Tuesday, December 11, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 16

“Aku benci gadis ingusan itu! Aku benci!” teriak Simona.

“Iya… Iya…”


“Beraninya ia menyindirku!? Beraninya ia menyindir pernikahanku!? Memangnya siapa dia!? Mentang-mentang pernikahannya lebih mewah dariku, ia bisa mengatakan aku seperti itu!? Gadis ingusan itu tidak pantas menjadi seorang Ratu! Viering! ‘Aku sudah lama ingin bertemu denganmu’. Apanya yang sudah lama!? Jelas-jelas ia tidak ingin bertemu denganku. ‘Bolehkan aku memanggilmu Simona?’. Memangnya siapa dia!? Bisa-bisanya dia berlagak akrab. Ia kira aku tidak tahu ia memandang rendah padaku? ‘Aku yakin kau juga menginginkan sebuah pesta pernikahan yang meriah’. Kalau iya memangnya mengapa!?”

Todd mengangguk-angguk.

“Dia sama sekali tidak pantas menjadi seorang Ratu. Akulah yang paling pantas menjadi Ratu Viering!”

“Lalu,” Todd menekuk sikunya di atas bantal dan mengawasi wajah cantik Simona yang dinodai kemarahan itu, “Apa yang akan kaulakukan?” Todd memegang dagu Simona. “Wajahmu yang cantik ini tidak pantas dinodai oleh kemarahan.”

“Hentikan, Todd!” Simona menepis tangan Todd. “Sekarang aku bukan Simona yang dulu!”

“Wah… wah…,” komentar Todd, “Setelah menjadi seorang Duchess, sekarang kau menjadi sombong.”

“Justru karena aku adalah seorang Duchess, aku harus menjaga sikapku!” Simona menegaskan.

“Oh ya?”

“Jangan meremehkan aku!” Simona marah.

“Lalu, mengapa kau ada di sini?”

“Apa kau tidak suka aku mengunjungimu?” Simona berkata dengan genitnya. Ia memiringkan badannya menghadap Todd.

“Bagaimana dengan sang Duke of Binkley?” tanya Todd tertarik.

“Ia tidak lebih dari sebuah alat bagiku. Ia hanya kumanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dan kau, kau adalah petualangan liar. Duke bodoh itu tidak bisa memberikan apa yang bisa kauberikan padaku.”

“Dan ia bisa memberimu apa yang tidak bisa kuberikan padamu.”

Simona menindih tubuh telanjang Todd.

“Ia mempunyai uang dan kekuasaan tapi ia adalah seorang pria bodoh yang penakut. Kau adalah seorang pria cerdas yang pemberani. Hanya kau yang bisa memberikan kepuasan padaku. Tapi kau tidak bisa mendapatkan hatiku.”

“Kau kira aku tidak tahu?” tanya Todd, “Tidak akan ada yang pernah mendapatkan hatimu. Kau cantik tetapi kau juga berbahaya.”

Simona mendaratkan ciuman ganasnya di leher Todd.

“Inilah yang kusuka darimu,” Todd membalas ciuman wanita itu, “Hatimu hanya milik ambisimu.”

Keduanya pun kembali bergulat pada petualangan liar mereka yang terlarang.

Sementara itu di kediamannya, Mathias terkejut mendapati Simona tidak ada di sisinya ketika ia terbangun. Ia semakin panik ketika mengetahui dari pelayan Simona pergi ke Istana Fyzool untuk menemui Quinn.

Ia sudah memperingati wanita itu untuk tidak mendekati Fyzool. Ia sudah memberitahunya untuk tidak menemui Quinn.

Dari pertemuannya dengan Quinn yang terakhir, Mathias tahu Quinn pasti akan membunuh Simona bila ia mempunyai kesempatan. Sekarang Simona malah pergi menemui pemua itu. Ini sama saja dengan pergi mengirim nyawa ke dunia lain!

Mathias benar-benar cemas. Ia tidak berani ke Fyzool. Ia tidak berani menganggu Quinn. Tidak ketika Quinn sedang marah besar.

