Saturday, December 15, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 21

“Di mana Eleanor?” Quinn menatap tajam pelayan pribadi Eleanor, “Katakan padanya aku menyuruhnya datang sekarang juga!” Quinn marah.

“Ehm…, Paduka Raja. Itu… anu… Paduka Ratu,” Nicci bingung, “Dia… Paduka Ratu…”


Quinn menghela nafas.

Kemarin malam ketika Eleanor masih terlihat segar bugar ketika mereka akan kembali ke Tognozzi, Quinn sempat curiga kakak beradik Krievickie tidak melakukan tugas mereka. Namun ketika Eleanor terus berpegang padanya ketika mereka sudah memasuki kapal, Quinn tahu keduanya telah berhasil tanpa sedikit pun menimbulkan kecurigaan Eleanor. Hanya semangat Eleanorlah yang membuat obat itu tidak bekerja seperti yang diharapkan Quinn.

Eleanor sempat membuat keributan ketika ia tiba-tiba terjatuh tak lama setelah kapal meninggalkan Corogeanu. Quinn segera mengatasi keadaan dengan membawa Eleanor ke kamar dan memanggil Lawrence untuk memeriksanya. Tentu saja keduanya tahu apa yang membuat Eleanor tiba-tiba jatuh pingsan namun tak seorang pun dari mereka yang membuka suara.

Lawrence sempat mengagumi daya tahan Eleanor pada obat tidurnya. Namun ia yakin, Eleanor akan terus tertidur hingga mereka mencapai Istana. Dan memang itulah yang terjadi. Eleanor terus tidur hingga pagi ini!

Ketika Eleanor muncul di Ruang Makan dengan wajah cerianya, Quinn yakin gadis itu tidak tahu apa yang membuatnya pingsan kemarin malam. Namun rupanya ia terlalu menyepelekan Eleanor. Gadis cerdas itu pasti tahu apa yang sudah diperbuatnya dan sekarang ia memberikan pembalasannya!

Pagi ini ia sudah memberitahu Eleanor mereka akan menghadiri sebuah perjamuan sosial. Sekarang, gadis itu menghilang. Seharusnya ia sudah tahu akan begini jadinya. “Ke mana dia?”

Nicci terkejut.

“Ke mana biasanya dia menghilang?”

Nicci sadar ia tidak bisa berbohong pada Raja Quinn. “Baju pelayan yang Paduka Ratu minta tidak ada di tempatnya,” Nicci memberitahu dengan hati-hati. Matanya terus mengawasi setiap perubahan di wajah tampan Quinn, “Mungkin Paduka Ratu pergi ke Loudline. Paduka Ratu suka pergi ke Loudline dengan menyamar sebagai pelayan Earl Hielfinberg.”

Dengan tingkah Eleanor yang seperti itu, Quinn sama sekali tidak terkejut. “Nicci, kau bisa mencarikan baju pelayan untukku?”

Nicci terperanjat. “Paduka, Anda… Anda… tidak bermaksud… bukan?”

“Seseorang harus menjemput Eleanor.”

“Anda bisa mengirim saya untuk menjemput Eleanor. Saya tahu di mana biasanya Ratu berada.”

“Aku tidak ingin mengulangi perintahku, Nicci,” Quinn memperingati.

“B-baik, Paduka. Hamba akan segala melaksanakan perintah Anda,” Nicci langsung bergegas pergi.

Kalau semua orang mengatakan Eleanor adalah satu-satunya orang yang bisa menghadapi amarahnya, Quinn pun mempunyai kepercayaan diri ia adalah satu-satunya orang yang bisa mengatasi pemberontakan Eleanor.

Quinn menghela nafas. Tampaknya hari ini ia tidak akan bisa ke mana-mana. Ia harus mengirim seseorang ke perjamuan itu.

“Paduka,” Jancer, sang Kepala Pengawal Istana muncul dengan wajah pucatnya, “Saya telah mendengarnya. Saya bisa mengirim pasukan untuk menjemput Paduka Ratu.”

