Friday, December 14, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 20

Quinn menurunkan kaki Eleanor di atas tanah.

“Kita sudah sampai,” ia memberitahu.

Eleanor melepaskan tangannya dari leher Quinn dan membuka matanya. Ia tersenyum lebar melihat jalan setapak ke villa kerajaan, Corogeanu. Matanya langsung melihat Irina yang berdiri tak jauh di depannya bersama Derrick.


“Irina!!” Eleanor berlari riang.

Irina menyambut gadis itu dengan pelukannya. Ia lega melihat Eleanor yang kembali segar bugar.

“Ayo kita pergi, Irina,” Eleanor menarik lengan wanita itu, “Aku sudah tidak sabar menjelajahi tempat ini.”

Irina tidak mempunyai kesempatan untuk melawan Eleanor. Ia hanya bisa membiarkan gadis itu menariknya dengan paksa.

“Hati-hati Eleanor!” Derrick berseru cemas, “Awas Irina!” serunya ketika melihat Irina hampir terjatuh karena Eleanor.

Derrick memegang dahinya dan mengeluh panjang. Eleanor memang selalu bisa membuatnya cemas. Sejujurnya, Derrick tidak terlalu cemas akan Eleanor. Ia lebih mencemaskan Irina. Irina bukan seorang gadis liar seperti Eleanor. Ia adalah seorang lady!

Quinn tertawa.

Derrick terkejut. Entah sejak kapan Quinn telah berada di belakangnya.

“Sepertinya Eleanor sudah pulih.”

Derrick melihat kedua wanita yang terpenting dalam hidupnya itu telah menjauh.
Quinn pun tersenyum melihat Eleanor yang kembali ceria itu. Eleanor di atas daratan memang berbeda dengan Eleanor di atas laut.

“Paduka,” Derrick berkata serius, “Saya telah mendengarnya. Anda mengetahui tentang Eleanor.”

“Ya,” gumam Quinn.

Derrick melihat Quinn dengan serius.

“Itu adalah cerita masa lalu. Kejadian itu murni kecelakaan. Tidak ada gunanya mengungkit cerita masa lalu. Lagipula itu akan terlalu kejam untuk Eleanor.”

Derrick lega mendengarnya.

“Mungkin hari ini aku boleh memberi kebebasan pada Eleanor,” Quinn tersenyum penuh arti melihat gadis itu membuat Irina panik.

“Mari kita pergi,” Quinn menepuk pundak Derrick. “Kau mencemaskan Irina, bukan?” Quinn melalui Derrick, “Aku tidak mencemaskan Eleanor tapi aku mencemaskan Irina. Aku percaya Eleanor akan membuat Irina celaka,” dan pemuda itu tertawa.

Derrick terperangah. Mau tak mau ia pun tersenyum. “Baik, Paduka,” katanya mengikuti Quinn mengejar kedua gadis di depan itu.

“Derrick, kau bisa memanggilku Quinn,” Quinn memberitahu. “Aku sudah bukan hanya seorang Raja bagimu. Sekarang aku juga menjadi bagian dari keluarga kalian.”

“Saya juga sependapat,” kata Derrick, “Tapi… Papa.”

“Bernard memang seorang yang masih kolot,” Quinn tertawa geli.

Derrick terperangah. Baru kali ini ia mendengar Quinn berkomentar tentang ayahnya.

“Tapi kerajaan ini membutuhkan orang seperti dia, bukan?” kata Quinn serius.

Derrick mengangguk. Andai bukan karena pikiran kolot ayahnya, mungkin ayahnya sudah langsung mengambil alih tahta ketika Quinn masih terlalu kecil untuk menjadi seorang Raja.



-----0-----


Grand Duke bingung melihat Raja Quinn duduk santai di Ruang Duduk Corogeanu menikmati anggurnya. Beberapa saat lalu seorang pelayan menyampaikan panggilan Quinn. Ia menduga ada sesuatu yang hendak dirundingkan Quinn dengannya. Namun apa yang dilihatnya saat ini berbeda dengan dugaannya.

“Duduklah,” ia menyambut kedatangan sang Grand Duke.

“Paduka Ratu?” Bernard melihat sekelilingnya.

“Ia ada bersama Irina dan Derrick yang menemaninya menjelajahi Corogeanu. Untuk sementara waktu ini aku memiliki waktu luang,” lalu ia menawari, “Kau mau minum apa? Brandy? Armagnac? Atau Sherry? Vodka?”