Ia pernah menjadi seorang sosok kakak yang dikagumi Quinn. Namun sekarang ia hanyalah seorang makhluk yang tidak berarti di mata pemuda itu. Quinn telah melampauinya.

Quinn adalah seorang Raja dan ia hanyalah seorang Duke. Mereka bukan lagi sepasang saudara yang bermain bersama dengan riangnya.



-----0-----


Eleanor bersin.

“Anda sakit, Paduka Ratu?” seorang pelayan melihat Eleanor.

Eleanor terus bersin tanpa henti.

“Gawat,” Nicci cepat-cepat memegang dahi Eleanor, “Apakah Anda demam? Apakah Anda sakit?”

Seorang pria tua menghentikan gerakan gunting rumputnya. “Sudah hampir musim gugur ‘kan?”

Semua orang langsung melihat Eleanor lalu ke Nicci.

Nicci melihat gaun Eleanor yang memamerkan pundaknya yang putih. “Setelah menemui Duchess, Paduka Ratu memaksa langsung ke sini. Ia tidak mau berganti baju,” katanya bersalah.

“Siapa yang mau berganti baju!?” Eleanor diingatkan paksaan Nicci di saat suasana hatinya sedang buruk. Mau tak mau kemarahannya bangkit lagi. “Pria sial itu sudah merusak suasana hatiku. Di saat begini apa aku masih punya waktu memikirkan ganti baju!?”

Mereka semua tertawa geli.

“Anda bertengkar lagi dengan Paduka,” kata seorang pelayan.

“Sepertinya kalian tidak bisa tidak bertengkar,” timpal yang lain.

“Katakan itu pada Quinn!” Eleanor geram, “Ia selalu mencari perkara. Setiap saat ia hanya bisa memarahi orang.”

“Paduka Raja bukan orang seperti itu,” seorang pelayan tersenyum penuh arti.

“Ia adalah orang yang sabar,” kata yang lain.

“SABAR!?” Eleanor naik darah, “Setiap saat ia mencari kesalahanku. Setiap kali ia mencari kesempatan untuk memarahiku. Kalian mengatakan ia sabar.”

“Hanya kepada Anda,” pria tua itu kembali melanjutkan pekerjaannya memotong rumput.

Eleanor tertegun.

“Dulu Paduka adalah orang yang periang. Kami semua menyukainya. Namun semenjak kepergian orang tuanya, ia berubah,” kata pria itu.

“Hubungannya dengan Duke Mathias pun berubah.”

Eleanor langsung menoleh pada pelayan yang mengatakan hal itu.

“Duke Mathias dan Paduka adalah teman dekat. Ke mana pun mereka berada, mereka selalu berdua. Paduka selalu mengagumi Duke Mathias. Ia memujanya sebagai idolanya. Mereka berdua benar-benar akrab,” wanita itu melanjutkan.

“Perlahan-lahan Paduka Raja berubah,” timpal yang lain, “Ia menjadi seorang yang serius dan dingin. Kami menjadi jarang melihat senyumnya. Ia juga tidak pernah sembarangan menunjukkan kemarahannya. Ia tahu benar bagaimana mengendalikan perasaannya.”

“Sekarang Paduka sudah mulai kembali ke masa kecil Paduka,” pria tua itu tersenyum penuh arti, “Hanya kepada Anda, Paduka bisa menunjukkan perasaannya yang sebenarnya.”

“Hanya kepadaku,” dengus Eleanor tidak percaya.

“Tampaknya Paduka benar-benar mencintai Anda,” timpal yang lain.

“Cinta padaku!?” Eleanor memekik jijik, “Benar-benar membuat orang semakin kesal.”

Mereka semua tersenyum.

Nicci terperanjat. Ia harus segera bertindak sebelum Eleanor membuka sendiri kebohongan di balik cerita cinta mereka.

“Sudah cukup, Paduka Ratu,” Nicci memegang tangan Eleanor, “Sekarang Anda harus kembali. Saya tidak mau disalahkan kalau Anda sakit.”

Eleanor terperanjat. “Lepaskan aku, Nicci. Aku masih belum selesai.”

