Tuesday, December 18, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 23

“Jangan pergi jauh-jauh dariku!”

Eleanor mengacuhkan tajam pemuda itu. Ia sudah tidak dapat lagi menggambarkan kebenciannya pada pemuda egois satu ini.


Pagi ini dengan seenaknya sendiri, Quinn melarangnya berkuda bersama mereka.

Quinn salah bila ia pikir Eleanor tidak tahu tentang tradisi berburu keluarga kerajaan di musim gugur ini. Ayahnya memang tidak pernah mengikuti kegiatan ini semenjak ibunya meninggal dan ia sendiri tidak pernah ikut. Namun Grand Duke beserta putra-putrinya selalu mengikutinya setiap tahun. Dari merekalah Eleanor sering mendengar cerita tentang kebiasaan Raja Alvaro ini.

Tua muda, laki perempuan, kaya miskin boleh mengikuti kegiatan berburu yang selalu diadakan di musim pertengahan musim gugur, di Pittler, daerah perbukitan yang hanya terletak 10 mil dari Fyzool. Perburuan ini hanya diadakan sehari. Pagi hari rombongan kerajaan akan berangkat dari Viering. Sementara itu rombongan lain telah menanti di Pittler.

Eleanor juga tahu. Tua muda, laki perempuan semuanya menunggang kuda ke Pittler. Ratu Esther pun tidak pernah naik kereta. Ia berkuda di sisi Raja Alvaro hanya dengan dikawal pasukan pengawal Istana.

Hari ini mengapa ia harus ditawan di dalam kereta bersama dua wanita bangsawan yang terus berkicau tiada henti!??

Sekarang mereka sudah tiba di Pittler tetapi Quinn tetap tidak mengijinkannya berkeliaran seperti yang lain. Ia tetap dilarang berkuda! Apa gunanya ia memakai baju berkudanya kalau ia hanya boleh duduk-duduk di bawah pohon sambil bersenda gurau bersama wanita-wanita bangsawan yang berhasil dikumpulkan Quinn. Quinn juga menempatkan setengah lusin prajurit di sekitarnya!

Ketika Eleanor memprotesnya, Quinn mengacuhkannya.

Eleanor marah. Ia tidak terima! Mengapa ia harus diperlakukan seperti seorang tahanan!?? Ia bukan kriminal!!

“Ia pasti takut kau berbuat onar,” komentar Derrick mendengar pertengkaran mereka, “Bukankah ini adalah keahlianmu?”

Benar, ini adalah satu-satunya kegiatan di mana ia bisa mengekspresikan jiwanya dengan bebas. Ia memang lebih suka berburu daripada berdiam diri di Fyzool! Tetapi untuk apa Quinn mengajaknya pergi kalau ia hanya boleh menonton? Lebih baik Quinn membiarkannya berdiam diri dalam Istana daripada menahannya seperti saat ini. Bukankah Quinn selalu mempunyai alasan bila ia kabur dari tugas-tugas kerajaannya?

Kalau memang itu yang ditakutkan Quinn, Eleanor akan membuktikan kepada pemuda egois itu siapa Eleanor. Akan Eleanor tunjukkan ia bukan gadis-gadisnya. Eleanor adalah Eleanor! Eleanor tidak bisa dibandingkan dengan Nicole, mantan kekasihnya ataupun Simona, sang Duchess baru. Kalau Quinn memang takut Eleanor mempermalukan dirinya sendiri di depan dua wanita itu, akan ia tunjukkan Eleanor bukan orang yang tolol!

Dengan berbekal keyakinan itu, Eleanor sengaja mendekati Quinn yang ditempeli Nicole sejak pagi.

“Maafkan ketidaksopanan saya menganggu Anda berdua,” Eleanor menarik perhatian keduanya.

“Ada apa?” Quinn tidak suka dengan ide Eleanor mencari pertengkaran lagi. Sejak pagi ini Eleanor terus memancing pertengkaran tanpa henti dan ia sudah sangat lelah dibuatnya.

“Yang Mulia,” Eleanor berkata dengan suara lembutnya, “Bila Anda berkenan, saya ingin mengundurkan diri.”

Nada lemah lembut itu langsung membuat Quinn waspada. Sesaat lalu Eleanor masih memasang muka masamnya. Sedetik lalu Eleanor masih membentaknya.

“Mengapa? Apa engkau sudah bosan?”

“Tidak, Yang Mulia. Saya menyukai perburuan ini. Hanya saja matahari semakin tinggi. Saya tidak tahan panas ini. Bila Anda berkenan, saya ingin berteduh di dalam kereta.”

