Friday, November 30, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 5

Eleanor mengintip tempat tidur ayahnya. Ia tersenyum gembira melihat ayahnya masih tidur pulas. Dengan hati-hati ia menutup pintu kamar tidur ayahnya dan menuju teras.

“Semuanya sudah siap, Tuan Puteri,” lapor Fauston.


Eleanor tersenyum senang.

Ini adalah hari Kamis – hari di mana Eleanor dapat pergi ke Loudline tanpa pengawasan ayahnya. Setiap hari Kamis pagi Fauston berbelanja keperluan Hielfinberg selama seminggu di Loudline. Di saat itu pulalah Eleanor selalu ikut serta.

Walaupun Eleanor tidak dapat bersikap anggun seperti layaknya seorang lady, ia tetaplah seorang gadis. Eleanor menyukai keramaian Loudline dan ia benar-benar menikmati saat-saat ia bermain di sana tanpa sepengawasan siapa pun baik itu Earl sendiri, Derrick maupun Irina!

“Earl tidak akan menyukai ini,” seperti biasanya, Nicci mengeluh.

Eleanor melihat wanita itu dan tersenyum, “Papa tidak akan tahu, ia masih tidur.”

“Apa kata Countess bila ia melihat Anda seperti ini,” wanita yang telah melayani Eleanor semenjak Eleanor kecil itu mendesah. Matanya menatap pakaian seorang pelayan yang dikenakan Eleanor.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” Eleanor membela diri, “Hanya ini satu-satunya gaun yang pantas kukenakan.”

“Anda perlu pergi ke penjahit dan membeli beberapa gaun baru yang sesuai dengan ukuran Anda. Saya melihat beberapa gaun Anda sudah kekecilan untuk dikenakan. Anda bisa mengajak Tuan Puteri Irina. Saya yakin ia akan menemani Anda dengan senang hati.”

“Aku tidak membutuhkan gaun baru,” Eleanor menolak, “Tidak untuk saat ini.”

Nicci tahu itu. Ia sudah mengenal watak Eleanor dengan baik. Nicci percaya Eleanor adalah satu-satunya gadis bangsawan yang sama sekali tidak tertarik untuk mengkoleksi gaun-gaun yang indah beserta aksesorisnya juga perhiasan-perhiasan yang mempesona.

Eleanor adalah gadis yang suka tampil apa adanya. Ia juga tidak senang rambut panjangnya ditata rapi. Ia lebih suka membiarkannya tergerai bebas. Untungnya, Eleanor jarang perlu menata rapi rambutnya. Setiap hari dan hampir setiap saat ia berada di sekitar Hielfinberg.

“Apa kata Countess bila melihat Anda pergi seorang diri tanpa sepengetahuan Yang Mulia,” lagi-lagi Nicci mendesah.

“Mama tidak akan memarahiku hanya karena aku pergi ke Loudline tanpa sepengetahuan Papa. Lagipula aku tidak sendirian,” Eleanor membela diri, “Fauston ada bersamaku. Kau boleh ikut bila kau mau.”

“Tidak,” Nicci menolak, “Saya harus ada bila Yang Mulia menanyakan keberadaan Anda.”

“Kau selalu seperti ini,” Eleanor tertawa geli, “Kau selalu melarangku tetapi kau juga selalu melindungiku.”

“Apa boleh buat,” keluh wanita yang telah menginjak kepala tiga itu, “Saya tidak suka melihat Anda terus dikurung di sini. Sekali-kali Anda juga perlu keluar.”

“Papa tidak pernah mengurungku.,” Eleanor membenarkan, “Ia hanya terlalu mencemaskanku bila aku meninggalkan Hielfinberg.”

“Saya akan lebih lega bila Tuan Puteri Irina atau Tuan Muda Derrick ikut bersama Anda.”

“Tidak,” Eleanor menolak tegas, “Aku tidak suka terus merepotkan mereka. Mereka telah cukup menjadi pengawal dan pengasuhku. Sekarang aku sudah dewasa. Aku bisa menentukan sendiri langkahku.”

Lagi-lagi Nicci kalah.

“Kami harus segera pergi,” Eleanor berpamitan, “Aku tidak ingin kesiangan.”

Nicci pun tidak berusaha mencegah Eleanor lagi. “Berhati-hatilah di jalan,” pesan Nicci, “Pastikan Anda selalu berada di sekitar Fauston.”

Fauston mengulurkan tangan – membantu Eleanor duduk di sisi tempat duduk kusir kereta dan ia duduk di sisi Fauston – mengendalikan kereta barang mereka.

