Wednesday, December 12, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 17

Nafas Eleanor tersenggal-senggal. Ia sudah kehabisan tenaganya.

Seumur hidup tidak pernah Eleanor bermain pedang sepanjang hari seperti ini. Tidak seorang pun yang menantangnya bermain hingga matahari tenggelam. Bintang-bintang sore mulai keluar dari tempat persembunyiannya tetapi mereka masih belum berhenti.


“Kau tidak buruk,” kata Quinn juga tersenggal-senggal.

“Kau juga,” balas Eleanor.

“Tidak,” Quinn menerjang.

Eleanor terkejut.

Quinn memainkan pedangnya di pedang Eleanor, “Aku lebih baik darimu,” pedang Eleanor terlempar dari tangan Eleanor.

Eleanor terperangah. Pedangnya jatuh tak jauh dari sisinya.

Quinn tertawa puas.

Eleanor menatapnya dengan tajam.

“Kau benar-benar membuatku lelah,” Quinn menjatuhkan diri di atas rumput.

Eleanor menatap tajam pria itu.

“Hari sudah larut,” kata Quinn, “Sebaiknya kita berhenti.”

Eleanor melihat langit malam yang bertaburan bintang dan membaringkan diri di sisi Quinn.

Eleanor memperhatikan bintang-bintang yang menghiasi langit malam. Matanya terpejam merasakan angin sepoi-sepoi yang menari-nari di udara. Ketenangan sore ini benar-benar membuai dirinya. Eleanor ingin terus seperti ini – berbaring di atas rumput sambil menikmati semilir angin yang membuaikan diri. Dan kesunyian alam yang menenangkan hati.

Quinn juga berdiam diri memperhatikan langit malam dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip di atasnya. Entah sudah berapa lamanya ia tidak menghabiskan banyak tenaga seperti ini. Gadis ini memang liar. Gerakannya sama sekali tidak terduga.

“Sudah waktunya kita kembali,” Quinn berdiri dan menoleh pada Eleanor.

Mata Eleanor terpejam rapat. Nafasnya naik turun dengan teratur.

Quinn berlutut di sisi Eleanor. “Kau pasti kelelahan,” tangannya terulur menyeka keringat di dahi Eleanor yang belum mengering. “Kau bisa sakit kalau kau tidur di sini,” ia berkata lembut.

Eleanor sudah terbuai ke dalam dunia mimpinya.

Quinn tersenyum. Ia membungkukkan badan, meletakkan kepala Eleanor di bahunya dan mengangkat tubuh gadis itu dari tanah.

“Bawa masuk pedang yang tergetak di kebun belakang,” perintahnya pada prajurit pertama yang dilihatnya dan ia terus membawa masuk Eleanor.

Grand Duke Bernard melihat Quinn mendekat sambil membopong Eleanor.

“Yang Mulia,” Grand Duke mendekat dengan cemas.

“Tidak apa-apa,” Quinn menenangkan pria tua itu, “Ia hanya kelelahan.”

Grand Duke memperhatikan mata Eleanor yang terpejam. Ia tampak begitu tenang dengan wajah tidurnya yang manis itu.

“Tampaknya beliau benar-benar kelelahan.”

Quinn tertawa. “Ia adalah Xena.”

“Xena?” Grand Duke bertanya heran.

Quinn tersenyum. “Tapi ia tetaplah seorang wanita,” matanya memandang lembut gadis dalam gendongannya itu.

Grand Duke tertegun. Belum pernah ia melihat Quinn tersenyum seperti itu. Belum pernah ia melihat sinar mata itu.

“Aku akan membawanya ke kamarnya.”

“Silakan, Paduka,” Grand Duke menepi – memberi jalan.

Grand Duke memperhatikan Quinn yang berjalan menjauh sambil membopong Eleanor. Dalam hati ia berpikir, ‘Pilihanku mungkin tidak salah.’



-----0-----


Eleanor terbangun oleh rasa lapar. Ia duduk di tepi ranjang dan memperhatikan sekelilingnya dengan bingung.

“Kau sudah bangun?”

Eleanor tertegun melihat Quinn duduk di kursi depan perapian.