“Anggur merah,” jawab Grand Duke.

Quinn tersenyum, “Kau masih tidak berubah.” Quinn menuangkan segelas anggur merah untuk Grand Duke.

Bernard menerima gelas itu.

Quinn menuju jendela dan memperhatikan kegiatan para tamunya di luar. Sekitar lima ratus bangsawan dan keluarga ternama yang diundang itu tampak menikmati keindahan Corogeanu. Sekelompok wanita tampak berkumpul di bawah rimbunan pepohonan dan bercanda riang. Sekelompok tamu menikmati jamuan yang disiapkan di kebun. Beberapa pria tampak merundingkan sesuatu dengan serius. Sekelompok anak kecil yang turut serta bersama orang tuanya, bermain dengan riang.

Entah di mana sekarang Eleanor berada. Begitu melihat bangunan villa yang dinamakan sesuai dengan nama pulau ini, Eleanor berseru gembira. Ia menarik Irina menjelajahi Corogeanu sambil mengumumkan, “Ini adalah waktu penjelajahan!”

Melihat Eleanor kembali membawa kabur kakaknya, Derrick langsung mengikuti mereka. Quinn memutuskan untuk menyerahkan mereka pada Derrick. Ia masih punya pekerjaan yang perlu dilakukannya sejak awal perjalanan ini yaitu menyambut tamu-tamunya.

Quinn berpikir andai bencana itu tidak pernah terjadi, mungkin Eleanor sudah dari dulu jatuh cinta pada tempat ini.

Corogeanu bukanlah pulau besar. Bahkan pulau ini masih terlalu kecil untuk disebut pulau kecil.

“Sepertinya suasana tahun ini berbeda dari tahun-tahun yang lalu.”

Grand Duke mengangguk setuju.

“Entah mengapa aku merasa Eleanor akan membawa sebuah kejutan.”

“Mungkin karena ia selalu membuat kejutan,” Bernard memberikan komentarnya.

“Dia suka membuat keributan,” Quinn membenarkan. Matanya mencari-cari Eleanor di seputar pulau kecil ini.

Quinn melihat sesuatu melompat dari beranda di lantai tiga Corogeanu tak lama kemudian muncul seorang wanita dengan wajah paniknya disertai seorang pria. Sesaat kemudian wanita itu melompat dari beranda. Pria itu tampak panik dan kemudian ia pun melompat dari beranda ke pohon di bawah beranda itu.

Pemandangan itu membuat Quinn teringat peristiwa serupa yang dilihatnya beberapa tahun lalu.

Quinn masih ingat saat itu ia berada di dalam kereta menanti sang Grand Duke yang mengambil barang di dalam Mangstone.

Di saat ia menanti itulah tiba-tiba ia melihat sebuah sosok kecil melompat dari beranda ke pohon terdekat. Ia bergelayutan dari satu dahan ke dahan yang lain dengan lincahnya selayaknya seekor monyet.

Sesaat kemudian tampak seorang gadis remaja muncul di beranda dengan wajah geramnya. Ia bertengkar dengan seorang pemuda sebelum ia melompat dari beranda.

Quinn membelalak kaget. Ia mengenali wajah gadis itu. Ia adalah Irina, putri Duke of Binkley!

Pemuda yang tak lain adalah Derrick itu tampak panik dan ia pun mengejar kedua gadis itu.

Quinn tertawa. Ia benar-benar tidak menduga Irina, putri Duke of Binkley yang anggun ternyata bisa bertingkah seperti ini.

Grand Duke yang muncul dari dalam Mangstone kebingungan melihat rajanya tertawa geli.

Quinn tidak pernah memberitahu Bernard apa yang membuatnya tertawa saat itu. Bernard juga tidak pernah bertanya.

Quinn tersenyum geli melihat Irina dengan susah payah mengejar Eleanor yang dengan lincahnya melompat dari satu dahan ke dahan yang lain. Derrick, di sisi lain, kebingungan mengejar kedua gadis itu.

“Aku tidak bisa hanya berdiam diri di sini,” Quinn beranjak meninggalkan jendela, “Derrick membutuhkan bantuan.”

Grand Duke tidak mengerti tapi ia juga tidak menghentikan Quinn.

