Thursday, November 29, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 4

Sayup-sayup terdengar suara kereta kuda mendekat.

“Itu pasti Papa,” kata Irina gembira. Ia berlari menuju jendela dan memperhatikan kereta keluarga mereka berhenti di depan pintu masuk Mangstone dari jendela di tingkat dua itu.

“Aku akan menyambut Papa,” Irina meninggalkan jendela.


“Tidak perlu,” Derrick memberi saran, “Aku yakin Papa akan segera menuju tempat ini.”

Irina memperhatikan adiknya lekat-lekat. “Bagaimana kau tahu?”

“Paduka Raja memanggil Papa pagi-pagi itu sudah cukup menjelaskan ada sesuatu yang penting dan mendesak yang harus segera diselesaikan Papa,” jawab Derrick, “Dan melihat ia pulang lebih awal dari biasanya, aku bisa menebak pasti terjadi sesuatu yang membuat Papa gelisah.”

“Kau benar,” Irina sependapat, “Tidak biasanya Papa pulang sepagi ini. Apakah ia tidak mampir ke Schewicvic seperti biasanya?”

“Aku yakin ia telah berkeluh kesah pada Earl Ruben. Aku juga percaya Eleanor sudah mengetahui semuanya sebelum seorang dari kita mengetahuinya.”

“Ya,” Irina mendesah sedih, “Setiap kali Papa mempunyai masalah, orang pertama yang diajaknya berunding adalah Earl.”

“Apa yang bisa dilakukan oleh kita?” tanya Derrick, “Kita tidaklah berpengalaman seperti Earl. Wawasan kita juga masih kalah dari Earl. Selain itu, mereka berdua adalah sahabat baik.”

“Menurutmu apakah Papa akan membicarakan panggilan Paduka pada kita?”

“Bukan kita,” Derrick meralat, “Tetapi kau. Papa selalu dan selalu mempercayaimu.”

“Papa tidak seperti itu,” Irina membela ayahnya, “Ia tidak pernah berpikiran seperti itu.”

“Kenyataannya, ia lebih suka membicarakan masalahnya denganmu. Ia lebih mempercayai pendapatmu daripada aku.”

“Kau berpikir terlalu banyak,” ujar Irina.

“Tidak, aku mengatakan kenyataan,” sergah Derrick.

Grand Duke muncul dengan wajah suramnya.

Seketika keduanya berdiam diri – menghentikan pertengkaran mereka yang baru saja dimulai.

“Aku perlu bicara.”

Derrick berdiri, “Denganmu, Irina,” ia memotong.

“Tidak,” Grand Duke Bernard membenarkan dan ia menegaskan, “Aku perlu bicara denganmu, Derrick.”

“Aku?” Derrick tidak percaya.

“Sudah kukatakan, Papa juga mempercayaimu,” Irina tersenyum penuh arti. Irina pun berdiri, “Kurasa aku tidak diperlukan di tempat ini. Aku akan melihat bila makan malam sudah siap.”

“Terima kasih, Irina,” Grand Duke melihat putrinya yang tahu diri itu mengundurkan diri.

“Apa yang Papa ingin bicarakan denganku?” tanya Derrick ingin tahu. Peristiwa apakah yang membuat Grand Duke lebih suka mencari pendapatnya daripada Irina, sang putri kesayangan yang dipercayainya itu.

Grand Duke menarik kursi ke depan Derrick.

Derrick memperhatikan kerutan-kerutan di dahi pria tua itu. Ia tahu sesuatu telah terjadi pagi ini di Istana. Sesuatu yang sangat penting telah membuat ayahnya terlihat kian tua.

“Apa pandanganmu tentang Quinn?”

Derrick tidak mengerti tujuan dari pertanyaan ini. Belum sempat ia menjawab pertanyaan itu ketika Grand Duke kembali berkata,

“Ia mau menikah.”

Nafas Derrick tercekat di tenggorokannya. Tiba-tiba saja ia merasa ia tidak lagi berada di dunia nyata. Pagi ini ia mendiskusikan kemungkinan itu dengan Irina dan mereka berpendapat itu adalah suatu hal mustahil yang tidak mungkin terjadi sekalipun dunia kiamat. Itu adalah seperti mengharapkan matahari terbit dari barat dan tenggelam di timur.