“Kami pergi, Nicci,” Eleanor melambaikan tangannya ketika kereta mulai beranjak meninggalkan Hielfinberg.

“Apakah hari ini kau akan membeli banyak barang?” Eleanor bertanya pada Fauston.

“Tidak, Tuan Puteri. Saya hanya perlu membeli beberapa keperluan sehari-hari.”

“Apakah itu akan memakan waktu lama?” Eleanor bertanya ingin tahu.

“Saya rasa tidak,” jawab Fauston.

“Baguslah,” Eleanor lega, “Aku tidak ingin Papa bangun sebelum aku tiba.”

“Saya akan berusaha sebaik mungkin, Tuan Puteri,” kata Fauston kemudian ia mempercepat laju kereta.

Setelah melalui jalanan yang membentang di antara Hielfinberg dan Loudline, akhirnya mereka tiba di pinggiran kota itu.

Mata Eleanor melirik sebuah gedung yang megah di pinggiran Loudline. Gedung yang tampak sangat mencolok di jalan utama Loudline itulah tempat Mathias bertemu dengan Simona. Gedung itulah tempat terakhir Simona bekerja.

Eleanor selalu melewati tempat ini setiap kali ia menuju Loudline. Ia tidak pernah memperhatikan gedung itu sebelumnya. Sekarang, setelah berita yang ramai itu, gedung itu tiba-tiba saja menjadi pusat perhatiannya dan juga setiap orang di Viering. Tentu tidak seorang pun yang tidak ingin tahu tempat yang menjadi awal mula berita yang menghebohkan ini. Dan tentu saja gereja kecil yang menjadi saksi bisu berita paling ramai dibicarakan di Viering ini. Pastor Ruther yang meresmikan pernikahan mereka juga tidak ketinggalan dalam keramaian ini.

Eleanor telah mendengar pihak istana memanggil Pastor itu dan menanyainya tentang pernikahan Duke of Binkley.

Kereta berhenti tak jauh dari pusat kota. Di sinilah ia selalu berada setiap Kamis pagi, di pasar Loudline. Tetapi ia datang bukan untuk berbelanja. Ia datang untuk bermain-main di Loudline.

“Jangan pergi terlalu jauh, Tuan Puteri,” pesan Fauston.

“Aku akan berada di sekitar tempat ini.”

“Saya akan menanti Anda di atas kereta bila saya sudah selesai.”

Eleanor mengangguk dan ia segera menghilang dalam keramaian. Sementara Eleanor menikmati keramaian kota, Fauston sibuk membeli kebutuhan Hielfinberg.

Eleanor berjalan-jalan tanpa tujuan – seperti biasanya. Sepanjang jalan ia dapat mendengar orang-orang sibuk membicarakan berita tentang Mathias dan juga keputusan Quinn yang tidak terduga itu.

Memang itulah yang dinamakan gossip. Sekeras apa pun seseorang berusaha menutupinya dan serapat apa pun ia menjaganya pasti ada yang membocorkannya. Dalam hal ini Eleanor yakin bukan Bernardlah yang membiarkan keputusan Quinn menjadi gosip segar.

Eleanor belum melihat koran hari ini. Pengantar koran belum datang ketika ia pergi meninggalkan Hielfinberg. Walaupun begitu Eleanor dapat menebak judul di halaman utamanya. Judul itu pasti tidak jauh dari keputusan Quinn untuk menikah yang menghebohkan itu.

Kemarin ia begitu yakin pernikahan Putra Mahkota Kerajaan Viering dengan seorang wanita bekas kriminal itu adalah berita yang paling menghebohkan sepanjang sejarah Viering. Sekarang predikat itu telah digeser oleh keputusan jejaka yang paling ternama di Viering itu.

Tak perlu Eleanor menjelaskan keputusan itu, semua orang sudah tahu Quinn berubah pikiran karena terpaksa dan demi masa depan Viering.

“Apa kau sudah mendengarnya?” Eleanor mendengar seorang wanita berbicara. “Istana mulai sibuk. Kudengar Paduka sedang mempersiapkan pesta pernikahannya.”

“Pesta pernikahan?” tanya wanita satunya, “Apakah sang calon mempelai sudah ditentukan?”

“Entahlah. Kudengar pagi ini Paduka memanggil beberapa Menteri.”

“Kurasa Paduka ingin segera mengadakan pesta pernikahan begitu calon mempelainya telah ditentukan.”

Eleanor tidak lagi mendengarkan percakapan kedua wanita itu. Ia terus melangkahkan kakinya hingga ke bundaran air mancur yang berada tepat di tengah-tengah Loudline. Ruas jalan di sekeliling air mancur itu bercabang ke lima arah. Tiap arah menuju tempat yang berbeda.

