Wednesday, December 19, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 24

Simona marah.

Mathias memang seorang pria penakut yang tidak berguna!

Quinn sudah jelas akan melakukan segala cara untuk mencabut haknya sebagai ahli waris kerajaan tetapi Mathias tetap tidak khawatir.


Quinn sudah pasti tidak akan melakukan apa pun terhadap satu-satunya penerusnya, tetapi ia tetap takut pada Quinn dan juga gadis ingusan itu!

Simona mengakui ia sempat panik mendengar gosip kehamilan gadis itu. Kemarin setelah melihat Eleanor, ia yakin gadis itu tidak hamil!

Simona bukan orang yang buta dalam hal ini. Ia sudah beberapa kali hamil. Tentu saja, ia tidak membiarkan janinnya terus tumbuh. Simona tidak mau kehilangan kemolekan tubuhnya sebelum ia berhasil membenahi kehidupannya. Sekarang setelah ia berhasil mencapai kedudukanya ini pun, ia tidak mau mengorbankan tubuh moleknya yang menggoda pria mana pun hanya untuk seorang anak ingusan!

Ini bukan akhir dari ambisinya! Ini adalah langkah pertamanya untuk mencapai ambisinya!

Ia dengan tidak mudah mendapatkan posisinya saat ini. Ia juga tidak akan membiarkan orang lain dengan mudahnya merusak kehidupannya termasuk Mathias, alat menuju puncak kejayaan di Viering!

Mathias memang tidak berguna! Ia sudah tahu membunuh kedua batu halangan terbesar mereka adalah jalan paling cepat untuk mencapai puncak kekuasaan Viering, tetapi ia tidak berani! Simona sudah mengatakan ia akan megnatur semuanya. Ia tidak akan berbuat bodoh dengan membuat orang lain mengetahui perbuatan mereka, tetapi Mathias tetap takut!

Simona sudah lelah dengan suami penakutnya.

Kemarin Mathias langsung kabur ketika Simona memintanya memanfaatkan pertengkaran Quinn dan Eleanor. Melihat pertengkaran yang tidak terduga itu, Simona melihat ini adalah kesempatan emas untuk menutupi perbuatan mereka. Simona berniat membuat peristiwa pembunuhan Eleanor seolah-olah dikarenakan kekesalan Quinn pada istrinya. Bila rencana itu berhasil, Mathias harus berpura-pura sebagai saksi mata. Dengan kuasanya sebagai penerus tahta Viering, Mathias bisa menjebloskan Quinn ke dalam penjara dengan tuduhan pembunuhan.

Rencana itu begitu sempurna! Sayangnya, Mathias tidak berani. Maka Simona terpaksa mengubah rencananya.

Ketika melihat Eleanor akhirnya masuk ke arena perburuan, Simona melihat adanya kesempatan untuk membunuh gadis itu. Dengan tidak mudahnya kesempatan itu tiba. Sialnya, nasib baik gadis itu menyelamatkannya.

Simona geram. Apa dasar Mathias mengatakan dua orang itu tidak akan muncul di pesta rakyat hari ini?

Simona tidak tuli. Dari jauh-jauh hari ia sudah mendengar Raja Quinn akan menghadiri pesta rakyat di Pittler bersama istrinya. Ini adalah kesempatan bagus untuk menghabisi mereka! Di antara kerumunan orang banyak, siapa yang dapat melihat orang yang membunuh Eleanor? Siapa yang dapat melihat kemunculan anak panah ke jantung Eleanor?

Walau Mathias tidak mau membantunya, Simona masih bisa melaksanakan rencananya. Todd sudah mencari orang-orang untuk membantunya menjalankan rencananya ini. Mathias tidak dapat diandalkan tetapi Todd sangat dapat diandalkan. Tidak ada ruginya Simona tidur dengannya.

Sinar terang pedang keluarga Soyoz di bawah sinar mentari menarik perhatiannya.