“Mengapa kau di sini?” Eleanor tiba-tiba menyadarinya. Semenjak ia mengeluhkan sikap Quinn yang seperti pengasuh yang selalu mau memastikan ia tidur, Quinn hampir tidak pernah datang ke kamarnya. Dan tiba-tiba saja hari ini ia berada di sini dengan senampan teh dan makanan ringan.

“Apakah aku tidak boleh berada di dalam kamar istriku?” Quinn menyelidiki.

“Tidak. Aku tidak bermaksud demikian,” Eleanor membela diri, “Aku hanya merasa heran.”

“Kau tertidur pulas seperti seekor babi kecil dan aku tidak tega membiarkanmu terbangun dengan perut lapar.”

Eleanor terperangah. Perutnya berbunyi.

“Sudah kuduga kau akan kelaparan,” Quinn tersenyum geli.

Eleanor tidak suka cara pria itu berbicara. Ia membuang mukanya dengan angkuh dan melangkah ke pintu.

“Kau tidak mau menemaniku?” Quinn bertanya heran, “Aku telah meminta mereka menyiapkan jatah untuk dua orang.”

Langkah kaki Eleanor terhenti. Ia melihat Quinn yang dengan tenangnya menyiapkan sebuah piring di depannya dan dengan tenang pula ia menuangkan teh dalam cangkir di depannya.

“Mereka akan kecewa kalau kau tidak menghabiskan jatahmu.”

Dengan kesal Eleanor duduk di kursi panjang di depan pria itu.

“Tidak ada perdebatan,” kata Quinn santai, “Aku sudah sangat lelah.”

Eleanor tidak menanggapi. Ia mengulurkan tangan mengambil cangkir yang telah diisi Quinn untuknya. Saat itulah ia menyadari ia sudah berganti baju.

Eleanor melihat Quinn dengan pucat. “Apa yang kaulakukan?”

Quinn kebingungan.

“Mengapa aku sudah berganti baju!?” Eleanor ingat persis ia berbaring di sisi Quinn di atas rumput dengan pakaian berkuda merah pemberian Irina dan sekarang ia sudah mengenakan baju tidur coklat muda sutranya.

Quinn tertawa geli.

Eleanor tidak suka mendengarnya. “Apa yang lucu!!?” bentaknya kesal.

Tawa Quinn langsung menghilang. Ia berdiri.

Eleanor dapat merasakan bahaya ketika pria itu mendekat. Ia bergeser menjauhi pria itu.

Quinn sengaja memojokkan gadis itu di salah satu sudut kursi panjang itu. Satu tangannya memegang sandaran kursi dan satunya memegang pegangan kursi. Tubuhnya membungkuk pada Eleanor yang meringkuk di pojok.

Eleanor benar-benar terpojok di kursinya. Quinn mengurungnya di antara dua tangannya. Ia tidak punya ruang untuk kabur.

“Katakan, istriku,” Quinn mendekatkan tubuhnya.

Eleanor tidak suka cara pria itu memanggilnya. Jelas sekali pria itu tengah mengejeknya!

“Apa kau mau memulainya?” Quinn mendekatkan wajahnya.

“Memulainya?” Eleanor bingung.

“Bukannya kita belum pernah melakukannya sama sekali,” Quinn terus memperpendek jarak di antara mereka.

‘Quinn terlalu dekat!’ sesuatu dalam diri Eleanor memperingatkan. Eleanor dapat merasakan hembusan nafas Quinn. Ia dapat merasakan gerakan bibir Quinn di atas bibirnya. Apa pun yang tengah dimainkan pria itu, Eleanor tahu ia harus segera mencari cara untuk melepaskan diri.

“Katakan,” bisik Quinn berbahaya, “Apa yang bisa kulakukan pada seorang babi kecil yang tidur pulas sepertimu?”

Eleanor marah. Ia membenci pria itu menyebutnya babi!!

“Mulutmu bau,” katanya dingin.

Quinn termangu. Ia menatap sepasang mata biru yang kesal itu.

“Mulutmu bau,” ulang Eleanor dengan tatapan mata dinginnya.

Quinn tertawa geli. “Kau memang benar-benar pandai merusak suasana,” pria itu menjatuhkan diri di sisi Eleanor.

“Apa katamu!?” Eleanor melayangkan tinjunya ke dada pria itu.

“Dan liar,” Quinn menangkap kedua tangan Eleanor.