Eleanor memperhatikan sekelilingnya yang perlahan-lahan mulai ramai. Ia melihat kereta-kereta kuda yang perlahan-lahan memenuhi jalanan Loudline. Ia tidak kaget melihat beberapa kereta kuda yang indah berjalan menuju satu arah. Ia tidak dapat menduga siapa yang ada di dalamnya.

Dalam hatinya Eleanor tersenyum geli. Berita tentang pencarian mempelai Quinn tentunya telah tersebar di Loudline. Eleanor tidak akan heran bila pinggiran Viering juga mendengarnya.

Dalam beberapa hari mendatang ini, para penjahit ternama di Loudline akan mempunyai banyak pesanan. Dalam beberapa hari ke depan hingga calon pengantin Quinn ditentukan, para gadis akan sibuk mempercantik diri.

“Sudah kuduga kau akan berada di sini.”

Eleanor terperanjat. “Derrick!? Apa yang kaulakukan di sini?”

“Sama sepertimu, berjalan-jalan menikmati udara pagi,” Derrick berbohong. Sebenarnya, ia sengaja datang ke kota untuk melihat keadaan Eleanor. Ia tahu Eleanor mempunyai kebiasaan datang ke kota bersama Fauston, Kepala Rumah Tangga Hielfinberg, tiap Kamis pagi. Kemarin ia terus mencemaskan Eleanor dan itulah yang membuatnya muncul di tempat ini pagi ini. Dan sekarang setelah bertemu Eleanor, ia menjadi curiga. Gadis itu tetap terlihat ceria seperti biasanya.

“Hari ini jalanan lebih ramai,” mata Eleanor memperhatikan kereta-kereta kuda yang berlalu lalang di perempatan jalan tak jauh dari mereka. “Mereka tentunya tidak ingin menjadi yang terakhir.”

Derrick bingung.

Eleanor menatap Derrick lekat-lekat dan tersenyum lembut. “Untuk beberapa hari mendatang kalian pasti akan kerepotan. Setiap bangsawan pasti akan berusaha menemui Bernard dan mengajukan putri mereka.”

Derrick heran. Ia bertanya-tanya. Apakah ayahnya belum memberitahu Earl? Apakah Earl menolak? Ataukah ayahnya telah berubah pikiran? Apa pun itu, Derrick dapat memastikan Eleanor tidak mengetahui apa pun tentang keputusan yang telah dibuat ayahnya.

“Aku merasa ini bukan ide yang bagus,” Eleanor berkata serius.

Derrick kebingungan. Ia masih belum mengerti apa yang sedang dibicarakan Eleanor ketika ia mendengar seseorang berseru,

“Derrick, sungguh tidak menduga aku bisa bertemu denganmu di sini.”

Derrick menoleh. Ia melihat seorang wanita bangsawan mendekatinya dengan tergesa-gesa. Tangannya menarik seorang gadis yang mirip dengannya. Berdua mereka mendekatinya dengan tergesa-gesa seolah-olah takut Derrick akan pergi.
Derrick melihat Eleanor dan ia mendapatkan senyum geli.

“Mengapa engkau berada di sini sepagi ini?” tanya wanita itu tanpa memberi kesempatan pada Derrick untuk membuka mulut. “Apakah yang membuatmu muncul di tempat ini? Sungguh tidak kusangka aku dapat berjumpa denganmu di sini. Ini benar-benar sebuah kesempatan langka. Bagaimana keadaanmu? Apakah Grand Duke sehat-sehat saja? Kau tahu ia sudah tua dan sudah saatnya ia beristirahat. Tetapi kurasa hal itu mustahil terutama semenjak berita yang menghebohkan itu. Kudengar Paduka Raja telah memberi sebuah tugas penting pada Grand Duke. Katakan pada Grand Duke untuk memperhatikan kesehatannya. Aku tahu tugas ini sangat penting tetapi kesehatan tetaplah nomor satu.”

Seketika Derrick menyadarinya. Wanita itu tentunya tidak mendekat untuk sekedar menyapanya. Ia mempunyai tujuan dan tujuannya itu sangatlah jelas. Sekarang ia mengerti makna di balik senyum geli Eleanor.

“Derrick, apakah kau masih ingat putriku?” wanita itu memajukan putrinya, “Kalian telah bertemu sebelumnya.”

“Ya,” akhirnya Derrick, “Senang berjumpa dengan Anda, M’Lady,” Derrick meraih tangan gadis manis itu dan menciumnya.