Mengertilah Quinn apa yang sedang dimainkan Eleanor. “Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu, Yang Mulia. Saya tidak ingin menganggu kesibukan Anda. Biarlah prajurit mengawal saya,” Eleanor menatap Nicole, “Sungguh tidak sopan meninggalkan kawan akrab Anda di tengah pembicaraan kalian yang sedang hangat-hangatnya.” Eleanor tersenyum, “Silakan kalian melanjutkan pembicaraan kalian.” Dan ia mengundurkan diri.

“Maafkan aku, Nicole,” Quinn mengikuti Eleanor.

Hari ini sudah cukup Eleanor membuatnya semakin lelah dengan bantahannya yang tiada habisnya. Semalam ia memang menyepelekan peringatan Eleanor. Namun setelah kepergian Eleanor dan setelah kemarahannya yang tidak berarti, sirna, Quinn berpikir dengan jernih.

Eleanor bukan seorang penggosip. Sejujurnya, baru kemarin malam Quinn mendengar Eleanor membicarakan orang lain. Quinn yakin Eleanor tidak mungkin mengatakannya bila bukan karena suatu alasan yang berarti.

Maka Quinn pun memanggil Pedro. Darinya, Quinn tahu mengapa Eleanor pulang terlambat. Dari Pedro pula ia tahu Simona muncul di Loudline bersama seorang pria tak dikenal. Pedro tidak tahu mengapa seharian itu Eleanor terus bersikap seperti seorang pemburu yang sedang mencari buruannya. Quinn tahu mengapa. Quinn yakin Eleanor pasti telah melihat keduanya sebelum Pedro. Eleanor pasti telah mengetahui sesuatu tentang mereka berdua.

Semalam Quinn tidak bisa tidur nyenyak dibuatnya. Ia khawatir Simona memang merencanakan sesuatu terhadap Eleanor. Ia takut Simona merencanakan sesuatu di perburuan hari ini.

Quinn telah melakukan segala yang terpikir olehnya untuk melindungi Eleanor. Demi keselamatan Eleanor, Quinn rela membuang rencananya untuk menggembirakan gadis itu. Tetapi gadis itu…

Quinn benar-benar dibuat kesal oleh pemberontakan Eleanor. Semalam Eleanor memperingatinya akan pasangan Binkley. Hari ini gadis itu melupakannya! Gadis satu ini memang benar-benar bisa mencari pekerjaan untuknya!

Eleanor salah kalau dia pikir Quinn percaya Eleanor sudah melupakan kecurigaannya pada Simona.

Quinn menangkap tangan Eleanor dan menggandengnya, “Aku akan mengantarmu.”

“Tidak perlu, Yang Mulia,” Eleanor menolak lembut, “Tidak baik meninggalkan kawan Anda seperti ini. Bila Anda mengkhawatirkan saya, saya bisa berteduh di bawah pohon besar dalam jangkauan mata Anda.”

Yakin sudah Quinn akan permainan Eleanor. Eleanor cukup membuatnya lelah dengan bantahannya. Quinn tidak dapat membiarkan gadis itu semakin memecahkan kepalanya dengan pemberontakannya yang paling ditakutinya ini!

Quinn membawa Eleanor ke bawah pohon terdekat. “Katakan,” ia mengurung Eleanor di batang pohon, “Apa yang sedang kaurencanakan?”

“Apa yang Anda katakan, Yang Mulia?” Eleanor tidak mengerti, “Anda membuat saya bingung.”

“Kau akan membuat kepalaku pecah sebelum kau bingung,” Quinn memperingati. “Hentikan permainanmu ini sebelum aku benar-benar marah.”

“Maafkan saya, Yang Mulia,” Eleanor mengaku salah, “Saya tidak pernah ingin membuat Anda marah. Bila Anda tidak ingin saya meninggalkan tempat ini, saya akan berdiam diri di tepian seperti keinginan Anda.”

Quinn menatap lekat-lekat wajah lembut itu dan menjatuhkan kepalanya di pundak Eleanor. “Kau benar-benar membuatku lelah,” desahnya.

Eleanor hanya memasang wajah bingung.

Quinn menatap Eleanor lekat-lekat, “Kalau kau memang sedemikian inginnya ikut berburu, aku tidak akan mencegahmu lagi.”

Hati Eleanor bersorak mendengarnya namun wajahnya tetap tenang.

Memang itulah yang dikatakan Quinn. Namun… “Selalu dan selalu ada tetapi”, gerutu Eleanor. Quinn melarangnya pergi lebih dari satu meter dari sisinya. Quinn bahkan tidak segan-segan mengambil alih tali kendali kuda Eleanor bila dirasanya Eleanor akan menjauhkan diri.