Quinn tidak terkejut melihat wajah panik pria itu. “Harus aku sendiri yang menjemput Eleanor.”

“Saya akan mengatur pasukan untuk menemani Anda.”

“Tidak, Jancer. Aku tidak mau dikawal,” perkataan Quinn membuat Jancer membelalak, “Aku punya tugas lain untukmu.”

Jancer tidak mengerti rajanya. Semenjak kehadiran Eleanor di Istana ini, Quinn mulai berubah. Sekarang ia menjadi seseorang yang benar-benar tidak dikenal Jancer.

Dulu Quinn selalu berkepala dingin menghadapi setiap masalah. Ia jarang mengumbar emosinya. Sekarang, tiada hari mereka tidak mendengar bentakan Quinn. Anehnya, amarah Quinn tidak lagi semenyeramkan dulu. Entah itu karena mereka sudah mulai terbiasa dengan suara nyaring Quinn yang mengagetkan istana setiap saat ataukah karena kehadiran Eleanor yang selalu membantah Quinn dengan suara nyaringnya pula. Jancer tidak mengerti.

Dulu Quinn tidak pernah menolak setiap wanita cantik yang muncul di depannya. Sekarang Quinn hanya memfokuskan perhatiannya pada tugas-tugas kerajaan. Quinn tidak pernah lagi terlihat bersenda gurau dengan wanita-wanita cantik kecuali menyangkut urusan kerajaan.

Eleanor membawa banyak perubahan pada Quinn. Semenjak kedatangannya, Jancer sering mendengar tawa pemuda yang hampir tidak pernah tertawa semenjak kematian orang tuanya itu. Ia juga sering memergoki rajanya itu mengawasi tingkah Eleanor dengan senyum penuh arti.

Eleanor…

Jancer tidak tahu bagaimana ia harus menggambarkan gadis itu. Di satu saat gadis itu tampak masih kanak-kanak. Di saat yang lain, ia begitu berwibawa. Di satu kesempatan ia sungguh liar dan di kesempatan lain ia sangat anggun.

Kemarin ia melihat sendiri sisi Eleanor yang lain. Sebagai Kepala Pengawal Istana, sudah menjadi kewajibannya mengawal pasangan nomor satu di kerajaan ini. Ia berada di tempat itu ketika Eleanor menghadapi Simona yang menjadi pusat perhatian.

Gadis itu tampak begitu manis dan polos ketika ia mengucapkan kata-katanya yang memahami posisi sang Duchess baru itu. Kata-katanya yang lembut berpihak pada Simona. Setidaknya itulah yang dilihat setiap orang pada saat itu. Namun bila seseorang berpikir lebih jauh, tidak sulit menangkap sindiran-sindiran tersembunyi gadis belia itu.

Jancer tidak tahu haruskah ia berkata Ratu Eleanor adalah seorang malaikat, atau seorang iblis atau seorang iblis berbaju malaikat atau seorang malaikat berbaju iblis. Ia sungguh tidak dapat memahami tindakan ratunya yang satu ini.

Ratu Viering satu ini suka berbuat sesuka hatinya tanpa berpikir banyak. Dan sekarang ia juga membuat Raja Viering ikut-ikutan.

Tidak! Tunggu dulu! Jancer tidak dapat menjamin Ratu akan dalam keadaan selamat ketika pasukan Istana mulai menyisir Loudline. Jangan-jangan keberadaan pasukan Istana di Loudline malah membahayakan Ratu.

Jancer tersenyum Rajanya memang orang yang dapat dihandalkan. Duke Bernard pasti tahu kedua orang itu memang cocok hingga ia memilih Eleanor. Seperti Eleanor yang selalu bisa menghadapi Quinn, Quinn juga adalah satu-satunya orang yang bisa menghadapi Eleanor.

Namun keyakinan itu mulai goyah ketika Jancer melihat pekikan ngeri Duke Bernard saat ia menyampaikan pesan Raja untuknya.