Simona tersenyum licik. Gadis ingusan itu boleh tertawa senang tetapi ia tetap harus sadar ia tidak lebih dari alat penghasil bayi Quinn. Eleanor bukan apa-apa dibandingkan keluarga Soyoz!

Simona meraih pedang itu.

“Apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?” seorang pelayan mencegah.

“Lepaskan tangan kotormu!” bentak Simona tidak senang, “Beraninya kau melarangku! Kau pikir siapa kau!?”

“Maafkan kelancangan saya,” terdengar jelas pelayan itu tidak sudi mengucapkannya.

“Dasar pelayan tidak berguna!” umpat Simona, “Sekali lagi kau berani membantahku, aku akan mengirimku keluar dari sini!”

Pelayan itu pergi meninggalkan Simona dengan mengomel.

“Semuanya sama saja!” Simona kesal.

Mereka semua iri padanya. Mereka tidak mau mengakui usaha kerasnya.

“Semuanya akan segera berubah,” Simona tertawa puas.



-----0-----


Eleanor tertawa geli melihat pengawal-pengawalnya yang kewalahan menerobos keramaian. Eleanor yakin mereka telah diperintahkan Quinn untuk membawanya pulang. Tetapi siapa yang saat ini mau pulang?

Dengan tidak mudahnya ia datang ke tempat ini. Eleanor tidak pernah berada dalam pesta rakyat seperti ini. Ia masih ingin menghabiskan waktu Ia tidak pernah melihat orang-orang berkumpul di suatu sisi hanya untuk mendengarkan nyanyian penyair ataupun memainkan permainan yang unik. Ia juga tidak pernah melihat pertunjukan-pertunjukan yang mereka mainkan di tepi jalan.

Ia begitu sibuk memperhatikan keramaian sehingga ia menabrak seseorang.

“Ma-maafkan saya,” Eleanor cepat-cepat meminta maaf.

“Eleanor, mengapa kau ada di sini?” Seb bertanya heran.

Eleanor kaget melihat pemuda itu. “Seb!” serunya riang, “Tak kusangka akan bertemu denganmu. Angin apa yang membawamu ke sini?”

“Aku berasal dari Pittler.”

“Benarkah!?” senyuman Eleanor kian lebar, “Itu artinya kau bisa membawaku berkeliling!”

“Tentu saja. Tapi…”

Eleanor bersorak gembira karenanya. “Ayo kita pergi,” ia menarik lengan Seb, “Cepat! Cepat!”

Seb kalah oleh Eleanor. Ia membiarkan Eleanor menariknya ke mana pun ia ingin.

“Lihat, Seb! Lihat orang itu! Apa yang dia bawa di punggungnya!” Eleanor menunjuk seorang pria yang memanggul sebuah karung besar di punggungnya. “Lihat! Lihat!” ia mengalihkan perhatiannya pada seorang pria yang mempertunjukkan keahliannya melempar beberapa pisau sekaligus ke udara.

“Eleanor, tampaknya kau benar-benar menyukai festival ini.”

“Tentu saja. Ini pertama kalinya aku datang ke festival seperti ini. Papa tidak pernah mengijinkanku keluar rumah. Ia terlalu melindungiku. Quinn juga begitu. Memangnya dia itu siapa!? Dia sama sekali tidak berhak melarangku keluar rumah.”

Eleanor menyadari amarahnya kembali membara ketika melihat ekspresi wajah Quinn berubah. “Ah, maaf,” Eleanor menyesal, “Tidak semestinya aku…”

“Tidak mengapa,” Seb memahami. “Suamimu benar-benar mencintaimu.”

“Siapa yang mengatakannya!?” lagi-lagi emosi Eleanor membara, “Dia…” Eleanor menyadari emosinya kembali membara. Otaknya berputar cepat mencari topik pembicaraan lain.

“Lihat, Seb,” Eleanor menarik pemuda itu ke kerumunan di depan, “Apa yang mereka jual di sana?”

Lagi-lagi Seb kalah oleh Eleanor.

