Wednesday, November 28, 2007

Ratu Pilihan-Chapter 3

Eleanor memandang hamparan cakrawala di kejauhan.

Dari tempatnya duduk, ia dapat melihat Istana Fyzool yang berdiri di puncak bukit itu menaungi rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Atapnya yang biru tampak begitu serasi dengan awan-awan putih tebal yang melatar belakanginya. Dinding-dinding putihnya yang kokoh tampak bersinar di bawah sinar mentari pagi.


Berada beberapa bepuluh-puluh mil dari Schewicvic, Istana Fyzool terlihat seperti raksasa yang berdiri kokoh di antara rumah-rumah kecil yang mengelilinginya. Istana yang begitu megah itu tampak begitu kontras dengan rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Ia tampak begitu kokoh dan berkuasa.

Tentu saja tidak semua bangunan di sekitar Istana kecil. Masih ada gedung Parlemen yang megah. Kawasan elit para orang kaya juga berada di salah satu sisi ibukota. Beberapa kilometer di belakang Istana juga tampak kediaman keluarga Krievickie, Mangstone Villa. Di Loudline juga ada banyak jalan-jalan yang terkenal. Ada jalan yang terkenal oleh keindahannya, jalan yang terkenal oleh kerimbunan pepohonannya, ada juga jalan yang terkenal oleh pertunjukan-pertunjukan atraksinya yang tiada henti juga ada jalan lebar dengan toko-toko yang indah di kanan kirinya. Di sana kau juga dapat menemukan restoran-restoran terkenal yang dipercantik para pelayan wanita yang cantik molek. Bila tengah malam kau memerlukan tempat beristirahat, hotel-hotel di segala penjuru Loudline juga siap menyambutmu mulai dari harga yang terjangkau hingga harga yang tinggi untuk para kaum elit. Di malam hari bila kau tidak dapat tidur, kau bisa pergi ke coffee shop yang buka sepanjang hari di setiap sudut kota terbesar di Viering itu. Bar-bar elit yang hanya didatangi oleh bangsawan juga ada di segala penjuru Loudline, salah satunya adalah Dristol, tempat Mathias bertemu dengan istrinya. Bila kau tidak menyukai semua itu, kau juga bisa pergi ke taman kota yang rimbun dan berhiaskan patung-patung yang indah dengan kolam air mancurnya yang tinggi. Kau juga bisa mengunjungi satu-satunya museum di Viering yang menyimpan sejarah Viering yang panjang. Bila kau ingin berbelanja, ada kawasan pertokoan yang tidak pernah tutup sepanjang tahun. Atau bila kau merasa sakit, ada rumah sakit terkenal Viering di sana. Dokter-dokter terkemuka di Viering juga dapat ditemukan dengan mudah. Kau juga tidak perlu mengkhawatirkan keamanan Loudline. Dengan Istana Fyzool di sisi barat kota, siapa yang berani menyepelekan keamanan kota yang menjadi benteng Fyzool itu? Bila para polisi kau rasa kurang sigap mengamankan isi kota yang padat itu, maka tentara Viering selalu siap sedia menjaga keamanan tempat itu. Para pasukan bayangan Viering yang tangguh juga siap diturunkan bila keadaan sangat mendesak.

Itulah wajah ibukota Kerajaan Viering yang tidak pernah beristirahat.

Eleanor memandang istana yang megah itu lekat-lekat.

Tidak tampak tanda-tanda yang mencurigakan dari Istana. Tidak tampak juga kejanggalan di dalam Istana yang selalu berkilau itu. Namun ada banyak masalah di dalamnya.

Eleanor tidak perlu pergi ke sana untuk mengetahui masalah-masalah di dalam bangunan yang megah itu.

Koran-koran cukup menceritakan apa yang ada di dalamnya. Kabar-kabar burung yang sampai di telinganya cukup menjelaskan apa yang tengah terjadi di sana.

Seperti pagi ini, dari orang-orang yang ditemuinya di pasar ia mendengar gejolak kemarahan Quinn masih belum surut.