“Paduka Raja ingin Anda mewakilinya dalam perjamuan siang ini. Bila mereka bertanya apa yang terjadi, Anda diminta untuk mengatakan Paduka Ratu sedang dalam keadaan tidak sehat sehingga Paduka Raja memutuskan untuk menemaninya.”

“Apa katamu!?”

“Sekarang Paduka Raja pergi ke kota dan melarang seorang prajurit pun menemaninya,” Jancer mengulangi.

“Mengapa kalian begitu ceroboh? Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Paduka Raja? Bagaimana kalau tiba-tiba ada perampok?” Bernard gelisah, “Cepat kirimkan prajurit ke kota!”

“Tenanglah, Duke Bernard,” Jancer menenangkan.

“Bagaimana kau bisa tenang!? Ini menyangkut keselamatan Paduka Raja!”

“Saya juga mencemaskan keselamatan Paduka Raja. Namun, saya merasa lebih berbahaya bila tiba-tiba segerombolan prajurit menyusuri kota. Mungkin akan lebih aman bila membiarkan mereka berdua berada di kota tanpa seorang prajurit pun. Tidak akan ada seorang rakyat pun yang akan mengenali mereka. Paduka Raja pasti tahu bagaimana menyembunyikan identitasnya.”

“Mereka?” Duke bertanya tidak percaya.

“Bukankah saya telah mengatakan Paduka Raja pergi ke kota untuk menjemput Paduka Ratu?”

“Oh, Tuhan,” Bernard tiba-tiba lemas, “Eleanor….”

Jancer tercengang. Tampaknya tidak seorang pun benar-benar memahami sang Ratu Terpilih ini.



-----0-----


“Apa kau sudah membeli semua kebutuhanmu?” seseorang memegang pundak Eleanor.

Eleanor terkejut. Matanya terbelalak lebar.

Quinn menatap tajam Eleanor dengan kesal. Tidak sulit menemukan gadis ini di Loudline. Seperti yang dikatakan Nicci, gadis ini berada di satu di antara took-toko langganan Fauston. Tapi Nicci lupa mengatakan keberadaan pemuda yang jelas-jelas jatuh cinta pada Eleanor di toko ini. Quinn tidak tahu apakah Eleanor benar-benar cerdas atau bodoh.

“Eleanor, siapa dia?” tanya Seb.

“Dia… dia…,” kepala Eleanor langsung berputar cepat, “Dia juga adalah pelayan Earl.”

“Oh, jadi dia teman sekerjamu,” Seb mengambil kesimpulan.

“Bukan hanya itu saja,” Quinn menarik Eleanor mendekat ke sisinya, “Aku juga adalah suaminya.” Matanya melihat pemuda itu dengan penuh kemenangan.

Mata Eleanor melotot pada Quinn.

Seb tampak terpukul. “Oh,” mata nanarnya menatap Eleanor, “Kau tidak pernah memberitahuku, Eleanor.”

“Itu karena kau tidak pernah bertanya,” Eleanor menjawab cepat.

Quinn tersenyum puas melihat reaksi pemuda itu. Pemuda itu salah kalau ia berpikir Eleanor juga tertarik padanya. Quinn tahu Eleanor hanya senang berteman dengannya. Tidak lebih dari itu!

“Maaf, aku masih ada pekerjaan lain,” Seb mundur.

Eleanor merasa bersalah melihat Seb. “Besok aku akan datang lagi,” janjinya.

Quinn tersenyum puas melihat pemuda itu kabur dengan wajah pucat pasi.

“Apa maumu!?” bentak Eleanor – menatap tajam Quinn. “Engkau membuat Seb kabur. Apa yang harus kulakukan kalau ia membenciku karenanya!?”

Quinn tidak suka mendengarnya. “Rupanya kau memihak pemuda itu.”

“Aku tidak memihak siapa pun! Seb adalah temanku!” Eleanor tertegun, “Jangan-jangan…,” ia melihat wajah kesal Quinn lekat-lekat, “Kau cemburu?”

