Friday, December 7, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 13

“APA!!!?”

Semua orang terperanjat kaget.


Eleanor membalas tatapan tajam Quinn.

Ia benar-benar tidak menyukai pemuda ini. Semenjak kepergiannya ke Loudline secara diam-diam, Quinn memerintahkan dua orang prajurit bergantian mengawalnya ke mana pun ia berada. Selangkah pun ia tidak boleh meninggalkan Fyzool tanpa ijinnya. Quinn memang dengan mudahnya mengatakan Eleanor tidak boleh pergi keluar tanpa ijinnya tetapi mendapatkan ijin itu adalah mustahil. Selalu saja ada yang dikatakan Quinn untuk melarangnya pergi. Selalu dan selalu ia berhasil mengikatnya namun hari ini Eleanor sudah berada di ambang batasnya.

Siang ini tanpa mempedulikan larangan prajurit, ia menerobos Ruang Kerja Quinn. Ia tidak peduli apakah pemuda itu sedang membicarakan masalah penting dengan para menterinya atau tidak. Ia tidak peduli siapa yang ada bersama pemuda itu. Ia hanya mau pemuda itu membiarkannya pergi. Namun, seperti biasanya, pemuda itu melarangnya pergi.

“Kau memang memilikiku tetapi kau tidak pernah memiliki jiwaku! Jiwaku adalah milikku seorang,” Eleanor membalas tak kalah lantangnya dan ia menegaskan, “Tak seorang pun bisa memilikinya.”

“Kau…,” geram Quinn.

“Aku tidak butuh ijinmu untuk pergi ke mana pun aku mau!” Eleanor memotong dengan sengit, “Aku tidak membutuhkan ijinmu untuk menggerakkan tubuhku!”

Quinn tidak dapat membalas.

“Aku adalah burung yang bebas!” Eleanor meninggalkan tempat itu dan menutup pintunya dengan keras.

“Kalau kau berani meninggalkan Istana lagi, kau tidak perlu kembali lagi!” seru Quinn murka.

Pintu kembali terbuka dan Eleanor menampakkan kepalanya. “Siapa yang takut?” balasnya tak kalah sengit, “Aku masih bisa punya Schewicvic,” katanya penuh kemenangan. Ia menjulurkan lidahnya – mengejek Quinn dan menghilang di balik pintu.

Tak seorang pun berani berbicara sepeninggal Eleanor.

Semua saling melihat dengan waspada.

Tidak seorang pun yang berani melihat Quinn yang masih murka.

Tidak seorang pun pernah berkata selantang itu pada Quinn.

Tidak seorang pun pernah membantah Quinn!

“Dia memang benar-benar liar,” geram Quinn.


-----0-----


Eleanor geram. Memangnya siapakah Quinn itu? Siapakah pemuda itu hingga ia berhak mengatur apa yang boleh dilakukannya dan apa yang harus tidak dilakukannya? Eleanor benci. Ia membenci pria itu hingga ke dasar tulang sumsumnya. Ia membencinya melebihi segala yang dibencinya di dunia ini. Memangnya siapa dia hingga ia berhak mengatur segala kegiatannya?

Ia hanyalah seorang pemuda yang membutuhkan wanita untuk melahirkan keturunannya dan menghentikan langkah Mathias ke tahta. Siapakah yang tidak mengetahui itu? Siapa yang tidak tahu tujuan di balik pernikahan mendadak Yang Mulia Paduka Raja Kerajaan Viering itu?

Ia pikir dia tidak tahu posisinya? Eleanor tahu dan ia mengerti dengan jelas bahwa ia adalah wanita terpilih itu, sang ratu pilihan. Tetapi tetap saja itu tidak berarti Quinn berhak mengatur kehidupannya! Tugasnya hanya melahirkan keturunannya! Hanya itu!!

Eleanor kesal. Ia benar-benar membenci pemuda itu. Tidak pernah ia merasa semarah ini dalam hidupnya hingga rasanya ia ingin meledak dan langsung membuat perhitungan dengan pemuda sinis itu. Begitu kesalnya ia hingga ia ingin mencincang pemuda itu dan membuangnya ke tempat yang amat jauh hingga ia tidak akan pernah lagi melihatnya selama sisa hidupnya.

Eleanor melangkahkan kakinya dengan kesal.