Eleanor tidak yakin kemarahan pria itu akan reda dalam waktu singkat. Dari Bernard, Eleanor sering mendengar bagaimana menyeramkannya kemarahan Quinn. Eleanor tahu Bernard juga para bangsawan lain serta pembantu Quinn tidak ada yang berani melawan pria itu ketika ia murka. Ia yakin kali ini tidak akan ada yang dapat meredakan kemarahan Quinn selain mengubah masa lalu.

“Tetapi itu tidak mungkin,” desah Eleanor sambil menyandarkan punggung ke batang pohon besar itu. Tangannya terlipat di belakang kepalanya. Kakinya menjulur panjang di dahan tempat ia duduk. Matanya memandang langit biru di atas kepalanya.

Bagi Eleanor, tiada saat yang lebih menyenangkan daripada duduk di atas pohon di musim panas yang menyengat ini. Tidak ada yang peduli di mana ia berada. Ayahnya tidak akan mencarinya. Ia dapat menikmati waktunya di atas pohon sesuka hatinya dan sepuas hatinya. Eleanor memejamkan matanya.

“Eleanor!”

“Eleanor, di mana kau?” Irina ikut-ikutan berseru memanggil.

Eleanor terkejut.

“Sudah kuduga kau ada di sini,” Derrick menengadah sambil tersenyum puas.

“Ya, Tuhan,” pekik Irina, “Apa yang kaulakukan di atas sana?”

“Tunggu sebentar,” sahut Eleanor, “Aku akan segera turun.”

“Tidak! Tidak!” Irina panik. Wanita yang tidak pernah terbiasa oleh kesukaan Eleanor akan memanjat pohon itu segera mendorong maju adiknya dan berkata, “Derrick akan menurunkanmu.”

Derrick membelalak. “Apa lagi yang kaukhawatirkan?” katanya heran, “Kau selalu dan selalu begini padahal kau tahu dia sudah pandai dalam hal ini.”

Di atas sana Eleanor tertawa. “Jangan khawatir, Irina,” Eleanor berdiri, “Lihatlah aku sudah sangat mahir untuk ini.” Eleanor meloncat ke dahan di bawah dan meloncat lagi ke dahan yang lain seperti seekor tupai.

“Ya Tuhan, Eleanor!!??”

Eleanor berpegang di dahan dan mengayunkan badannya ke dahan lain yang lebih rendah. Tiba-tiba tangannya terlepas.

“Eleanor!!??” Irina berseru panik.

Derrick langsung bersiap menangkap Eleanor.

Eleanor jatuh meluncur dengan mulusnya ke dalam tangan Derrick yang sudah siap menangkapnya.

Mereka jatuh tersungkur di atas tanah.

“Kau semakin berat saja,” keluh Derrick sambil memegang pantatnya yang menghantam tanah.

“Kaulah yang semakin lemah!” balas Eleanor tidak senang.

“Eleanor!” Irina berdiri sambil bersilang pinggang. “Apa kau sadar yang kaulakukan ini sangat berbahaya!?”

“Kalau kau tidak tiba-tiba berteriak memecah perhatianku, aku tidak akan terjatuh,” keluh Eleanor.

“Eleanor!!” Irina naik pitam dan seketika itu ia menyadari sesuatu.

“Demi Tuhan, Eleanor!” pekiknya histeris, “Mengapa kau memakai gaun seperti itu? Apa yang terjadi pada rambutmu? Apa mereka tidak menatanya untukmu?”

Itulah Irina, sang kakak dan ibu angkat Eleanor, ia selalu memperhatikan setiap sudut penampilan Eleanor. Mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki tidak akan ada yang dilewatkan oleh Irina.

“Sudah berapa lama kau memakai gaun ini!?” selidik Irina melihat gaun Eleanor yang sudah kekecilan dan sudah ketinggalan mode.

Eleanor mengabaikan pertanyaan itu. Ia berpaling pada Derrick, kakak lelaki yang paling disayanginya.

