Thursday, December 20, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 26

Quinn termenung menatap pedang di tangannya. Sepanjang usahanya menemukan Eleanor, Quinn terus berdoa informasi yang didapatnya salah tetapi sekarang…


Mata Quinn tidak lepas dari simbol yang terukir indah di pegangan pedang itu. Ia tidak mungkin salah mengenali simbol itu. Ia tidak mungkin melupakan simbol yang dilihatnya hampir setiap hari. Itu adalah simbol keluarga Soyoz. Itu adalah lambang keluarga sepupunya itu.

Quinn termenung. Ia tidak dapat mempercayai semua ini. Quinn juga tidak dapat mempercayai bukti yang ditemukannya di sisi tubuh Eleanor yang tergeletak dalam hujan deras.

Ia tidak percaya sepupunya yang penakut itu terlibat dalam usaha pembunuhan Eleanor! Quinn dapat mempercayai dalang di balik semua ini adalah Simona tetapi Mathias… Tidak! Ia tidak dapat mempercayainya.

Siapakah yang dapat membawa keluar pedang ini bila bukan Mathias sendiri?

Apakah gunanya Simona membawa pedang ini bila ia telah menyewa segerombol penjahat untuk membunuh Eleanor?

Apakah Simona harus membawa pedang ini bila ia ingin menghabisi Eleanor dengan tangannya sendiri?

Quinn benar-benar sukar mempercayai ini semua!

“Paduka,” Jancer memecahkan lamunan Quinn, “Apakah yang harus kami lakukan? Todd masih tidak mau membuka mulut. Ia tidak mau memberitahu kami hubungannya dengan Duke of Binkley. Simona juga masih belum tertangkap.”

Quinn diam termenung di kursinya.

Grand Duke memperhatikan Quinn yang terus mengawasi pedang di tangannya itu lalu ia berpaling pada Jancer. “Jancer, apakah kau yakin mereka terlibat dalam masalah ini? Berhati-hatilah dengan kata-katamu. Ini bukan masalah sepele.”

“Saya sangat yakin, Grand Duke,” jawab Jancer, “Bukti sudah ada di tangan kita,” Jancer merujuk pedang di tangan Quinn, “Selain itu beberapa prajurit yakin mereka melihat Simona di antara penjahat yang kabur. Dan Paduka Ratu, seperti kata Paduka, pernah melihat Simona bersama Todd.”

Grand Duke tidak melihat adanya celah untuk membantah dugaan itu. Ia melihat Quinn yang kini meletakkan pedang itu di meja.

“Haruskah kami mengirim pasukan ke Arsten?” tanya Jancer pula, “Kami yakin Simona bersembunyi di sana. Perlukah kami meminta polisi Loudline dan Pittler membantu menangkap bawahan-bawahan Todd yang kabur?”

“Tidak, Jancer,” akhirnya Quinn membuka mulut, “Saat ini cukup awasi keadaan Arsten dengan diam-diam. Aku tidak ingin terjadi peristiwa apa pun yang mengguncang Viering.”

Walaupun Jancer ingin membantah perintah itu, ia tetap berkata, “Saya mengerti, Paduka.”

Jancer tidak ingin menambahi beban pemuda itu. Ia juga dapat memahami keinginan pemuda itu untuk merahasiakan peristiwa ini dari masyarakat luas.

Penduduk Pittler, di malam itu, telah diminta Quinn untuk menutup mulut tentang peristiwa ini. Quinn juga menyuruh setiap orang di Fyzool menutup mulut tentang keadaan Eleanor. Bila ada yang menanyakan Eleanor, Quinn hanya memperbolehkan setiap orang berkata Eleanor demam. Semenjak hari itu pula Quinn tidak pernah memanggil Duke of Binkley. Ia juga tidak memerintahkan polisi untuk menangkap bawahan Todd yang masih berkeliaran di Viering terutama Loudline dan Pittler. Satu-satunya pasukan yang bergerak sejak hari itu hanyalah sebagian kecil dari pasukan keamanan Istana.

Grand Duke pun tahu resikonya bila kabar ini tersiar luas. Kerajaan Viering pasti akan terguncang lagi – jauh lebih terguncang dari saat berita pernikahan Duke of Binkley ataupun pernikahan Raja. Peristiwa ini tentu akan memecahkan penduduk Viering. Peristiwa ini juga akan mempengaruhi pandangan kerajaan-kerajaan lain pada Viering. Yang paling parah, bila dugaan mereka salah, kepercayaan penduduk pada Raja akan hilang.

