Thursday, December 13, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 19

Eleanor memperhatikan sekelilingnya.

“Kau sudah bangun?” Quinn bertanya lembut.

Mata Eleanor beralih ke pemuda yang duduk di sampingnya itu.


“Apa kau sudah merasa lebih baik?” tangannya merapikan rambut di sekeliling wajah Eleanor.

“D-Di mana ini?” tanya Eleanor panik.

Quinn hanya tersenyum.

Eleanor pucat pasi. Tangannya menggenggam erat selimut tipis yang menutupi tubuhnya.

Quinn duduk di sisi Eleanor. “Tidak ada yang perlu kautakuti,” ia meraih tubuh Eleanor.

Eleanor mencengkeram baju Quinn. Wajahnya terus memutih. Tubuhnya bergetar hebat.

“Kau pasti telah melalui masa-masa yang sulit,” bisik Quinn di telinga Eleanor. Tangannya bergerak membelai rambut gadis itu.

“Aku ingin pulang,” pinta Eleanor.

“Tak lama lagi semuanya akan usai. Corogeanu sudah dekat.”

“Aku masih harus pulang ke Schewicvic,” gerutu Eleanor tidak sependapat.

Quinn termenung. Tidak adakah yang bisa dilakukannya untuk mengalihkan perhatian gadis ini?

“Ini adalah kesempatan langka,” Quinn berdiri, “Mengapa kau tidak melihat pemandangan luar?”

Eleanor mencengkeram baju Quinn semakin erat.

Quinn mau tidak mau duduk kembali. “Kau tidak bisa terus begini.”

“Aku mau pulang,” Eleanor mengulangi.

Quinn mendesah. Trauma berhasil membuat Eleanor menjadi seorang gadis manja yang penakut.

“Aku menyesal sekarang aku tidak bisa menuruti keinginanmu.”

Eleanor juga tahu sekarang terlalu terlambat untuk kembali ke Fyzool. Sekarang sudah amat terlambat untuk menarik kembali keputusannya menerima tantangan Quinn. Sekarang sudah terlambat untuk menghentikan harga dirinya yang terusik oleh ejekan Quinn.

Quinn menyandarkan punggungnya di atas tumpukan bantal tanpa melepaskan Eleanor. “Katakan apa yang harus kita lakukan untuk menghabiskan waktu?”

Eleanor mengangkat kepalanya melihat Quinn.

“Kita masih punya waktu yang panjang sebelum tiba di Corogeanu.”

Eleanor tertegun. Quinn membiarkannya setengah berbaring di atas tubuhnya. Sementara itu tangannya merangkul punggungnya erat-erat. Quinn tidak pernah memperlakukannya dengan lembut seperti ini. Quinn yang biasanya pasti sudah mengejek dirinya dan terus menghinanya. Eleanor membaringkan badan di atas tubuh Quinn. Ia tidak ingin pergi dari kenyamanan ini. Ia tidak ingin melepaskan diri dari kehangatan ini. Ia ingin terus berada di tempat yang menenangkan ini.

Rasa tenang, aman dan nyaman membuat mata Eleanor berat.



-----0-----


“Di mana matamu!”

Semua kegiatan di Ruang Pesta langsung terhenti. Pasangan yang sedang berdansa mematung. Tangan para pemain musik terhenti di udara. Kata-kata orang yang sedang mengobrol tertahan dalam kesunyian.

Semua mata langsung menuju Simona yang bertolak pinggang. Matanya mengadili seorang wanita yang kurang lebih seusia dengannya.

“Apa kau tidak tahu siapa aku!?” Simona membusungkan dada. “Beraninya kau menabrakku!”

Wanita bangsawan itu kesal. Nampak jelas sekali ia tidak suka cara Simona merendahkannya.

“Ada apa, Simona?” Mathias bertanya.

“Tidak ada apa-apa,” Simona membalikkan badannya dengan angkuh, “Hanya seorang tidak tahu diri menabrakku.”

Derrick mengalihkan pandangannya. “Lagi-lagi ia membuat ulah,” katanya.

“Selama Mathias ada di sisinya, tidak ada yang berani melawan Simona,” Irina sependapat.