Eleanor menahan senyum gelinya meihat wajah gadis itu bersemu merah. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah gadis itu selalu memerah seperti ini setiap tangannya dicium pria.

“Senang berjumpa dengan Anda lagi, M’Lord,” gadis berambut merah itu menjawab dengan suaranya yang lembut, “Mengapa sepagi ini Anda sudah berada di kota bersama pelayan Anda?”

“Pelayanku?” Derrick kebingungan. Seketika ia menoleh pada Eleanor dan sadarlah ia bahwa penampilan Eleanor saat ini benar-benar mirip seorang pelayan muda daripada seorang putri bangsawan.

Eleanor berusaha keras menahan tawa gelinya. Ia tahu ia tidak dapat membiarkan tawanya terlepas begitu saja di tempat ini dan ia mencari akal untuk meninggalkan mereka. “Terima kasih atas petunjuk anda, Tuan Muda. Saya akan segera melakukannya sesuai perintah Anda.”

Derrick kebingungan melihat Eleanor membungkuk hormat pada mereka selayaknya seorang pelayan dan menjauh. Derrick yakin ia mendengar tawa lepas gadis itu ketika ia berjalan menjauh. Ia sendiri yakin ia tidak akan sanggup menahan tawa lepasnya bila bukan karena tiba-tiba saja ia melihat beberapa wanita mendekatinya.

Lengkaplah sudah kegembiraan Eleanor di pagi ini. Ia telah melihat bagaimana Derrick kewalahan menghadapi kedua wanita itu mencoba mengorek berita darinya itu. Tak lama lagi Dristol percaya Derrick akan menarik perhatian tiap orang yang tengah berusaha mempercantik diri itu. Derrick benar-benar harus berusaha keras untuk menjawab setiap pertanyaan penuh ingin tahu mereka. Eleanor tidak berminat membantu Derrick. Ia juga tidak dapat memberikan bantuan apa-apa. Dengan dandanannya yang seperti seorang pelayan ini, siapa yang akan memperhatikannya? Para bangsawan dan orang kaya itu hanya akan merendahkannya. Tetapi itu pula yang membuat Eleanor merasa beruntung. Ia tidak perlu ikut terlibat dalam serangan pertanyaan-pertanyaan yang tiada hentinya itu.

Eleanor segera kembali ke tempat Fauston menurunkannya.

Pria tengah baya itu tengah memindahkan barang-barang belanjaannya ke dalam kereta barang mereka.

“Kelihatannya Anda sedang gembira,” pria itu melihat senyum gembira di wajah manis Eleanor. “Apakah sesuatu yang baik telah terjadi?”

“Ya, Fauston,” Eleanor memberitahu, “Aku bertemu Derrick dan sekarang ia tengah dikerumuni oleh para wanita.”

“Tuan Muda Derrick memang tampan. Saya tidak akan heran melihat para wanita begitu memujanya.”

“Tidak, Fauston,” Eleanor membenarkan, “Apakah kau tidak menyadari jumlah kereta kuda lebih banyak dari biasanya?”

Fauston memperhatikan sekeliling dan saat itulah ia menyadari kereta kuda yang berlalu lalang di jalanan Loudline pagi ini lebih banyak dari biasanya. Jam masih menunjukkan pukul enam lebih ketika mereka meninggalkan Hielfinberg. Tidak biasanya suasana Loudline seramai ini di pagi hari seperti ini.

“Para bangsawan dan orang kaya bergerak untuk memperoleh bola di tangan Bernard.”

“Saya telah mendengarnya. Setiap orang sedang membicarakannya,” kata Fauston, “Mereka sibuk memperkirakan siapakah yang akan dipilih Grand Duke.”

“Ah, Eleanor,” seseorang berkata gembira, “Kau juga datang. Aku baru saja bertanya-tanya mengapa aku tidak melihatmu pagi ini.”

Eleanor tersenyum manis melihat seorang pemuda membawa karung yang berat di punggungnya. Eleanor mengenal baik pemuda itu yang bernama Seb itu. Ia sering terlihat membantu Fauston membawakan barang belanjaan dan dari Seb pulalah ia sering mendapatkan gosip Viering. “Aku pergi memperhatikan keramaian pagi ini,” Eleanor menjawab keingintahuan pria muda itu.

“Letakkan karung itu di sini,” Fauston menunjuk tempat kosong yang telah ia siapkan.

Dengan cekatannya pemuda yang berasal dari pinggiran Loudline itu meletakkan barang itu.

“Hari ini Loudline memang lebih ramai dari biasanya,” Seb sependapat. “Sejak kemarin sore Loudline menjadi ramai. Apakah kau tidak mendengarnya, Paduka mencari mempelai!”