“Seb, siapakah gadis yang kaubawa itu? Apa ia adalah kekasihmu?”

Langkah mereka terhenti oleh panggilan itu.

“B-bukan,” wajah Seb merah padam. “I-ia adalah…”

Eleanor melihat orang yang barusan memanggil Seb itu. “Mrs. Brandrick!?” pekik Eleanor senang, “Mengapa Anda ada di sini?”

“Eleanor?” wanita kurus itu kaget melihat Eleanor. “Mengapa kau ada di sini?”

“Apakah Anda juga berasal dari Pittler?” Eleanor menanyai wanita tengah baya itu dengan penuh antusias.

“Benar, aku berasal dari sini,” jawabnya lalu ia mengulai pertanyaannya, “Mengapa kau ada di sini? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Apakah Vicenzo juga datang?”

“Tidak, aku datang sendirian,” mata Eleanor melirik keramaian. Hatinya tertawa puas menyadari tidak seorang pasukan Keamanan Istana terlihat.

“Baru kali ini aku melihatmu tanpa baju pelayan,” lanjut Mrs. Brandrick pula, “Darimana kau mendapatkan gaun ini?” ia menyentuh gaun coklat muda Eleanor.

Eleanor terperanjat. “I-ini pemberian Tuan Puteri,” Eleanor berbohong. Dalam hatinya ia mengumpat memarahi Quinn. Ini semua karena pemuda itu ia tidak sempat mengganti gaunnya dengan gaun yang lebih pantas.

Para prajurit itu menyeretnya dengan paksa hingga ke dalam kamarnya.

“Lepaskan aku!” Eleanor menyentakkan lengannya dengan keras begitu ia telah memasuki kamarnya.

“Maafkan kami, Paduka Ratu,” kata mereka lagi, “Kami hanya menuruti perintah.”

Eleanor sama sekali tidak mau melihat mereka.

“Kami akan berjaga-jaga di luar. Bila Anda memerlukan sesuatu, Anda bisa memanggil kami kapan saja,” mereka mengundurkan diri.

Eleanor melangkah dengan kesal ke lemari bajunya.

“Paduka, apa yang Anda lakukan?” Nicci cepat-cepat mencegahnya dengan panik.

“Aku mau mandi!” Eleanor membuka pintu lemari bajunya lebar-lebar. “Pemuda egois itu benar-benar menyebalkan! Pikirnya dia itu siapa? Jangan harap aku akan melahirkan keturunannya. Mati pun aku tidak mau.”

Nicci diam memperhatikan Eleanor membongkar isi lemari bajunya.

“Mengapa tiap hari aku harus berhubungan dengan pemuda sial itu!?” Eleanor terus menggerutu, “Benar-benar menjijikan! Aku ingin sekali mencincangnya dan membuangnya ke laut. Lihat saja! Begitu ada kesempatan aku akan melakukannya!”

Nicci lega melihat Eleanor terus membongkar isi lemari bajunya – mencari-cari gaun baru. Ia yakin majikannya saat ini ingin mandi untuk mendinginkan kepalanya yang panas. “Saya akan meminta pelayan menyiapkan air mandi Anda,” katanya mengundurkan diri.

Eleanor tidak menyahut. Ia terus menyibukkan diri dengan gaun-gaunnya. Namun ia langsung bersorak senang ketika mendengar pintu tertutup.

Eleanor tidak perlu memeriksa pintu karena ia yakin Nicci telah mengunci pintu untuk memastikan ia tidak keluar. Itu membuatnya kian marah pada Quinn. Quinn bukan saja telah merampas kebebasannya tapi juga orang yang dipercayainya.

Eleanor segera memanfaatkan waktu untuk kabur. Ia merayapi dinding luar Fyzool dari balkonnya menuju serambi lain yang dekat dengan pohon. Dari sana, ia memanjat pohon ke lantai dasar kemudian berlari ke istal kuda.