“Reaksiku juga seperti itu ketika ia mengungkapkannya,” Grand Duke melihat putranya.

“Ia tidak sedang bercanda bukan?” Derrick masih sulit mempercayai pendengarannya, “Siapa yang akan menjadi mempelainya?”

“Itulah sebabnya ia memanggilku pagi-pagi ini,” jawab Grand Duke, “Ia memintaku mencari mempelai untuknya. Ia menginginkan seorang gadis terhormat yang penurut.”

“Siapa,” Derrick cepat-cepat menutup mulut ketika menyadari saat ini ayahnya lebih membutuhkan seorang pendengar yang baik daripada seorang penanya. Dalam hatinya, Derrick bertanya-tanya, siapakah yang mau menjadi istri Quinn hanya untuk memberikan penerus pada tahta Viering.

“Dan Eleanor mengusulkan padaku untuk mencari seekor kuda betina untuknya.”

Derrick terperangah. “Tidak salah lagi. Ia memang Eleanor,” Derrick tersenyum geli.

“Bagaimanakah menurutmu?” Grand Duke bertanya serius.

“Aku sependapat dengan Eleanor,” Derrick menjawab dengan serius pula, “Dibutuhkan seorang gadis yang tangguh untuk menghadapi Quinn. Gadis yang lemah mungkin telah meninggal karena serangan jantung sebelum ia melahirkan keturunan Quinn.”

Grand Duke mendengarkan dengan seksama.

“Dengan sifat pemarahnya yang menakutkan itu, aku yakin Quinn akan membuat gadis malang itu pingsan. Bukanlah hal yang tidak mungkin bila mereka dibuat Quinn menangis ketakutan.”

“Siapakah gadis itu?” tanya Grand Duke, “Siapakah gadis yang memenuhi kriteria itu?”

Dengan tangkas Derrick menjawab. “Siapa lagi kalau bukan Eleanor?” katanya menahan tawa, “Memangnya ada lady lain yang setangkas Eleanor? Apakah ada gadis cantik lain yang pandai memanjat pohon seperti tupai seperti Eleanor? Apakah ada gadis terhormat lain yang berani mengigit orang lain bila ia disinggung? Hanya dialah satu-satunya gadis yang liar seperti kuda betina.”

“Menurutmu,” Grand Duke seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri, “Gadis seperti apakah Eleanor?”

Seketika Derrick terkesima. “Papa…,” ia tidak dapat mengutarakan kata-katanya. Apakah Grand Duke menganggap serius gurauannya itu? Apakah Grand Duke tidak sadar ia tengah bergurau?

Derrick mengakui Eleanor adalah gadis yang cantik dan manis. Ia akan menjadi seorang Ratu yang hebat tetapi… Derrick tidak yakin Eleanor pantas menjadi pendamping Quinn.

Baru pagi ini mereka membicarakannya dan sekarang…

“Aku sedang memikirkannya, Derrick,” Grand Duke berkata serius.

Dari raut wajahnya Derrick juga dapat melihat sang Grand Duke itu tidak sedang bercanda.

“Apakah Earl akan setuju?” Derrick bertanya, “Mereka pernah mengejar-ngejar Eleanor.”

“Mereka tidak mengejar Eleanor,” Grand Duke meralat, “Mereka hanya berusaha menemukan Eleanor untuk mengetahui kebenaran dalam peristiwa Red Invitation.”

“Apapun itu,” kata Derrick, “Mereka telah membuat Earl begitu melindungi Eleanor.”

“Ruben hanya berusaha membuat Eleanor melupakan peristiwa itu. Ruben tidak mau mereka membangkitkan kembali ingatan Eleanor akan kejadian itu,” lagi-lagi Grand Duke membela tindakan Istana sepuluh tahun yang lalu.

Derrick melihat keseriusan ayahnya. Ia tahu tidak ada hal yang dapat merubah keputusan itu.