“Aku ingin tahu,” gumam Derrick, “Apa yang akan dilakukan Eleanor kalau ia ada di sini.”

Irina tersenyum geli. “Ia pasti akan melabrak Simona.”

“Saat itu aku ingin melihat wajah Simona,” Derrick juga tersenyum geli.

“Sayangnya,” Irina kembali cemas, “Kita tidak tahu bagaimana keadaan Eleanor saat ini. Ini sudah berlangsung tiga jam semenjak kita meninggalkan Tognozzi. Paduka juga tidak muncul. Aku benar-benar cemas.”

Irina melihat ayahnya melintasi kerumunan di Hall.

“Papa,” Irina mencegat Grand Duke, “Apa tidak ada kabar? Ini sudah lebih dari setengah perjalanan. Tidak lama lagi kita akan tiba di Corogeanu.”

“Jangan khawatir,” Bernard menenangkan, “Paduka Raja ada di sisinya.”

“Bahkan Paduka Raja pun tidak meninggalkan sisi Eleanor, apakah itu tidak berarti keadaan Eleanor benar-benar gawat!” sergah Irina. “Paduka tidak pernah meninggalkan tamu-tamunya seperti ini.”

Grand Duke tidak dapat membantah. Ini pertama kalinya Quinn meninggalkan tamu-tamunya. Pertama kalinya pula ia meninggalkan perjamuan tanpa menyambut para tamunya terlebih dahulu.

“Aku rasa bukan itu alasan Quinn tidak meninggalkan Eleanor.”

“Derrick!” suara sang Grand Duke meninggi.

“Maksudku Paduka,” Derrick langsung membenarkan.

“Ia bukan tipe orang yang mengambil tindakan untuk mengubah arah gosip,” kata Irina pula.

Ini juga benar. Quinn tidak pernah ambil pusing oleh gosip-gosip yang beredar seputarnya. Ia tidak mungkin sengaja terus berada di sisi Eleanor untuk membuat gosip baru.

Semenjak mendengar dari Grand Duke bahwa Paduka Raja Quinn tidak dapat meninggalkan Paduka Ratu Eleanor yang sedang tidak enak badan, para tamu mulai berspekulasi. Sebelumnya terdengar santer pernikahan mereka yang selalu diwarnai pertikaian hebat. Sebelumnya lagi juga tersiar kabar Eleanor kabur ke Mangstone. Pernikahan keduanya sudah menjadi gosip rahasia selama beberapa bulan terakhir ini. Tidak ada yang mempercayai pernikahan ini akan berlangsung lama. Tidak ada yang mempercayai pula keduanya benar-benar saling mencintai seperti yang pernah mereka umumkan. Dan hari ini…

“Irina benar. Ia bukanlah tipe orang seperti ini,” Derrick sependapat. “Ia bukan orang yang dengan mudah menyerahkan tugasnya pada orang lain. Kecuali ia benar-benar mendapat halangan besar, ia tidak akan menyerahkan tugasnya pada Papa.”

Grand Duke pun sependapat. Walaupun ia adalah tangan kanan Raja terdahulu dan penasehat Raja yang sekarang, Quinn lebih suka melakukan sendiri tugas-tugasnya.

“Bisakah Papa melihat keadaan Eleanor?” pinta Irina. “Aku benar-benar cemas.”

“Baiklah,” Grand Duke sependapat, “Aku akan melihat keadaan Eleanor.”

Grand Duke langsung melangkahkan kaki ke kabin khusus keluarga kerajaan.

Irina menarik tangan Derrick.

“Bukankah Papa sudah setuju akan melihat keadaan Eleanor?” protes Derrick.

Irina tidak menjawab. Ia terus menarik Derrick mengikuti ayah mereka.

Derrick memperhatikan sorot cemas di mata kakaknya. “Aku kalah darimu,” gumamnya.


-----0-----


Suara ketukan di pintu membuka mata Quinn yang terpejam.

“Seseorang perlu membuka pintu.”

Eleanor pun membuka matanya. Ia melihat Quinn yang setengah mengantuk.

Ketukan di pintu kembali terdengar.

Eleanor melihat pintu.

“Kalau kau tidak mau membuka pintu berarti aku yang harus pergi.”