Tak seorang pun memergokinya ketika ia melarikan kuda ke Pittler. Namun Eleanor yakin Quinn akan mengirim pasukan untuk membawanya pulang dengan paksa segera setelah ia mengetahui kepergiannya ini.

Eleanor menangkap sosok-sosok yang dikenalinya dengan baik di dalam lautan manusia.

Para pasukan Keamanan Istana itu terperanjat menyadari Eleanor tengah tersenyum penuh kepuasan kepada mereka.

“Paduka Ratu…,” desah mereka kehabisan kata-kata.

Beberapa saat lalu mereka sempat panik melihat Eleanor ditarik seorang pemuda. Mereka pasti sudah membongkar penyamaran mereka bila Pedro tidak segera mencegah.

“Tunggu dulu,” katanya, “Pemuda itu tidak berbahaya. Ia adalah teman Ratu. Lihatlah.”

Mereka memahami perkataan Pedro ketika melihat Eleanor berbicara dengan gembira kepada pemuda itu.

“Sekarang aku mengerti mengapa Paduka sangat mencemaskan Paduka Ratu,” seorang prajurit melihat Eleanor yang sekarang sudah dikelilingi orang-orang.

“Paduka Ratu memang seorang gadis yang menawan,” prajurit yang lain sependapat.

“Sekarang aku juga mengerti mengapa Grand Duke memilihnya,” prajurit lain berkomentar melihat Eleanor sudah membaur dengan rakyat.

Pedro tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Ia juga satu di antara orang-orang yang sempat menyangsikan keputusan Grand Duke. Namun setelah beberapa hari mengawal Eleanor ke Loudline, ia memahami keputusan Grand Duke tersebut.

“Untuk saat ini sebaiknya kita mengawasi Paduka Ratu dari kejauhan,” kata Pedro, “Aku yakin beliau tidak akan senang bila kita berada di sekitarnya.”

“Aku sependapat denganmu,” kata yang lain.

“Apa yang sedang kaulihat, Eleanor?” Seb memecah perhatian Eleanor.

“Tidak ada.”

“Di mana suamimu?” tanya Mrs. Brandrick, “Tak kusangka ia mengijinkanmu keluar sendirian.”

“Benar. Ia tampaknya tidak suka kau berteman dengan kami,” kata yang lain.

Eleanor hanya tertawa. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada mereka.

“Ia tidak punya alasan melarangku. Hari ini aku tidak punya tugas,” katanya.

Ya, Quinn telah membatalkan semua kegiatannya hari ini. Eleanor yakin pemuda itu akan membatalkan semua kegiatannya dan mengurungnya di dalam kamar hingga ia melahirkan keturunannya.

“Untuk kau bisa hamil,” jari-jari Quinn menyentuh bibirnya, “Kita harus melakukan lebih dari ini.”

Wajah Eleanor merah padam teringat akan cumbuan Quinn di suatu malam.

“Eleanor, apa yang kaulakukan?” Seb menghentikan langkahnya, “Kami tidak akan menantimu.”

“Tunggu aku,” Eleanor segera mengikuti mereka.

Seseorang menarik tangan Eleanor dan tangan yang lain membungkam mulutnya.

Eleanor terkejut. Ia berusaha melepaskan diri dari tarikan kuat itu. Matanya melihat kepergian Seb dan Mrs. Brandrick beserta kawan-kawannya dengan panik. Ia berteriak memanggil pemuda itu namun kain yang menutupi mulutnya, meredam suaranya. Eleanor memberontak tetapi kesadarannya yang kian kabur tidak mengijinkannya.

Ketika membuka matanya kembali, Simona sudah berdiri di depannya dengan senyum puas. Di sisinya, berdiri pria yang dilihat Eleanor bersamanya di kota, Todd.

“Bagaimana rasanya, gadis ingusan?”

Eleanor sadar tangannya terikat erat di belakang punggungnya. Kakinya pun terikat erat dan sebuah kain menutupi mulutnya.

“Aku sudah lama menanti saat ini.”