“Derrick, apa yang membuatmu datang?” Eleanor mencoba merangkul pundak Derrick tetapi tubuhnya terlalu pendek untuk dapat menggapai pundak pria itu. “Mengapa kau kian lama kian tinggi?” komentar Eleanor kesal.

“Kaulah yang makin lama makin pendek,” balas Derrick sambil menepuk-nepuk kepala Eleanor.

“Sikapmu inilah yang membuat aku kian pendek,” Eleanor menapik tangan Derrick.

Derrick tertawa terpingkal-pingkal.

“KAU!??” Eleanor melayangkan tinjunya ke wajah Derrick.

Derrick langsung memasang kuda-kuda untuk melawan Eleanor.

Keasyikan mereka sendiri membuat Irina tersisih. Sikap Eleanor yang kelaki-lakian diimbangi Derrick membuatnya naik pitam. “Kalian ini!!” serunya.

“Derrick,” hardik Irina, “Berapa kali kukatakan jangan merusak Eleanor!?”

“Siapa yang merusak Eleanor,” gerutu Derrick.

“Eleanor,” giliran Irina menghardik Eleanor, “Berapa kali kukatakan jangan bersikap kelaki-lakian seperti itu!? Kau adalah wanita bukan laki-laki. Apa kau masih tidak sadar juga!??”

“Aku tidak meminta dilahirkan sebagai seorang wanita,” gerutu Eleanor.

“Eleanor!” suara Irina melengking tinggi.

Inilah Irina ketika ia marah. Di saat biasa ia adalah wanita cantik yang lemah lembut tetapi ketika ia marah, ia akan menjadi sangat menakutkan. Tetapi kedua orang itu telah terbiasa oleh kemarahannya.

“Apa kau mempunyai acara hari ini?” Derrick merangkul pundak Eleanor seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

“Tidak,” jawab Eleanor, “Kau mempunyai acara?”

Irina dibuat geram oleh sikap mereka.

“Apa kau mau berkeliling bersamaku?” Derrick membawa Eleanor pergi.

“Tentu saja,” sahut Eleanor gembira.

Irina mendesah panjang. Ia selalu kekurangan wibawa di hadapan kedua adiknya itu.

“Tunggu,” Irina segera mengikuti mereka, “Aku juga ikut. Kita akan mampir ke Snell untuk membeli beberapa gaun baru untuk Eleanor.”

“Tidak!!” seketika keduanya berbalik dengan mata melotot.

“Aku tidak membutuhkan gaun baru,” tambah Eleanor tidak sependapat.

“Aku juga tidak sedang berminat berbelanja,” Derrick tidak mau kalah. “Hari ini kami hanya akan berkuda.”

“Hanya berkuda!” Eleanor menegaskan.

Irina mendesah. Inilah satu di antara banyak hal yang tidak disukainya dari ajaran Derrick. Derrick telah berhasil membuat Eleanor menjadi seorang laki-laki. Eleanor sama sekali tidak peduli pada tatanan rambutnya. Ia juga tidak pernah berminat untuk berbelanja selayaknya seorang gadis bangsawan. Satu-satunya orang yang membuat Eleanor tetap tampil menawan sesuai dengan mode yang sedang populer adalah Irina. Andai bukan karena Irina, Eleanor tidak akan mempunyai gaun yang layak pakai.

Irina mendesah lagi dan menggelengkan kepala. Inilah kedua adik lelakinya.

-----0-----


“Hari ini benar-benar menyenangkan,” kata Eleanor ketika mereka tiba di pintu gerbang Schewicvic.

“Harus kuakui kian lama kau kian mahir.”

“Tentu saja,” sahut Eleanor berbangga diri, “Aku tidak akan membiarkan dirimu menang dariku, Derrick.”

“Kalian ini,” keluh Irina. “Kalian benar-benar membuatku merasa mempunyai dua adik lelaki.”

“Aku adalah lelaki,” sahut Eleanor.

“Dan aku adalah lelaki tulen,” timpal Derrick.

“Eleanor!” pekik Irina, “Berapa kali kukatakan.”

“Kau adalah seorang wanita bukan lelaki,” sahut Eleanor tersenyum manis.