Duke of Binkley memang seorang duke yang dikenal Viering sebagai seorang pemuda tidak berguna yang suka bersenang-senang, berkebalikan dengan Raja. Namun ia tetaplah keluarga kerajaan dan seperti Quinn, ia disegani sebagian penduduk Viering sebagai satu-satunya keturunan keluarga Soyoz.

Seperti Grand Duke, Duke of Binkley yang terdahulu adalah orang yang cukup berpengaruh di Viering. Grand Duke Bernard, Duke of Binkley terdahulu dan ayah Quinn terkenal sebagai trio yang selalu berkerja sama mengatur Viering dengan Raja Alvaro sebagai pemegang kuasa terbesar. Hubungan di antara ketiganya pun sangat erat seperti Quinn dan Mathias ketika mereka masih kecil.

Bernard memperhatikan Quinn.

Sejak malam ia membawa pulang Eleanor yang terluka parah, ia sering seperti ini: diam termenung dengan sinar mata yang tidak terbaca. Seringkali Grand Duke ingin menanyakan apa yang tengah dipikirkannya namun ia tidak berani. Keadaan Quinn yang seperti ini jauh lebih menakutkan daripada ketika ia marah.

Sejak saat itu pula Grand Duke kembali sering meragukan keputusannya sendiri. Andaikan ia tidak memilih Eleanor, peristiwa ini tidak akan pernah terjadi.

Eleanor tampaknya bukan pilihan yang tepat. Sejak Eleanor memasuki Istana, selalu ada saja yang diperbuatnya untuk menyibukkan seisi Istana. Hampir tiap hari pula ia membuat Quinn marah. Setiap saat ia selalu memberontak, membuat keributan dan mengacaukan suasana. Duke Bernard berpikir apakah yang semula membuatnya memilih Eleanor?

“Bernard,” panggilan Quinn membuat Duke of Krievickie terperanjat.

Duke Bernard sudah siap bila Quinn mau memarahinya.

“Sekarang aku mengerti mengapa kau memilih dia.” Quinn tersenyum.

Grand Duke terpana.

“Kau tidak salah memilih. Kalau bukan gadis seperti Eleanor, pasti tidak ada yang sanggup menjadi Ratuku.”

Grand Duke membalas senyum itu. Ia ingat awal dari keputusannya ini. “Dialah yang memberi saya ide ini,” katanya.

“Oh ya?” Raja tertarik.

“Dia pernah berkata hanya kuda betina saja yang cocok untuk Anda. Menurut saya, ia benar. Butuh ketegasan dan keberanian untuk menjadi istri pilihan Anda.”

Raja tersenyum.

Kalau bukan Eleanor, pasti tidak ada yang sanggup menghadapi keegoisannya.

Kalau bukan Eleanor, ia tidak akan menemukan pujaannya.

Kalau bukan Eleanor, ia tidak akan pernah menemukan warna dalam kehidupan monotonnya.

Semua ini karena Eleanor, karena dia hadir dalam hidupnya.

“Terima kasih, Bernard,” lagi-lagi Quinn membuat Duke terpanah dengan senyumannya, “Kau sudah memilih kuda liar untukku.”

Untuk pertama kalinya Duke benar-benar berlega hati telah memilih Eleanor.

“Kalau ada keperluan panggil aku,” Quinn berdiri, “Aku ada di kamar Eleanor.”

“Saya mengerti, Paduka.” Grand Duke berpikir kapankah terakhir kali ia melihat senyum yang menawan itu.

Quinn melangkahkan kaki ke kamar Eleanor.

Beberapa hari sudah berlalu namun Quinn merasa peristiwa itu berlangsung bertahun-tahun lalu. Suasana di Fyzool terasa sangat sepi tanpa tawa ceria Eleanor. Ia merasa tidak bersemangat melewati hari-harinya yang tanpa amarah. Ia merasakan ada yang kurang dalam dirinya tanpa seruan-seruan kerasnya.

Quinn membuka pintu kamar Eleanor dengan perlahan.