Mata Eleanor melotot tajam. Mulutnya menuntut penjelasan namun yang keluar hanyalah gerangan-gerangan tidak jelas.

“Apa?” Simona mendekatkan telinganya, “Apa katamu? Aku tidak mengerti bahasa monyet.” Dan ia tertawa geli.

Eleanor mengangkat kakinya menghantam kaki Simona.

Simona menjerit kesakitan. “KAU!!!” ia menghunuskan pedangnya.

“Simona!” Todd menahan, “Sabar. Jangan terburu-buru! Apa gunanya kita membawanya ke sini kalau bukan untuk menikmati kematiannya.”

Simona menurunkan pedangnya.

Eleanor berusaha sekuat tenaga memuntahkan kain yang menyumpal mulutnya.

Simona membungkukkan badan. “Katakan bagian mana yang harus kuambil dulu,” ia membelai wajah Eleanor dengan ujung pedangnya yang tajam, “Wajahmu yang cantik ini atau,” ia melihat bibir Eleanor, “Mulutmu yang tajam ini.”

Eleanor meludahkan kain di mulutnya ke wajah Simona.

Simona murka. “Aku akan membunuhmu!”

“Berhenti, Simona!” Todd menahan wanita itu tepat sebelum ia menusukkan pedangnya di perut Eleanor.

“Aku akan membunuh gadis ingusan ini! Aku akan menghancurkan siapa pun yang menghinaku.”

“Kau memang patut mendapatkannya.” Eleanor memutar otak untuk mengulur waktu sementara ia berusaha melepaskan ikatan di tangannya.

“Apa yang kau mengerti, gadis ingusan!? Apa yang kalian orang kaya mengerti!?” Simona membentak histeris, “Kalian hanya mengerti menertawakan orang miskin. Kalian tidak peduli pada orang-orang di sekitar kalian. Yang kalian mengerti hanyalah bagaimana mengumpulkan kejayaan. Kalian sama sekali tidak mengerti usahaku untuk mencapai kejayaan. Kalian hanya bisa menertawakanku, memandang rendah padaku!”

“Kaulah yang tidak mengerti,” Eleanor memberitahu, “Kau tidak mengerti bagaimana menjadi seorang bangsawan. Selamanya kau tidak pantas!”

“DIAM!!!” Simona menerjang Eleanor.

Eleanor cukup siaga untuk menghindar. Ia memanfaatkan waktu yang sangat singkat itu untuk memotong ikatan tali di tangannya dengan pedang Simona yang tertancap di sisinya.

“Semua sama saja! Semua sama!”

Eleanor tertegun melihat air mata Simona menetes.

“Apa kau mengerti bagaimana rasanya diusir dari satu tempat ke tempat lain? Apa kau tahu bagaimana memohon bantuan orang lain? Apa kau pernah merasakan hari-hari tanpa makanan? Tidak ada seorang pun yang peduli pada kami. Tidak seorang pun mau membantu orang tuaku. Mereka hanya bisa mengusirnya. Mereka bahkan membiarkan jasadnya membusuk di pinggir jalan. Sekarang aku telah menjadi seorang Duchess tetapi semua orang tetap saja memandang rendah padaku. Kaya miskin semua sama saja! Tidak ada yang mengerti usaha kerasku. Setiap orang hanya bisa iri padaku!”

Tiba-tiba Eleanor merasa kasihan pada Simona. Ia memahami segala tindakan Simona yang begitu sombong pada bangsawan-bangsawan yang lain. Namun ia tidak memahami penyebab di balik semua ini.

“Engkau tidak mengerti,” Eleanor bersimpati, “Tindakanmu sendirilah yang menyebabkan semua ini!”

“Ini semua karena kau! Kalau kau tidak ada maka aku akan menjadi Ratu!”

“Jadi itukah rencanamu sekarang? Setelah menjadi Duchess, engkau ingin menjadi Ratu.”

“Benar,” Simona menegaskan, “Aku tidak akan membiarkan seorang pun menghalangiku!”

