Monday, December 17, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 22

Eleanor mendesah panjang.

Nicci cemas melihat ratunya. Beberapa hari terakhir ini, Eleanor banyak duduk melamun seperti ini. Biasanya, setiap tidak ada kegiatan, selalu ada saja keributan yang dibuat Eleanor namun belakangan ini ia hanya mendesah panjang.


Nicci curiga. Apakah perubahan tingkah laku Eleanor ini disebabkan oleh kehidupan lain dalam dirinya. Bukankah sikap seorang wanita selama hamil sedikit banyak dipengaruhi oleh janin dalam kandungannya?

Bagaimana Nicci mengetahuinya? Tentu saja karena gosip itu. Gosip akan kehamilan Eleanor sudah sampai ke Istana bahkan Nicci sering menjadi incaran orang-orang yang ingin tahu. Namun, apa yang dapat dikatakan Nicci tentang gosip itu? Ia tidak mengetahui kebenarannya. Ia juga tidak berani memastikannya.

Pernah Nicci menyinggung masalah itu. Wajah Eleanor langsung merah padam sebagai jawabannya. Melihat kepanikan Eleanor saat itu, Nicci meragukan kebenaran gosip itu. Tapi kalau melihat sikap Eleanor yang seperti ini…

Lady Irina juga pernah datang ke Istana hanya untuk memastikan gosip itu. Namun, seperti apa yang didapat Nicci, wajah Eleanor merah padam! Melihat kepanikan Eleanor, Irina pun memutuskan untuk tidak terus mendesak gadis itu.

Raja Quinn, di sisi lain, selalu tertawa setiap kali ada yang menyinggung masalah kehamilan Eleanor. Ia tidak membenarkan juga tidak menyangkal gosip itu.

Keduanya benar-benar tidak membantu menjernihkan gosip ini! Kalau memang benar Eleanor hamil, mengapa Eleanor selalu panik setiap kali ditanya? Kalau Eleanor tidak hamil, mengapa Quinn selalu tertawa riang setiap kali ditanya? Kalau Eleanor memang benar hamil, mengapa hingga detik ini tidak ada pengumuman resmi dari pihak Fyzool?

Lawrence, sang dokter yang diajak Quinn berbicara di Corogeanu pun tidak luput dari gosip itu. Orang-orang terus membanjiri rumahnya hanya untuk memastikan kebenaran gosip itu. Namun, tentu saja, Lawrence tidak dapat membantu.

Tiadanya kepastian dari pihak manapun membuat setiap orang terus berspekulasi dengan kabar kehamilan Eleanor ini.

“Apa yang sedang kaulamunkan, istriku?” Quinn melingkarkan tangan di pinggang Eleanor.

Eleanor terperanjat. Ia membalikkan badan.

Senyuman Quinn menabuh genderang jantung Eleanor. “Tampaknya aku benar-benar mengejutkanmu. Ini tidak baik untuk bayimu.”

“K…kau…,” Eleanor kehilangan kata-katanya.

Wajah bersemu itu menggoda Quinn untuk menjatuhkan ciuman.

Mata Eleanor membelalak lebar ketika mulut mereka bertemu.

Quinn tersenyum lembut.

Eleanor memalingkan kepala. Tangannya menutupi wajahnya yang panas. Ketika Quinn menarik punggungnya merapat ke dadanya, barulah Eleanor menyadari sejak tadi tangan Quinn tidak beranjak dari pinggangnya.

Keduanya sama sekali tidak menyadari pasangan-pasangan mata yang terpusat pada mereka. Sebagai pemeran utama gosip yang paling hangat di Viering saat ini, setiap tindakan mereka memancing perhatian setiap mata. Sekarang, di koridor Istana yang ramai, keduanya berpelukan dengan mesra. Setidaknya itulah yang dilihat orang lain.

“Dengarlah aku, Eleanor,” bisik Quinn.

Suara lembut Quinn ketika menyebut namanya, menabuh genderang jantung Eleanor.

“Aku ingin kau mengucapkan selamat tinggal pada kawanmu di Loudline.”

Eleanor langsung melepaskan diri dari pelukan Quinn. Matanya menuntut penjelasan Quinn.