Quinn langsung menuju halaman tempat ia melihat kedua wanita itu saling kejar mengejar dan Derrick yang kewalahan menghentikan keduanya melakukan tindakan yang berbahaya dengan gaun mereka yang merepotkan itu.

Quinn berdiri di bawah sebatang pohon dan menengadah.

“Sudah waktunya kau berhenti.”

Eleanor terkejut. Kakinya terpeleset. Tangannya langsung bertindak cepat berpegangan pada dahan pohon.

Irina membelalak kaget. Ia melihat Quinn yang berdiri di bawah mereka dengan wajah memerah.

Derrick juga tidak kalah kagetnya melihat Quinn tiba-tiba muncul.

Eleanor memanjat dahan pohon tempat ia menggelantung dan duduk. Matanya langsung menatap tajam Quinn, setajam suaranya, “Apa-apaan kau ini!? Apa kau ingin mencelakaiku!?”

“Aku tidak mencelakaimu,” kata Quinn tenang, “Kau sendiri yang mencari bahaya.”

“Apa katamu!?” Eleanor marah.

Quinn menghela nafas panjang.

“Apa!?” Eleanor tidak suka melihat wajah lelah pria itu. Ia tidak melakukan apa-apa yang menganggu pria itu. Untuk apa ia memasang wajah itu!? Eleanor benar-benar tidak menyukai Quinn!

Quinn mendekati pohon itu. Di luar dugaan Eleanor, pria itu mulai memanjat ke arahnya.

Irina membelalak.

Derrick melotot.

“Derrick, dia,” bisik Irina.

“Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya,” jawab Derrick.

Beberapa tahun lalu Quinn tidak bisa berbuat apa-apa selain bisa tertawa dan menahan rasa iri hatinya melihat ketiganya bersenda gurau sambil melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain.

“Apa yang kau lakukan!?” Eleanor memelototi pria yang langsung duduk santai di pangkal dahan yang sama dengannya.

“Bukan hanya kau yang ingin duduk di sini,” Quinn menyandarkan punggung ke batang pohon. Ia menutup matanya seolah-olah sedang menikmati hawa segar di sekitar pohon itu.

“Sebaiknya kau jangan melakukan sesuatu yang bodoh!” Quinn memperingati, “Aku tidak mau merepotkan diriku sendiri.”

“Siapa yang menyuruhmu merepotkan dirimu sendiri?!” Eleanor memalingkan badan. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuat tubuh Eleanor kehilangan keseimbangan. Eleanor membelalak kaget. Dahan tempatnya duduk terlalu dekat dengan ujung dahan dan tidak cukup kuat untuk menahan gerakannya yang tiba-tiba itu.

Quinn segera meraih tangan Eleanor dan memeluknya erat-erat.

“Kau benar-benar liar,” keluh Quinn, “Kau hanya akan membuat masalah besar kalau kau jatuh. Duduklah yang manis seperti Irina.”

Mendengar namanya disebut, wajah Irina memerah lagi. Selama ini tidak seorang pun selain Eleanor dan Derrick tahu ia bisa memanjat pohon. Bahkan ayahnya pun tidak tahu!

Derrick melompat dari dahan tempatnya berdiri ke sisi Irina. Berdua mereka memperhatikan Eleanor yang masih belum pulih dari kekagetannya, meringkuk di pelukan Quinn.

“Kurasa kita harus meninggalkan mereka,” bisik Derrick.

Irina mengangguk mengerti dan menerima uluran tangan Derrick.

Eleanor berusaha menenangkan dirinya sendiri. Sesaat yang lalu ia merasa nyawanya telah pergi meninggalkan raganya.

Quinn tersenyum geli melihat gadis itu. “Kau sudah kehilangan nyalimu?”

Kemarahan Eleanor langsung bangkit lagi mendengar suara mengejek itu. Ia memelototi Quinn.

“Sekarang tinggal kita berdua,” kata Quinn sebelum Eleanor sempat melontarkan kemarahannya.

Eleanor langsung melihat tempat Irina dan Derrick beberapa saat lalu berada.

“Mereka sudah pergi,” Quinn memberitahu.

Mata Eleanor menangkap sosok Derrick yang membantu Irina turun dari pohon.

Eleanor memalingkan kepala.