Pemuda kejam itu tampaknya lebih suka melihatnya mati menjamur di dalam Istananya yang megah ini daripada membiarkannya menikmati hari-harinya. Ia bahkan memberinya gelar baru, tahanan berbahaya! Pemuda itu menghadiahinya seorang pengawal juga mengancam Nicci untuk tidak membantunya kabur dari istana.

Ia tidak pernah mengijinkan Eleanor meninggalkan Istana walau hanya sekali. Sebaliknya, ia selalu mempunyai cara untuk menahan Eleanor.

Semenjak hari itu, setiap hari Eleanor mendapat tamu. Setiap hari selalu ada wanita yang mencarinya hanya untuk menghabiskan waktu dengan omong kosong mereka yang membosankan.

Hari pertama, hari kedua Eleanor tidak curiga. Hari-hari berikutnya Eleanor mulai menyadari kejanggalan kunjungan mereka. Hingga pada akhirnya ia mendengar sendiri kabar itu. Quinn dengan sengaja merancang kunjungan tiap wanita bangsawan itu!

Ia benar-benar marah pada pemuda itu dan ketika ia mengadu, dengan ringannya Quinn berkata, “Seharusnya kau berterima kasih aku sudah memikirkan cara untuk membuatmu tidak bosan.”

Tidak satu sisi pun dari Quinn yang disukai Eleanor!

Eleanor heran mengapa banyak wanita yang tergila-gila padanya. Betapa bodohnya para wanita yang rela mengantri cinta Quinn yang tidak ada artinya itu. Eleanor tidak dapat memahami jalan pikiran mereka.

Quinn juga beberapa kali memanggil Irina. Tentu saja Eleanor senang dapat berjumpa kembali dengan Eleanor. Namun ia tidak menyukai ceramah panjang Irina tentang segala tingkah lakunya yang didengarnya baik dari Nicci maupun dari orang lain. Di antara para tamu-tamu Eleanor, Irinalah yang paling sering dipanggil Eleanor. Namun tidak sekali pun ia pernah bertemu Derrick. Semenjak ia memasuki Istana, ia hanya bertemu dengan Derrick sekali atau dua kali. Itu pun hanya singkat. Hanya ketika Derrick kebetulan ada perlu di Fyzool.

Eleanor pernah menanyakan Derrick kepada Irina. Ia juga meminta Irina menyampaikan pada Derrick bahwa ia merindukannya dan ingin berjumpa dengannya. Namun Irina tidak senang mendengarnya. Ia malah memberi ceramah panjang pada Eleanor untuk menjaga nama baiknya.

Setelah gosip singkat yang beredar seputar pertunangannya, Eleanor dapat memahami mengapa ia harus menjaga jarak dengan Derrick. Baik Irina maupun Derrick tentu tidak suka bila Eleanor menjadi sasaran gosip lagi.

Satu-satunya yang menarik Eleanor adalah mengapa Quinn tidak pernah memanggil Simona. Dari sekian banyak wanita yang menemuinya, Eleanor hanya ingin menemui Simona. Semenjak malam ia menginterupsi Quinn dan Mathias, ia tidak pernah mendengar lagi kabar tentang mereka apalagi melihat mereka. Ia sudah bertemu Mathias, pria yang pernah berjuang untuk cinta Irina. Sekarang ia ingin sekali bertemu Simona.

Suatu saat Eleanor pernah menyindir Quinn, “Sudah hampir tidak ada wanita bangsawan Viering yang bisa kauajukan padaku. Mengapa kau tidak memanggil Duchess of Binkley?”

Mata Quinn langsung membelalak lebar. “Kau panggil apa wanita itu!?”

“Apa aku salah?” tanya Eleanor polos, “Memangnya apa sebutan istri seorang Grand Duke bila bukan Duchess? Apakah Grand Duchess?”

Quinn geram. Ia sadar Eleanor sengaja. “Aku tidak akan membiarkan wanita jahanam itu menginjakkan kaki di Viering.”

Eleanor juga tahu Quinn tidak akan. Quinn lebih suka menutup pintu gerbang Viering rapat-rapat daripada membiarkan Simona masuk. Namun ia tidak akan membiarkan Quinn lepas semudah itu.