Eleanor hanya tersenyum. Ia sudah mengetahuinya dari Bernard.

“Aku mendengar ia memerintahkan Grand Duke untuk mencari mempelai untuknya. Aku juga mendengar Grand Duke sedang berusaha keras mencari sang mempelai. Beberapa pelayan mendengar Paduka meminta seorang gadis yang penurut dan cantik. Ia meminta seorang ratu yang sempurna! Sekarang tiap gadis berusaha keras memperoleh kedudukan itu. Ini adalah kesempatan yang langka! Setiap penduduk Loudline membicarakannya. Setiap orang sedang menduga-duga siapakah yang akan dipilih Grand Duke. Aku bertemu seorang pelayan istana. Dia mengatakan Grand Duke telah menentukan pilihannya. Kemarin malam ia menemui Paduka dengan tergesa-gesa. Pagi ini Paduka tampak begitu gembira. Ia sepertinya sudah melupakan perbuatan Duke Binkley. Beberapa orang mengatakan ia mengajukan putrinya sendiri,” Seb memberitahu dengan penuh semangat.

Eleanor terperanjat. “Jadi itulah sebabnya kemarin malam Bernard muncul di Hielfinberg,” gumamnya. Eleanor tidak akan heran bila Grand Duke mengajukan putrinya sendiri. Irina adalah seorang gadis yang cantik dan anggun. Ia akan menjadi seorang ratu yang sempurna. Tetapi Eleanor tidak yakin Grand Duke akan melakukan itu. Bila ia memang memilih Irina, ia pasti telah mendengarnya dari Derrick pagi ini. Paling tidak dari Irina sendiri.

Eleanor mendengarkan pria itu memberitahunya segala berita yang diketahuinya dengan penuh semangat. Pria muda itu mungkin akan terus mewartakan berita terbaru yang diketahuinya bila bukan Fauston yang menghentikannya,

“Sudah. Sudah,” Fauston yang sudah memegang kendali kuda berkata dengan tidak sabar, “Kau hanya akan membuat kami kesiangan.”

Eleanor tersenyum geli. “Jangan begitu, Fauston. Seb hanya ingin bersikap ramah padaku.”

“Kurasa ia hanya ingin menarik perhatian,” kata Fauston tidak suka.

Eleanor tertawa geli dan Seb memerah mengetahui niatnya telah dibongkar.

“Terima kasih sudah membawakan barang kami, Seb,” kata Eleanor, “Sekarang kami harus pulang.”

Eleanor naik ke kereta dan ia melambaikan tangan pada pemuda itu.

Ketika kereta mulai bergerak menjauhi pusat kota, Eleanor melihat kerumunan di kejauhan. Ia tahu siapa saja yang berada di sana dan apa yang terjadi.

“Mereka masih mengerumuni Derrick,” Eleanor memberitahu Fauston. Mereka mengerumuninya karena mereka ingin tahu langkah Bernard atas perintah Quinn.” Gadis itu tertawa geli, “Saat ini Derrick bagaikan madu bagi para kupu-kupu yang ingin tahu itu.”

Eleanor masih tertawa geli ketika ia tiba di Hielfinberg.

“Tuan Puteri, akhirnya Anda pulang,” Nicci tampak begitu lega melihat kereta barang itu mendekati pintu masuk.

Eleanor keheranan melihat wajah gelisah wanita itu. “Apa yang terjadi?” tanyanya.

“Yang Mulia sudah bangun.”

Eleanor terperanjat. Saat ini masih sekitar jam delapan lebih. Tidak biasanya ayahnya bangun sepagi ini. “Apakah kami terlambat?”

“Tidak, Tuan Puteri,” jawab Nicci, “Hari ini Yang Mulia bangun lebih awal dari biasanya. Tak lama setelah Anda pergi, ia bangun.

Eleanor terperanjat. “Apa ia menanyakan aku?”

“Tidak, Tuan Puteri. Yang Mulia langsung menuju Ruang Perpustakaan. Ia tampak begitu kacau seperti saat Countess baru meninggal. Saya benar-benar cemas melihatnya. Sekarang ia masih mengurung diri di Ruang Perpustakaan.”

“Apa yang terjadi?” Eleanor bertanya cemas.

“Saya kurang tahu, Tuan Puteri. Tetapi dari wajahnya saya dapat meyakinkan sesuatu telah terjadi.”

“Aku akan segera menemuinya,” Eleanor pun berlari ke Ruang Perpustakaan.



*****Lanjut ke chapter 6

No comments:

Post a Comment