Thursday, December 20, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 25

Hujan deras mengguyur bumi. Udara yang dingin menaikkan kabut tipis ke langit yang gelap.

Di tengah suasana ini, Quinn bersama pasukannya mencari-cari Eleanor.

Pagi ini semenjak mengetahui Eleanor kabur, ia terus tidak bisa tenang. Pikirannya kacau balau dan perasaannya terus tidak menentu.


Quinn terus mengatakan pada dirinya sendiri Eleanor akan baik-baik saja. Semua yang dikatakan gadis itu belum tentu benar. Ia mengenal Mathias lebih baik dari siapa pun. Selain itu di sisi Eleanor telah ada prajurit-prajurit terbaik Fyzool. Eleanor akan baik-baik saja.

Kepercayaan dirinya itu runtuh ketika mendengar laporan pasukan yang mengikuti Eleanor.

Pedro dan prajurit lainnya merasakan ketidakberesan ketika melihat Seb mencari-cari Eleanor.

“Eleanor, di mana kau?”

“Eleanor!” seru mereka mencari-cari gadis itu.

Mereka langsung bergerak mendekati kawanan itu. “Apa yang terjadi?” tanya mereka, gusar “Di mana Paduka Ratu?”

“Katakan di mana Paduka Ratu?” seorang prajurit mencengkeram kemeja Seb.

“Paduka Ratu?” Seb kebingungan.

“Katakan di mana Yang Mulia Paduka Ratu Eleanor!??”

Mata orang-orang itu kian melebar.

“Lepaskan dia,” Pedro segera melangkah maju mengambil tindakan. Lalu dengan suaranya yang tenang ia bertanya, “Bisakah Anda memberitahu kami di manakah gadis muda yang beberapa saat lalu berada bersama Anda, Tuan?”

Seb langsung mengenali Pedro.

“Aku tidak tahu,” jawab Seb, “Beberapa saat lalu ia masih ada di sini.”

“Apa maksudmu tidak tahu!?” prajurit itu kembali emosi, “Apa yang akan kaupertanggung jawabkan kalau terjadi sesuatu pada Paduka Ratu!?”

“Paduka Ratu?” Mrs. Brandrick juga semakin bingung.

“Paduka Ratu pasti masih tidak jauh,” seorang prajurit menyimpulkan, “Hentikan festival ini dan cari Paduka Ratu!”

“Tunggu!” kata Pedro, “Tindakan itu hanya akan membuat kekacauan lebih besar.”

“Apa kau punya ide lain?”

Pedro termenung. Semenjak Quinn menanyakan kegiatan Eleanor di Loudline, Quinn sangat mencemaskan keselamatan Eleanor. Pedro masih ingat hari itu Eleanor menanyai Seb tentang seorang pria bernama Todd. Mungkinkah semua ini berhubungan dengan pria itu?

“Apakah Anda tahu tentang Todd?” tanya Pedro pada pemuda itu.

“Apalagi yang akan kaulakukan, Pedro?” sergah seorang prajurit, “Kita tidak punya waktu untuk melakukan wawancara ini.”

“Tidak,” kata Pedro, “Aku yakin ini berhubungan dengan Todd. Paduka Raja sangat mengkhawatirkan keselamatan Paduka Ratu semenjak Paduka Ratu melihat Todd. Aku juga mendengar dari Jancer, ia mengirim beberapa orang mengawasi Todd.”

“Tuan,” Mrs. Brandrick menghentikan perundingan orang-orang yang tak dikenalnya itu, “Todd mempunyai tempat persembunyian di sekitar sini.”

Kalimat itu mengagetkan pasukan pengawal Eleanor.

“Anak muda, kau tahu tempat itu?” prajurit yang lain bertanya pada Seb.

Seb mengangguk dengan bingung. Ia tidak mengerti situasi yang tengah dihadapinya ini.

“Bagus,” kata pria bertubuh kekar itu yang tampak lebih berkuasa dari pria-pria lain, “Pedro, bawa nyonya ini kembali ke Fyzool. Laporkan keadaan ini pada Paduka Raja. Aku akan mengejar mereka bersama pemuda ini.”