Earl of Hielfinberg, ayah Eleanor, duduk di kursi di sisi tempat tidur Eleanor. Earl telah berada di Istana sehari setelah peristiwa itu. Setiap saat ia selalu terlihat duduk di sisi putrinya yang masih belum sadar dengan wajah sedih.

“Eleanor…,” Earl menggenggam tangan Eleanor dengan hati-hati.

Quinn berdiam diri di pintu.

“Eleanor, jangan tinggalkan aku,” desah Earl lagi.

“Dia akan sembuh.”

Earl menoleh.

Raja masuk dan duduk di sebelah Earl. “Eleanor penuh gairah hidup. Ia tidak akan pergi semudah ini. Percayalah padaku.”

Earl tidak menanggapi. Ia menggenggam erat tangan Eleanor dan menunduk dalam-dalam.

‘Eleanor,’ Quinn melihat wajah tenang Eleanor, ‘Aku yakin kau akan sadar lagi. Aku yakin!’

“Beristirahatlah, Earl,” kata Quinn, “Saya akan menjaga Eleanor.”

“Tidak, Paduka,” tolak Earl, “Saya ingin menemani Eleanor.”

“Eleanor tidak akan senang melihat Anda seperti ini. Anda juga perlu menjaga kesehatan.”

Earl hanya memperhatikan Eleanor tanpa suara.

“Beristirahatlah,” Quinn meletakkan tangannya di pundak yang lesu itu, “Saya masih membutuhkan Anda menjaga Eleanor selama saya sibuk.”

Mata Earl beralih kepada pemuda yang beberapa hari ini disibukkan oleh urusan penculikan Eleanor. “Saya mengerti,” ia mengalah.

Quinn melihat Earl yang pergi dengan berat hati kemudian mengalihkan perhatiannya ke Eleanor yang masih belum sadar diri.

Tiga hari sudah berlalu sejak peristiwa itu. Tiga hari pula Eleanor terus tidak sadarkan diri.

Seperti yang dikhawatirkan Mrs. Brandrick, suhu tubuh Eleanor terus meninggi malam itu. Suhu tubuhnya terus meninggi hingga keesokan harinya.

Lawrence, dokter yang dipanggil pihak Fyzool, mengatakan Eleanor terserang demam. Selain itu suhu tubuhnya meninggi akibat perlawanan tubuhnya terhadap kuman-kuman di lukanya.

Quinn mengambil tangan Eleanor dengan hati-hati. “Eleanor,” ia mencium tangan yang masih terbalut perban itu. “Aku yakin kau mendengar suaraku,” katanya lagi, “Bila kau mendengarku, segeralah sadar. Aku benar-benar kesepian. Aku tidak punya alasan untuk marah-marah.” Quinn meletakkan tangan dingin itu di pipinya. Matanya terpaku pada wajah Eleanor. “Eleanor,” tangannya yang lain mengelus kepala Eleanor, “Segeralah sadar. Berjanjilah padaku kau tidak akan kalah. Berjanjilah kau akan segera bangun dari tidur panjangmu.”

Seseorang mengetuk pintu.

Quinn segera berdiri untuk membuka pintu.

“Dokter Lawrence datang untuk melihat keadaan Paduka Ratu,” lapor Nicci.

“Selamat siang, Paduka,” Dokter Lawrence menyapa, “Saya datang untuk memeriksa Paduka Ratu.”

Quinn mengikuti Dokter ke sisi pembaringan. Tanpa sedikit pun mengeluarkan suara, ia memperhatikan Dokter merawat luka-luka Eleanor yang masih belum kering dibantu Nicci. Kemudian, seperti yang selalu dilakukannya selama tiga hari ini, ia memeriksa kondisi Eleanor.

Nicci segera merapikan baju Eleanor dan membenahi selimut tebalnya.

“Keadaan Ratu sudah mulai stabil,” Lawrence melaporkan hasil pemeriksaannya, “Sekarang yang perlu kita khawatirkan adalah demamnya. Saya harap dalam waktu dekat ini panas Ratu akan turun.”

Quinn diam.

Lawrence tersenyum melihat wajah cemas pemuda itu. Ia mendekati pemuda itu.

“Jangan khawatir, Paduka,” Dokter Lawrence menepuk pundak Quinn, “Saya dengar Ratu adalah seorang yang penuh semangat. Ia akan segera sadar. Percayalah pada saya.”