Eleanor tetap berpura-pura tangannya terikat erat. Matanya melihat sosok besar Todd di belakang Simona. Eleanor sadar ia bisa menjatuhkan Simona tetapi ia tidak yakin ia bisa menjatuhkan pria besar itu. Sekarang ia hanya berharap pria itu segera meninggalkan mereka.

“Aku benar-benar kasihan padamu,” Eleanor mengejek Simona, “Kau telah dikuasai oleh ambisimu.”

“Tutup mulutmu!” Simona menampar Eleanor. “Engkau memang tidak mengerti aturan, bukan? Engkau memang seorang monyet!”

“Setidaknya aku masih seorang Ratu,” Eleanor puas oleh kenyataan.

“Tidak lagi. Engkau tidak lagi menjadi seorang Ratu. Aku akan memancing Quinn keluar dan setelah itu aku akan menghabisi kalian berdua.”

Eleanor terperanjat, “Engkau benar-benar gila.”

“Katakan apa yang kausuka,” Simona tertawa.

Eleanor memperhatikan wanita itu tertawa histeris. Ia sungguh kasihan pada Simona. Sebenarnya ia adalah seorang wanita yang cantik namun ambisi telah mengubahkan menjadi seorang iblis.

Tidak! Tidak ini tidak benar! Ia tidak punya waktu berbelaskasihan. Ia harus mencari cara meninggalkan tempat ini. Ia harus memperingati Quinn. Mereka tidak boleh menyentuh Quinn.

“Todd! Todd!”

Terdengar suara seseorang memanggil di luar.

Todd meninggalkan kedua wanita itu.

“Bukannya sudah kukatakan jangan tinggalkan tempat itu!” Todd membentak. “Apa kau tidak mendengar perintahku!”

Tidak terdengar suara apa pun.

“Kau memang tidak berguna!” Todd mengumpat.

Sesaat kemudian pria besar itu masuk kembali.

Dari balik tubuh Simona, Eleanor melihat seorang pria lain berdiri di depan pintu rumah kecil ini.

Todd membisikkan sesuatu di telinga Simona.

Eleanor ingin tahu apakah yang dikatakan pria itu pada Simona hingga Simona terlihat begitu murka.

“Aku akan memeriksa keadaan. Tetaplah di sini,” Todd berpesan, “Aku akan segera kembali.”

Todd pergi bersama pria yang terus menanti di depan rumah.

Inilah kesempatannya! Eleanor harus mencari cara untuk menjatuhkan Simona. Sekarang tangannya terbebas tapi kakinya tidak. Selain itu Simona memegang pedang. Andaikan saja ia bisa merebut pedang itu…

“Dasar pria tidak berguna! Kalian sama saja!” Simona pun beranjak pergi.

Tidak! Ia tidak ada waktu lagi! Eleanor menerjang Simona.

Simona jatuh terjerembab di bawah Eleanor.

Eleanor menggunakan tangannya yang bebas untuk merebut pedang di tangan Simona.

“Apa yang kaulakukan!?” Simona mendorong Eleanor menjauh dengan kakinya.

Eleanor terlempar ke dinding. Ia mengerang kesakitan.

“Engkau memang mencari mati!” Simona mengangkat pedangnya tinggi-tinggi.

Eleanor kaget. Ia tidak punya kesempatan untuk menghindar. Teriakan kesakitannya melepas begitu saja ketika pedang itu menusuk perutnya.

Eleanor menahan pedang itu dengan tangan kosong dan dengan seluruh kekuatannya melemparkan kakinya ke perut Simona.

Simona jatuh kesakitan.

Sekali lagi jeritan kesakitannya melompat ketika ia menarik pedang di perutnya. Eleanor tidak membuang waktu untuk melepas ikatan tali di kakinya. Kemudian sekuat tenaganya, ia menghantamkan pangkal pedang ke perut Simona untuk membuatnya pingsan. Telapak tangannya yang berdarah terasa semakin perih ketika ia memegang pangkal pedang itu erat-erat.