“Kau yang,” Eleanor terpesona. Ia tidak pernah melihat Quinn tersenyum seperti ini padanya. Sepasang mata kelabunya menatapnya lembut bukan mengejek seperti biasanya. Quinn benar-benar memberikan senyumnya yang menawan!

“Kau sungguh manis dengan pipimu yang memerah itu,” tangan Quinn memegang pipi Eleanor. Sekali lagi Quinn mendekatkan wajahnya.

Jantung Eleanor berdebar kencang tanpa bisa dihentikan gadis itu. Sepasang mata birunya terus terpaku pada sepasang mata kelabu yang tersenyum lembut itu.

“Kuberitahu, istriku yang lugu,” Quinn berbisik di telinga Eleanor, “Pelayanlah yang membantumu berganti baju.” Senyum di wajah Quinn berubah menjadi senyum mengejek yang selalu ia tunjukkan.

Eleanor langsung sadar. Quinn sedang mempermainkannya!

“Kau benar-benar menyebalkan!” Eleanor mendorong Quinn.

Quinn tertawa geli. Membuat Eleanor marah memang hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan setelah sepanjang hari berkutat dengan pekerjaan yang membosankan.

“Tidak lucu!” Eleanor berdiri dengan kemarahan yang memuncak. Ia benar-benar membenci pria ini!

“Duduk!” Quinn menangkap tangan Eleanor.

Eleanor melihat sepasang mata Quinn yang berkilat itu. Ia tahu Quinn tidak suka ia pergi tanpa menghabiskan makanannya. Namun Eleanor sendiri juga sudah mencapai puncak kemarahannya. Maka, ia menebaskan tangan Quinn. “Mengapa aku harus mendengarmu!?” katanya marah.

Quinn terkejut. Ini kedua kalinya Eleanor meninggalkan makannya yang belum tersentuh sama sekali.

Eleanor tahu Quinn pasti sudah menyuruh prajurit menjaga pintu kamarnya. Ia pasti telah memikirkan segala cara untuk tetap menahannya di dalam kamar. Namun ia tidak akan membiarkan pria itu terus menang.

Quinn memperhatikan Eleanor yang berjalan ke beranda dengan kesal. Tiba-tiba ia sadar Eleanor sudah marah besar. Quinn kesal ketika menyadari ia dibuat takut oleh kemarahan gadis itu.

Hingga saat ini ia tidak mengerti mengapa ia suka melampiaskan kepenatannya kepada Eleanor. Ia mengakui ia menikmati kemarahan gadis itu. Walaupun ia tidak menyukai keliaran gadis itu, ia benar-benar dibuat takut ketika gadis itu bersikap anggun.

Ia tidak mungkin lupa ketika Eleanor benar-benar marah pada hari itu. Hari itu adalah pertama kalinya Eleanor menghadiri pesta sebagai seorang Ratu Viering. Juga pertama kalinya Quinn mengijinkan Eleanor keluar Fyzool.

“Aku tidak mau!” itulah reaksi pertama Eleanor ketika ia mengajukan syarat-syaratnya. “Kau tidak bisa memerintahku!”

“Kau harus ingat siapa yang berkuasa di tempat ini!” nada Quinn meninggi, “Kau harus ikut!”

“Tanpa bantahan!” Quinn menambahkan dengan tegas ketika melihat Eleanor akan membuka mulutnya, “Dan kuperingatkan kau, jangan berbuat yang macam-macam,” Quinn memberikan sinyal bahaya, “Aku tidak ingin kau mempermalukan aku!”

“Kau tidak bisa memerintahku!”

“Siapa yang mengatakannya? Aku adalah suamimu. Aku berhak mengaturmu!”

“Siapa yang memintanya!? Aku hanya kebetulan terpilih menjadi istrimu! Aku tidak pernah sudi menikah denganmu!” suara Eleanor meninggi. Eleanor kesal. Ia marah. Ia sudah tidak mau melihat pria itu lagi. Mati pun ia tidak akan sudi melihatnya!

Tanpa menanti jawaban Quinn, Eleanor langsung meninggalkan ruangan itu. Ia akan menunjukkan pada pria itu bahwa ia bukan gadis yang bisa sembarangan diperintah. Akan ia tunjukkan ia bukan gadis yang bisa dipermainkan. Ia bukan seorang dari para penggemarnya yang terus berlomba-lomba untuk menunjukkan siapa yang paling pantas untuk menjadi pendamping Quinn!