“Siap,” Pedro memberi hormat dengan gaya khas seorang prajurit kemudian pada Mrs. Brandrick, ia berkata, “Bersediakah Anda pergi bersama saya menemui Paduka Raja Quinn, Nyonya?”

Mrs. Brandrick mengangguk. Berbagai pertanyaan di dalam kepalanya membuatnya tidak dapat berpikir jernih.

Beberapa saat kemudian mereka telah menghadapi sepasang mata murka Quinn.

Mrs. Brandrick tidak perlu mengingat dua kali untuk mengenali pemuda yang di suatu hari muncul bersama Eleanor di kota dan mengaku sebagai suami Eleanor. Sebuah pertanyaan menggantung di kepalanya namun ia tidak berani mengeluarkan suara melihat kemurkaan pemuda yang terkenal di Viering itu.

“Pedro, tanyakan dengan jelas posisi persembunyian Todd dari nyonya ini,” suara tenang Quinn membuat semua orang terperangah, “Jancer, siapkan prajurit. Aku akan memimpin langsung pasukan. Sepuluh menit lagi kita akan berangkat.”

Tanpa menanti jawaban pemimpin pasukannya, Quinn langsung bergegas mempersiapkan diri. Tidak seorang pun berani membantah perintah Quinn. Emosi Quinn memang tidak meledak-ledak seperti biasanya namun justru itu yang membuat mereka kian ketakutan.

Wajah Quinn terlihat semakin tegang ketika mereka bertemu dengan pasukan yang semula mengawal Eleanor.

Dari pasukan itu mereka mengetahui dengan tepat lokasi persembunyian Todd dan kawanannya. Bersama mereka, tampak orang-orang yang dilihat Pedro bersama Eleanor sesaat sebelum ia menghilang. Mereka pula yang memberi informasi kepada pasukan pengawal Eleanor tentang Todd. Menurut mereka, bawahan Todd sangat banyak. Tidak hanya meliputi penjahat-penjahat Loudline namun juga daerah Pittler dan sekitarnya. Biasanya, di hari festival Pittler mereka selalu berkumpul di tempat ini untuk bersenang-senang dan melakukan aksi kejahatan mereka.

“Kami yakin mereka ada di dalam rumah itu, Paduka,” lapor prajurit.

“Paduka, mungkinkah ini ada hubungannya dengan…?” Jancer tidak berani melanjutkan kata-katanya melihat ekspresi kaku di wajah Quinn.

Quinn diam memperhatikan rimbunan hutan di kaki bukit.

Seb memperhatikan pemuda yang diketahuinya sebagai suami Eleanor dengan pandangan takjub. Seperti mereka yang mengenal Eleanor sebagai pelayan Earl of Hielfinberg, pertanyaan demi pertanyaan menggelantung di kepalanya.

Quinn marah. Ia murka tapi ia juga cemas. Inilah akibat kekeraskepalaan Eleanor.

“Lain kali ingatkan aku untuk mengikat kaki tangan Eleanor."

Perkataan Quinn itu membuat mereka yang sudah kebingungan makin bingung.

“Apa yang harus kita lakukan, Paduka?” tanya Jancer, “Haruskah kita memanggil tambahan pasukan?”

“Tidak. Tambahan pasukan hanya akan membuat mereka mengetahui keberadaan kita,” jawab Quinn, “Saat ini kita tidak bisa bertindak gegabah. Eleanor ada di tangan mereka.”

“Saya mengerti, Paduka.”

“Jancer, perintahkan pasukan mengelilingi hutan ini. Aku tidak ingin seorang pun dari mereka lolos. Aku ingin beberapa prajurit ikut denganku mendekati persembunyian mereka. Tanpa perintah dariku, tidak ada yang boleh mengambil tindakan.”

“Saya ikut,” Seb mengajukan diri, “Saya juga ingin menyelamatkan Eleanor.”

“Paduka Ratu, Seb!” sergah Mrs. Brandrick.

Seb langsung menyadari kesalahannya. “Maafkan kelancangan saya, Paduka Raja.”