Mata Quinn terus terpaku pada Eleanor.

“Jagalah kesehatan Anda,” sang dokter kemudian berpesan, “Saya lihat akhir-akhir ini Anda sangat lelah.”

“Terima kasih, Lawrence. Aku tahu batas kemampuanku,” kata Quinn, “Bila kau punya waktu, bisakah kau memeriksa Earl pula.”

“Earl?” Lawrence kebingungan.

“Eleanor tidak akan senang bila mendengar ayahnya sakit ketika ia sadar,” Quinn menerangkan, “Kulihat akhir-akhir ini Earl kurang sehat.”

“Tentu, Paduka Raja.”

Suara ketukan pintu kembali terdengar.

Nicci segera membuka pintu sesaat kemudian ia mendekati Quinn.

“Grand Duke menginginkan kehadiran Anda di ruangan Anda, Paduka,” ia melaporkan, “Ada seorang tamu yang ingin menemui Anda.”

“Aku mengerti,” lalu ia berpaling pada Lawrence, “Maaf aku tidak bisa mengantar kepergianmu, Lawrence.”

“Saya memahaminya, Paduka.”

“Jangan lupa periksa Earl,” pesan Quinn sebelum ia pergi dan kepada Nicci, ia berkata, “Jagalah Eleanor sampai aku kembali. Earl sedang beristirahat di ruangannya.”

“Saya mengerti, Paduka.”

Lawrence memperhatikan kepergian Quinn dengan senyum. “Ia seorang pemuda yang mengagumkan.”

Nicci mengangguk sependapat. “Tidak ada yang dapat memahami Paduka Ratu sebaik Paduka,” tambahnya pula.


-----0-----


“Kau benar-benar sudah di luar batas, Simona!” untuk kesekian kalinya dalam lima hari belakangan ini Duke Binkley memarahi istrinya, “Apa yang harus kulakukan bila Quinn marah?”

“Tidak akan! Lihatlah sampai sekarang ia belum melakukan apapun terhadapmu.”

“Belum bukan berarti tidak!” seru Mathias gusar, “Kau tidak tahu siapa Quinn. Kau tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Apa yang harus kulakukan. Apa??”

Simona mengacuhkan Mathias yang terus berjalan mondar-mandir dengan gusar.

“Kau benar-benar sinting! Mengapa kau membawa pedang keluargaku? Quinn pasti tahu aku ada hubungannya dengan peristiwa ini. Apa yang harus kulakukan? Bagaimana kalau ia mengirimkan pasukan untuk menangkapku?”

“Tidak mungkin! Quinn tidak pernah memanggilmu. Sampai sekarang juga masih tidak ada pergerakan dari Istana.”

“Pedang keluarga Soyoz ada di tangannya. Apa masih ada jalan untuk memungkirinya!??”

“Katakan saja seseorang mencuri pedang itu,” kata Simona tenang.

“Bagaimana kalau Eleanor mengatakan semuanya!? Eleanor melihatmu, bukan? Bagaimana kalau Quinn percaya padanya?”

“CUKUP!” akhirnya Simona marah, “Kau benar-benar cerewet! Kalau memang takut, bunuh saja Quinn dan Eleanor. Memangnya apa kelebihan Quinn? Dia hanya seorang pemuda dengan gelar Raja! Tidak lebih dari itu!”

“Lebih dari itu!?” Mathias terperanjat, “Ia adalah seorang Raja! Ia bukan kebetulan menjadi seorang Raja! Apa yang harus kulakukan kalau ia menangkapmu!? Tidak! Quinn pasti menangkapmu. Quinn pasti akan melakukannya. Ia pasti akan menangkapku juga. Pedang Soyoz ada di tangannya bukan?”

Simona kesal melihat suami tidak bergunanya. Selama lima hari ini ia terus-terusan melihat suaminya seperti itu

Malam itu setelah ia dengan tidak mudahnya kabur dari kejaran para prajurit Istana, Mathias menyambut kepulangannya dengan amarah. Ia terus menanyakan keberadaan pedang keluarga Soyoz. Sedikitpun tidak mengkhawatirkannya. Setelah mengetahui ke mana perginya pedang pusakanya, Mathias menjadi gusar. Tiap hari ia terus meneliti isi koran-koran di seluruh Viering. Ia juga tiada hentinya mengomelinya.