“Jangan memancing pertengkaran di tempat ini,” Quinn memperingati dengan berbahaya.

“Apa maumu datang ke sini?”

“Menurutmu?”

“Aku tidak mau pulang!” Eleanor bersikeras, “Aku tidak mau kembali pada orang licik sepertimu! ”

“Aku juga tidak ingin mengajakmu pulang.”

Eleanor tertegun.

“Hari ini aku ingin menjalankan tugasku sebagai seorang suami yang baik,” Quinn memanfaatkan kesempatan itu untuk menyelipkan tangan Eleanor di sikunya.

“Apa kau ingin mencari kesempatan untuk memberiku obat tidur lagi?” Eleanor menyelidiki.

Quinn tersenyum tak bersalah. “Biasanya apa yang dilakukan seorang suami ketika istrinya berbelanja?”

“Mengomel sepanjang jalan, melarang istrinya menghamburkan uang,” Eleanor menjawab spontan.

“Tidak, kau salah,” Quinn membenarkan, “Seorang suami yang baik berkewajiban mengeluarkan uang ketika istrinya yang bijaksana memutuskan membeli sesuatu dan membawakan barang belanjaan istrinya.” Quinn tersenyum lembut. “Aku adalah seorang suami yang baik dan aku percaya kau adalah seorang istri yang bijaksana.”

Wajah Eleanor memerah.

“Jadi, kau mau ke mana?”

Ketika keduanya menyibukkan diri di kota, sebuah gosip baru beredar di Loudline.

Orang-orang heran melihat sang Grand Duke muncul di jamuan sosial yang seharusnya dihadiri pasangan nomor satu Kerajaan ini. Mereka mulai berspekulasi mendengar penjelasan sang Grand Duke.

“Apakah itu mungkin?”

“Tidak mungkin salah lagi. Bukankah kemarin kita juga mendengar sendiri Ratu mengatakannya?”

“Tidak. Itu tidak mungkin. Mereka baru menikah.”

“Mengapa tidak mungkin?”

“Bukannya kemarin Ratu terlihat tidak segar. Bahkan ia pingsan dalam perjalanan pulang. Raja juga tampak cemas sekali hingga ia terus berada di sisi Ratu.”

“Tidak mungkin salah! Kemarin aku melihat Raja berbicara dengan Dokter Lawrence.”

“Kalau itu benar, mengapa sampai sekarang tidak ada pengumuman resmi dari Istana?”

Setiap orang menggabung-gabungkan peristiwa kemarin dengan absennya Raja dan Rau dari perjamuan sosial yang juga dihadiri bangsawan-bangsawan ternama Viering ini. Begitu cepat dan liarnya gosip itu berkembang hingga berita itu sampai di telinga Irina.

“Derrick, apakah engkau sudah mendengarnya?” Irina bertanya. “Apakah mungkin Eleanor…?”

“Eleanor juga seorang wanita?” Derrick balik bertanya.

“Ini bukan saatnya bergurau!” Irina naik pitam, “Ini bukan masalah sepele!”

Sang pasangan yang sedang digosipkan sedang asyiknya berkeliling Loudline tanpa menyadari gosip tentang mereka juga akhirnya sampai di telinga Simona.

Sang Duchess of Binkley itu langsung panik mendengarnya. “Tidak! Ini tidak boleh terjadi!” pekiknya sambil terus berjalan mondar-mandir di depan suaminya, “Kita sudah tidak punya waktu! Kita tidak boleh membiarkan anak itu lahir!”

“Apa yang kaukhawatirkan?” Mathias heran melihat kepanikan istrinya, “Belum tentu gosip itu benar.”

“Bagaimana kalau gadis ingusan itu benar-benar sedang mengandung!?”

“Belum tentu anak itu adalah pria.”