“Apakah kau lupa besok kita akan berangkat ke Pittler?” Quinn bertanya, “Atau mungkin kau lebih senang bertemu dengan pemuda itu daripada pergi berburu denganku?”

“T-tidak,” sergah Eleanor, “Tentu saja aku mau pergi denganmu.”

“Reaksimu tidak mengatakannya,” Quinn tidak sependapat, “Jangan katakan padaku kau lupa.”

“Wajar saja kalau aku lupa,” Eleanor tidak senang dengan pertengkaran yang dipancing Quinn, “Orang gila mana yang mau pergi berburu ketika hewan-hewan bersiap-siap tidur selama musim dingin!?”

“Kau tidak mengerti. Justru inilah letak tantangannya. Mengapa?” Quinn mencondongkan tubuhnya, “Apakah kau tidak punya kepercayaan diri untuk mengungguliku?”

Wajah yang terlalu dekat itu membuat mata Eleanor tidak bisa menghindarkan tatapannya dari bibir yang sanggup meluluhkannya. Eleanor segera mengalihkan pandangannya dan ia kembali mengutuki dirinya sendiri. Sepasang mata kelabu Quinn menyedot pandangannya seperti gua gelap tak berujung. Eleanor mengatupkan tangannya di dadanya – siap menangkap jantungnya yang siap melompat sewaktu-waktu.

“Jadi, sayangku?”

Nada gembira dalam suara itu menyadarkan Eleanor akan permainan Quinn.

“Aku tidak akan kalah darimu! Lihat saja!”

Quinn tersenyum puas. “Aku tidak sabar melihat penampilanmu besok.”

Eleanor kesal. Ia marah! Mengapa setiap saat ia baru menyadari permainan Quinn ketika pemuda itu sudah puas!? Ia tidak akan membiarkan pemuda itu tahu belakangan ini ia terus memikirkannya!? Eleanor tidak akan membiarkan Quinn menertawakannya karena itu!!

“Mau ke mana kau?” Quinn menarik tangan Eleanor.

“Aku mau mencari Seb!”

“Jangan pergi terlalu lama,” pesan Quinn.

“Aku tidak akan kembali sampai besok!” Eleanor pergi dengan kesal.

Quinn tertawa. Ia tahu Eleanor sedang marah padanya. Inilah Eleanornya. Eleanor salah kalau ia pikir Quinn tidak tahu hobi barunya akhir-akhir ini.

Perubahan Eleanor terlalu mencolok hingga penghuni baru Fyzool pun tahu ada yang salah pada Eleanor. Bagi tiap orang, Eleanor berubah karena bayi dalam kandungannya. Namun bagi Quinn, Eleanor berubah karena ia kecewa pada kenyataan ia tidak benar-benar hamil.

Andaikan saja Eleanor tahu betapa Quinn menginginkan kehamilannya…

Hari-hari belakangan ini Quinn menghindari pertemuan dengan Eleanor di saat tiada orang lain di sekitar mereka. Quinn tidak mau kehilangan akal sehatnya lagi seperti malam itu. Quinn tidak berani menjamin di saat lain ia dapat mengendalikan tindakannya seperti saat itu.

Hari-hari belakangan ini Quinn menyadari ia tidak menginginkan kehamilan Eleanor hanya karena tuntutan awal pernikahan ini. Quinn tidak mau Eleanor hamil hanya karena tugasnya sebagai seorang Ratu. Quinn menginginkan keturunan yang benar-benar diinginkan mereka berdua!

Melihat Eleanor yang menjauh dengan membawa kemarahannya, Quinn ragu keinginannya itu dapat segera terlaksana.

Tidak mengapa. Quinn tidak terburu-buru. Mereka masih muda. Mereka masih perlu membina hubungan sebelum kehadiran anak mereka. Sekarang yang harus segera ia laksanakan adalah mempersiapkan perburuan mereka – tradisi warisan ayahnya.

Quinn pun mengundurkan diri dari tempat itu.



-----0-----


Eleanor masih kesal ketika ia sudah tiba di Loudline.