Di mata Simona, Mathias benar-benar bodoh! Raja tidak mungkin mengambil tindakan gegabah. Mathias bukan hanya sepupunya tapi juga putra seorang Duke berpengaruh. Tidak ada yang perlu ditakutinya. Lihat saja buktinya. Hingga hari ini ia tidak mengambil tindakan apa pun bahkan ia menutup-nutupi kejadian itu. Pihak Istana juga hanya menjelaskan Eleanor demam. Hingga detik ini tidak ada yang mengungkit peristiwa sebenarnya yang menimpa Eleanor. Juga tidak ada yang mengungkit masalah pedang keluarga Soyoz. Kalau memang Quinn bisa melakukan sesuatu pada mereka, mereka bisa mencegahnya.

“Mathias,” Simona bergelayut manja pada suaminya. “Kau tidak ingin aku ditangkap mereka bukan?”

“Omong kosong!” hardik Mathias, “Tentu saja aku tidak menginginkannya!”

Simona tersenyum puas. “Kalau kau tidak ingin dinyatakan terlibat dalam masalah ini, mengapa kau tidak menutup mulut gadis ingusan itu? Gadis ingusan itu masih belum sadar, bukan?” tanya Simona, “Kau tahu kalau dia sadar dia pasti akan mengatakan semua yang terjadi padanya. Namun bila ia tidak pernah sadar, tidak akan ada yang tahu apa yang telah terjadi. Quinn pasti tidak akan menghantuimu. Kau juga bisa dengan lega mengumumkan hilangnya pedang keluargamu. Tidak akan ada yang curiga. Semua akan berlanjut dengan normal kembali.”

Duke Binkley itu terdiam.


-----0-----


“Apa yang kaulakukan, Derrick?” omel Irina melihat adiknya masih membaca koran di ruang makan. “Mengapa engkau tidak segera bersiap-siap? Matahari sudah semakin tinggi.”

“Aku belum selesai membaca koran hari ini.”

“Apoa kau tidak ingin melihat Eleanor?”

“Untuk apa kau terburu-buru?” tanya Derrick, “Eleanor tidak akan ke mana-mana. Bukankah Dokter juga mengatakan Eleanor tidak akan sadar dalam waktu dekat ini.”

“Apa kau tidak mengkhawatirkan Eleanor?”

“Aku peduli pada Eleanor tapi adakah gunanya melihatnya setiap hari? Ia masih belum sadar. Pihak Istana juga sudah memanggil dokter untuk mengawasi perkembangan kondisi Eleanor. tidak ada yang perlu kucemaskan tentang itu. Sekarang yang lebih mengkhawatirkanku adalah desas desus yang berkembang di dalam Istana.”

“Desas-desus apa?” tanya Irina, “Bukankah Raja juga mengatakan Eleanor mengalami kecelakaan di Pittler?”

Derrick melihat wajah polos kakaknya dan mendesah. “Kau memang bukan Eleanor.”

“Apa maksud perkataanmu itu1?” Irina marah.

“Apa kau tidak curiga melihat luka-luka Eleanor? Apa kau tidak pernah bertanya mengapa Quinn terlihat ingin menyembunyikan keadaan Eleanor yang sebenarnya?”

“Raja pasti tidak mau rakyat mengkhawatirkan Eleanor.”

“Dasar wanita,” keluh Derrick, “Percuma saja aku membicarakannya denganmu. Papa juga tidak mau membicarakannya denganku. Eleanor juga masih belum sadar.”

“Mengapa kau tidak membicarakannya denganku?” bujuk Irina.

“Tidak! Percuma saja! Kau tidak akan mengerti!”

“Karena kau tidak mengatakannya,” bantah Irina, “Kalau kau mengatakannya, aku pasti mengerti.”

Derrick terdiam. Saat ini memang hanya kakaknya yang bisa diajaknya berbicara. Mengatakan pikirannya kepada orang lain mungkin akan membuat pikirannya terasa lebih ringan. Irina mungkin juga mempunyai pendapat yang sama.