“Engkau memang bodoh! Apa kau tidak sadar kritisnya posisimu ini!!?” emosi Simona meledak. “Aku harus melakukan sesuatu,” Simona berbalik meninggalkan Mathias, “Aku harus melakukan sesuatu. Todd! Benar, aku harus segera menyuruh Todd membunuh gadis sialan itu!”

Mathias hanya duduk bengong melihat Simona terus bergumam sambil menjauh. Ia tidak mengerti mengapa istrinya harus panik seperti itu hanya karena mendengar gosip yang beredar di jamuan sosial siang ini. Bukankah ini adalah hal bagus kalau Eleanor memang sedang hamil?


-----0-----



Nicci tercengang melihat Raja membantu istrinya turun dari kuda.

Mereka masing-masing pergi hanya dengan seekor kuda. Sekarang keduanya kembali dengan menunggangi seekor kuda sementara kuda yang lain membawa dua keranjang besar yang menggelantung di kedua sisi pelana kuda di atas punggungnya.

Nicci tidak dapat mengeluarkan suara apa pun.

Quinn menyuruh prajurit yang juga tercengang di pintu, untuk menurunkan dua keranjang besar itu.

“Pa-paduka,” Jancer juga tidak kalah kagetnya melihat kepulangan keduanya sore ini bersama belanjaan mereka, “Apa yang Anda lakukan?”

“Berbelanja,” Quinn menjawab santai.

“Anda tidak perlu melakukan itu. Anda bisa menyuruh Vicenzo mengatur orang untuk membeli barang-barang yang Anda perlukan,” kata Grand Duke Bernard yang juga menyambut kedatangan mereka.

“Istriku ingin memilih sendiri bahan-bahan dapurnya,” Quinn tersenyum melihat Eleanor yang sekarang dengan gembira memamerkan hasil belanjanya pada Nicci. “Panggil Vicenzo untuk menyimpan belanjaan kami,” katanya pada seorang prajurit, “Katakan padanya pula kami sudah kenyang.” Kemudian ia berbalik pada Jancer, “Apakah kau punya seorang prajurit tengah baya yang tangguh dan tidak kaku?”

Jancer terkejut oleh pertanyaan tidak terduga itu.

“Paduka Raja?” tanya Bernard.

“Lebih baik membiarkan dia pergi ke tempat yang kita ketahui daripada membiarkannya menghilang tanpa petunjuk.”

“Tapi… itu…,” Duke Bernard tidak sependapat dengan keputusan Quinn.

“Ia punya caranya sendiri untuk melakukan tugasnya sebagai seorang Ratu,” Quinn percaya keputusannya ini tidak salah.

Seharian bersama Eleanor di kota membuat Quinn menyadari mengapa gadis itu mengetahui banyak hal yang tidak diketahuinya. Harus diakui Quinn, ia sempat terkejut menyadari betapa terkenalnya Eleanor di Loudline. Rasanya hampir tidak ada yang tidak menyapa Eleanor. Melihat Eleanor tampak begitu akrab dengan mereka, Quinn yakin kegiatan Eleanor ini bukan hanya masalah sehari dua hari. Sejujurnya, barang-barang yang mereka bawa pulang kebanyakan adalah pemberian teman-teman Eleanor.

Tak heran Eleanor suka kabur ke Loudline.

“Jancer, aku harap engkau segera menemukan prajurit itu. Aku tidak berani menjamin Eleanor akan duduk diam sampai engkau menemukannya.”

“Saya mengerti, Paduka. Saya rasa saya tahu siapa yang dapat menerima tugas itu.”

“Suruh ia menemuiku di ruang kerjaku,” kata Quinn.

“Saya akan segera melaksanakan perintah Anda,” Jancer mengundurkan diri.

Quinn pun masuk ke dalam istana diiringi Bernard. “Bagaimana perjamuan siang ini?”

“Semua berjalan dengan lancar, Paduka,” Duke Bernard memulai laporannya. “Saya memberi penjelasan sesuatu petunjuk Anda.”

“Bagus,” Quinn puas. Ia memasuki Istana diiringi Duke Bernard.