“Eleanor adalah gadis yang manis,” Derrick menjawab pertanyaan yang terlupakan itu, “Ia adalah gadis yang pemberani dan tegar. Aku yakin ia akan dapat menghadapi kemarahan Quinn tanpa dibuat takut oleh Quinn. Quinn juga seorang pemuda yang bertanggung jawab. Aku tidak akan khawatir ia akan membuat affair setelah pernikahannya. Mereka mungkin akan menjadi pasangan yang serasi.”

“Aku juga berpendapat begitu,” Grand Duke tersenyum dan ia menatap putra tunggalnya lekat-lekat, “Terima kasih, Derrick. Kau membuatku yakin keputusanku tidak salah.”

Grand Duke berdiri. “Aku tidak ikut makan malam bersama kalian,” katanya, “Aku akan pergi ke Istana saat ini juga.”

Derrick termenung mengawasi kepergian ayahnya.

Tiba-tiba saja ia merasa Grand Duke mengajaknya berbicara bukan untuk meminta pendapatnya tetapi hanya untuk memantapkan keputusannya. Ia sama sekali tidak membutuhkan pendapatnya karena ia telah memutuskan!

Derrick kesal. Ternyata selama ini ayahnya tidak pernah menganggapnya cukup dewasa.

“Makan malam sudah siap,” Irina memberitahu dengan riang.

Irina heran melihat Derrick seorang diri di dalam ruangan itu. “Di mana Papa?”

“Ia pergi ke Istana,” jawab Derrick, “Ia tidak dapat makan malam bersama kita.”

Irina kecewa.

Derrick kembali termenung dengan pikirannya.

“Apa yang Papa bicarakan denganmu?” Irina duduk di depan Derrick.

Derrick melihat raut wajah penuh ingin tahu itu. Andai saja Irina adalah Eleanor. Derrick pasti akan memberitahunya. Sayangnya, Irina adalah Irina.

“Aku lapar,” Derrick meninggalkan Irina.

“Derrick!” Irina menuntut jawaban.

“Ini adalah pembicaraan antara pria,” jawab Derrick sambil lalu, “Hanya kaum pria.”

Irina tidak senang mendengar jawaban itu. Dan ia menunjukkannya dengan jelas sepanjang malam. Ia terus menuntut jawaban dari adiknya.

Di lain pihak Derrick bersikeras untuk tidak memberitahu Irina. Ia tidak mau hal ini tersebar ke luar sebelum semuanya dipastikan.

Belum tentu Paduka Raja menerima usul Grand Duke. Earl juga belum tentu menyukai ide ini. Dan Eleanor.



Derrick rasa gadis itu tidak akan mempunyai suara. Tidak ketika sang Grand Duke dan Earl terutama Paduka Raja Kerajaan Viering menyetujuinya. Tidak peduli apa pun yang dilakukan Eleanor, tidak akan ada yang bisa menghentikan mereka.

Derrick memahami Eleanor. Ia sangat memahami gadis yang tidak suka diatur itu hingga ia dapat membayangkan bagaimana reaksi Eleanor. Juga dapat dibayangkannya bagaimana Eleanor akan membangkang rencana yang pasti tidak disukainya ini.

Derrick turut bersedih untuk Eleanor.

-----0-----


Duke of Krievickie menatap Schewicvic lekat-lekat.

Ia ragu. Untuk kedua kalinya di hari ini ia berada di depan pintu masuk Schewicvic.

Ia tidak ragu untuk mengetuk pintu kayu besar itu. Ia juga tidak ragu untuk menemui sahabat baiknya itu. Ia hanya ragu memberi tahu sahabatnya itu keputusannya dan keputusan Raja Quinn.

Setelah meninggalkan Mangstone, ia langsung menuju istana.

Quinn masih sibuk di Ruang Kerjanya ketika ia tiba. Pria itu sangat puas mendengar laporannya.

“Aku tahu aku bisa mempercayaimu,” katanya puas mendengar penasihat kepercayaannya itu telah menemukan calon pengantin untuknya. “Aku tahu kau bisa menyelesaikannya dalam waktu singkat.”

“Terima kasih atas pujian Anda, Paduka,” kata Grand Duke hormat.

“Segera persiapkan pesta pernikahan kami,” katanya, “Tidak perlu pertunangan. Aku ingin segeranya segera diselesaikan. Aku tidak mau menunda waktu. Sedetik pun tidak.”