“Nicci benar, Yang Mulia,” kata orang-orang itu, “Kami tidak mau Anda jatuh sakit.”

“Masalah bunga-bunga ini,” seorang wanita mengangkat keranjang bunga Eleanor dari tanah, “Serahkan pada kami.”

“Kami akan mengumpulkan bunga-bunga yang terbaik untuk Anda.”

Eleanor tersenyum. “Terima kasih,” katanya kemudian membiarkan Nicci membawanya ke dalam Istana.

Orang-orang itu tersenyum melihat kepergian Eleanor yang setengah ditarik Nicci diikuti para pengawalnya.

“Grand Duke telah memilih istri yang tepat untuk Paduka Raja,” komentar pria tua itu tanpa menghentikan gerakan tangannya yang terampil membentuk semak-semak halaman Fyzool.

Eleanor tertarik kerumunan di halaman belakang Fyzool. Ia ingin tahu apa yang sedang ditonton oleh kerumunan yang kebanyakan adalah para gadis itu. Tanpa berpikir panjang, Eleanor melangkahkan kakinya ke kerumunan itu.

“Paduka Ratu!” Nicci lekas mengejar.

Kedua prajurit yang selalu mengawal Eleanor pun langsung mengekor.

Eleanor menerobos kerumunan itu untuk berada di depan.

Quinn sedang bermain pedang dengan seorang prajurit. Dengan gerakan-gerakannya yang anggun, ia memukau para penontonnya. Para gadis itu berteriak histeris ketika Quinn berada dalam posisi terjepit dan mereka berseru senang ketika Quinn mengambil alih keadaan.

Eleanor membuang mukanya. Apa bagusnya menonton pria ini? Dan mengapa pula para gadis ini harus berteriak histeris seperti ini?

“Paduka Ratu,” Nicci akhirnya berhasil kembali ke sisi Eleanor dan ia mengeluh, “Jangan tiba-tiba lari seperti ini.”

“Mari kita pergi,” Eleanor menarik tangan Nicci, “Tidak ada yang menarik di sini.”

Nicci melihat Quinn yang sedang bermain pedang. “Paduka Raja tampak sangat mahir,” pujinya.

“Ia tidak jauh lebih baik dariku.”

Quinn mendengar komentar itu.

“Mari kita buktikan!” Quinn melempar sebuah pedang pada Eleanor.

Semua orang kaget. Nicci langsung berlindung di belakang Eleanor.

Eleanor menangkapnya. “Ide bagus,” ia menerima tantangan Quinn.

“Paduka Ratu,” pelayan Eleanor itu cemas.

“Menyingkirlah, Nicci,” perintah Eleanor.

Senyum di wajah Quinn mengejek Eleanor.

“Apa kau kira aku takut padamu?” Eleanor tidak suka cara pria itu mengejeknya.

Dalam waktu singkat mereka terlibat duel yang seru. Suara pedang mereka yang saling bertautan memanggil setiap orang yang mendengarnya untuk mendekat.

“Permainan pedangmu cukup bagus,” puji Quinn tanpa meninggalkan nada-nada mengejeknya.

“Kau juga tidak jelek,” Eleanor membalas pujian yang mengejek itu.

“Sayangnya kau tidak bertenaga.”

Eleanor tidak menyukai ejekan itu. Tetapi Eleanor juga mengakui permainan pedangnya tidak dapat mengimbangi permainan Quinn.

Eleanor bukanlah seorang yang lemah. Eleanor sering bermain pedang dengan ayahnya dan ayahnya sering memuji permainan pedangnya. Eleanor juga yakin ia akan dapat mengalahkan Quinn.

Gaun panjangnyalah yang menghambat gerakannya. Eleanor tidak dapat bergerak dengan leluasa tanpa mengkhawatirkan kakinya menginjak ujung gaunnya. Eleanor tidak dapat bergerak seperti keinginannya tanpa memperhatikan gaun sutranya yang mengganggu itu.

Quinn menyudutkan Eleanor ke sebuah batang pohon.