Apa gunanya ia mengijinkannya berkuda kalau ia tidak diperbolehkan mengendalikan kudanya sendiri!?

“Sudah kukatakan jangan menjauh dariku!” Quinn menarik tali kendali kuda Eleanor dengan tidak senang.

Eleanor membuang muka. Saat itulah ia baru menyadari sekelompok wanita tengah membicarakan mereka. Jarak mereka memang jauh tetapi dari arah pandangan mereka, Eleanor tahu ia pasti telah menjadi topik pembicaraan mereka. Eleanor tidak terlalu memusingkan pembicaraan mereka. Sejak tahu ia akan dinikahkan dengan Quinn, Eleanor mulai terbiasa menjadi pusat pembicaraan.

Kali ini pun Eleanor tidak mempedulikan mereka. Quinn sendiri tidak peduli. Untuk apa ia harus membantu Quinn menciptakan sosok seorang istri yang manis dan penurut? Toh pernikahan ini murni hanya untuk memberi keturunan padanya.

Eleanor tertegun. Berbicara tentang Simona, sejak tadi ia tidak melihat wanita itu. Eleanor yakin ia melihat Simona bersama Duke Mathias ketika mereka tiba. Sekarang ia tidak melihat keduanya. Simona tidak mungkin melewatkan kesempatan ini untuk menunjukkan kekuasaannya sebagai istri penerus tahta Viering.

“AWAS! MINGGIR!!!”

Eleanor menoleh.

Seekor kuda melesat dengan cepat ke arahnya. Sebelum Eleanor sempat bertindak, kuda yang ditumpanginya meringkik keras karena kaget. Kedua kaki depannya terangkat tinggi-tinggi – melempar Eleanor yang tidak siap.

Eleanor mendengar jeritan panik di sekitarnya dan sesaat kemudian ia sudah berada di gendongan Quinn.

Hanya Tuhan yang tahu apa yang telah terjadi dalam waktu singkat itu.

Hanya nasib baik Eleanor yang membuatnya terlempar ke arah Quinn.

Hanya keberuntungan yang membuat Quinn dapat menangkap tubuh Eleanor.

Quinn memeluk Eleanor erat-erat. Jantungnya berdebar kencang. Ia tidak menyangka ia sungguh dibuat kaget oleh gadis ini. Hanya akal sehatlah yang membuatnya mengambil tindakan cepat untuk menangkap tubuh Eleanor.

Sedetik lalu ia benar-benar takut kehilangan Eleanor. Ia tidak tahu sejak kapan gadis ini menjadi bagian hidupnya yang penting. Dari awal pernikahan mereka, Quinn tahu Eleanor penting untuknya. Sekarang ia baru menyadari Eleanor lebih penting dari yang ia pikirkan. Eleanor bukan lagi hanya sekedar alat untuk melahirkan keturunannya.

Eleanor adalah hidupnya! Ia mencintai gadis liar ini! Ia mencintainya dengan cinta yang tidak pernah dirasakannya pada gadis mana pun. Ia mencintai Eleanor dengan segenap jiwanya!

Quinn mempererat pelukannya. Tubuhnya masih bergetar oleh kepanikan. Jiwanya masih dipenuhi oleh ketakutan akan kehilangan Eleanor.

Eleanor bingung. Pikirannya masih kosong. Tangan-tangan kekar Quinn yang mendekapnya dengan erat, membuat kesadarannya pulih perlahan-lahan.

“Anda tidak apa-apa, Paduka Ratu?”

Pertanyaan itu membuat Eleanor benar-benar pulih dari kekagetannya sendiri. Eleanor memalingkan kepala melihat orang yang mengajukan pertanyaan itu.

Quinn masih tidak rela melepaskan Eleanor. Quinn masih ingin merasakan kehangatan Eleanor di pelukannya – meyakinkan diri Eleanor masih ada di sisinya. Eleanor berada dalam pelukannya. Eleanor baik-baik saja.

Grand Duke Bernard melihat pasangan itu dengan wajah pucat pasinya. “Apakah Anda baik-baik saja?” ia mengulangi pertanyaannya dengan cemas.

Di belakangnya, Eleanor melihat orang-orang yang menatapnya dengan pucat pasi.

“Aku tidak apa-apa,” Eleanor tersenyum, “Keberuntungan masih menyertaiku.”

Quinn tidak suka mendengarnya. “Semua ini tidak akan terjadi kalau kau duduk diam seperti perintahku!”

Eleanor melotot tajam – siap menyerang balik.

Demi kebingungan Eleanor, Quinn mendesah, “Sudahlah. Aku tidak sedang ingin bertengkar denganmu.” Lalu ia melihat Derrick yang berada tepat di belakang Grand Duke. “Derrick, kemarilah.”