Dan keesokan sorenya, Quinn puas ketika melihat Eleanor. Gadis itu tampak begitu memukau. Ia jauh lebih cantik dari saat pernikahannya. Ia jauh lebih anggun dari pesta pertunangannya. Dari aura yang ditebarkannya, Quinn merasa gadis itu sudah menjadi sosok lain yang tidak dikenalnya.

Quinn benar-benar puas. Ia tahu mengapa Nicole tiba-tiba mengadakan pesta itu dan mengundang keduanya. Nicole masih tidak dapat menerima keputusannya untuk menikah dengan gadis lain ketika mereka masih bersama. Nicole tidak mengakui Eleanor! Ditambah dengan kelakukan Eleanor yang mulai menjadi bahan pembicaraan, Nicole pasti ingin membuktikan pada dunia bahwa Eleanor tidak pantas menjadi seorang Ratu Viering. Namun dalam pesta itu Eleanor merebut perhatian semua orang. Ia menjadi seorang gadis muda yang bersinar paling cantik dan menawan dalam pesta itu.

Sayangnya, kepuasan itu tidak bertahan lama. Quinn mulai merasakan kejanggalan ketika Eleanor bersikap angkuh kepada setiap undangan di pesta itu bahkan Irina, sang kakak angkat kesayangannya. Ia baru benar-benar menyadari kejanggalan itu ketika Eleanor tetap bersikap kaku dan anggun keesokan harinya dan beberapa hari setelahnya.

Sepanjang hari Eleanor tidak terlihat berkeliaran di sekitar Fyzool. Ia tidak nampak ketika para pekerja kebun melakukan pekerjaan rutin mereka. Ia tidak terdengar muncul tiba-tiba di dapur. Ia tidak muncul seperti seorang pahlawan ketika Quinn sedang memarahi seseorang. Ia tidak lagi kabur dalam pelajaran musiknya. Sepanjang hari Eleanor duduk di Ruang Musik memeriahkan suasana Fyzool dengan permainan pianonya yang lembut. Di lain waktu ia menemani tamunya sepanjang hari. Sikapnya yang berubah total itu membuat semua orang bingung dan membuat Quinn panik.

Quinn memerintahkan gadis itu untuk berhenti mengambek seperti seorang anak kecil namun gadis itu dengan polosnya bertanya,

“Mengambek? Siapakah yang sedang mengambek?”

“Berhentilah bersikap seperti ini!” Quinn menegaskan.

“Maafkan saya, Paduka,” Eleanor menyesal, “Saya sungguh tidak mengerti permintaan Anda.”

“Berhentilah bersikap seperti ini. Kau membuatku muak.”

“Apakah yang membuat Anda tidak puas, Paduka?” tanya Eleanor tidak mengerti, “Bukankah ini yang Anda inginkan dari istri Anda?” Eleanor menyeka bibirnya.

Mata tajam Quinn tidak lepas dari Eleanor yang dengan anggun meletakkan sendok garpunya. Kemudian ia berdiri.

“Maafkan saya, Yang Mulia,” kata Eleanor lembut, “Saya tidak dapat menemani Anda lebih lama lagi.”

Mata Quinn terus memperhatikan Eleanor yang berjalan dengan anggunnya menuju pintu. Dadanya membusung selayaknya seorang lady yang mengerti benar posisi dan kekuasaannya. Eleanor sudah menjadi sesosok yang tidak dikenalnya.

Quinn juga meminta Grand Duke untuk menyampaikan pesannya pada Eleanor.

“Katakan pada gadis itu aku sudah tidak akan memaksanya,” kata Quinn kepada Grand Duke, “Katakan padanya untuk berhenti bersikap kekanak-kanakan seperti ini.”

Quinn berharap setidaknya Eleanor akan mendengar pria yang dihormatinya itu. Namun ia salah, Eleanor tidak berhenti bersikap dingin dan anggun.