“Jangan!” Quinn mencoba memperingati tetapi ia terlambat. Mata Eleanor menggelap melihat hamparan laut di belakangnya. Tubuhnya bergetar keras. Ia merasa seluruh dunia berputar dan bersamaan dengan itu tenaganya menghilang.

Quinn kembali memeluk Eleanor erat-erat. “Tidak apa-apa,” bisiknya, “Tidak akan terjadi apa pun.”

Eleanor mencengkeram kemeja Quinn. “A-aku ingin kembali.”

“Tidak ada salahnya kau menemaniku di sini,” Quinn memegang tangan Eleanor.
Eleanor melihat senyum lembut Quinn. Jantungnya berdebar keras. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Sementara itu di dalam, Irina berdiri di sisi jendela. Matanya tidak lepas dari pohon tempat Quinn dan Eleanor berada.

“Kau tidak perlu mencemaskan mereka,” Derrick berkata, “Paduka tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya."

Irina tidak menanggapi.

“Seharusnya kau lebih tenang sekarang,” Derrick membuka mulut, “Setidaknya sekarang ada Paduka yang mengawasi Eleanor.”

“Aku bingung,” gumam Irina, “Haruskah aku memanggil mereka?”

Derrick bingung melihat kegundahan Irina.

“Makan malam sudah hampir siap.”

Derrick tersenyum. “Kulihat kau tidak perlu memusingkan hal itu. Paduka sudah tahu. Lihatlah.”

Irina memperhatikan halaman.

Quinn sudah berdiri di dahan kemudian ia meloncat.

Irina terkejut. Di sana, Eleanor pun membelalak kaget.

“Apa yang kaulakukan!?” seru Eleanor panik.

Quinn mendarat di tanah dengan mulusnya kemudian ia menengadah. “Melompatlah.”

“APA!?”

“Aku akan menangkapmu,” Quinn mengulurkan tangan.

“Siapa yang akan melakukan hal gila sepertimu!?” Eleanor kesal.

Quinn tersenyum geli. “Bukannya kau selalu melakukannya?”

Eleanor termenung.

“Ia tidak akan melakukannya, bukan?” Irina menatap adiknya dengan cemas, “Eleanor tidak akan melompat seperti Paduka, bukan?”

“Siapa tahu,” gumam Derrick, “Aku tidak yakin apa yang akan dilakukan Eleanor tetapi aku tahu Paduka tidak akan mencelakakan Eleanor.”

“Eleanor, jangan melompat,” Irina berdoa namun di saat yang bersamaan Eleanor menjatuhkan diri dari dahan.

“ELEANOR!!!” Irina terpekik kaget.

Derrick langsung menangkap tubuh lemas kakaknya. “Tidak apa-apa,” katanya menenangkan, “Eleanor tidak apa-apa. Lihatlah itu.”

Irina membuka matanya.

Paduka Raja tengah membopong Eleanor. Ia tidak menurunkan Eleanor malah membawanya ke dalam.

“Tampaknya ia lebih kuat dariku,” gumam Derrick.

“Ya, Tuhan, Eleanor…,” Irina tidak tahu harus berkata apa.

Sementara Irina sedang memulihkan kekagetannya, Eleanor berusaha keras melepaskan diri dari Quinn.

“Turunkan aku!” Eleanor memasang wajah cemberutnya.

“Mengapa?” Quinn bertanya tidak mengerti, “Ini adalah bulan madu kita. Apakah salah kalau aku bersikap manis pada istriku selama bulan madu?”

“Bulan madu?” Eleanor mencibir. “Tidak ada orang yang berbulan madu dengan membawa berpuluh-puluh penonton.”

Quinn hanya tersenyum. Sudah sejak tadi ia menyadari puluhan pasang mata yang terus memperhatikannya membopong Eleanor. “Apakah itu artinya kau ingin berbulan madu hanya denganku?” ia sengaja menggoda Eleanor, “Setiap malam kita bisa berbulan madu.”

“Mati pun aku tidak sudi!” Eleanor menanggapi dengan cepat.

“Aku tidak akan membiarkannya,” Quinn meneruskan godaannya, “Kalau kau mati, aku tidak akan mempunyai pasangan bulan madu.”

“Dengan rekor kekasihmu, aku yakin dalam satu jam kau akan menemukan pasangan baru.”

Alis Quinn terangkat. “Kau cemburu?”

“S-si-si,” wajah Eleanor merah padam, “Siapa yang cemburu!??” suaranya meninggi dengan kesal.