Eleanor menahan pedang Quinn sekuat tenaganya.

“Ada apa, Eleanor?” ejek Quinn, “Ke mana semangatmu yang meluap-luap itu.”

Eleanor kesal. “Aku tidak selemah itu!” Eleanor mengangkat lututnya dan menghantamkannya sekuat tenaga ke perut Quinn.

Quinn merintih kesakitan.

“Tunggu di sini!” Eleanor menggunakan kesempatan itu untuk menghindari Quinn.

“Ada apa? Apa kau takut?” ejek Quinn sambil memegangi perutnya.

“Aku tidak takut padamu!” Eleanor melempar pedang di tangannya.

Semua orang menjerit panik.

Quinn menghindar tepat sebelum pedang itu menyentuh wajahnya.

Pedang Eleanor tertancap di batang pohon.

Eleanor geram melihatnya. “Jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang!” serunya lalu ia berlari menerobos kerumunan orang yang memperhatikan mereka dengan tertarik itu.

“Benar-benar gadis liar,” gumam Quinn sambil tersenyum penuh arti.

“Paduka,” Grand Duke Bernard mendekat.

“Ada apa?” tanya Quinn.

“Saya mohon hentikanlah permainan yang berbahaya ini,” pinta Grand Duke, “Paduka Ratu tidak tahu apa yang sedang dimainkannya. Ia masih anak-anak.”

“Jangan khawatir, Bernard,” Quinn mencabut pedang Eleanor, “Kau juga melihatnya bukan? Dia bukan sekadar menggerakkan pedang. Ia cukup terlatih untuk permainan ini.”

“Tetapi, Paduka.”

“Aku tidak akan mencelakakan Eleanor,” kata Quinn, “Aku hanya ingin menghilangkan kebosanannya itu.”

Grand Duke Bernard tersenyum.

“Permainan ini tidak akan berhenti dengan cepat,” kata Quinn lagi, “Kau tentu bersedia membantuku.”

“Tentu, Paduka,” Grand Duke mengerti permintaan itu, “Hari ini saya akan mewakili tugas Anda mempersiapkan hal itu.”

Quinn tersenyum. “Bubarkan orang-orang ini. Aku tidak suka ditonton seperti ini. Kami bukan tontonan yang menarik.”

“Saya mengerti, Paduka,” Grand Duke Bernard membungkuk lalu ia mundur dari sisi Quinn.

Bersama beberapa prajurit, Grand Duke menghalau orang-orang itu.

Eleanor berlari mendekat.

Quinn tersenyum penuh arti melihat tubuh mungilnya yang terbungkus baju ketat berkudanya.

“Apa? Kau tidak suka?” Eleanor tidak menyukai senyuman itu, “Maaf, aku tidak pernah ingin mengikuti seleramu. Hanya ini yang bisa kutemukan.”

“Aku tidak mengatakan apa-apa,” Quinn membela diri.

“Benar. Tapi senyummu itu sudah menjelaskan semuanya,” balas Eleanor kesal.

Quinn mengabaikan pernyataan itu. “Kau sudah siap?” ia melempar pedang itu ke Eleanor.

“Kapan pun kau siap,” Eleanor menangkap pedang itu dan bersiap siaga.

Grand Duke memperhatikan kedua orang yang mulai terlibat dalam permainan pedang yang seru itu.

Grand Duke tahu Eleanor tidak sekedar menggerakkan pedangnya. Eleanor memainkan pedangnya dengan bagus dan terencana. Eleanor tidak mempermaikan permainan pedang anak kecil. Ia benar-benar terlatih untuk itu.

Grand Duke juga tahu kemampuan Quinn berada jauh di atas Eleanor tetapi Quinn nampaknya terus mengalah pada Eleanor. Quinn membiarkan Eleanor menguasai keadaan dan terus mengimbangi permainan lincah gadis itu.

Grand Duke tersenyum. “Permainan mereka tidak akan berhenti sebelum malam,” gumamnya sambil meninggalkan tanah berumput itu.



*****Lanjut ke chapter 17

No comments:

Post a Comment