“Pria itu. Lihat saja! Akan kutunjukkan padanya siapa Eleanor! Ia pikir ia bisa mempermainkanku sesuka hatinya!!”

Pedro hanya bisa diam mendengarkan omelan Eleanor. Sejak hari pertama ia mengawal sang Ratu ke Loudline, ia terus mendengar omelan Eleanor tentang suaminya itu. Sekarang ia mulai terbiasa dengannya.

Pedro tidak mengerti bagaimana ia harus menggambarkan hubungan kedua insan ini. Di saat mereka berbicara, Pedro dapat merasakan keintiman di antara mereka. Namun, ketika bersama Eleanor seperti saat ini, Pedro merasa Quinn adalah musuh bebuyutan Eleanor. Entah bagaimana Eleanor di mana Quinn.

Eleanor menghentikan langkah kaki kudanya dengan tiba-tiba.

Pedro terperanjat. Ia juga segera menghentikan kudanya. Ketika ia melihat Eleanor, gadis itu sudah turun dari kudanya.

“P-Nona, apa yang Anda lakukan?” tanyanya panik. Baik Quinn, Eleanor hingga Jancer sudah memperingatinya untuk tidak menyebut gelar gadis itu. Namun Pedro masih tidak sanggup bersandiwara.

“Jangan berisik,” Eleanor menegaskan dengan tidak senang. “Tunggu aku di sini,” katanya kemudian menghilang dalam keramaian.

Pedro tertegun. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia diperintah untuk mengawal Eleanor selama sang Ratu berada di Loudline. Ia diperintah untuk tidak membocorkan identitas gadis itu. Ia diperintah untuk tidak meninggalkan sisi Eleanor. Namun sekarang, untuk pertama kalinya sejak ia menerima tugas ini, Eleanor menghilang dari pandangannya.

Pedro membawa kuda-kuda mereka ke tepi jalan dan menanti Eleanor.

Apa pun yang dilakukan Eleanor, gadis itu bukan bertindak tanpa berpikir. Inilah yang saat ini dipercaya Pedro.

Selama beberapa hari mengawal Eleanor di Loudline, Pedro melihat sosok lain sang Ratu yang anggun dan liar. Pedro tertegun di hari pertama Eleanor menyapa pedagang-pedagang Loudline dengan akrab. Ia tidak dapat berkomentar melihat sang wanita nomor satu di kerajaan ini bersenda gurau dengan rakyat biasa. Gadis itu menjadi idola di Loudline. Tua muda menyukainya. Pria wanita menyayanginya.

Pedro adalah satu di antara sekian banyak orang yang meragukan keputusan sang Grand Duke Bernard. Namun, setelah melihat sendiri pemandangan ini, Pedro sadar Duke memilih Ratu Viering bukan tanpa pertimbangan.

Raja Quinn juga tentu sudah mengetahui hal ini sehingga ia membiarkan istrinya berkeliaran di Loudline hanya dikawal oleh seorang pria yang tengah memasuki masa setengah abadnya.

Baru saja Pedro berpikir seperti itu ketika Eleanor muncul di antara keramaian.

“Ke mana saja Anda, Pa,” tatapan tajam Eleanor membuatnya menutup suara.

“Aku hanya melihat seorang kenalanku,” Eleanor menerangkan, “Namun aku kehilangan jejaknya.”

“Kenalan Anda!?” Pedro kaget, “Apakah ia melihat Anda? Apakah ia…”

“Jangan khawatir,” Eleanor menenangkan, “Aku tidak seceroboh itu. Aku tahu tidak seorang pun boleh melihatku di sini.”

Pedro lega mendengarnya.

Baru saja Pedro merasa seperti itu ketika Eleanor berkata, “Tunggu aku di sini,” sambil berlari ke seberang jalan.

Pedro terpaku. Ia benar-benar tidak tahu apa yang sedang dilakukan Eleanor.

Demikian pula Eleanor. Ia tidak tahu apa yang tengah dilakukannya.