Derrick menurut.

“Temani Eleanor,” demi kekagetan Eleanor, Quinn mengangkatnya seperti mengangkat anak kecil dan meletakkannya di depan pelana kuda Derrick. “Aku yakin ia masih kaget.” Lalu dengan sinar matanya yang lembut ia berkata pada Eleanor, “Kali ini aku ingin kau menurutiku.”

Suara lembut itu membuat Eleanor tidak sanggup berkata apa-apa.

“Eleanor,” Irina mendekat dan menggenggam tangan Eleanor.

Eleanor kaget merasakan getaran hebat di tangan Irina.

“Kau tidak apa-apa?”

Sekarang barulah Eleanor sadar betapa pucatnya wajah kedua kakak angkatnya ini.

“Jangan khawatir, Irina,” Eleanor menggenggam tangan wanita itu. “Aku baik-baik saja,” katanya menenangkan.

“Jancer,” Quinn memanggil kepala pengawal istananya, “Aku perlu bicara denganmu.”

Melihat sikap tegang Quinn, Bernard sadar ini bukan hanya sekedar ketidaksengajaan. Ia segera mengikuti Quinn dan Jancer.

Tampaknya bukan hanya Bernard yang merasakannya, setiap orang di tempat itu juga melihat keseriusannya masalah ini. Setiap orang menghentikan kegiatan mereka. Bahkan pria pemilik kuda yang menjadi akar kecelakaan ini segera menemui Eleanor.

Eleanor sudah duduk di bawah pohon besar bersama Irina yang terus memegang erat tangannya. Derrick duduk di sisi Irina sementara itu beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar mereka.

Getaran di tangan Irina sama sekali tidak berkurang. Wajahnya juga masih putih pucat.

“Paduka Ratu.”

Eleanor melihat pria itu melepas topinya. Tangannya mencengkeram topinya erat-erat. Wajahnya menunjukkan kekhawatirannya dan rasa bersalahnya yang mendalam. Bibirnya bergetar hebat tidak sanggup membuka suara. Matanya basah oleh air mata kepanikan.

“Ada apa?” Eleanor bertanya lembut.

“Maafkan hamba,” pria itu berjenggot lebat itu tiba-tiba berlutut di hadapan Eleanor. “Maafkan kecerobohan hamba!”

Eleanor melepaskan tangan Irina dan duduk di depan pria itu. Ia mengenali pria itu. Ialah orang yang memperingatinya akan kedatangan kuda liar itu.

“Aku tidak menyalahkanmu,” Eleanor meletakkan tangan di pundak pria itu.

Pria itu tertegun melihat senyum lembut Eleanor.

“Kita hanya bisa memahami kuda tetapi kita tetap tidak tahu apa yang dipikirkannya,” Eleanor menghibur, “Mungkin sesuatu menganggunya sehingga ia tiba-tiba menjadi liar.”

Di kejauhan Quinn tersenyum melihat Eleanor. Inilah salah satu sifat Eleanor yang membuatnya dengan cepat dicintai penduduk Loudline.

“Aku ingin kau menyelidiki masalah ini. Aku tidak percaya ini murni kecelakaan,” Quinn menegaskan. Sejak awal perburuan, ia terus mengawasi Eleanor dan tindak tanduk Simona. Baru ketika Nicole mengajaknya, ia kehilangan jejak Simona. Ia tidak melihat wanita itu setelahnya. Sekarang barulah ia melihat wanita itu di antara kerumunan orang-orang yang mencemaskan Eleanor. Tindak-tanduknya sepanjang hari ini cukup membuatnya mencurigai wanita itu.

“Perburuan ini cukup sampai di sini.” Quinn tidak sanggup lagi bertahan dalam kepenatan ini. Sekarang bukan hanya jiwanya yang lelah. Pikirannya juga telah menggerogoti fisiknya.

“Saya akan memberitahu orang-orang,” Duke Bernard bergegas melakukan tugasnya.

“Jancer,” kata Quinn sepeninggal Duke, “Kirim orang terbaikmu mengawasi Arsten.”

Jancer terkejut mendengar perintah itu. Ia ingin bertanya lebih jauh tetapi demi kepenatan yang tidak pernah dilihatnya di wajah pemuda itu, ia berkata “Hamba mengerti, Paduka.”

Sekarang tinggal satu tugas Quinn – membujuk Eleanor!

“Pekerjaan ini tidak akan mudah,” gumam Quinn melangkah ke tempat Eleanor yang sekarang sudah dengan akrabnya bercakap-cakap dengan pria itu.