“Sayang sekali,” Eleanor mengeluh, “Aku ingin sekali bertemu dengannya. Kau tahu, aku tidak akan bosan bertemu dengannya. Ia jauh lebih menarik daripada mantan-mantanmu yang membosankan itu.”

Mata Quinn langsung bersinar berbahaya.

“Oh, maaf,” Eleanor pura-pura merasa bersalah, “Seharusnya aku mengatakan tamu-tamuku yang pada umumnya adalah mantanmu.” Dan sebelum Quinn menanggapi, ia menambahkan, “Bagaimana kalau kau memanggil Lady Nicole? Kurasa ia yang paling mempunyai komentar tentangku. Bukannya ia masih sering menemuimu? Ia pasti menjadi tamuku yang paling punya komentar menarik.”

Nicole adalah satu-satunya yang paling ingin dijauhkan Quinn dari Eleanor. Wanita itu adalah wanita yang paling keras memprotes pernikahannya. Hingga detik ini Nicole tidak dapat menerima putusnya hubungan mereka karena pernikahannya dengan Eleanor. Setiap hari Nicole melaporkan diri ke Fyzool. Setiap saat ia berusaha menemui Quinn.

“Rupanya sekarang kau sudah menjadi sumber gosip,” sindir Quinn.

“Apa boleh buat,” Eleanor sedikit pun tidak merasa bersalah, “Tamu-tamu pilihanmu yang memberitahuku.”

Quinn terdiam. Tiba-tiba saja ia menyadarinya. Ia tidak pernah mendengar sebuah gosip pun terlepas dari mulut Eleanor. Ia tidak pernah mendengar sebuah gosip pun lepas dari Fyzool. Sekali pun tidak pernah ada gosip yang menyinggung Eleanor ataupun Istana. Quinn mengawasi Eleanor dengan cermat. Sejauh daya ingatnya, tidak sekali pun Eleanor membicarakan gosip. Umumnya, para wanita yang pernah berhubungan dengannya, pernah membagi gosip yang mereka ketahui dengannya. Mereka juga suka membicarakan gosip itu dengannya. Quinn tersenyum sinis. Tampaknya gadis ini mempunyai kelebihan.

“Kau bisa membuka koran gosip baru.”

“Kau benar,” sahut Eleanor gembira, “Aku memang sedang mempertimbangkannya. Bagaimana menurutmu? Bukankah ini bagus? Aku akan mempunyai kesibukan baru dan kau tidak perlu repot-repot mengatur daftar tamu-tamuku. Menurutmu apa nama koranku yang bagus? Kumpulan gosip-gosip terbaru di Viering, gosip seputar Viering atau gosip terkini?”

Quinn geram. Gadis ini tolol atau sengaja?

Eleanor tersenyum puas. Ia tahu Quinn sedang menyindirnya tetapi ia tidak akan membiarkan pemuda itu menang dengan mudah. Sampai kapan pun ia tidak akan membiarkan hal itu! Ia tidak akan mengijinkan pemuda itu bersuka cita atas kesengsaraannya. Eleanor akan menunjukkan pada pemuda itu bahwa ia tidak mudah dikalahkan!

Mata Eleanor menangkap sebuah pintu besar. Ia berhenti menatap pintu yang tampak berdebu itu.

Eleanor tertegun.

Pintu ini berbeda dari pintu-pintu lain di Fyzool. Ia tampak begitu kotor dan terlantar seolah memang dibiarkan begitu saja. Ia tampak begitu tak terawat.

Eleanor ingin tahu apakah yang tersembunyi di baliknya sehingga ia ditelantarkan begitu saja.

Eleanor meraih pegangannya yang berdebu dan tertegun melihat setiap perabotannya yang tertutup kain putih dan tirai-tirai jendela tebal yang menghalangi sinar matahari. Eleanor baru tahu ada ruangan yang terlantar seperti ini di Fyzool.

Tanpa pikir panjang, Eleanor langsung melangkah membuka tirai-tirai tebal yang menutupi jendela-jendela besar. Ia membiarkan sinar mentari menyinari ruangan gelap itu. Ia membuka jendela lebar-lebar untuk membiarkan udara musim gugur yang segar menggantikan udara pengap ruangan yang tertutup entah untuk berapa puluh tahun itu.

Eleanor heran. Ia yakin Fyzool tidak kekurangan biaya untuk merawat ruangan ini. Fyzool yang megah dan berkilauan ini tentu tidak akan membiarkan sebuah ruangannya tak terawat seperti ini.