Eleanor berjalan tertatih-tatih ke pintu belakang yang terbuka.

“Simona! Simona!”

Eleanor terkejut.

“Simona, apa yang terjadi?”

Eleanor sadar ia tidak punya banyak waktu. Ia harus segera menjauhi gubuk ini.

“Gadis itu kabur! Cepat kejar gadis itu!”

“Gadis itu pasti tidak jauh!”

“Ikuti jejak darah gadis sial itu!” perintah Simona.

“Jejak apa yang harus kuikuti? Di luar hujan deras.”

“Sial!” umpat Simona, “Mengapa di saat seperti ini harus turun hujan!?”

Eleanor berlari ke dalam hutan. Ia tidak berani membuang waktu dengan memastikan keberadaan pengejarnya. Ia tidak berani membuang waktu untuk merasa kesakitan. Saat ini ia hanya punya waktu untuk berlari secepat mungkin, sejauh mungkin dari para penyekapnya.

Kaki Eleanor tersangkut sesuatu. Tanpa bisa dihindari lagi, Eleanor jatuh tersungkur.

Eleanor meringis kesakitan menahan perutnya yang menghantam tanah tak rata itu.

Eleanor menancapkan pedang di tanah dan berusaha untuk bangkit. Belum sampai sedetik ia berlutut, ia jatuh tersungkur kembali.

Eleanor lelah. Seluruh tenaganya sudah habis untuk menahan sakitnya.

Eleanor menoleh ke belakang sekali lagi.

Hujan lebat yang tiba-tiba membasahi bumi membuat Eleanor tidak dapat melihat kejauhan dengan jelas. Ia juga tidak dapat mendengar tapak kaki dalam deru hujan yang mengguyur bumi itu.

Eleanor melihat sekitar – mencari tempat yang aman untuk berhenti sejenak.

Matanya melihat sebuah lubang di sebatang pohon besar yang tua.

Sekali lagi Eleanor berusaha bangkit dengan bantuan pedang yang ditancapkannya jauh ke dalam perut bumi. Dengan tertatih-tatih Eleanor berjalan ke lubang itu sambil memegangi perutnya yang terus mengeluarkan darah.

Eleanor merasa seluruh tenaganya sudah hilang. Ia langsung menyandarkan diri di dalam lubang itu dan beristirahat.

Ia sudah tidak kuat lagi.

Pandangannya mengabur. Kepalanya pening. Sakit yang menyiksa di perutnya sudah tak terasa lagi. Darah merah yang terus mengalir keluar tanpa dapat dihentikan membuatnya merasa kian lemah.

Eleanor melihat angkasa asal hujan itu dan berharap seseorang akan menemukannya.

Tetapi… siapakah itu?

Terlintas wajah berang Quinn pagi ini.

Eleanor tersenyum sedih.

Pemuda itu mungkin tidak akan mencarinya. Apalah artinya ia selain pion pentingnya untuk menghentikan langkah Mathias menuju tahta?

Pemuda itu tidak akan tertarik untuk menemukannya. Ia adalah satu-satunya makhluk yang paling tidak disukainya di bumi ini. Ia adalah pelacur kelas atas yang tidak ingin disimpannya di dalam istananya yang agung dan suci.

Eleanor mencibir mengingatnya.

Pemuda itu mengira siapakah dirinya?

Benar ia adalah orang yang paling berkuasa di Viering. Benar ia adalah Yang Mulia Paduka Raja Kerajaan Viering. Benar ia adalah suaminya.

Tetapi apakah haknya untuk mengatur dirinya?

Tiba-tiba saja Eleanor menyesal. Andai saja pagi ini ia tidak bersikeras sekarang ia sedang menikmati kenyamanan istana. Andai saja ia mengalah pada Quinn, ia tidak akan berada dalam hujan lebat, kedinginan dan kesakitan seperti ini. Andai saja ia tidak mendengar kemurkaannya sendiri, ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Tetapi semua itu hanyalah andai.