Baru saja Quinn berpikir seperti itu ketika Eleanor berseru kaget, “APA!!?”

“Papa mengatakan Paduka Raja membubarkan perburuan ini,” Derrick mengulangi kabar yang baru didengarnya, “Ia ingin kalian segera kembali ke Fyzool.”

Eleanor kesal. Ia baru saja diperbolehkan menunggang kudanya sendiri. Ia baru saja menikmati perburuan ini.

“Tindakan Raja Quinn tepat,” Irina membela, “Sebaiknya kau segera kembali ke Istana.”

Eleanor tidak terima. Ia tidak bisa hanya duduk diam melihat Quinn dengan seenaknya memerintahkan semua orang berkemas.

“Eleanor, mau ke mana kau?” Irina bertanya panik.

Eleanor menjawabnya dengan terus mendekati Quinn.

Melihat Eleanor mendekat dengan wajah tidak sukanya, Quinn tahu gadis itu sudah mendengar perintahnya.

“Quinn, apa maksud semua ini!?” Eleanor menuntut.

“Jangan memulai!” Quinn memperingati dengan tajam.

“Siapa yang akan memulainya?” Eleanor menatap tajam pria itu.

“Kau selalu memulai perdebatan kita.”

“Apakah kau tidak pernah?” balas Eleanor, “Kau juga sering memulainya.”

“Kau…,” Quinn mendesah.

“APA!?” Eleanor membusungkan dada sambil bersila pinggang.

Quinn maju selangkah. Tangan kanannya meraih tangan Eleanor sementara tangan kirinya melingkari pinggang Eleanor.

Eleanor terkejut. “Mau apa,” mulutnya dibungkam oleh Quinn.

Eleanor membelalak.

Quinn menikmati sinar kemarahan di mata Eleanor itu dan ia tidak menghentikan ciuman lembutnya.

Eleanor tergoda. Cara Quinn menciumnya membuyarkan kemarahannya. Sentuhan lembut bibir Quinn membuatnya terlena.

“Begini lebih baik,” Quinn menjauhkan bibinya.

Eleanor melihat sinar kepuasan di sepasang mata kelabu itu dan kemarahannya bangkit kembali.

“Sekarang kita bisa berkemas pulang,” Quinn memberitahu orang-orang yang terperangah itu.

Eleanor terkejut. Tiba-tiba ia menyadari Quinn telah menciumnya di depan orang-orang itu! Wajah Eleanor memerah padam.

“Kau seperti udang rebus.”

Eleanor tidak suka ejekan itu. Ia melihat Quinn – siap untuk melontarkan kemarahannya.

Quinn tersenyum lembut padanya!

Eleanor terperangah.

Sekali lagi Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya. “Kau benar-benar membiusku,” ia berbisik di telinga Eleanor.

Eleanor terperangah. Ia terbius oleh sepasang mata lembut itu. Ia terlena oleh kata-kata lembut itu.

“Sayangnya, kau belum cukup berpengalaman,” Quinn mencium bibir Eleanor.

Quinn melepaskan Eleanor dan tertawa.

Eleanor terperanjat. Tiba-tiba ia menyadari Quinn tengah mempermainkannya.

“Kau…” geram Eleanor lalu ia berseru, “Aku membencimu!”

Tawa Quinn langsung berhenti.

“Aku membencimu!” Eleanor mengulangi dengan kesal.

Quinn menatap tajam gadis itu.

“Aku membencimu! Membencimu! Membencimu! Membencimu!” Eleanor terus mengulangi kata-katanya.

Quinn mendekati Eleanor. Ia tampak sangat berbahaya dengan wajah garangnya.

Eleanor tidak takut. “Aku membencimu! Sangat membencimu!” katanya tegas sambil membusungkan dada.

“Kusarankan kau untuk menarik kata-katamu itu,” Quinn berkata berbahaya.

“Aku membencimu,” Eleanor mengulangi dengan riang.

“Kau!” Quinn menerjang Eleanor.

Eleanor terkejut. Ia tidak siap menerima tubuh Quinn.

Quinn juga tidak kalah terkejutnya. Tangan kirinya dengan cepat memeluk Eleanor dan tangan kanannya melindungi kepala Eleanor dari benturan.

Mereka terjatuh dengan keras.

“Kau tidak apa-apa?” Quinn bertanya cemas.

Eleanor menganggukkan kepala sambil menahan sakit.

“Syukurlah,” Quinn lega.

Eleanor menatap Quinn. Jarak di antara mereka begitu dekat. Eleanor dapat merasakan hembusan nafas Quinn di wajahnya. Ia dapat merasakan detak jantung Quinn yang teratur di kedua tangannya yang membatasi tubuh mereka. Jantung Eleanor berdebar kencang.