“Tugasmu sudah selesai,” Quinn menolak, “Dari sini serahkan masalah ini pada pasukan kerajaan.”

“Aku ikut!” Seb bersikeras, “Aku telah menyebabkan Eleanor diculik!”

“Paduka Ratu, Seb!” lagi-lagi Mrs. Brandrick memotong pemuda itu dengan marah.

“Anda tidak bisa menolak kami, Paduka Raja,” orang-orang yang lain maju, “Kami bersama Paduka Ratu ketika beliau menghilang. Kami merasakan tanggung jawab untuk menyelamatkan beliau.”

Quinn diam memperhatikan orang-orang itu.

“Dengarkan perintah pasukanku,” Quinn membalikkan badannya, “Aku tidak ingin kalian menghambat tugas mereka.”

Mata mereka membelalak gembira mendengarnya.

Demikianlah Quinn dan pasukannya dibantu teman-teman Eleanor, melakukan operasi penyelamatan Eleanor.

Walaupun hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi, Quinn berhasil memasuki rumah itu tanpa halangan yang berarti. Namun ketika Quinn tiba di sana, rumah itu sudah kosong. Sang pemimpin komplotan penculik Eleanor telah hilang dari tempat itu. Demikian pula Eleanor.

“Kami tidak menemukan jejak seorang pun di sini,” lapor Jancer.

Mata Quinn terpaku pada jejak darah di tembok.

“Paduka,” Jancer memberanikan diri untuk bertanya, “Mungkinkah…”

“Jangan mengambil kesimpulan tanpa bukti!” sergah Quinn.

Tidak mungkin! Ya, ini tidak mungkin darah Eleanor. Eleanor baik-baik saja. Mereka membawanya pergi ke tempat lain. Para penjahat itu memindahkan Eleanor ke tempat lain mendengar pasukan kerajaan telah mengurung mereka. Eleanor baik-baik saja.

“Paduka, kami menemukan sesuatu.”

Quinn langsung mengikuti prajurit ke sebuah ruangan kecil. Matanya membelalak lebar melihat percikan darah merah di lantai.

Jancer tidak berani mengeluarkan suara.

Quinn membungkuk mengambil seutas tali yang dinodari darah merah yang masih belum kering.

Jancer melihat tangan pemuda itu bergetar ketika ia memungut tali itu dari lantai. Ia yakin Raja Quinn juga tahu tali itu digunakan para penjahat untuk mengikat Eleanor.

“Eleanor,” Quinn menggenggam tali itu, “Aku tidak akan memaafkanmu bila kau berani membiarkan dirimu terluka.”

Jancer tidak pernah melihat sinar mata itu. Ia tidak tahu bagaimana harus menggambarkan sinar mata yang penuh kemarahan, kecemasan sekaligus kepanikan itu. Seumur-umur baru kali ini ia melihat rajanya dalam keadaan kacau seperti ini.

Quinn mengikuti jejak darah di sepanjang lantai dan tembok hingga ke pintu belakang yang terbuka. Ia tetap tidak mengeluarkan suara apa pun melihat pegangan pintu itu ternodai darah merah segar. Matanya yang bersinar penuh kemurkaan menerobos derasnya hujan ke hutan yang terhampar di depan.

Sikap diamnya itu membuat Jancer tidak berani mengambil tindakan.

“Jancer, ikuti jejak darah ini. Aku yakin mereka tidak jauh,” Quinn mengontrol kembali perasaannya. “Tidak seorang pun dari mereka boleh lolos. Sekali pun harus turun ke akhirat, tangkap mereka!!”

“Baik, Paduka!” Jancer memberi hormat kemudian ia segera mengatur pasukan sesuai dengan perintah Quinn.

Ketika pasukan yang berjaga-jaga di sekitar hutan bersiaga menangkap penjahat-penjahat yang bersembunyi di dalam hutan, Jancer dan pasukannya mulai menyusuri hutan sekitar rumah itu.