Eleanor bukanlah tipe yang suka campur tangan dalam urusan orang lain. Ia juga tidak suka mengintai tingkah laku orang lain. Namun beberapa saat lalu ketika melihat Simona memasuki Dristol, insting Eleanor mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Simona sudah menjadi Duchess of Pittler. Ia adalah istri orang nomor satu dalam urutan tahta Kerajaan Viering. Mengapa ia masih mengunjungi Dristol? Dan mengapa pula ia harus bersikap sembunyi-sembunyi seperti itu?

Eleanor semakin tidak mengerti ketika melihat Simona menggandeng seorang pria bertubuh besar. Cara Simona menggandeng pria itu membuat Eleanor yakin hubungan di antara mereka tidaklah semurni yang terlihat.

Eleanor baru memutuskan akan meminta tolong sumber gosip terbesarnya, Seb, ketika ia kembali melihat keduanya menuju lorong ke pemukiman kumuh. Namun lagi-lagi Eleanor kehilangan jejak.

Eleanor menyusuri lorong itu. Matanya terus memperhatikan sekelilingnya – mencari sosok seorang wanita berambut merah dan seorang pria bertubuh besar.

“Apa yang kau lakukan di sini?” seseorang menepuk pundak Eleanor.

Eleanor terperanjat.

Seb bingung melihat reaksi Eleanor. “Apa aku mengagetkanmu?”

“T-tidak,” Eleanor cepat-cepat menghilangkan kekagetannya. Sesaat lalu ia sempat mengira keduanya menyadari ia tengah mengikuti mereka.

“Apa yang kaulakukan di sini?”tanya Seb, “Sebaiknya engkau tidak pergi ke tempat ini seorang diri.” Seb lalu memperhatikan sekeliling Eleanor dengan heran, “Di mana penjagamu itu?”

Eleanor tersenyum. Ia tahu siapa yang dikatakan Seb.

Di hari pertama Pedro datang ke Loudline bersamanya, Eleanor mengenalkan Pedro sebagai teman sekerjanya yang oleh Earl Hielfinberg ditugaskan untuk membantunya berbelanja kebutuhan rumah tangga Hielfinberg. Sebagai reaksi atas penjelasannya, Seb berkomentar, “Pasti suamimu yang melakukannya. Ia pasti cemburu padaku sehingga mengatur orang untuk mengawasimu.”

Eleanor sempat was-was dengan komentar itu.

“Ia pasti bukan sekedar pelayan.”

“Apa maksudmu?”

“Kau tidak perlu menutupinya dariku, Eleanor. Melihatnya saja aku sudah yakin ia pasti ketua pelayan-pelayan Earl Hielfinberg. Earl pasti sangat mempercayainya sehingga ia mendengar permintaannya.”

Eleanor lega. Namun di sisi lain ia berharap Quinn tidak akan mengikutinya ke Loudline lagi.

Quinn terlalu berwibawa untuk menjadi rakyat biasa. Auranya sebagai seorang raja terlalu kental.

Hari itu saat ia menjemputnya, sikap Quinn terlalu mencurigakan sebagai seorang pelayan. Kebiasaannya memberi perintah sama sekali tidak bisa dihilangkannya walau Eleanor terus mengomelinya sepanjang hari. Harga dirinya yang tinggi juga membuat pagar pembatas yang jelas antara dia, sang raja dengan mereka, sang rakyat biasa.

Hari itu Eleanor dibuat sadar Quinn adalah seorang raja dan ia hanyalah seorang gadis biasa. Ia memang dilahirkan dalam lingkungan bangsawan, sebagai putri Earl of Hielfinberg, namun hatinya dibesarkan dalam lingkungan rakyat biasa.

“Aku meninggalkannya.”

“Meninggalkannya?” Seb tak percaya. Sejak kemunculan pria tua itu, Eleanor selalu bersama pria tua itu. Pria tua itu sama sekali tidak mau meninggalkan sisi Eleanor walau hanya sejenak!

“Aku punya pertanyaan untukmu,” Eleanor mengalihkan pikiran pemuda itu.


-----0-----



Simona melihat sekelilingnya dengan tidak senang. “Dasar orang rendahan!” gerutunya ketika seorang pria kumuh terhuyung-huyung menabraknya. Matanya melirik orang-orang yang di matanya tidak berkelas sedang berpesta pora dengan minuman keras rendahan mereka.