Quinn menatap Eleanor lekat-lekat. Wajahnya mendekat.

Eleanor memejamkan matanya.

“Paduka!”

Mereka melompat menjauh. Wajah keduanya memerah.

Prajurit itu merasa bersalah. “M-maaf menganggu,” ia berjalan mundur.

“Ada apa?” tanya Quinn yang lebih dulu menguasai diri.

“Kami sudah selesai berkemas,” lapor prajurit itu, “Kami siap menanti perintah Anda.”

“Kita pulang saat ini juga,” Quinn memberikan perintahnya.

“Baik,” prajurit itu memberi hormat kemudian pergi.

Quinn berdiri dan mengulurkan tangan pada Eleanor. “Kita tidak punya waktu bermain-main.”

Eleanor menerima uluran tangan itu. Jantungnya masih berdebar-debar dengan kencang.



-----0-----


“Aku tahu aku tidak boleh meninggalkan Fyzool. Setidaknya aku bisa pergi ke Hall!”

“Paduka Raja meminta saya mencegah Anda pergi ke bawah,” Nicci berkata dengan hati-hati.

“Apa mau pria sial itu!?” Eleanor marah, “Mengapa ia tidak sekalian mengurungku di kamar!?”

“Semula itulah yang diinginkan Paduka,” penjelasan Nicci membuat mata Eleanor melebar, “Namun saya memohon padanya untuk membiarkan Anda meninggalkan kamar.”

Bara api kemarahan Eleanor berkobar kian ganas.

Sejak kemarin Quinn memperlakukannya seperti tawanan. Kemarin ia memaksanya pulang walau mereka telah berencana menginap di Pittler. Kemarin pula ia berjanji hari ini mereka akan pergi lagi ke Pittler untuk menghadiri pesta rakyat di Pittler. Namun pagi ini…

Ya, pagi ini ia mengirim utusan untuk memberitahunya semua kegiatannya hari ini dibatalkan. Yang lebih keterlaluan, hari ini Quinn melarangnya meninggalkan gedung Fyzool. Ia bahkan tidak memperbolehkannya pergi ke lantai dasar Istana. Untuk memastikan ia menuruti segala perintahnya, Quinn menempatkan lebih selusin pengawal di sisinya.

Eleanor lelah diperlakukan seperti kriminal kelas atas!

Tak peduli ke mana pun kakinya melangkah, lusinan pengawal itu mengikutinya! Tak peduli ke mana kakinya berbelok, Nicci akan selalu bertanya, “Anda akan pergi ke mana, Paduka Ratu?”

Eleanor murka! Sudah cukup perlakuan ini!

“Paduka Ratu, Anda mau ke mana?” Nicci menahan Eleanor.

“Aku akan membuat perhitungan dengan pria egois itu!” Eleanor melepaskan diri dari Nicci. “Aku menuntut penjelasan darinya!!” Dan tanpa menghiraukan cegahan Nicci, Eleanor berlari ke Ruang Kerja Quinn. Eleanor yakin pemuda itu ada di sana.

“Paduka Ratu, Anda tidak boleh meninggalkan lantai ini!” Nicci berlari mengejar. Dengan panik ia berkata pada pasukan yang kebingungan, “Cepat hentikan Paduka Ratu!”

Mereka langsung bergerak.

“Paduka!”

“Paduka Ratu, jangan meninggalkan tempat ini.”

“Paduka!” prajurit pengawal Eleanor beserta Nicci mengejar gadis itu.


-----0-----


“Seperti yang Anda duga, Paduka,” Jancer melaporkan hasil penyelidikannya, “Kejadian kemarin bukan murni kecelakaan. Sang pemilik kuda mengatakan ia tengah beristirahat ketika kudanya tiba-tiba menjadi liar. Ketika kami memeriksa kuda tersebut, kami mendapati luka baru di tubuhnya. Tampaknya ada seseorang yang sengaja melukainya.”

Duke Bernard terperanjat mendengar penjelasan itu.

Sementara itu Quinn terus mendengarkan kelanjutan laporan Jancer dengan serius.

“Kemarin mata-mata kami melihat Duchess Pittler menemui seorang pria di Dristol.”

Tepat seperti yang pernah dikatakan Eleanor.

“Mereka tidak mendengar pembicaraan Duchess namun mereka berhasil mengetahui siapa pria yang ditemui Duchess. Pria itu adalah kriminal yang paling ditakuti di Loudline.”

“Paduka, ini…,” Duke Bernard tidak dapat mengutarakan kekagetannya.