Quinn yakin gadis liarnya itu berhasil menyelamatkan diri dari para penculiknya. Namun ia tidak berani menjamin keselamatan gadis itu. Ia juga tidak berani memikirkan kemungkinan bercak-bercak darah merah di rumah itu adalah darah Eleanor. Saat ini ia hanya berani berpikir Todd membawa Eleanor pergi ke tempat lain.

Namun lagi-lagi keyakinannya runtuh ketika seorang prajurit muncul melaporkan keadaan.

“Todd sudah tertangkap, Yang Mulia,” lapornya, “Sekarang kami masih mengejar kawanannya yang lain. Di antara mereka tampak seorang wanita.”

Jancer menatap Quinn. “Mungkinkah itu Paduka Ratu?”

“Itu… tidak mungkin,” prajurit itu ragu-ragu, “Sebab Todd melindungi wanita itu. Ia juga memanggilnya Simona.”

Jancer terbelalak.

“Tidak!” Quinn langsung memotong pikiran Jancer, “Mathias tidak mungkin berada di balik ini! Ia bukan pria seperti itu!” lalu dengan gusar ia bertanya pada prajurit itu, “Apa kau sudah bertanya padanya tentang keberadaan Eleanor?”

“Maafkan kelalaian saya, Paduka,” prajurit itu menunduk, “Kami tidak menanyakannya.”

“Eleanor tidak ada berada di antara mereka. Itu artinya ia sudah meloloskan diri,” Quinn menyimpulkan. Ya, Eleanor adalah gadis liar. Ia tidak mungkin membiarkan dirinya ditawan. Ia berhasil meloloskan diri dari penjagaan pasukan kerajaan yang ketat. Tak mungkin ia tidak berhasil meloloskan diri para penjahat murahan itu.

“Teruskan pencarian!” Quinn memerintahkan prajurit, “Dan kau, kembali ke posisimu. Tangkap semua penjahat itu. Tidak seorang pun boleh lolos!”

“Baik, Paduka!” prajurit itu langsung bergegas kembali ke posisi awalnya sementara itu Quinn dan pasukan yang dibawanya meneruskan pencarian mereka.

“Eleanor!” teriak Quinn cemas.

“Paduka Ratu!” teriak yang lain.

Hujan yang turun kian deras membuat pencarian mereka semakin sulit. Mereka harus berjalan hati-hati di atas tanah yang becek dan di tengah guyuran air hujan yang mengaburkan pandangan mereka. Hujan yang lebat juga menghilangkan jejak-jejak darah yang masih terlihat beberapa langkah di pintu belakang rumah itu.

“Jangan bermain-main denganku, Eleanor!” Quinn cemas sampai kehilangan kesabaran, “Keluar kau atau aku marah!”

Guyuran hujan deras bersahut-sahutan menjawab titah Quinn.

“Paduka,” seseorang mendekat, “Sepertinya di sana ada sesuatu.” Prajurit itu menunjuk gundukan di barat daya mereka.

Darah Quinn serasa membeku melihat sosok di kejauhan. Ia segera berlari menerobos hujan.

Sesosok tubuh tergeletak di tanah. Dari perutnya, mengalir darah merah yang bercampur dengan air hujan. Tangannya yang berdarah menggenggam erat sebuah pedang panjang.

“Eleanor!” Quinn panik. Quinn mengangkat badan Eleanor. “Eleanor! Eleanor!” Quinn menepuk pipi pucat Eleanor. “Eleanor!” Quinn memanggil Eleanor lagi.

Melihat tidak ada reaksi dari Eleanor, Quinn kian cemas. Ia mengangkat tubuh Eleanor. “Kembali ke Istana!” perintahnya kemudian membawa lari Eleanor.

Ketika mereka hampir mencapai rumah persembunyian Todd, beberapa orang berlari mendekat.

“Eleanor,” Seb kehilangan kata-katanya melihat kondisi Eleanor.

Mata orang-orang itu terperangah melihat Eleanor di gendongan Quinn. Tak seorang pun membuka suara.

“Lapor, Paduka,” Pedro melaporkan keadaan, “Kami sudah berhasil menangkap sebagian besar dari bawahan Todd. Sekarang beberapa prajurit masih mengejar yang lain.”