“Ini adalah tempat yang aman untuk berbicara,” Todd menyadari kejijikan Simona akan suasana di sekitarnya dan ia menekankan, “Seperti keinginanmu.”

Simona benar-benar tidak menyukai cara pria itu memperlakukannya. Mereka memang pernah mempunyai hubungan serius. Namun sekarang ia tidak lagi sederajat dengannya. Ia adalah seorang Duchess and ia tetap seorang pria kumuh tak berkelas.

“Bir?” Todd menawarkan segelas penuh minuman.

“Jangan menghabiskan waktuku!” Simona menepis kasar lalu ia berkata serius, “Aku mau kau melakukan sesuatu untukku.”

“Menarik,” kata Todd menegak minumannya, “Apa yang diminta Duchess of Binkley dari seorang perampok seperti aku?”

“Bunuh Eleanor!”

Todd terperanjat.

“Kumpulkan orang,” kata Simona serius. “Bunuh Eleanor!”

Todd tertawa. “Ternyata Duchess of Binkley masih seorang Simona.”

“Kau salah, Todd. Sekarang aku bukan Simona yang dulu. Aku tidak akan membiarkan orang lain menertawakan aku lagi! Semua orang sama saja! Mereka tidak mengerti bagaimana sulitnya hidup ini.”

Simona tidak akan membiarkan orang lain terus meremehkannya. Sejak kecil, tidak seorang pun menerimanya. Karena ia berasal dari luar Coaber, setiap orang memandangnya sebelah mata. Ketika orang tuanya meninggal pun tidak ada yang peduli padanya. Mereka terus meremehkannya. Sekarang ketika ia berhasil mendapatkan posisi yang mantap, semua orang kembali memandang rendah padanya. Memangnya apa artinya darah biru? Para bangsawan itu tidak lebih baik darinya. Mereka juga pernah membunuh. Mereka juga pernah mencuri. Mereka bersikap anggun seakan-akan mereka adalah makhluk mulia. Hanya karena ia melakukan pekerjaan kotor itu dengan tangannya sendiri, tidak berarti mereka bisa menghinanya!

Ia telah berjuang dengan tangannya sendiri untuk mencapai posisinya saat ini. ia tidak akan berhenti. Ia akan terus berjuang hingga puncak!

“Mereka harus tahu siapa Simona!” Simona menegaskan.

Setelah ia menjadi seorang Ratu, tidak akan ada yang berani menghinanya lagi. Saat itu ia akan membunuh semua orang yang berani menjelekkannya. Tidak akan ada lagi orang yang berani merendahkannya ketika Mathias tidak berada di sisinya. Saat ini mereka bisa menghina, mengejeknya bahkan merendahkannya ketika Mathias tidak ada di sisinya. Namun, ketika ia sudah menjadi seorang Ratu Viering, mereka tidak akan berani lagi.

“Apa kau pikir akan semudah itu?”

“Tentu saja tidak. Apa kau pikir aku tidak tahu? Quinn tidak pernah mengijinkan gadis itu keluar Istana. Pengawalan gadis itu juga ketat. Setiap saat selalu ada prajurit yang mengawal gadis ingusan itu”

“Menarik,” kata Todd, “Aku sudah lama ingin mencicipi para pasukan pengawal kerajaan.”

“Kumpulkan orang-orang kepercayaanmu,” Simona puas, “Kita harus mencari kesempatan untuk membunuh Eleanor. Kalau perlu kita pancing dia keluar dan habisi!”

“Bayarannya?” tanya Todd.

Simona bingung.

“Apa yang bisa kau berikan sebagai bayarannya?” Todd menantang, “Ini bukan pekerjaan mudah. Salah sedikit saja bisa kehilangan nyawa.”

“Apa yang kau minta?” Simona balas menantang.

“Tidak sulit,” Todd memegang dagu Simona, “Yang kuminta tidaklah sulit.” Ia mendekatkan wajahnya, “Aku ingin kau.”

“Kau memang bajingan,” desis Simona.

Todd tertawa. “Inilah yang kusuka darimu. Kau selalu terus terang. Kau tidak pernah setengah-setengah dalam mencapai tujuanmu.”