Grand Duke terperangah. Ia belum memberitahu sang Raja siapakah gadis pilihannya itu tetapi siapapun pilihannya itu, ia sepertinya tidak keberatan.

“Aku harus segera menyuruh Vicenzo segera mengatur pesta pernikahan kami. Seseorang juga harus segera mengatur undangan untuk kerajaan-kerajaan lain. Aku ingin semua diselesaikan dengan cepat tanpa kesalahan.”

“Saya mengerti,” kata Grand Duke. “Saya akan segera meminta kesediaan Earl Hielfinberg.”

Raja muda itu terperanjat. “Kau belum memberitahu mereka!?” nadanya meninggi, “Kau belum meminta kesediaan mereka?”

Grand Duke juga tidak kalah terperanjatnya. “Saya ingin meminta pendapat Anda terlebih dahulu sebelum meminta kesediaan mereka. Saya khawatir Anda tidak menyukai pilihan saya.”

“Aku sudah tidak mempunyai waktu untuk memilih lagi,” Quinn menegaskan, “Aku telah memberikan syarat-syaratku padamu. Itu sudah lebih dari cukup. Aku percaya padamu.”

“Terima kasih atas kepercayaan Anda, Paduka,” kata Grand Duke Bernard, “Saya akan segera memberitahu kabar gembira ini pada mereka.”

“Pastikan mereka menerima pinanganku ini.”

“Jangan khawatir, Yang Mulia,” kata Grand Duke, “Ia pasti menerima pinangan Anda ini. Setiap orang di Viering bersedia melakukan sesuatu untuk Viering. Ini adalah suatu kehormatan untuk dapat melakukan sesuatu bagi Viering.”

“Cepat pergi temui mereka,” kata Quinn tersenyum puas.

Dan itulah yang dilakukan Grand Duke. Namun sekarang ia ragu-ragu.

Tiba-tiba saja ia dapat merasakan kesedihan Ruben melepaskan satu-satunya orang tercinta yang tersisa di dunia ini. Ia dapat merasakan betapa pedih dan sunyinya kehidupan sahabatnya itu sepeninggal Eleanor. Akan sangat kejam sekali meminta satu-satunya orang yang menghiasi kehidupannya yang sunyi ini.

Grand Duke tidak memikirkan hal itu ketika ia mendapat ide ini. Ia juga tidak memiliki perasaan ini ketika ia menemui Quinn.

Ia ragu. Ia tidak tahu haruskah ia melangkah maju untuk Viering atau mundur untuk Ruben. Keduanya sangat berarti baginya. Keduanya sangat penting baginya. Ia tidak bisa menguntungkan yang satu dan menyakiti yang lain. Ia tidak bisa merebut Eleanor dari sisi sahabat baiknya itu.

Eleanor adalah satu-satunya harta yang paling berharga untuk Earl of Hielfinberg yang kesepian setelah kematian istri tercintanya.

Eleanor adalah permata yang akan selalu dijaganya dengan baik.

Eleanor adalah bidadarinya yang selalu menghiasi Schewicvic.

Eleanor adalah keceriaan Schewicvic Castle yang besar.

Eleanor adalah sinar mentari yang menghangati bangunan yang dingin ini.

Membawa Eleanor pergi sama dengan membunuh kehidupan Schewicvic dan juga Earl of Hielfinberg.

Di saat Grand Duke sedang bimbang inilah, Eleanor membuka pintu.

“Aku sudah tahu itu adalah kau ketika aku mendengar suara kereta,” kata Eleanor tersenyum gembira.

Grand Duke terperanjat.

“Apakah kau datang untuk menyelamatkanku?” Eleanor langsung menggandeng tangan Grand Duke, “Papa mengurungku di dalam kamar dan melarangku keluar sepanjang sore ini.” Eleanor melapor dengan cemberut.

“Masih untung kau, aku tidak melarangmu makan malam,” Earl muncul dari dalam.

Eleanor tersenyum nakal.

“Apa yang membuatmu datang?” tanya Earl. Tidak biasanya Grand Duke datang di waktu makan malam dan itu membuatnya curiga. Ia mengkhawatirkan keadaan sahabatnya itu.