“Teruskan pengejaran,” perintah Quinn, “Aku akan membawa Eleanor kembali ke Istana.”

“Saya tidak sependapat,” Mrs. Brandrick mengeluarkan suara, “Hujan sangat deras. Jalanan terlalu licin untuk dilalui. Selain itu sekarang yang paling penting adalah menghentikan pendarahan Eleanor… ah tidak, Paduka Ratu.”

“Saya juga sependapat dengan Mrs. Brandrick, Paduka,” kata Pedro pula, “Kita harus segera menghentikan pendarahan Paduka Ratu. Selain itu hujan sangat deras dan kita tidak membawa kereta. Keadaaan Paduka Ratu akan memburuk bila ia terus dibiarkan berhujan-hujan seperti ini.”

“Harap Anda memikirkan keputusan Anda sebaik-baiknya, Paduka,” kata Jancer pula, “Kita harus menempuh jarak selama kurang lebih setengah jam sebelum mencapai Fyzool.”

‘Bila untuk Eleanor,’ Quinn memperhatikan wajah pucat di gendongannya lalu ia melihat rumah persembunyian Todd di antara hujan deras.

“Bila Anda berkenan,” Mrs. Brandrick menawarkan, “Anda bisa berteduh di rumah saya.”

“Terima kasih, Mrs. Brandrick,” Quinn menolak halus, “Kami akan berteduh di rumah itu.” Lalu dengan tegas ia berkata pada pasukannya, “Pedro, kembali ke Istana dan siapkan kereta untuk menjemput kami. Jancer, pimpin pasukan mengejar penjahat-penjahat itu. Dan kau, Seb, panggil dokter.”

“Baik, Paduka,” sahut mereka.

Quinn pun langsung berlari ke dalam rumah persembunyian Todd.

Pedro langsung berlari ke tempat mereka menambatkan kuda mereka. Seb juga langsung bergerak mencari dokter. Sementara itu Jancer mengatur sebagian pasukan untuk menjaga sekitar rumah itu dan sisanya mengejar sisa-sisa kawanan penjahat itu. Penduduk Pittler dengan senang hati menawarkan diri untuk mengawasi penjahat-penjahat yang telah tertangkap.

Quinn memasukai rumah persembunyian Todd. Kakinya dengan cepat mencari tempat tidur untuk membaringkan Eleanor. Quinn bersyukur ruangan di sebelah ruangan tempat Eleanor disekap itu mempunyai perapian. Tanpa sedikitpun membuang waktu, Quinn mengambil jerami kering di ruangan sebelah dan menyalakan perapian.

Quinn kembali ke sisi Eleanor setelah api perapian menyala. Ia melihat wajah pucat Eleanor dengan pedih dan mengambil tangan dinginnya yang memerah oleh darah.

“Eleanor…,” panggilnya pedih, “Eleanor…”

Quinn merasa tidak berdaya melihat keadaan Eleanor seperti ini. Wajah ceria itu nampak sangat pucat. Gadis yang selalu membantahnya dengan penuh semangat itu tampak sangat kesakitan dan ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menggenggam tangannya yang dingin. Andai saja hari ini ia tidak begitu keras kepala. Andai saja hari ini ia menemani Eleanor, semua ini tidak akan terjadi. Ia tahu nyawa Eleanor terancam. Ia tahu hanya ia yang bisa menjaga gadis liarnya ini. Namun mengapa ia tetap membiarkan gadis ini pergi seorang diri? Mengapa ia memilih duduk di belakang meja mendengarkan laporan bawahannya atas pengamatan terhadap Mathias?

Air mata Quinn yang tidak menetes di hari kematian orang tuanya, menuruni pipinya yang basah.

Suara ketukan di pintu mengagetkan Quinn.

Quinn segera menyeka air matanya dan bergegas membuka pintu.

“Saya datang bersama dokter, Paduka,” Seb berdiri di pintu dengan membawa payung menaungi seorang pria tengah baya.

“Sungguh sebuah kehormatan bisa melayani Anda, Paduka,” kata pria itu.