“Aku curiga kejadian yang menimpa Eleanor di Pittler bukan murni kecelakaan,” Derrick mengutarakan kecurigaannya, “Luka-lukanya terlalu rapi untuk dikatakan sebagai akibat kecelakaan. Aku rasa ada yang coba membunuh Eleanor di Pittler.”

Irina terpekik kaget. “Jangan mengada-ada. Tidak akan ada yang ingin membunuh gadis semanis Eleanor.”

“Aku tidak mengada-ada. Pikirkanlah baik-baik. Siapa yang paling diuntungkan bila Eleanor mati?”

Irina langsung mengetahui jawabannya. “Itu… tidak mungkin.”

“Mengapa tidak?” tanya Derrick.

“Mathias dapat dipastikan meneruskan tahta kalau Quinn tidak mempunyai keturunan.”

“Itu tidak mungkin! Kau tahu Mathias. Dia… dia…”

“Ya, dia adalah seorang pengecut tapi Simona?” serang Derrick, “Apakah kau pikir Simona juga seorang pengecut? Ingatlah dia adalah mantan kriminal. Membunuh bukanlah hal yang sulit baginya. Ia mengenal banyak penjahat yang mau melakukan pekerjaan itu untuknya.”

Irina benar-benar kehabisan kata-kata.

“Bagiku itu adalah alasan yang paling masuk akal atas diamnya phak Istana,” Derrick mengakhiri perdebatannya, “Quinn juga tahu apa yang akan terjadi bila ia langsung memerintahkan prajurit untuk menahan Simona ataupun Mathias.”

“Tapi… itu tidak mungkin, bukan?”

“Ini hanya dugaanku. Ini masih dugaanku.” Derrick ingat ia harus memperingati Irina. “Jangan katakan pada siapa pun. Satu omongan yang salah bisa menyebabkan gejolak di Viering,” ia memperingati kakaknya.

Irina mengangguk.

Derrick memperhatikan Irina. memberitahu Irina tampaknya bukan tindakan bijaksana. Ia telah memperingati Irina namun siapa tahu yang bisa mempercayai mulut seorang wanita? Derrick juga tidak bisa menahan dirinya. Ia pernah mencoba mengutarakan dugaannya pada ayahnya tapi sang Grand Duke marah. Eleanor, gadis yang sering diajaknya bertukar pendapat, masih terbaring tidak sadar diri. Derrick juga tidak mungkin mengatakannya pada Quinn ataupun Earl.

“Mengapa engkau masih belum pergi?” tanya Derrick, “Bukannya kau ingin melihat Eleanor?”

Irina langsung teringat tujuannya semula mencari Derrick. “Mengapa engkau tidak segera bersiap-siap?” ia memarahi Derrick lagi, “Apa kau tidak ingin melihat Eleanor?”

“Pergilah dulu,” Derrick membuka kembali korannya, “Aku akan menyusul setelah aku menyelesaikan ini.”

Irina marah melihat adiknya. “Apakah engkau tidak bisa membacanya sepulang dari Fyzool!?”

“Tidak bisa,” Derrick menjawab mantap, “Koran adalah bagian dari sarapan.”

Irina benar-benar marah dibuatnya. Tanpa sepatah kata pun ia meninggalkan adiknya. Ia masih mengomel ketika ia sudah tiba di Istana.

Semua pria sama saja. Derrick hanya mengkhawatirkan Eleanor di mulutnya. Demikian pula Raja Quinn. Walaupun tampaknya Quinn mengkhawatirkan Eleanor, ia masih jarang melihat keadaan Eleanor. Selama kedatangannya ke Istana dalam tiga hari belakangan, Irina sama sekali tidak pernah melihat Quinn di kamar Eleanor. Dari Earl Hielfinberg, ia mengetahui Quinn menghabiskan waktunya di ruang kerjanya.

Entah apa yang dipikirkan pemuda itu. Eleanor masih tidak sadarkan diri dan ia terus berkutat dengan masalah lain. Irina merasa seperti ditipu. Ia sempat memuji ketegasan Quinn dalam menangani kondisi Eleanor namun sekarang ia kembali meragukan pemuda itu.