Andai…

Telinga Eleanor menangkap suara asing. Seketika ia menggenggam pedangnya erat-erat dan bersiaga.

Sesuatu melompat mendekat.

Eleanor langsung menghunuskan pedangnya.

Seekor katak menatapnya lalu ia meloncat menjauh.

Eleanor menghela nafas lega dan menurunkan pedangnya.

Otak bawah sadarnya mengingatkannya akan kemungkinan kemunculan para penculiknya.

Eleanor tahu ia tidak bisa berdiam diri di sini.

Ia kembali bertumpu pada pedangnya dan berusaha berdiri. Dengan tertatih-tatih, Eleanor melanjutkan perjalanan panjangnya.

Eleanor tidak tahu ke mana ia harus melangkah. Ia tidak tahu sekarang ia berada di mana. Ia tidak mengenal tempat ini. Ia hanya tahu ia harus melangkah maju menjauhi rumah kecil itu.

Eleanor membiarkan kakinya melangkah. Belum jauh ia meninggalkan lubang itu ketika ia kembali terjatuh.

Eleanor tidak mencoba berusaha untuk berdiri. Ia sudah terlalu lelah untuk berjalan. Ia terlalu lelah untuk menggerakkan tubuhnya. Ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk berpikir. Ia juga tidak mempunyai tenaga lagi untuk merasakan sakit di perutnya yang robek.

Di saat seperti ini Eleanor benar-benar mengharapkan Quinn muncul dengan wajah garangnya.

Eleanor tidak pernah menyukai Quinn. Ia membenci pemuda itu! Tetapi di saat seperti ini ia benar-benar mengharapkan wajah garang Quinn. Quinn memang suka mengejeknya tetapi setidaknya pemuda itu tidak pernah benar-benar menyakitinya.

Pemuda yang sombong itu memperlakukannya dengan baik. Mulutnya memang kasar tetapi sikapnya sangat terjaga.

Pemuda pemarah itu menghormati pernikahan mereka. Ia tidak pernah lagi bermain-main dengan wanita lain semenjak pernikahan mereka. Ia benar-benar menghormatinya.

Pemuda itu kasar, pemarah, suka memandang rendah orang lain, suka mengejek orang lain, dan suka membangkitkan kemarahan orang lain. Tetapi ia juga seorang yang tahu diri, sopan, dan kadang lembut.

Eleanor tertawa geli.

Memang benar apa kata orang. Setiap orang barulah menyadari betapa berharganya hidupnya ketika ia akan mati. Ketika kematian menjelang barulah orang menyadari betapa pentingnya orang-orang di sekitarnya. Ketika ajal di depan mata itulah orang baru menyesal.

Demikian pula Eleanor. Satu-satunya hal yang disesali Eleanor adalah pertengkarannya dengan Quinn pagi ini. Eleanor tidak pernah berbaikan dengan Quinn untuk setiap pertengkaran-pertengkaran mereka dan itulah yang membuatnya semakin sedih.

“Maafkan aku, Quinn,” bisik Eleanor lirih sambil berharap Quinn ada di sisinya untuk mendengarnya.

Eleanor tidak dapat mengumpulkan konsentrasinya untuk mendengar suara langkah kaki di kejauhan. Bahkan ia sudah tidak dapat lagi mendengar deru hujan di sekitarnya.

Pandangan Eleanor semakin mengabur.

Eleanor sudah tidak peduli lagi. Ia sudah tidak peduli lagi bila mereka menemukannya. Ia sudah berusaha untuk bertahan. Ia telah bertahan hingga titik darah penghabisannya.

Biarlah Simona menemukannya. Biarlah para penculiknya itu menangkapnya kembali. Eleanor sudah tidak peduli semuanya lagi karena ia tahu ketika itu ia sudah tidak ada lagi di dunia ini.



*****Lanjut ke chapter 25

No comments:

Post a Comment