“Kau ini,” Irina geram dibuatnya.

Derrick tertawa melihatnya.

“Rasanya aku benar-benar tidak mempunyai wibawa di hadapan kalian,” keluh Irina, “Kalian selalu tertawa setiap kali aku marah.”

“Jangan khawatir, Irina,” hibur Eleanor, “Kemarahanmu masih lebih menakutkan dari Quinn.”

Irina membelalak mendengarnya.

Derrick tertawa terpingkal-pingkal hingga perutnya sakit.

“Tapi,” lanjut Eleanor, “Kadang aku berpikir seperti apakah rupa Quinn sehingga Bernard pun takut padanya. Ia hanyalah manusia biasa untuk apa mereka takut padanya?”

“Kau tidak pernah bertemu Quinn?” Irina heran. Beberapa saat kemudian ia tersadar. Eleanor tidak pernah bertemu dengan sang Paduka Raja kerajaan ini. Bagaimana ia bisa bertemu dengannya bila ia selalu menghindari pergaulan kaum bangsawan. Mereka tahu mengapa Eleanor menghindari tempat-tempat itu. Mereka mengerti mengapa Eleanor tidak pernah muncul dalam setiap undangan perjamuan. Mereka juga dapat memaklumi sikap Earl yang terlalu melindungi Eleanor.

Suatu ketika Derrick pernah bercanda, “Aku tahu mengapa Earl tidak mengijinkanmu meninggalkan Schewicvic. Ia pasti takut kau membuatnya malu dengan sikapmu yang liar ini.”

“Ia takut mereka mengetahui kalau aku adalah seorang pria dalam tubuh wanita,” Eleanor tertawa lepas.

Irina, tentu saja, marah. “Apa yang kaukatakan!??” Irina merasa usahanya untuk membuat Eleanor lebih anggun dan feminim sia-sia. Selalu dan selalu Derrick merusak apa yang telah diupayakannya demi membuat Eleanor bersikap selayaknya seorang Lady.

Irina menatap Eleanor lekat-lekat. Dari penampilannya, tidak sedikitpun tampak sikap kelaki-lakian Eleanor. Ia bahkan terlihat begitu sempurna. Baju berkudanya yang ketat itu menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang ramping. Rambut emasnya yang tertata rapi sungguh mempesona. Bahkan di depan sinar mentari yang cerah atau api perapian, rambut itu terlihat seperti tembus pandang. Matanya yang biru muda juga begitu mempesona. Bibir mungilnya yang selalu tersenyum ceria menambah kesempurnaan wajahnya yang oval. Kulitnya yang kuning kecoklatan akibat sering berjemur membuatnya tampak semakin menggairahkan. Ia sungguh cantik dan mempesona! Benar-benar seorang lady dambaan setiap pria. Hanya saja…

Irina mendesah panjang.

“Kau pernah bertemu dengannya?” tanya Eleanor tertarik.

“Ya, beberapa kali.”

“Sering,” Derrick membetulkan, “Apa kau tahu, Eleanor, Quinn adalah seorang pria yang sangat tampan hingga Irina tergila-gila padanya.”

“Aku tidak tergila-gila padanya!?” Irina tidak menyukai godaan Derrick.

“Aku tidak akan heran bila Irina tergila-gila padanya,” kalimat itu membuat Irina terbelalak. Lalu dengan tenangnya Eleanor melanjutkan, “Aku mendengar ia tidak pernah serius dalam menjalin hubungan dengan wanita tetapi tetap saja ada ratusan bahkan ribuan wanita yang rela antri untuk mendapatkan cinta semunya itu. Quinn pastilah seorang pria yang menarik hingga mereka rela melakukan itu. Tentu saja, di samping ia adalah seorang raja. Aku rasa kedudukannya itu juga merupakan daya tarik tersendiri bagi para wanita tetapi itu bukanlah satu-satunya hal yang menarik mereka. Mereka tentu tahu percuma saja mereka berusaha menundukkan Quinn. Quinn lebih suka mati daripada menikah dengan seorang wanita. Bahkan setelah gosip ini aku tidak yakin ia akan mengubah keputusannya kecuali memang tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan Viering.”