Irina terkejut melihat seorang pemuda di sisi tempat tidur. Pemuda itu membungkuk ke arah Eleanor. Tangannya yang terulur ke wajah Eleanor menghalanginya mengenali rupa pemuda itu. Irina baru saja berpikir pemuda itu adalah Quinn ketika ia menyadari sesuatu yang tidak beres. Tangan pemuda itu bukan memegang wajah Eleanor seperti dugaannya semula melainkan memegang leher Eleanor!

“Apa yang kaulakukan?” Irina menjadi was-was.

Pemuda itu terperanjat.

“Duke Binkley!” Irina terperanjat. Ia teringat kecurigaan Derrick.

“A-aku hanya memeriksanya,” Mathias gugup, “Beberapa saat lalu ia tampak kesakitan, jadi aku memeriksanya.”

“Tolong Anda jauhi Eleanor,” kata Irina memperingati, “Anda tidak perlu khawatir, saya akan memanggil dokter untuk memeriksa Eleanor.”

“Saya lega mendengarnya. Tolong Anda periksa keadaannya. Maaf saya masih ada urusan,” Mathias dengan gugup bergegas meninggalkan kamar Eleanor.

Irina memperhatikan sikap gugup Mathias dengan curiga. Satu jam yang lalu ia masih menertawakan kecurigaan adiknya, sekarang ia mulai memikirkannya dengan serius.

Ia yakin beberapa saat lalu ia melihat Mathias sedang mencekik Eleanor. Ia berusaha membunuh Eleanor! Mathias tidak mungkin berniat membunuh Eleanor kecuali ia ingin menutup mulut Eleanor. Tapi mengapa? Apakah dugaan Derrick benar?

Irina tidak mengerti. Namun ia segera sadar. Dibandingkan memikirkan hal ini, sekarang yang lebih penting adalah memastikan keadaan Eleanor.

Irina benar-benar lega merasakan nafas Eleanor yang naik turun dengan teratur.
Pintu terbuka.

“Apalagi maumu!?” Irina langsung bersiaga. “Bukankah aku sudah mengatakan aku akan memanggil dokter!?”

Nicci melihat Irina dengan kaget. “M-maafkan saya, M’lady,” kata Nicci gugup, “Apakah saya menganggu Anda?’

Irina sadar siapa yang baru saja dibentaknya. “Tidak, Nicci. Engkau tidak mengangguku. Aku hanya pikir kau adalah seorang penganggu yang baru saja pergi.”

“Apakah ada yang menganggu Paduka Ratu selama saya pergi?” Nicci langsung memeriksa keadaan Eleanor dengan cemas. “Maafkan saya. Saya tidak akan gegabah lagi. Saya hanya pergi untuk mengganti air kompres Paduka Ratu.”

Irina melihat baskom air di tangan Nicci. Kemudian ia menyadari kejanggalan lain di kamar itu. “Di mana Earl Hielfinberg?”

“Paduka meminta Earl beristirahat,” jawab Nicci, “Kesehatan Earl menurun. Pagi ini Dokter Lawrence telah menyarankan Earl untuk beristirahat seharian.”

“Tentu saja kesehatan Earl menurun!” Irina marah teringat ketidakpedulian Derrick maupun Quinn pada Eleanor, “Tiap hari ia menjaga Eleanor dari pagi sampai malam. Para pria itu mana mau peduli!”

“Siapa yang kaukatakan tidak peduli itu, Irina?” Derrick memasuki kamar dengan kesal.

“Derrick! Aku baru saja.”

‘Engkau juga tahu apa yang akan terjadi kejadian ini bisa menyebabkan gejolak di Viering.’ Irina teringat peringatan Derrick pagi ini.

“Derrick,” Irina menarik tangan Derrick, “Kita harus segera mencari Paduka Raja.”

Derrick bingung. “Bukannya kau ingin aku segera menjenguk Eleanor? Mengapa sekarang kau ingin mengajakku pergi?”

“Nicci,” Irina berbalik, “Jangan tinggalkan sisi Eleanor tak peduli siapa pun yang memanggilmu.”

“Saya mengerti, M’lady.”

“Ikut saja aku,” Irina menarik adiknya.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanya Derrick ketika mereka sudah meninggalkan Irina.

“Aku melihat Mathias di kamar Eleanor,” Irina berbicara dengan suara kecil sehingga prajurit yang menjaga pintu kamar Eleanor tidak dapat mendengarnya.
Raut wajah Derrick langsung menjadi serius.