Eleanor mencengkeram baju Quinn dan menggelengkan kepalanya.

“Aku akan segera kembali,” Quinn melepaskan cengkeraman Eleanor.

Eleanor terkejut. Tiba-tiba saja ia merasa kesepian.

Quinn membuka pintu. “Ada apa, Bernard?” tanyanya melihat orang di depan pintu.

“Saya datang untuk melihat keadaan.”

Eleanor merasakan angin laut yang menerobos pintu. Ia mendengar suara yang menderu bagaikan panggilan kematian itu. Ia dapat mencium bau yang membekukan darahnya. Ia teringat angin ribut yang menerbangkan apapun, ombak besar yang menggapai langit, sinar-sinar di langit kelam yang menyilaukan serta jeritan halilintar yang memekikkan telinga.

Quinn menyadari perubahan Eleanor.

“Masuklah ke dalam,” katanya memerintah dan ia menutup pintu rapat-rapat.

Bernard melihat Eleanor yang meringkuk di atas tempat tidur dengan tubuh bergetar heba. Lalu ia melihat Quinn.

“Ia sudah bangun,” Quinn memberitahu.

Bernard turut cemas melihat wajah pucat gadis itu. Ia berharap ia dapat melakukan sesuatu untuknya.

“Katakan bagaimana perkembangan keadaan di luar,” Quinn mengalihkan perhatian Bernard, “Apa yang mereka katakan? Apa ada yang mencariku?”

“Tidak ada, Paduka Raja. Saya telah memberitahu alasan Anda tidak bisa berada bersama mereka. Mereka mengkhawatirkan keadaan Paduka Ratu namun saya telah meyakinkan mereka Paduka Ratu baik-baik saja.”

Semua orang percaya pada penjelasan Bernard kecuali Irina. Sang kakak angkat dan ibu asuh Eleanor itu tidak dapat berhenti menemaskan Eleanor. Tidak akan ada yang dapat menghentikan kecemasan putrinya itu kecuali ia melihat sendiri Eleanor.

Ketika Quinn berada di sisi Eleanor, apakah yang dapat dilakukan Irina? Quinn sudah lebih dari cukup untuk menjaga Eleanor. Itulah yang dikatakan Derrick pada Irina. Namun Irina menahan dirinya bukan karena itu. Melainkan karena ia tidak ingin menganggu mereka.

Sebagai orang yang bertanggung jawab mewakili Quinn, Bernard memutuskan untuk memeriksa sendiri keadaan Eleanor. Ia ingin tahu apakah Paduka Rajanya bisa menghadiri pesta yang ia adakan untuk para tamunya itu. Sekarang ketika melihat Eleanor yang meringkuk di atas tempat tidur, Bernard percaya kali ini Quinn tidak dapat menjadi tuan rumah yang baik untuk alasan yang baik.

“Semua orang mulai membicarakannya, Paduka,” lapor the Grand Duke, “Semua membicarakan betapa besarnya cinta Anda pada Paduka Ratu hingga tidak sanggup meninggalkannya walau hanya sedetik.”

“MENARIK!”

Suara keras pemuda itu memanggil kembali Eleanor dari bayangan masa lalunya yang kelam.

“Kau dengar itu, Eleanor?” Quinn menoleh pada Eleanor, “Kau telah membuat gosip-gosip itu berubah haluan.”

Eleanor kesal mendengar nada mengejek yang tersembunyi dalam suara geli itu. Pemuda ini benar-benar tahu bagaimana mempermainkannya. Sesaat lalu bersikap manis padanya dan sekarang mengejeknya kembali. Eleanor meraih bantal dan melemparkannya pada Quinn.

Quinn menghindar dengan sigap. Tangannya menangkap bantal itu sebelum ia mendarat di wajah Grand Duke Bernard yang termangu.

“Lihatlah!” Quinn menyalahkan, “Kau telah melukai Bernard.”

Eleanor langsung meloncat dari tempat tidur. “Kau tidak apa-apa, Bernard?” tanyanya cemas, “Aku tidak membuatmu terluka, bukan?”

Grand Duke Bernard kebingungan.

Quinn tersenyum geli melihat Eleanor yang tidak mau meninggalkan tempat tidur, berdiri di depan Bernard.