Pasti ada alasan yang membuat ruangan ini diterlantarkan begitu saja.

Eleanor melihat sebuah benda besar yang tertutup kain putih di sisi jendela. Eleanor mengenali bentuknya yang tidak asing itu. Ia mengenali bentuknya yang unik dengan kursi kecil di depannya itu.

Nafas Eleanor tersekat ketika ia menarik kain putih yang menutupi benda itu.

Ia sudah begitu lama tidak menyentuh piano. Ia sudah begitu lama tidak melihat benda itu di Schewicvic. Ia sudah lama tidak mendengar dentingannya yang merdu.

Ibunya selalu memainkan lagu-lagu yang merdu untuknya setiap hari. Eleanor juga sangat menyukai permainan Countess yang indah. Tidak seorang pun dapat menandingi permainan Countess yang merdu itu. Dan tidak seorang pun dapat menggantikannya.

Semenjak kepergiannya yang tiba-tiba itu. Senandung-senandung riang menghilang dari Schewicvic. Suara piano yang merdu itu hilang bersama kepergiannya. Tidak ada lagi lagu-lagu merdu yang menghiasi Schewicvic. Eleanor juga tidak pernah lagi bermain piano. Ia tidak mau membangkitkan kenangan yang hanya akan membuat ayahnya sedih.

Tangan Eleanor mengelus piano putih itu dengan penuh keharuan. Keinginannya untuk bermain piano bangkit begitu saja. Ia telah lama tidak bermain piano. Bertahun-tahun lamanya ia tidak melihat piano maupun mendengar nada-nada merdunya.

Eleanor menarik penutup kursi di depan piano dan duduk.

Tangannya yang telah lama meninggalkan piano bermain dengan lancarnya seolah ia terus memainkannya selama sepuluh tahun ini.

Eleanor memainkan lagu-lagu yang diingatnya dan ia membiarkan dirinya bernostalgia bersama kenangan akan ibu tercintanya.


-----0-----


“Pertemuan kita kali ini cukup sampai di sini,” Quinn mengakhiri rapatnya dengan para menterinya jauh lebih cepat dari biasanya.

Setiap orang langsung merapikan berkas-berkas mereka dan bersiap meninggalkan ruangan.

Tidak pernah Quinn merasa selelah ini. Ia tidak lelah oleh rapat panjang yang baru saja diselesaikannya. Ia lelah memikirkan kemungkinan Eleanor keluar tanpa mendengar larangannya. Pikiran Eleanor akan membangkang membuat ia tidak bisa mengerahkan seluruh konsentrasinya ke rapat bulanannya.

Quinn merasa ia harus segera meninggalkan tempat ini dan mencari Eleanor. Ia akan membuat perhitungan dengan gadis itu bila ia berani melanggar perintahnya. Eleanor harus tahu siapa yang berkuasa di tempat ini. Gadis itu harus sadar sekarang ia adalah seorang Ratu Kerajaan Viering yang tidak boleh berbuat sembarangan. Ia bukan lagi Eleanor yang dulu. Ia kini adalah Eleanor, sang Ratu Kerajaan Viering, sang ratu terpilih!

Quinn merapikan berkas-berkasnya dan meninggalkan ruangan itu sebelum orang lain.

Begitu ia membuka pintu, Quinn tertegun.

Nada-nada yang selama sepuluh tahun terakhir ini tidak pernah terdengar sekarang mengalun lembut dari kejauhan.

Quinn tidak perlu berpikir dua kali untuk mengetahui dari mana suara itu berasal dan ia menjadi marah karenanya.

Siapa yang berani memasuki Ruang Musik tanpa ijinnya!? Siapa yang berani melanggar perintahnya? Bukankah ia telah memerintahkan setiap orang di dalam Fyzool untuk menjauhi tempat itu dan tidak menyentuhnya!??

Quinn dibuat marah oleh nada-nada yang mengalun lembut itu. Langkah kakinya yang lebar melangkah cepat ke Ruang Musik.

Lagi-lagi Quinn tertegun.