Setelah mengetahui tugas yang diberikan Raja Quinn, Earl tahu sahabatnya itu tengah berada dalam kesulitan besar. Ia turut dapat merasakan beban berat yang ditanggung sahabatnya itu dan ia turut memikirkan tugas itu.

Sepanjang sore ini, sepeninggal Grand Duke, ia terus memutar otak memikirkan siapakah gerangan gadis yang cocok menjadi pendamping Raja kerajaan ini. Siapakah gadis yang pantas menjadi Ratu kerajaan ini? Ia telah berpikir dan berpikir keras tetapi ia tidak dapat menemukan jawabannya.

Earl yakin Grand Duke Bernard pun demikian. Mereka hanyalah dua orang duda kesepian yang tidak pernah memikirkan hal lain selain keluarga mereka dan masalah kerajaan. Mereka tidak pernah tertarik untuk mendengar kabar tentang gadis-gadis keluarga lain. Mereka juga tidak pernah secara khusus mendengar kabar burung tentang kelakuan para gadis bangsawan itu.

Untuk kedua kalinya dalam hari ini Earl merasa sungguh bersimpati pada Duke of Krievickie, sang penasehat dan tangan kanan Paduka Raja Kerajaan Viering.

“Tidak ada alasan khusus,” Grand Duke berbohong, “Tiba-tiba saja aku ingin bergabung dengan acara makan malam kalian.” Ia melihat Eleanor dan bertanya, “Kalian belum menyelesaikan makan malam kalian bukan?”

“Belum,” sahut Eleanor gembira, “Kami baru saja akan memulainya.”

Eleanor menuntun Grand Duke ke dalam Ruang Makan. “Sudah lama sekali engkau tidak makan malam bersama kami.”

“Kau tahu Irina akan tidak senang bila aku melewatkan makan malamku di rumah.”

Eleanor tertawa geli. “Makin lama ia makin mirip nenek tua yang cerewet. Ia terus mengomeli kelakuan dan penampilanku.”

Grand Duke memperhatikan Eleanor dengan jeli. “Aku lihat engkau adalah gadis yang sempurna. Apa yang diomelkannya lagi?”

“Itulah Irina,” Eleanor tidak suka, “Ia tidak pernah menyukai penampilanku. Ia ingin aku tampil kaku seperti gadis-gadis lainnya. Ia tidak tahu aku tidak bisa. Aku tidak menyukainya.”

“Ia hanya memperhatikanmu,” Earl membela putri Grand Duke Bernard itu.

“Ya, aku tahu.” Eleanor tersenyum lembut, “Bila Irina tidak seperti ini, itu bukanlah Irina. Aku menyayanginya karena ini seperti ini.”

“Begitu pula kami,” tambah Grand Duke Bernard.

Makan malam itu berlangsung begitu hangat. Mereka terus berbicara mengenai keluarga mereka. Tidak tersirat sedikit pun kegelisahan yang hinggap di pundak Grand Duke. Juga tidak tersirat pula simpati yang ada di dalam hati Earl. Mereka begitu menikmati makan malam mereka yang hangat itu. Tetapi semuanya berubah ketika Earl menyuruh Eleanor kembali ke kamarnya dan mengajak Grand Duke untuk duduk di tempat kesukaan mereka, Ruang Perpustakaan.

Bagaimana pun gembiranya Grand Duke sepanjang makan malam ini, ia tidak dapat membohongi Earl. Earl tahu benar ada sesuatu yang ingin dibicarakan Grand Duke padanya. Sesuatu yang sangat penting. Dan itulah yang langsung dikatakannya pada Grand Duke ketika mereka berdua telah berada di dalam Ruang Perpustakaan.

Grand Duke menanggapi pendapat Earl itu dengan menatapnya lekat-lekat.

“Ruben, apa kau mau berkorban untuk kerajaan ini?” Grand Duke ragu-ragu.

“Apa-apaan kau ini!? Tentu saja aku mau.”

“Baguslah,” Grand Duke lega.

Earl heran.

“Aku minta putrimu.”



*****Lanjut ke chapter 5

No comments:

Post a Comment