teringat komentar Simona di suatu siang, ‘Apa kau tidak pernah berpikir mengapa kau tidak bisa menjadi raja!?’

Tanpa perlu berpikir, semua orang juga tahu. Jauh sebelum ia dilahirkan, Quinn sudah menjadi seorang Putra Mahkota, penerus tahta Viering.

“Lihat, itu Duke Binkley.”

“Mau apa dia di sini? Apakah dia melihat Duchess of Binkley?”

“Mengapa Raja belum menahannya?”

“Menurutmu, apakah Duke juga terlibat?”

“Pasti!” seorang di antara wanita itu menjawab mantap, “Sejak dulu aku sudah yakin Duke pasti akan melakukan sesuatu seperti ini.”

“Benar-benar aib Viering! Almarhum Duke Binkley pasti malu melihat putranya.”

“Ia harus bersyukur Raja masih memberinya muka ketika ia menikahi wanita jalang itu.”

“Aku heran mengapa Raja masih terkesan menutup-nutupi masalah ini.”

“Apakah kau bodoh!? Raja tentu tahu apa yang akan terjadi kalau masalah ini menjadi besar.”

“Ini adalah masalah besar! Mereka ingin membunuh Ratu!!”

“Karena itu Raja Quinn semakin hati-hati menangani masalah ini!”

“Duke Binkley benar-benar beruntung. Raja masih memandangnya sebagai putra almarhum seorang yang berpengaruh di Viering.”

Mathias mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengar perkataan orang-orang itu. Semenjak Simona ditangkap, omongan itu terus beredar di sekitar Istana. Pada awalnya mereka hanya membicarakannya di belakangnya sekarang mereka sudah tidak peduli lagi. Mereka tidak segan membicarakannya dengan suara keras di depannya.

“Raja Quinn benar-benar pria yang mengagumkan. Tidakkah kau berpendapat demikian? Ia tahu masalah ini pasti akan mengguncang Viering karena itu ia berbohong pada setiap orang tentang keadaan Ratu. Bahkan sampai saat ini pun ia masih berhati-hati dalam menangani masalah ini. Ia benar-benar mengutamakan Viering.”

“Untung penerus tahta Viering adalah Raja Quinn. Aku tidak tahu apa jadinya kerajaan ini kalau Duke Binkley yang naik tahta.”

“Jangan sampai itu terjadi!”

“Aku lega sangat lega ketika Raja memutuskan untuk menikah. Aku sempat khawatir akan pilihan Grand Duke tetapi sekarang aku tidak meragukannya lagi.”

“Benar,” mereka tertawa gembira, “Ratu memang seorang gadis yang menyenangkan. Rasanya Istana tidak pernah sepi karena Ratu.”

Mathias ingin sesegera mungkin meninggalkan Istana. Ia tidak ingin mendengar orang-orang membanding-bandingkannya dengan Quinn.

Ketika mereka masih kecil, orang-orang itu selalu menyanjungnya. Lambat laun mereka mulai mengagungkan Quinn dan melihatnya seperti sampah masyarakat. Apapun yang dilakukan Quinn, mereka selalu menyanjungnya. Apapun yang diputuskan Quinn, mereka selalu mengagungkannya. Selalu, selalu dan selalu!

Quinn juga demikian. Ketika mereka masih kecil, Quinn selalu mengikutinya. Quinn selalu menyanjungnya namun lambat laun ia mulai suka mengkritiknya. Sekarang Quinn bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling berkuasa atas hidupnya.

Mengapa? Jawabannya mudah. Karena ia adalah seorang Raja.

Ia hanya menikahi wanita yang dicintainya namun dunia mengatakannya seperti ia menikahi seorang iblis. Quinn menikah karena terpaksa namun mereka menyanjungnya seperti ia menikahi seorang bidadari.

Ia tidak akan datang ke tempat ini bila bukan karena ingin menunjukkan kepeduliannya pada Eleanor. Berhari-hari ia membulatkan tekad untuk menjenguk gadis itu. Namun tak sampai satu detik tekad itu dihancurkan oleh sepasang mata dingin Quinn.

Quinn tampaknya tidak ingin ia mendekati Eleanor. Quinn tentunya ingin menguasai Eleanor seorang diri seperti ia menguasai kehidupannya.

Mathias teringat senyum manis Eleanor. Ia tidak pernah benar-benar memperhatikan Eleanor. Ia tidak menyadari kecantikkan gadis itu ketika ia mencoba mencekiknya. Namun gadis itu… Mathias terkenang sepasang mata biru cerah yang membiusnya.

Quinn sungguh beruntung bisa mendapatkan gadis semanis itu.

‘Apakah kau tidak pernah ingin menjadi Raja?’ Mathias teringat pertanyaan Simona, ‘Kalau kau menjadi Raja, tidak ada seorang pun yang berani mengatakan hal buruk tentangmu. Kau juga bisa mendapatkan segala yang kauinginkan.’

Segala yang kau inginkan…

Mathias teringat lagi pada sepasang mata yang menatap lembut padanya, senyum manis yang mampu menundukkan hati siapa pun, juga pada suaranya yang lembut mengusir segala kegalauan hati.

‘Engkau masih Duke of Binkley!’ Simona memarahinya di suatu saat.

Benar! Ia masih putra seorang Duke yang pernah berpengaruh di Viering. Bukan Quinn seorang yang bisa mendapatkan yang terbaik!



*****Lanjut ke chapter 28

No comments:

Post a Comment