Tiba-tiba saja Eleanor menyadari permainan Quinn.

“KAU!!!!” geram Eleanor kesal.

“Setidaknya kau telah membuat kemajuan,” senyum nakal di wajah Quinn kian lebar.

“Rasanya aku ingin memberi pelajaran padamu,” Eleanor mendekati Quinn dengan kemarahan terpendam.

“Apakah itu yang ingin kaulakukan setelah meninggalkan sarangmu?” selidik Quinn.

Eleanor tidak mempedulikan gurauan itu. Ia merebut bantal di tangan Quinn.

“Hei!” Quinn melindungi dirinya sendiri dari serangan Eleanor.

Grand Duke melihat keduanya kembali hanyut dalam keasyikan mereka sendiri dan ia meninggalkan mereka dengan diam-diam.

“Tidak seorang pun yang bertingkah sepertimu setelah meninggalkan sarangnya,” komentar Quinn sambil terus menangkap serangan Eleanor.

“Kau yang memulainya!” kata Eleanor kesal.

“Sudah cukup permainan hari ini,” katanya sambil mengambil alih bantal di tangan Eleanor.

Sebuah ombak besar menerjang kapal.

Eleanor terkejut. Tubuhnya kehilangan keseimbangan.

Quinn segera memeluk Eleanor sebelum ia terjatuh. Saat itulah Quinn menyadari getaran hebat tubuh Eleanor.

“Sial,” gerutu Quinn.

Kaki Eleanor kehilangan tenaganya dan ia bergelantung lemas di tangan Quinn.

Quinn mendudukkan Eleanor di lantai kabin dan duduk di sisinya sambil memeluknya erat-erat.

“Tidak apa-apa,” bisiknya, “Tidak ada apa-apa. Itu hanyalah ombak biasa.”

Jari jemari Eleanor mencengkeram kemeja Quinn erat-erat.

“Tidak akan terjadi apa-apa,” Quinn meyakinkan, “Aku ada di sini. Aku tidak akan meninggallkanmu.”

Eleanor mendekapkan diri kian erat pada Quinn.

Otak Quinn berputar cepat mencari topik yang dapat mengalihkan perhatian Eleanor.

“Kau membuat kemajuan besar,” gurau Quinn, “Kau merubah haluan gosip-gosip itu. Aku tidak akan heran kalau tak lama lagi mereka menyebutmu pelacur kelas atas.”

Telinga Eleanor memerah mendengar ledekan itu. “Siapa yang pelacur!?” Eleanor naik pitam. Mata biru beningnya menantang Quinn. “Katakan itu lagi maka aku akan… aku akan…”

“Aku apa?” Quinn tersenyum simpul.

“Aku… aku…,” Eleanor tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

“Menunjukkan padaku bahwa kau benar-benar seorang yang ahli dalam hal ini?”

“KAU!!!” Eleanor geram, “K-kau…” Eleanor begitu marah hingga ia kehabisan kata-kata.

Quinn tertawa geli melihat muka Eleanor yang memerah karena amarahnya yang memuncak itu. Eleanor sungguh tidak cocok dengan ekspresi murkanya itu. Wajahnya terlalu cantik, terlalu kekanak-kanakan. Mata biru beningnya yang lembut tampak begitu aneh dengan sorot tajamnya.

“Apa yang kautertawakan!?” bibir mungil itu mencibir kesal.

“Ini,” Quinn menyentuh bibir Eleanor.

Sentuhan lembut Quinn mendinginkan api amarah Eleanor dan membuat dadanya berdebar kencang.

“Kau sungguh tampak begitu menggelikan dengan ekspresi kemarahanmu itu. Kau sungguh tidak cocok untuk marah,” bisik Quinn sambil mendekatkan wajah.

Eleanor pasrah. Ia membiarkan tangan Quinn menjelajahi wajahnya. Ia membiarkan Quinn mengangkat dagunya. Eleanor menutup matanya. Ia sudah benar-benar luluh oleh cara Quinn menyentuhnya.

Quinn pun tanpa ragu-ragu mendekatkan bibirnya.

Seseorang mengetuk pintu.