“Jangan berbasa-basi,” sergah Quinn, “Cepat periksa Eleanor.”

“Baik, Paduka,” pria itu segera mengikuti Quinn ke dalam kamar tempat ia membaringkan Eleanor.

Seb menutup payung dan melangkah masuk. Matanya terpaku pada pintu ruangan ke mana Quinn dan dokter itu menghilang, yang sekarang tertutup rapat. Ia ingin masuk dan melihat keadaan Eleanor tapi ia tidak berani.

Beberapa jam lalu ia menyadari Eleanor sangat sangat jauh dari jangkauannya. Hingga saat ini pun ia sulit mempercayai gadis periang yang akrab dengannya itu adalah seorang Ratu, Ratu Kerajaan Viering. Seperti rakyat Viering lainnya, ia tahu siapa gadis yang dinikahi raja mereka. Namun tidak sedikit pun terlintas di pikirannya Lady Eleanor, putri Earl of Hielfinberg, dan Eleanor, diketahuinya sebagai pelayan seorang Earl adalah gadis yang sama.

Pintu terbuka dan Quinn muncul.

Sekarang mengertilah Seb mengapa suami Eleanor, sang pelayan seorang Earl, terkesan begitu angkuh dan menjauh dari penduduk umumnya. Di perjumpaan pertama mereka, Seb mempunyai kesan suami Eleanor adalah seorang yang tegas. Bahkan di saat-saat kritis yang menegangkan seperti ini, pemuda itu tampak penuh wibawa. Yang Seb herankan adalah mengapa ia sedikit pun tidak curiga ketika Eleanor memanggil suaminya Quinn?

“Ehmm… Paduka,” Seb memanggil pemuda itu dengan ragu-ragu, “Bila Anda berkenan, gantilah baju basah Anda dengan baju kering ini.”

Quinn melihat Seb. Ia baru sadar pemuda itu masih ada di sana.

“T-tentu saja saya tidak keberatan bila Anda menolak,” Seb panik, “Saya sudah mengatakan pada Mrs. Brandrick baju ini tidak cocok untuk Anda tapi Mrs. Brandrick bersikeras. Ia khawatir Anda jatuh sakit. Ia juga memaksa saya untuk membawa baju ganti untuk Eleanor, ah, tidak, Paduka Ratu.”

“Terima kasih,” Quinn mengambil baju kering di tangan Seb.

Seb terperangah. Ia memperhatikan Quinn pergi ke ruangan di sebelah kamar Eleanor. Saat itulah ia menyadari bercak darah dari ruangan itu hingga ke pintu belakang. Ia mengamati darah yang mulai mengering di daun pintu.

“Itu adalah darah Eleanor.”

Seb terperanjat. Ia membalikkan badan melihat Quinn yang sudah mengganti baju basahnya. Pemuda itu tampak aneh dengan baju kasar penduduk miskin. Kesannya seperti batu berlian dibungkus daun kering.

“Mereka telah melukai Eleanor.”

Seb serasa melihat bara api di mata pemuda itu.

Sekali lagi pintu tempat Eleanor terbaring, terbuka. Kali ini yang muncul adalah dokter yang dibawa Seb.

“Saya sudah menghentikan pendarahan Paduka Ratu,” lapornya, “Saya juga telah membalut lukanya seadanya. Maaf saya tidak bisa melakukan lebih banyak untuk Paduka Ratu.”

“Kau sudah melakukan tugasmu dengan baik,” kata Quinn lalu ia berpaling pada Seb, “Antar dia pulang. Aku akan menjaga Eleanor.” Dan pemuda itu menghilang di balik pintu dengan membawa baju kering yang disiapkan Mrs. Brandrick untuk Eleanor.

Quinn melihat Eleanor yang berbaring setengah telanjang di ranjang. Perban putih melilit perutnya demikian kedua telapak tangannya yang sesaat lalu masih berdarah.

Quinn duduk di sisi Eleanor dan dengan hati-hati mengangkat tubuh Eleanor. Di saat Eleanor berada di pelukannya itulah ia merasakan tubuh dingin Eleanor bergetar.