“Hm…, Paduka,” Duke Bernard ragu-ragu. Ia tidak tahu bagaimana harus mengutarakan pertanyaannya, “Apakah Paduka Ratu… apakah ia…”

Quinn melihat Bernard dengan tertarik.

“Semua orang di jamuan membicarakannya. Paduka Ratu sedang hamil.”

Quinn terperanjat. Kemudian ia tertawa geli.

Bernard bingung melihat reaksi itu.

“Eleanor pasti senang mendengarnya,” Quinn tidak menyangkal juga tidak membenarkan pertanyaan Bernard.


-----0-----



“Benarkah itu!?” Eleanor mengulang dengan gembira.

“Benar, Paduka Ratu. Mulai hari ini hamba ditunjuk untuk menemani Anda setiap kali Anda ingin ke kota.”

“Bukankah ini bagus, Paduka Ratu?” tanya Nicci, “Anda tidak perlu sembunyi-sembunyi pergi ke Loudline.”

Senyum di wajah Eleanor kian mengembang. “Katakan padanya aku akan jatuh cinta padanya kalau ia terus seperti ini.”

“Mengapa tidak kau katakan sendiri pada orang yang bersangkutan?”

Mereka terperanjat.

Quinn memasuki kamar Eleanor dengan seluruh wibawanya.

“Paduka Raja,” Nicci dan prajurit itu memberi hormat – menyambut kedatangan Quinn.

Wajah Eleanor memerah dan ia langsung membuang muka.

Nicci memberi tanda pada prajurit di sisinya untuk meninggalkan tempat itu.

“Jadi, apa yang barusan akan kaukatakan padaku?” Quinn mendekati Eleanor. “Kalau kau malu mengatakannya dengan keras, mengapa kau tidak membisikkannya padaku?” ia mencondongkan tubuh ke arah Eleanor.

Rona merah di wajah Eleanor kian menyala. “P-pergi kau!” ia mendorong Quinn kuat-kuat.

Quinn tertawa geli.

Eleanor sama sekali tidak menikmati tawa pemuda itu. “Pergi! Jangan ganggu aku!” usirnya kesal.

“Begitukah tindakanmu pada seseorang yang ingin memberimu hadiah?”

“Hadiah?” Eleanor mencermati wajah Quinn dengan curiga.

Quinn hanya tersenyum. “Lihatlah apa yang kubawa untukmu,” ia memberikan bungkusan di tangannya pada Eleanor.

Tidak perlu diperintah, Eleanor segera membuka bungkusan itu. Sebuah gaun katun hitam terlipat rapi di atas pangkuan Eleanor. Mata Eleanor terbelalak melihat Quinn.

“Kau adalah pelayan Earl Hielfinberg, bukan?”

Eleanor memperhatikan wajah Quinn dengan curiga. “Apa tujuanmu?”

“Apa kau masih perlu bertanya?” Quinn menjawab polos, “Tentu saja membuatmu jatuh cinta padaku.”

Wajah Eleanor langsung memerah oleh amarah.

Quinn tertawa.

“KAU!!!” Eleanor menerjang.

Quinn menangkap tangan Eleanor dan menindihnya di atas tempat tidur.

Eleanor geram. Ia tidak bisa bergerak di bawah tindihan tubuh Quinn.

“Kau tahu, istriku,” Quinn tersenyum simpul, “Gosip apa yang beredar di Viering hari ini?”

“APA!?”

“Semua orang mengatakan engkau sedang hamil,” Quinn tidak sabar mengetahui reaksi Eleanor.

Eleanor membelalak lebar. “Benarkah itu?” tanyanya tidak percaya, “Sejak kapan? Mengapa aku tidak menyadarinya?”

Nada riang dalam suara itu membuat Quinn waspada.

“Lihatlah. Aku sudah mengatakannya, bukan. Kalau waktunya sudah tiba, aku juga akan hamil.”

Tawa Quinn lepas tanpa bisa dikontrolnya. Ia menjatuhkan diri di sisi Eleanor dan menggeliat karena sakit di perutnya.