Quinn memilih untuk tidak berkomentar. “Terus awasi mereka,” katanya. “Dan perketat penjagaan Eleanor.”

Duke melihat Quinn dengan menekan segala pertanyaan di hatinya.

“Paduka, maafkan kelancangan saya,” Jancer mengajukan pendapat, “Anda memusatkan pengawalan pada Paduka Ratu namun tidakkah lebih baik bila penjagaan Anda juga diperketat?”

Quinn terkejut. Sejak kemarin ia hanya memikirkan keselamatan Eleanor. Sedikit pun tidak terlintas dalam benaknya mungkin sasaran mereka adalah dirinya bukan Eleanor.

“Lakukan apa yang kuperintah,” Quinn memilih untuk melindungi Eleanor daripada mementingkan keselamatannya sendiri.

“Baik, Paduka” Jancer pun mengundurkan diri.

Jancer baru saja akan membuka pintu ketika seseorang membuka pintu dengan kasar.

“QUINN!” Eleanor melangkah dengan api kemarahannya yang membara. “Aku butuh penjelasanmu!”

“Apa yang kaulakukan di sini!?” api kemarahan Quinn pun turut membara.

“Katakan apa maksud semua ini!” Eleanor menuntut. “Apa maksudmu memperlakukan aku seperti tahanan!!?”

“Apa yang kau lakukan di sini!?” Quinn mengulangi pertanyaannya dengan nada tinggi. “Beraninya kau meninggalkan kamarmu!” Lalu matanya menatap tajam orang-orang yang memasuki ruangan beberapa saat kemudian. “Apa yang kalian lakukan!? Apa kalian sudah melupakan tugas kalian!!?”

“Ma-maafkan kami, Paduka,” Nicci langsung berlutut diikuti pengawal-pengawal Eleanor, “Kami sudah berusaha mencegah Paduka Ratu.”

Quinn kesal pada dirinya sendiri. Mengapa ia melupakan kekeraskepalaan Eleanor? Seharusnya ia sudah tahu seluruh prajurit Viering tidak akan dapat menahan gadis satu ini. Eleanor adalah orang pertama yang akan memprotes keputusannya. Tetapi demi keselamatan Eleanor, Quinn sanggup menanggung kekesalan Eleanor. Quinn memilih dibenci Eleanor daripada kehilangan Eleanor.

“Demi keselamatan kita, pertemuan pagi ini terpaksa dibatalkan,” Quinn menjelaskan dengan tenang.

“Tetapi,” bantah Eleanor, “Mereka telah merencanakan pertemuan ini sejak lama. Mereka bahkan terus menerus meminta kesediaan kita sejak awal bulan ini.”

“Mata-mataku menangkap kegiatan mencurigakan di Arsten.”

“Itu adalah gosip,” lalu Eleanor menekankan, “Katamu.”

Quinn membelalak. Matanya menatap tajam gadis itu seolah-olah ingin mencabik-cabiknya menjadi serpihan-serpihan kecil.

Eleanor tidak gentar. “Katakan saja sejujurnya padaku bila kau tidak tertarik pergi ke sana. Aku tetap akan pergi ke sana walau tanpamu.”

“KAU TIDAK AKAN PERGI KE MANA PUN HARI INI!” Quinn menggebrak meja.

Semua terperanjat.

Eleanor menantang kemurkaan Quinn itu. “Kita sudah berjanji pada mereka. Apakah kau ingin kau mengingkari aku juga janjiku!? Apakah kau mau mengatakan seorang Ratu diijinkan untuk mengingkari janjinya pada rakyat?”

“Cukup, Eleanor!” Quinn geram. “Hari ini aku tidak mau mendengar bantahanmu.”

“Kau tidak bisa melarangku!” Eleanor menegaskan, “Aku mempunyai tangan dan kaki. Aku bisa menggerakkannya semauku tanpa menunggu ijinmu!”

Quinn kehabisan kata-katanya.

Eleanor tidak menanti lebih lama lagi untuk sambutan Quinn.

“Kau tidak akan meninggalkan Istana hari ini!” Quinn berseru murka ketika Eleanor melangkah ke pintu. “Tahan dia!”

“Kau tidak bisa melarangku!” Eleanor berseru keras kepala.

“Apalagi yang kalian tunggu, tahan dia!” Quinn berseru murka pula melihat pengawal-pengawal Eleanor hanya berdiri kebingungan. “Apa kalian lupa apa tugas kalian!!?”

“B-baik, Paduka,” para prajurit itu gugup. “Maafkan saya, Paduka Ratu,” dua dia antara mereka mencekal tangan Eleanor.