Quinn tidak mengerti. Ia sama sekali tidak mengerti keadaan ini. Bukankah seharusnya ia senang dengan keadaan ini? Inilah istri yang diinginkannya! Seorang lady cantik yang anggun, pendiam dan penurut. Tetapi mengapa justru keadaan ini membuatnya tidak tenang? Mengapa ia justru merasa tersiksa. Ia merasa seperti sedang dihukum!

Quinn geram. Ini semua gara-gara gadis itu! Ia pasti tengah merencanakan sesuatu yang membuatnya was-was. Tapi… apa yang telah dilakukan gadis itu? Ia telah menuruti perintahnya dengan bersikap anggun selayaknya seorang lady sejati. Hari ini pun ia tidak melakukan sesuatu yang merepotkannya. Kemarin ia juga tidak membuat ulah. Ia sudah menjadi sosok istri yang diinginkannya.

Sudah tujuh hari ini Eleanor bersikap manis. Quinn tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Ia tidak bisa membiarkan keadaan yang menyiksa ini berlanjut terus menerus.

Quinn mendengar dari Bernard. Irina adalah orang yang membesarkan Eleanor tetapi Derrick adalah orang yang membentuk Eleanor yang sekarang. Satu-satunya cara untuk menghentikan Eleanor adalah memanggil kembali keliarannya itu.

Maka di malam ketujuh itu, Quinn, setelah sekian lama absen, muncul di kamar Eleanor.

Eleanor sudah hampir tertidur ketika ia masuk.

Matanya yang setengah mengantuk melihatnya dengan bingung ketika ia membaringkan diri di sisi gadis itu.

“Apa yang kaulakukan!!?” Eleanor terperanjat ketika Quinn menarik tubuhnya. Sepasang mata birunya membelalak kaget.

“Menurutmu, apakah yang dilakukan istri penurut sepertimu terhadap permintaan suaminya yang mendesak?”

“Apa?”

“Kuberitahu, Eleanor,” Quinn menindih Eleanor, “Apa yang seorang lady sejati lakukan untuk suaminya.”

“Kalau kau kesepian, jangan cari aku,” Eleanor berkata dingin.

Quinn bingung.

“Aku bukan pengasuhmu!” Eleanor mendorong Quinn sekuat tenaganya.

Quinn duduk di sisi Eleanor dan tertawa geli.

“Apa yang lucu!?” Eleanor bangkit.

Melihat wajah kesal gadis itu, Quinn tahu ia membangkitkan kembali keliaran gadis itu. Setelahnya mereka memang bertengkar hebat namun Quinn merasa lega. Eleanor telah kembali ke sifat aslinya.

Quinn memutuskan! Ia harus melakukan sesuatu sebelum Eleanor memutuskan sesuatu yang akan menyusahkannya.

Tangan Eleanor memutar pegangan pintu serambi.

“Aku tidak akan melakukannya kalau aku adalah kau,” tangan Quinn menahan pintu.

Eleanor melihat pria itu dengan kesal.

“Atau aku akan membatalkan bulan madu kita?”

“Bulan madu?” Eleanor bertanya bingung, “Apa itu?”

“Jangan membuat usahaku sia-sia. Aku sudah bersusah payah menyisihkan waktu untuk membawamu pergi.”

“Pergi!?” Eleanor berseru senang. “Kita akan pergi ke mana? Ke mana?”

Quinn tersenyum geli melihat reaksi gadis itu. Ia benar-benar seperti seorang gadis kecil yang diberi permen.

“Ke Corogeanu,” Quinn menjawab.

“Corogeanu...?” mata Eleanor nanar.

“Ada apa?” Quinn mengejek, “Apa kau takut ke Corogeanu?”

“T-tidak!” sahut Eleanor, “S-siapa yang takut!?”

Walaupun Eleanor berkata seperti itu, Quinn tahu Eleanor berbohong. Ia melihat mata gadis itu menunduk ke lantai dan tangannya bertautan di depan dadanya. Quinn yakin ia melihat tubuh gadis itu bergetar.

“Teh kita pasti sudah dingin,” Quinn memeluk pundak gadis itu. Sekarang ia dapat merasakan getaran tubuh gadis itu di telapak tangannya.

‘Red Invitation memang telah meninggalkan luka di hati banyak orang,’ Quinn berkata pada dirinya sendiri.



*****Lanjut ke chapter 18

No comments:

Post a Comment