Quinn tertawa geli. Ia tidak tahu wajah Eleanor memerah karena kesal atau memang karena malu. Quinn hanya tahu Eleanor tidak menyukai godaannya dan itu sudah cukup untuknya.

Quinn melihat Duke Bernard mendekat diikuti putra-putrinya.

“Sudah, jangan marah,” Quinn menurunkan Eleanor, “Irina akan menggantungku kalau melihat wajahmu itu.”

“Aku akan melaporkanmu pada Irina!” Eleanor menjulurkan lidahnya pada Quinn dan langsung berlari ke pelukan ibu angkat kesayangannya itu.

Quinn hanya tersenyum melihatEleanor menarik Irina pergi dengan gembira. Dalam hati ia berpikir Eleanor memang masih anak-anak.

“Apa yang terjadi, Paduka?” Duke Bernard bertanya cemas, “Tampaknya Paduka Ratu tidak senang berada di dekat Anda.”

Quinn hanya tertawa. “Dia alergi padaku,” katanya kemudian ia bertanya, “Ada apa kau mencariku, Bernard?”

“Saya hanya ingin bertanya apakah Anda akan menginap di sini atau langsung pulang bersama tamu-tamu yang lain.”

Quinn melihat Eleanor yang kini sudah berbaur dengan tamu-tamu yang lain dikawal Derrick.

“Aku tidak berani menjamin Eleanor dapat melupakan laut di sekitarnya ini,” Quinn memutuskan, “Kami akan pulang bersama kalian.” Dan sebelum sang Grand Duke berkata, ia menambahkan, “Dapatkah kau mencari Lawrence untukku?”

Walaupun tidak mengerti akan permintaan Rajanya, Duke Bernard tetap berkata, “Tentu, Paduka Raja.”

Kemudian, seperti Eleanor, Quinn pun berbaur dengan tamu-tamunya sambil menunggu makan malam.


-----0-----


Eleanor sedang bercanda dengan tamu-tamunya, ketika terdengar bentakan kasar.

“APA!? Apa kalian sudah puas melihatku!” Simona bersila pinggang memelototi sekelompok wanita, “Memangnya kalian pikir siapa kalian!? Beraninya kalian memelototi Duchess of Binkley!!?”

Seperti semua orang di tempat itu, Irina melihat Simona melabrak sekelompok wanita itu tanpa dapat berkata apa-apa.

Eleanor langsung mendekati mereka.

“Kita akan melihat pertunjukan menarik,” Derrick tersenyum simpul.

Irina langsung memelototi Derrick dengan tidak senang. Sementara itu Eleanor sudah tiba di sisi kumpulan orang yang menjadi pusat perhatian itu.

“Apa yang terjadi, Simona?” Eleanor sengaja bertanya pada wanita itu dengan senyum manis tersungging di wajah lembutnya.

Karena Simona tampak tidak ingin menjawab pertanyaannya, Eleanor berpaling pada sekelompok wanita di sisi yang lain. “Dapatkah kalian memberitahuku apa yang telah terjadi?”

Mereka pun tidak mengeluarkan suara.

Eleanor pun menyadari sesuatu. “Walau aku tidak mengerti apa yang telah terjadi, sebagai senior Simona, aku meminta maaf yang sebesar-besarnya.”

Baik Irina maupun Derrick terperanjat.

“Aku harap kalian bisa memaklumi tindakan Simona. Ia masih baru dalam lingkungan ini,” Eleanor berkata dengan segenap ketulusannya, “Aku tidak terlalu mengerti masa lalu Simona. Namun sepertinya, Simona tidak suka terus-terusan menjadi pusat perhatian. Aku berharap kalian bisa memaklumi sikapnya ini. Selain itu aku juga berharap kalian bisa membantu Simona terbiasa dengan kehidupan barunya.”

Bibir Derrick membentuk senyum geli. “Aku sudah tahu Eleanor tidak akan berpihak pada Simona.”

“Sejak kapan dia pandai menyindir orang?” gumam Irina.