Simona membenci pria ini. Dulu mereka pernah menjadi sepasang kekasih. Tetapi itu dulu.

“Baik,” Simona sepakat, “Aku terima syaratmu.”

Apa salahnya tidur bersama pria ini? Ini semua juga demi mencapai tujuannya. Ketika ia berhasil membunuh Eleanor, ia akan menyuruh orang untuk menghabisi pria ini. Tidak ada yang boleh tahu ia berada di balik rencana pembunuhan Eleanor. Ia akan menghabisi siapa pun yang berani menghalangi jalannya. Kalau perlu, ia juga akan menyusun rencana untuk menghabisi Quinn.

“Kau memang wanita yang berambisi besar,” Todd tertawa, “Aku mencintai sifatmu ini.” Dan ia bertanya serius, “Kapan kau ingin aku mengeksekusinya?”

“Kau tahu Pittler?” Simona pun berkata serius.


-----0-----



“Kau terlambat!” Quinn berkata tajam.

“Siapa bilang?” Eleanor berkata santai sambil memotong sepotong daging di piringnya, “Aku pulang lebih awal dari rencanaku.”

Siapa yang bisa langsung pulang setelah mendengar tentang pria bertubuh besar yang dilihatnya bersama Simona itu!?

Tepat seperti dugaannya, sang sumber gosip terbesarnya mengetahui siapa pria besar itu. Hanya dengan menjelaskan rupa pria itu, Seb sudah bisa mengatakan segala hal tentang pria itu.

Menurut Seb, pria yang bernama Todd itu sangat terkenal di Loudline. Ia adalah seorang perampok yang tidak segan-segan menghabisi nyawa orang lain untuk mendapatkan keinginannya. Semua penduduk di Loudline takut padanya. Tidak seorang pun berani berselisih dengannya juga dengan bawahannya yang jumlahnya sangat banyak itu.

Eleanor tidak tahu apa hubungan di Simona dan Todd. Mengingat pekerjaan Simona sebelum ia menjadi Duchess, mungkin mereka adalah teman akrab. Namun mendengar penjelasan Seb lebih lanjut, Eleanor menjadi cemas. Sebelumnya Duchess of Binkley pernah terlihat bersama Todd di sekitar Loudline. Tidak hanya itu saja. Seb pernah melihat Duke dan Duchess of Binkley pergi Dristol tak lama setelah peringatan Red Invitation.

Seharian ia mengelilingi Loudline hanya untuk mencari jejak keduanya.

Eleanor tahu cara yang paling cepat adalah bertanya pada setiap orang yang dilihatnya. Namun, siapa yang berani menjamin orang yang ditanyanya bukan bawahan Todd ataupun kenalan Simona? Karena itulah Eleanor pulang terlambat.

Quinn sudah menanti dengan wajah murkanya.

“Ke mana saja kau!?” seru Quinn – menyambut kedatangannya, “Bukankah sudah kukatakan untuk pulang awal!!? Apa kau tidak mendengarku!? Apa kau ingin diracun di sana!?”

Itulah Quinn. Di hari mereka berada di Loudline, Quinn selalu curiga setiap ada yang memberi mereka sesuatu. Puncaknya adalah ketika seorang pedagang langganan Fauston mengundang mereka untuk makan malam di rumahnya. Saat itu Quinn menolak. Namun Eleanor menerimanya dengan senang hati.

Quinn sempat memarahinya karena itu. Kata Quinn, “Bagaimana kalau makanan itu diracun? Apa kau berani menjamin kebersihannya!?”

Bagi Eleanor, Quinn memang seorang Raja. Eleanor mengabaikan Quinn dan terus masuk ke rumah sang pedagang sehingga Quinn tidak punya pilihan lain selain mengikutinya.

Quinn terlihat sangat kesal ketika mereka telah duduk di meja makan kecil itu. Ia tampak tidak tertarik melihat masakan sederhana yang disiapkan di depannya. Setelah menyicipi masakan mereka, barulah Quinn mengakui kelezatan masakan itu yang tidak kalah dari juru masak Istana. Tentu saja ketika Eleanor bertanya, Quinn tidak mengakuinya. Ia hanya menjawab, “Biasa.”