“Jangan khawatir,” bisiknya lembut, “Aku akan segera melepas baju basahmu.” Dengan hati-hati ia membebaskan kulit Eleanor dari gaun basahnya dan dengan hati-hati pula ia mengeringkan tubuh Eleanor.

Setelah ia menyelesaikan tugasnya mengganti baju Eleanor, Quinn duduk kembali di sisi Eleanor.

“Eleanor,” Quinn menggosok-gosok tangan Eleanor dengan hati-hati. “Eleanor, bertahanlah,” bisiknya cemas melihat tubuh gadis itu terus menggigil.

Quinn tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia telah mengeringkan tubuh Eleanor. Ia juga telah mengganti gaunnya dengan gaun kering yang disiapkan Mrs. Brandrick. Ia juga telah menyelimuti Eleanor dengan selimut hangat. Api dari perapian juga telah menghangatkan ruangan. Namun gadis itu terus menggigil kedinginan.

“Eleanor,” Quinn memegang wajah dingin yang pucat itu. “Eleanor….”

Quinn sadar ia harus melakukan sesuatu. Ia pun berdiri dan mulai melepas bajunya.



-----0-----


Eleanor merasa hangat dan nyaman. Ia merasakan tangan yang kekar merangkul pinggangnya erat-erat. Tangan lain menggosok-gosok punggungnya. Pipinya menempel pada sesuatu yang lembut dan hangat. Entah apa yang ada di dekatnya itu. Apa pun itu, ia memberi kehangatan dan kenyamanan padanya. Ia dapat merasakan setiap kehangatan yang terpancar darinya di kulitnya yang halus. Ia dapat merasakan setiap sentuhan lembut di kulitnya yang sensitif.

“Eleanor, apa kau sudah merasa hangat?” samar-samar terdengar nada berat yang dipenuhi kecemasan, “Eleanor, bertahanlah.”

Eleanor mencoba mengenali suara itu.

“Eleanor, kau tidak boleh pergi.”

Suara itu… ia sering mendengar suara itu.

“Eleanor, Eleanor,” orang itu terus memanggilnya dengan cemas. “Eleanor, Eleanorku.”
Ya! Ia tahu siapa orang itu.

“Sadarlah, Eleanor. Tunjukkan padaku semangatmu yang menggebu-gebu itu, Eleanor.”

Eleanor mencoba memanggil nama orang itu, tapi ia merasa tidak bertenaga. Eleanor mencoba berteriak, tapi yang keluar hanya lirihan kecil, “… Q-Quinn…”

Quinn kaget. Dijauhkannya Eleanor dari tubuhnya.

Eleanor berusaha keras membuka mata. Ia berusaha untuk sadar.

“Eleanor, kau masih hidup,” Quinn gembira.

“Q-Quinn…,” lirih Eleanor. Mata Eleanor yang terbuka sedikit itu perlahan-lahan menutup lagi.

“Eleanor, jangan tidur!” Quinn mencegah, “Kau tidak boleh tidur,” Quinn memegang pipi Eleanor.

“Dingin…”

Quinn menarik selimut menutupi tubuh telanjang mereka dan memeluk Eleanor erat-erat. “Kau sudah lebih hangat?”

Quinn melihat Eleanor meringis kesakitan.

Quinn cepat-cepat melonggarkan pelukannya.

Kepala Eleanor terkulai lemas di lengan Quinn.

Quinn melihat wajah pucat yang menahan sakit itu dan bersumpah, “Jangan panggil aku Quinn kalau aku tidak bisa menangkap dalang di balik semua ini.”

“Quinn…,” tubuh Eleanor bergetar, “Dingin…”

Quinn bingung. Apa tidak ada yang bisa dilakukannya untuk membuat Eleanor merasa hangat? Quinn memeluk Eleanor dengan hati-hati dan menggosok-gosok tubuh gadis itu dengan hati-hati pula.

Mata Eleanor mulai terpejam lagi.

“Eleanor,” Quinn panik, “Jangan tidur. Tetaplah bersamaku. Berbicaralah denganku.”