Mata Eleanor membelalak lebar kepada dua prajurit yang memegang tangan kanan dan kirinya itu. “Lepaskan aku!” ia memberontak.

“Bawa dia ke kamarnya!” Quinn menurunkan perintah, “Tanpa seijinku, ia tidak boleh meninggalkan kamar.”

“Kau tidak akan melakukan itu!” Eleanor terperanjat.

“Apa kalian tidak mendengar perintahku!!” Quinn murka melihat para prajurit itu tetap tidak bergerak.

“Kau tidak bisa mengurungku!” Eleanor berseru marah, “Aku bukan tawananmu! Engkau egois, Quinn. Kau pengecut! Jangan kau kira aku mau melahirkan keturunanmu.”

“Tutup mulutmu, Eleanor!” bentak Quinn, “Aku tidak mau mendengar apapun!” lalu kepada para pengawal Eleanor, ia berkata keras, “Bawa dia pergi! Jangan sampai aku melihatnya lagi!”

“B-baik, Paduka,” para prajurit itu menyadari keseriusan perkataan Quinn.

“Dan kau, Nicci,” Quinn beralih pada wanita yang gemetar ketakutan itu, “Jaga dia baik-baik. Jangan sampai ia berani melangkahkan kaki keluar kamarnya.”

“Saya mengerti, Paduka.”

Mereka tidak membuang waktu untuk membawa Eleanor meninggalkan ruangan itu.

“Lepaskan aku! Lepaskan!”

Berontakan kemarahan Eleanor terdengar nyaring ketika mereka membawa paksa Eleanor kembali ke kamarnya.

Ketika seruan-seruan itu menghilang, tidak seorang pun berani membuka suara. Bahkan Jancer, yang semua berniat meninggalkan ruangan itu tidak berani bergerak. Mereka memperhatikan Quinn namun tidak seorang pun yang berani menatap langsung sepasang mata yang berkobar penuh kemarahan itu.

Sepuluh menit belum berlalu ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekat dengan tergesa-gesa.

Bernard melihat bara di mata Quinn kian membara ketika seorang prajurit muncul dengan wajah pucat diiringi Nicci, pelayan pribadi Eleanor.

Mereka segera berlutut di depan Quinn yang masih belum bergerak semenjak kepergian Eleanor.

“M-maafkan kami, Paduka,” terdengar suara ketakutan prajurit itu, “P-pa-paduka Ratu… bbbeliau…”

Semua langsung sadar sesuatu telah terjadi pada Paduka Ratu mereka.

Tidak seorang pun berani bergerak dalam suasana sunyi yang menegangkan itu. Semuanya berusaha menghindari pandangan murka Quinn.

“E…lea…nor…!” tangan Quinn terkepal erat.

Prajurit itu tidak berani melanjutkan kata-katanya. Ia menunduk dalam-dalam.

“Apa yang kau tunggu?” akhirnya Quinn mengeluarkan suara, “Cepat kawal Eleanor.”

Nicci tertegun. “Paduka, apakah…,” Nicci tidak berani melanjutkan pertanyaannya.

“Apa lagi yang kalian tunggu!!!?” Quinn kesal, “Eleanor tidak akan menunggu kalian!”

“B-baik, Paduka,” mereka langsung berbalik.

“Tunggu!” Quinn menghentikan langkah mereka.

Para prajurit itu melihat Quinn dengan bingung.

“Lepas seragam kalian sebelum berangkat!” kata Quinn.

“Baik, Paduka,” para prajurit itu menerima perintah Quinn dan langsung bergegas mengejar Eleanor.

Quinn duduk kembali di kursinya dan mendesah panjang. Ia benar-benar dibuat lelah oleh Eleanor.

Eleanor memang bukan lawan yang mudah dihadapi. Ia membutuhkan lebih dari satu kepala untuk memikirkan Eleanor. Ia membutuhkan lebih dari sepuluh badan untuk menghentikan gadis liar itu. Tetapi itulah yang menarik perhatiannya, bukan?

Grand Duke tertegun melihat Quinn yang seperti pria kelaparan yang baru pulang dari perang besar. Ia tidak pernah melihat pemuda ini seperti ini. Sesulit apa pun masalah yang dihadapinya, seletih apa pun kerjanya, ia tidak pernah melihat pemuda ini tidak bertenaga seperti ini. Tampaknya Quinn sangat serius dalam mencegah Mathias naik tahta.



*****Lanjut ke chapter 24

1 comment:

  1. waah semakin seru.. selalu suka dengan karya2 strella.. salam kenal mb, akubr dpt link blog ini.. selama ini bc karya mb di blog chusniati..

    ReplyDelete