Eleanor sama sekali tidak senang melihat reaksi yang berlebihan itu. Ia tahu Quinn tidak sedang bergembira tetapi sedang menggodanya. “Apa yang sedang kautertawakan!?” Eleanor duduk sambil menatap tajam Quinn.

“Istriku, oh istriku,” akhirnya Quinn berhasil mengatasi tawanya. Ia pun duduk dan menyeka air matanya yang keluar karena tawa. Melihat wajah cemberut Eleanor, Quinn benar-benar harus mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mencegah tawanya lepas lagi. “Aku sungguh tidak tahu engkau ini cerdas atau tolol,” Quinn mengulum tawanya dalam senyum gelinya.

“HEI!!”

“Jangan marah,” Quinn memegang dagu Eleanor. “Itu tidak baik untuk bayimu,” tangannya turun ke perut Eleanor.

Wajah Eleanor merah padam.

Quinn tidak dapat menahan dirinya lagi.

Eleanor sadar ia sedang dipermainkan.

“KAU!” Eleanor menghantam dada Quinn, “Kau mempermainkanku!” ia menerjang dengan sekuat tenaganya.

Quinn langsung terjatuh lagi di atas tempat tidur dengan Eleanor di atasnya. Tawanya yang tidak terkontrol sudah menguras seluruh tenaganya sehingga ia tidak punya kemampuan untuk menghindari pukulan Eleanor.

Eleanor pun kaget menyadari ia sedang menindih tubuh Quinn. Ketika ia akan bangkit, tangan Quinn sudah melingkari pinggangnya dan menariknya merapat.

“Kau tahu, Eleanor, kau sungguh manis kalau engkau diam,” Quinn tersenyum lembut.

Wajah Eleanor merah padam.

Quinn memanfaatkan kesempatan itu untuk mencium Eleanor. “Aku mendapatkannya,” ia tersenyum penuh kemenangan.

“Kau,” Eleanor geram. “Lepaskan aku!” iapun memberontak.

Sebagai jawabannya, Quinn menggulingkan tubuh mereka sehingga sekarang ia menindih Eleanor.

“Akan sangat menyenangkan sekali kalau membiarkan engkau terus percaya engkau sedang hamil,” suara serius Quinn membuat Eleanor terdiam.

Eleanor sadar ada sesuatu yang penting yang harus diketahuinya.

“Aku tidak tahu haruskah aku memberitahumu atau haruskah aku meminta Irina menerangkannya padamu.”

“Apa maksudmu?”

Quinn tersenyum geli. “Kurasa aku lebih suka melihat wajahmu yang seperti udang rebus daripada membiarkan Irina mengajarkan apa yang sudah seharusnya ia ajarkan ketika kau akan menikah.”

“Engkau benar-benar membuatku bingung.”

“Dengarkan aku, sayangku,” Quinn memilih kata-kata yang mudah dimengerti oleh Eleanor, “Hamil tidaklah semudah yang kaupikirkan. Pernikahan tidak dapat memastikan engkau dapat hamil. Untuk hamil, kita perlu lebih dari tidur bersama seperti kemarin.”

“Tidur bersama?” wajah Eleanor merah padam diingatkan kejadian yang tidak sudi diakuinya itu.

Kemarin Eleanor sama sekali tidak memikirkan tindakannya sepanjang hari itu. Namun pagi ini ketika ia terbangun dengan kepala pening, ia mulai menggunakan kepala dinginnya mengulang kembali kejadian sepanjang hari kemarin untuk mencari jawaban mengapa setelah makan malam ia terus mengantuk hingga akhirnya ia benar-benar tertidur hingga pagi ini.

Eleanor masih ingat dengan jelas bagaimana ia bermanja-manja di pelukan Quinn. Eleanor ingat bagaimana ia melarang Quinn meninggalkannya. Ia ingat semuanya mulai dari ia tidur di atas dada Quinn hingga Quinn mengambil ciuman pertamanya. Tidak ada satu pun yang terlupakan oleh Eleanor!