Eleanor membuka mata. Dengan sinar matanya yang dipenuhi kelelahan, ia melihat Quinn. Sesaat kemudian ia menutup mata lagi.

“Eleanor! Eleanor!” panggil Quinn, “Jangan tidur! Tetaplah terjaga. Kau harus bertahan.”

Tapi… Eleanor sudah tidak kuat lagi. Quinn pun tidak dapat mencegah mataEleanor terpejam.

“Eleanor!” Quinn memegang wajah gadis itu – berusaha membangunkannya.

Suara ketukan pintu di tengah-tengah suara hujan deras menarik perhatian Quinn.

Quinn segera mengenakan celana panjangnya dan membuka pintu rumah kecil itu.

“Kereta kuda sudah tiba, Paduka,” lapor Pedro.

“Saya membawa baju hangat untuk Anda dan Paduka Ratu,” Nicci muncul dari belakang Pedro.

“Masuklah,” Quinn memberi jalan, “Eleanor ada di dalam kamar itu,” ia menunjuk kamar dari mana sinar berasal.

Nicci bergegas pergi.

Mrs. Brandrick yang mengikuti kereta kerajaan memperhatikan Quinn. Beberapa saat lalu keragu-raguannya sirna ketika melihat Nicci, wanita yang sering terlihat bersama Eleanor, muncul dari dalam kereta. Namun ia merasakan sebuah dorongan besar untuk memperjelas pertanyaan-pertanyaan di kepalanya.

“Paduka,” kata Mrs. Brandrick hati-hati, “Saya tahu pertanyaan ini tidak sopan. Namun bila Anda berkenan bisakah Anda menegaskan kepada kami bahwa Eleanor yang kami kenal baik adalah Ratu.”

“Eleanor yang kalian kenal adalah istriku, Ratu Kerajaan Viering,” Quinn menegaskan.
Pekikan kaget terlompat dari mulut Mrs. Brandrick juga kawan-kawan Eleanor yang mengikuti kereta kerajaan.

“Bila ia memang seorang Ratu,” Mrs. Brandrick melanjutkan pertanyaannya, “Mengapa ia sering terlihat sendirian di Loudline?”

“Mrs. Brandrick,” kata Quinn, “Kau sudah mengenal Eleanor sejak lama, bukan?”
Mrs. Brandrick mengangguk.

“Apa menurutmu Eleanor mau duduk manis selayaknya seorang Ratu?”

“Tidak, Paduka,” jawab Mrs. Brandrick spontan. Kemudian ia kaget oleh jawabannya sendiri. Namun sebelum ia mengubahnya, Quinn membuatnya heran dengan tawa gelinya.

“Sekarang apakah engkau masih meragukannya?” tanyanya. Mata sayu Quinn melihat pintu kamar yang tertutup rapat. “Kalau saja ia mau duduk diam, hal ini tidak akan terjadi.”

Mrs. Brandrick termenung. Raja benar. Eleanor yang dikenalnya bukan seorang lady yang angkuh dan sombong. Eleanor yang dikenalnya adalah seorang gadis periang yang penuh semangat dan ramah.

“Mrs. Brandrick, Seb, dan juga kalian semua,” Quinn melihat kawan-kawan Eleanor itu satu per satu, “Biarlah hal ini menjadi rahasia di antara kita.”

Mereka kebingungan.

“Perlakukan Eleanor seperti biasanya,” Quinn menjelaskan keinginannya dan menambahkan, “Kalau kalian tidak ingin membaca peristiwa pembunuhan di Fyzool.”

Mata mereka membelalak oleh kepanikan.

“Paduka, Anda tidak serius, bukan?” tanya Mrs. Brandrick.

“Siapa tahu apa yang akan dilakukan Xenaku,” Quinn tersenyum dan meninggalkan mereka ke kamar tempat Eleanor terbaring.

“Mereka benar-benar pasangan serasi,” komentar Seb melihat Quinn menutup pintu.

“Kau sudah tidak punya harapan, Seb,” Mrs. Brandrick menepuk pundak pemuda itu.



*****Lanjut ke chapter 26

No comments:

Post a Comment