Sinar mentari menerobos kegelapan yang selama ini menyelimuti Ruang Musik. Udara pergantian musim panas ke musim gugur yang hangat menghangatkan suasana di dalam ruang besar itu. Kain-kain putih yang menutupi perabotan memantulkan sinar matahari. Ruangan itu tampak seperti baru bangkit dari kegelapan.

Eleanor duduk manis memainkan musik yang lembut dengan piano putih yang membisu selama sepuluh tahun itu. Rambut kuning keemasannya bersinar di bawah sinar mentari. Kulitnya yang putih, bersinar di bawah kehangatan mentari sore. Gadis itu tampak menjadi bagian dari piano itu. Ia tampak seperti seorang bidadari yang terukir bersama piano putih itu dalam lukisan ajaib yang menandungkan lagu-lagu lembut.

Kemarahan yang sesaat lalu masih memenuhi dada Quinn hilang seketika. Sebuah senyuman terukir di wajah tampannya dan ia mendekat.

“Wah… wah…,” Quinn tersenyum mengejek, “Tak kukira gadis liar ini bisa bermain piano seindah ini.”

Seketika tangan Eleanor berhenti menandungkan lagu. Tanpa menoleh pada Quinn maupun membalas ejekan itu, ia beranjak meninggalkan piano putih besar itu.

“Jangan pergi,” Quinn menahan tangan Eleanor.

Eleanor membalikkan badan siap menyerang.

“Mainkan untukku,” Quinn berkata lembut.

Eleanor terperangah. Andai saja Quinn berkata dengan nada mengejeknya, akan sangat mudah baginya untuk menolak. Tetapi dengan kelembutannya yang tidak pernah dilihatnya ini…

“Mainkan untukku, Eleanor.”

Eleanor tertegun. Quinn tidak pernah memanggilnya dengan namanya. Quinn lebih suka menyebutnya ‘istriku’, ‘sayang’ atau ‘manis’ yang diucapkannya dengan nada mengejek. Ia tidak pernah menyebut namanya. Tidak satu kali pun! Apalagi dengan nama lembut seperti ini.

Eleanor duduk dan kembali melanjutkan lagu yang belum diselesaikannya itu.

Quinn berdiri di sisi piano dan memandang Eleanor tanpa suara.

Eleanor yang telah larut dalam permainannya tidak menghiraukan Quinn.

Ketika suara piano yang telah lama membisu itu kembali berdentang merdu, para penghuni Istana terdiam sejenak.

“Siapa?”

“Siapa yang memainkan piano itu?”

“Siapa yang berani memasuki ruangan yang telah ditutup Paduka itu?”

Mereka bertanya-tanya tanpa bisa menjawabnya. Ruang Musik yang hampir tiap hari didatangi almarhum Paduka Ratu Esther itu telah ditutup oleh Raja Quinn semenjak kematian kedua orang tuanya. Segala kenangan yang berhubungan dengan kedua orang tuanya ditutupnya rapat-rapat. Ia tidak mau terus hidup dalam kesedihan. Ia memiliki masa depan yang panjang. Ia tidak mau terus tenggelam dalam kenangan akan kedua orang tuanya.

“Siapa pun itu,” kata yang lain, “Permainannya indah.”

“Rasanya seperti Paduka Ratu Esther masih hidup,” kata pelayan lain yang telah tua.

Ketika mereka berspekulasi dengan dugaan-dugaan mereka, beberapa orang memilih untuk langsung memeriksanya. Mereka yang berkeberanian besar mengintip dari celah pintu Ruang Musik dengan perlahan dan terperangah.

Raja dan Ratu yang beberapa saat lalu masih mereka gosipkan sedang bertengkar hebat berada di sana dalam suasana yang romantis. Sang Ratu Muda Viering duduk melantunkan lagu-lagu merdu dengan tangan-tangannya yang lincah. Sang Raja Muda Viering berdiri di hadapannya dan memperhatikan istrinya dengan sorot mata lembutnya yang tidak pernah terlihat sebelumnya.

“Sebaiknya kita tidak menganggu mereka,” kata seseorang.

Mereka menutup rapat pintu Ruang Musik dan beranjak meninggalkan tempat itu tanpa suara seperti kedatangannya. Tidak sepatah kata pun yang mereka ucapkan tetapi di dalam pikirannya, mereka terus memikirkan pemandangan yang baru mereka saksikan itu.



*****Lanjut ke chapter 14

No comments:

Post a Comment