Sampai mati pun Eleanor tidak akan mengakui semua tindakannya kemarin. Itu bukan perbuatan yang dilakukannya dengan akal sehat. Quinn pasti tahu ia takut akan laut dan ia memanfaatkan ketakutannya itu! Pasti itu yang terjadi!

Sepanjang pagi ini ia terus mengingkari kejadian kemarin. Sepanjang makan pagi ini ia berusaha menghindarkan mata dari Quinn. Namun matanya terus terpaku pada sosok Quinn yang kemarin telah memeluknya sepanjang perjalanan menuju Corogeanu. Ingatannya terus melayang pada tangan-tangan kekar yang terus melingkari tubuhnya sepanjang hari. Siang ini pun ketika Quinn memergokinya di kota, Eleanor tidak dapat melepaskan matanya dari bibir yang kemarin mencuri ciuman pertamanya.

Eleanor melihat wajah tampan yang begitu dekat itu. Tubuhnya bereaksi menyadari tubuh kekar yang kemarin menjadi kasurnya, menindihnya. Jantungnya berdegup keras merasakan tangan kekar yang kemarin memeluknya, kini tengah melingkari pinggangnya.

“Oh, Eleanor, sayangku,” tangan kanan Quinn beralih ke wajah Eleanor, “Jangan menatapku seperti itu.”

Seperti apa? Eleanor tidak mengerti. Apakah yang sedang dikatakan pemuda ini?

“Kau benar-benar tidak menyadari pesonamu, bukan?” Quinn memperhatikan sepasang bola mata biru yang memandangnya dengan bingung itu, “Kau benar-benar membuatku ingin meneruskan tidur kita kemarin ke tingkat yang lebih jauh,” ia pun kembali menjatuhkan ciuman di bibir Eleanor.

Jantung Eleanor berdebar keras. Quinn kembali membangkitkan sensasi yang kemarin dirasakannya. Ciuman Quinn tidak berhenti di situ saja. Ia mulai menjelajahi wajah Eleanor dan bergerak turun ke dagunya, lehernya.

Eleanor merasakan tangan Quinn yang di pinggangnya bergerak naik sepanjang punggungnya. Tangannya yang lain melusuri lekuk lehernya, pundaknya dan terus turun sepanjang sisi tubuhnya. Tubuh Eleanor bergetar oleh sensasi yang tak dikenalnya. Eleanor takut namun ia menginginkan lebih dari itu. Eleanor mencengkeram kemeja Quinn takut sewaktu-waktu ia akan melebur.

Tiba-tiba Quinn menghentikan semuanya. Matanya bersinar lembut. “Untuk kau dapat benar-benar hamil, aku harus terus meneruskan ini dan menyatukan tubuh kita berdua,” ia tersenyum lembut.

Rona merah menghiasi wajah Eleanor.

“Malam ini aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melakukannya sampai kau benar-benar siap,” Quinn berjanji dan ia beranjak bangkit.

Tangan Eleanor terulur menarik kemeja Quinn.

Baik Quinn maupun Eleanor terkejut melihat tangan yang mencengkeram lengan kemeja Quinn itu.

“A…aku… aku…,” Eleanor tidak tahu apa yang sedang diperbuatnya.

Quinn tersenyum. Ia mengangkat tubuh Eleanor dan membaringkannya di posisi yang benar. Kemudian ia menarik selimut menutupi tubuh gadis itu dan mencium dahinya. “Selamat malam, sayangku.”

Quinn tahu ia harus bergegas meninggalkan kamar Eleanor. Ia tidak dapat menjamin ia dapat terus bersikap seperti seorang gentleman. Sesaat lalu hampir saja ia kehilangan akal sehatnya. Memang tujuan pernikahan ini adalah untuk memberi keturunan Arcalianne namun sekarang Quinn meragukan niatnya.



*****Lanjut ke chapter 22

No comments:

Post a Comment