“Aku rasa kau benar. Mathias ingin menghabisi Eleanor. Aku melihat ia mencekik Eleanor.”

“Apa kau sudah mengatakannya pada Nicci?” Derrick curiga.

“Apa kau pikir aku ini bodoh!?” Irina kesal. “Aku tahu apa akibatnya kalau aku sembarangan bicara! Saat ini kita harus segera memberitahu Raja untuk memperkuat keamanan Eleanor.”

Derrick mengangguk sependapat.

Sesaat kemudian mereka sudah berada di ruangan tempat Quinn bekerja. Selain Quinn, Duke Bernard juga ada di sana untuk mendengarkan kecurigaan Derrick.

“Jangan bicara sembarangan!” Duke Krievickie marah, “Apa kau sadar akibat apa yang bisa ditimbulkan perkataanmu itu, Derrick!”

“Derrick mungkin benar, Papa,” Irina membela adiknya, “Aku yakin aku melihat Mathias mencekik Eleanor.”

Wajah Quinn sama sekali tidak berubah mendengarnya.

“Jelaskan apa sebenarnya yang terjadi pada Eleanor, Quinn!” desak Derrick.

“Derrick, apa kau sadar dengan siapa kau berbicara!?” Grand Duke dan putrinya melabrak Derrick secara bersamaan.

“Sudahlah, Bernard,” Quinn mendinginkan suasana lalu ia melihat Derrick, “Rasanya tidak ada gunanya aku menyembunyikan hal ini lebih lama lagi darimu, Derrick.”

Quinn mengeluarkan sesuatu dari dalam kolong meja kerjanya.

Mata Derrick membelalak melihat pedang panjang itu di meja kerja Quinn.

Irina juga ikut kaget melihat simbol yang terukir di gagang pedang itu. “P-paduka… ini…,” Irina tidak dapat mengungkapkan perasaannya.

Tangan Quinn bertumpu pada sikunya di atas meja. Jari-jari Quinn bertautan di depan mulutnya yang dengan tenang berkata, “Ini ditemukan bersama Eleanor.”

Mata kedua kakak beradik itu membelalak semakin lebar.

“Saat ini masih belum jelas apa keterlibatan Binkley dengan penculikan dan usaha pembunuhan Eleanor ini,” Quinn melanjutkan tetap dengan suara tenangnya, “Todd, sang pemimpin komplotan yang menculik Eleanor, masih tidak mau membuka mulut. Kami masih menyelidiki hubungan Simona dengan peristiwa ini.”

“Bisa diyakinkan Mathias tidak mempunyai keberanian untuk melakukan ini,” Derrick sependapat, “Tetapi kalau Simona. Tidak perlu diragukan lagi. Ia adalah jenis wanita yang akan melakukan apa saja untuk meraih ambisinya.”

“Saat ini hanya beberapa orang saja yang mengetahui hal ini. Aku tidak ingin berita ini tersebar luas sebelum ada bukti tentang kelibatan Binkley.”

“Kami mengerti, Paduka,” Irina langsung menanggapi, “Kami berjanji tidak akan mengatakan hal ini pada siapa pun.”

“Aku punya permintaan,” kata Derrick.

“Katakanlah.”

“Aku ingin dilibatkan dalam masalah ini,” Derrick berkata sungguh-sungguh, “Eleanor adalah adikku. Aku tidak bisa berdiam diri melihat orang lain ingin mencelakakan Eleanor. Walaupun ke ujung dunia, aku akan menangkap orang yang mencelakai Eleanor.”

“Derrick, jangan gegabah!” hardik Duke Bernard, “Ini adalah masalah serius.”

“Aku bukan anak kecil lagi, Papa!”

“Setuju,” Quinn menarik perhatian ayah dan anak yang sudah memulai pertengkaran mereka, “Bernard, jelaskan perkembangan penyelidikan kita pada Derrick. Dan kau, Derrick, mulai besok aku mengharapkan kedatanganmu di Fyzool.” Quinn berdiri. “Irina, bisakah kau pergi denganku ke kamar Eleanor. Aku ingin mendengar secara terperinci apa yang sudah kaulihat di kamar Eleanor.”

“Baik, Paduka,” mereka menanggapi dengan tangkas.



*****Lanjut ke chapter 27

No comments:

Post a Comment