Tidak seorang pun dari mereka yang membuka suara. Kemudian Eleanor berpaling pada Simona. “Simona, sebagai Duchess of Binkley, aku ingin kau memahami kedudukanmu. Aku berharap engkau bisa memperlakukan tamu-tamuku seperti tamu-tamumu sendiri. Aku yakin Duke Mathias sudah menjelaskan pentingnya kedudukanmu ini.” Raut wajah Eleanor dipenuhi rasa bersalah. “Maafkan aku, tak seharusnya aku berkata sekeras itu padamu.” Sepasang bola mata birunya menatap Simona lekat-lekat, “Aku lupa engkau pasti masih tidak dapat meninggalkan kebiasaan masa lalumu.”

Tangan Simona terkepal erat di sisi tubuhnya.

“Aku tidak tahu apakah Duke Binkley sudah mengajarkan dasar-dasar tata krama pergaulan kelas ini. Aku hanya ingin mengulangi sebagai seorang Duchess, kau tidak boleh mengumbar emosimu seperti itu. Perbuatan itu hanya merendahkan dirimu sendiri. Semoga engkau bisa memahaminya. Aku tidak ingin orang lain memandang rendah pada wanita yang akan menjadi penerusku sampai putra kami lahir. Engkau juga perlu memahami sebagai Duchess of Binkley, engkau tidak akan dapat terlepas dari pusat perhatian. Jangan khawatir, perhatian setiap orang padamu berbeda dengan perhatian tiap pria ketika kau masih bekerja di Dristol.” Kemudian Eleanor mendesah kecewa. “Aku sungguh iri padamu. Aku, sang Ratu Kerajaan Viering, tidak mendapatkan banyak perhatian walau kedudukanku lebih tinggi darimu.” Lalu Eleanor tersenyum manis, “Apa boleh buat, kau lebih punya daya tarik daripada aku. Bukankah begitu, Duke Mathias?” mata Eleanor tertuju pada sang suami Simona, Duke of Binkley yang sejak awal hanya berdiri terpaku di tempatnya.

Duke Mathias terperanjat. “B-benar, Paduka Ratu.” Ia menjawab dengan gugup.
Derrick tidak dapat menahan tawa gelinya. “Eleanor benar-benar luar biasa.”

“Dia benar-benar tidak mudah dihadapi.”

Derrick terperanjat. Ketika ia menoleh, Quinn sudah berdiri di belakangnya.

“Irina, aku perlu bantuanmu,” kata Quinn ketika ia mendapat perhatian wanita itu.

“Dengan senang hati, Paduka.”

Quinn mengeluarkan sebuah botol kecil dari saku bajunya. “Aku ingin kau memasukkan obat ini pada minuman Eleanor.”

Keduanya membelalak kaget.

“Aku sudah mengatur tempat duduk kalian selama makan malam,” lanjut Quinn, “Aku akan mengalihkan perhatian Eleanor untuk memberi kesempatan pada kalian.”

“I-ini?” Irina menerima botol itu dengan bingung.

“Ini adalah obat tidur yang kuterima dari Lawrence,” Quinn menjelaskan, “Lebih baik membiarkan Eleanor tidur sepanjang perjalanan daripada membiarkannya membuat ulah.”

“Eleanor pasti akan marah besar,” komentar Irina.

“Tidak ada cara lain,” Derrick juga berkomentar, “Hanya ini satu-satunya cara untuk membawa pulang Eleanor tanpa membuat gadis itu ketakutan.”

Quinn tersenyum penuh arti. Kemudian ia berkata, “Sudah saatnya aku menghentikan ini.” Quinn pun mendekati Eleanor.

Irina menarik baju Derrick untuk mendapatkan perhatiannya. “Sejak kapan ia berada di sana? Apakah ia melihat semuanya?”

“Entahlah,” hanya itu yang dapat dijawab Derrick.

“Eleanor, sayangku,” Quinn menyelipkan tangannya di pinggang Eleanor, “Aku tahu engkau tertarik pada masa lalu Simona namun sekarang bukan saatnya mendengar cerita yang menarik itu.”

Eleanor langsung menengadah melihat Quinn.

“Aku yakin makan malam sudah siap,” Quinn memberitahu, “Engkau mau ke sana sendiri atau kugendong?”

Wajah Eleanor langsung memerah. “Aku bisa berjalan sendiri,” ia langsung membalikkan badan.

Quinn tersenyum melihatnya. Ia berpaling pada Mathias dan berkata, “Kuharap engkau bisa membantu istri pilihanmu terbiasa dengan kehidupan barunya ini,” dan ia segera mengikuti Eleanor.



*****Lanjut ke chapter 21

No comments:

Post a Comment