“Sial!” Eleanor mendengar Quinn menggerutu. “Siapa yang berani merusak suasana ini!!?”

Seketika itu Eleanor sadar dari pengaruh biusan Quinn dan ia menjauhkan diri.

“Belum, sayangku,” Quinn menarik Eleanor kembali ke pelukannya, “Aku belum selesai.”

Sebelum Eleanor sempat menyadari kekagetannya sendiri, Quinn mendaratkan ciuman lembut di atas bibirnya dan ia berdiri untuk membuka pintu.

Eleanor terperanjat. Kejadian ini sangat cepat. Terlalu cepat untuknya. Ia tidak siap untuk itu. Ciuman pertamanya melayang begitu saja tanpa ia sadari. Entah mengapa, Eleanor tidak kecewa. Dadanya terus berdegup kencang. Ia tidak dapat mempercayai ini. Quinn, si pemuda yang lebih suka mengejeknya daripada memujinya, telah menciumnya!

“Saya datang untuk memeriksa keadaan,” kata seorang awak kapal, “Apakah Anda baik-baik saja, Paduka?”

“Apa yang terjadi?”

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Guncangan barusan disebabkan oleh gelombang besar.”

“Kuharap badai tidak datang.”

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Paduka. Kapten mengatakan tidak akan ada badai. Gelombang barusan murni gelombang biasa.”

“Untunglah,” Quinn lega. “Masih berapa lamakah sebelum kita mendarat?”

“Kurang lebih setengah jam lagi, Paduka.”

Quinn melirik Eleanor yang masih duduk di lantai. Gadis itu sedikitpun tidak bergerak. Matanya menerawang kosong seperti tubuh tidak berjiwa. Lalu ia berkata, “Kau bisa pergi sekarang.”

Pria itu langsung mengundurkan diri.

Quinn duduk di depan Eleanor. “Kau sudah lebih baik?” tangannya merangkum wajah Eleanor.

Wajah Eleanor langsung memerah. Wajah Quinn yang begitu dekat itu mau tidak mau membuatnya teringat ciuman singkat Quinn beberapa saat lalu.

“Melihat wajahmu yang seperti ini,” Quinn menggoda, “Kau sudah jauh lebih baik.”

Eleanor kesal. Lagi-lagi ia membiarkan dirinya dipermainkan Quinn!

Quinn tersenyum melihatnya. Tiba-tiba ia berdiri sementara tangannya menarik tubuh Eleanor.

Tubuh Eleanor yang tidak siap langsung limbung.

Quinn memeluk gadis itu dengan lembut. Tangan kanan Quinn memegang pipi yang memucat itu sementara tangan kirinya memeluk pinggang Eleanor, menahan gadis itu.

“Kau tahu, kau bisa membiusku dengan wajahmu yang tanpa dosa itu,” Quinn tersenyum penuh kasih.

Wajah Eleanor merona.

“Kau sungguh membuatku tidak berdaya,” sekali lagi Quinn mendaratkan ciumannya di bibir Eleanor.

Eleanor tidak pernah tahu sebuah ciuman bisa terasa menakjubkan seperti ini. Eleanor tidak dapat menggambarkan perasaan ini. Ia tidak dapat mengutarakannya. Ia merasa luluh tidak berdaya sekaligus terbuai.

Tubuhnya bergetar hebat ketika Quinn melepaskan bibirnya. Bibirnya membuka – haus akan kenikmatan yang baru dikenalkan Quinn padanya. Matanya menatap Quinn penuh kerinduan.

Tangan Quinn menyandarkan kepala Eleanor di pundaknya.

Eleanor menggenggam erat kemeja Quinn dan menyembunyikan wajahnya di dada Quinn. Ia terlalu malu untuk melihat wajah pemuda itu.

“Sekarang,” katanya memecah kesunyian di antara mereka, “Apa yang harus kita lakukan denganmu?”

“Denganku?”

“Pertama-tama aku perlu memulangkanmu ke sarangmu.”

Lagi-lagi Quinn mengagetkan Eleanor. Sebelum Eleanor menyadarinya, Quinn mengangkat Eleanor dan membaringkan gadis itu di atas tempat tidur.



*****Lanjut ke chapter 20

No comments:

Post a Comment