Eleanor, tentu saja, tidak bisa dibohongi oleh jawaban singkat itu. Walau demikian, pengalaman itu tidak membuat Quinn mengerti. Ia tetap tidak menyukai ide Eleanor menerima pemberian teman-temannya di Loudline. Ia tidak suka mendengar laporan Eleanor menyantap sesuatu di luar sana. Menurut Eleanor, Quinn terlalu khawatir akan keselamatannya, sang pemberi keturunan Viering.

“Kau membuatku menunggu!!” Quinn menegaskan kesalahan Eleanor.

Eleanor heran. Mengapa Quinn harus menunggunya? Kalau ia memang lapar, ia bisa makan sendiri.

“Aku tidak pernah minta kau menungguku.”

“Aku harus yakin kau tidak makan setiap makanan yang disodorkan padamu!”

Ya, tentu saja, Quinn, sang pendeta Viering, tidak mau direpotkan lagi dengan pernikahan, bukan?

Tiba-tiba Eleanor sadar. Ia harus memperingatkan Quinn akan tindakan Mathias dan Simona. Ia memang tidak punya bukti tetapi ia yakin instingnya tidak salah.

“Sebaiknya kau mewaspadai Mathias,” Eleanor memperingatkan, “Kudengar mereka merencanakan sesuatu terhadapmu.”

Alis mata Quinn terangkat. “Begitu banyakkah waktu luangmu hingga kau sempat mengurusi gosip itu?”

“Ini bukan gosip,” Eleanor menegaskan dengan kesal. “Aku mendengarnya dari sumber terpercaya.”

“Ya… ya… sumber gosipmu,” kata Quinn acuh sambil menyantap makan malamnya. “Gadis sepertimu pasti mempunyai banyak sumber gosip terpercaya.”

“Quinn!”

“Aku mengetahui Mathias lebih baik dari kau,” Quinn mengingatkan dengan nada tegasnya, “Aku tahu ia adalah seorang pengecut. Ia tidak akan berani melakukan sesuatu padaku.”

“Mathias mungkin tidak tetapi Simona mungkin. Simona adalah wanita yang ambisius. Ia akan melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya.”

Mata Quinn menatap langsung Eleanor. “Sepertimu?”

Eleanor tidak menyukai ejekan itu. Ia telah berbaik hati memperingati Quinn tetapi pria itu malah menganggapnya sedang bergosip ria.

“Terserah apa katamu!” Eleanor berdiri kesal.

“Habiskan makan malammu sebelum kau pergi,” Quinn memperingatkan.

“Aku sudah kenyang,” kata Eleanor acuh. Dengan tenangnya, ia melangkah ke pintu.

Eleanor tahu Quinn sangat tidak menyukai seseorang meninggalkan ruang makan sebelum ia menghabiskan makanan di piringnya tetapi ia sudah tidak tertarik untuk menemani Quinn lagi. Pria itu telah membuang selera makannya jauh-jauh.

“Aku tidak akan mengirimmu makanan kalau kau kelaparan di tengah malam,” Quinn mengancam.

“Terima kasih,” balas Eleanor dingin, “Aku sedang berdiet.”

“Kau tidak akan meninggalkan tempat ini sebelum menghabiskan makan malammu!” Quinn mengulang dengan ancaman.

“Aku lelah. Aku ingin tidur,” Eleanor mengabaikan perintah itu.

“Tidur?” Quinn bertanya heran, “Apa aku tidak salah mendengar? Burung liar sepertimu yang suka berkeliaran di malam hari sudah mau tidur sepagi ini?”

“Aku tidak mau bangun kesiangan,” Eleanor membuka pintu, “Besok pagi kita akan pergi ke Pittler.”

“Selamat malam, suamiku yang idealis,” Eleanor melontarkan ejekannya lalu menghilang di balik pintu.

Quinn geram. Gadis itu benar-benar satu-satunya orang di dunia ini yang tidak bisa diaturnya!



*****Lanjut ke chapter 23

No comments:

Post a Comment