Irina tertegun. Dalam hati ia memuji Eleanor. Gadis itu memang terkurung dalam Castil Schewicvic yang indah tetapi ia tidak pernah ketinggalan berita. Ia juga mempunyai jalan pikir yang dalam dibandingkan wanita-wanita seusianya bahkan dirinya sendiri. Mungkin itu adalah hasil dari pergaulannya bersama Earl of Hielfinberg dan Duke of Krievickie.

“Aku juga yakin Quinn akan mengambil jalan yang dibencinya itu bila ia sudah menghadapi jalan buntu.”

“Pria sepertinya pasti memilih kehormatan kerajaan yang diwariskan padanya daripada berpegang teguh pada keyakinannya,” Eleanor sependapat, “Aku tidak akan terkejut bila dalam waktu dekat ini aku mendengar ia mencari seorang pengantin.”

Irina termenung. “Kurasa itulah yang membuat Paduka Raja memanggil Papa pagi ini,” gumamnya.

“Bernard dipanggil?”

“Kau tidak mendengarnya?” Derrick balik bertanya heran, “Kupikir burung-burung yang ketakutan itu telah melaporkan semuanya padamu.”

“Burung-burung yang ketakutan?” Eleanor semakin heran.

“Pagi ini Irina mengatakan kemarahan Quinn sangat menakutkan hingga burung-burung di udara pun terdiam mendengarnya. Lalu kukatakan bahwa mereka langsung terbang mencari perlindungan padamu.”

“Jangan mengukit-ukit masalah itu!” Irina kesal.

“Apa hubungan aku dengan Quinn?” tanya Eleanor kesal, “Jangan sembarangan menghubung-hubungkan orang lain. Aku tidak mempunyai hubungan dengan pria itu dan tidak tertarik. Lagipula kaupikir aku ini apa? Aku tidak bisa berbicara bahasa burung.”

“Benarkah itu?” tanya Derrick, “Aku malah berpikir kau bisa berbicara segala macam bahasa hewan.”

“Ia hanya menggodamu,” Irina cepat-cepat menyahut sebelum Eleanor bereaksi, “Kami benar-benar tidak mengerti bagaimana kau mengetahui berita-berita itu sebelum kami tahu.”

“Apa boleh buat,” keluh Eleanor, “Aku tidak memintanya tetapi aku selalu mendengarnya setiap hari di pasar.”

“Kau masih sering pergi ke sana?” Irina terkejut.

“Papa tidak mengijinkanku pergi keluar seorang diri tanpa keberadaan Nicci.”

“Kau seperti bukan Eleanor saja,” komentar Derrick, “Aku tahu kau tidak suka dikekang seperti ini. Kau pasti bisa menemukan cara untuk kabur dari pengawasan ketat ayahmu.”

“Dan membuatnya sakit jantung?” sahut Eleanor dan ia menggeleng, “Tidak. Aku tidak akan melakukan itu. Setelah kepergian Mama, hanya akulah yang dimilikinya. Ia takut sesuatu terjadi padaku karena itulah ia melindungiku dengan begitu ketat. Aku juga tidak tahu ke mana aku harus pergi.”

“Kau bisa datang ke Mangstone,” kata Irina, “Sudah lama sekali kau tidak datang.”

“Ya. Aku akan bermain ke sana tetapi tidak saat ini,” janji Eleanor, “Aku yakin Bernard sudah ada di Ruang Perpustakaan bersama Papa.”

“Kau masih suka mendengarkan mereka?” tanya Derrick heran.
Eleanor tersenyum. “Tidak ada hal yang lebih menarik selain mendengarkan diskusi mereka.”

“Kau benar-benar bukan seorang gadis normal,” keluh Derrick.

“Itu juga karena kau,” Irina menyalahkan adiknya, “Kau yang membuat Eleanor jadi seperti ini.”

“Tidak ada yang membuat aku,” Eleanor membela Derrick, “Aku adalah aku.”

Derrick tersenyum puas dan Irina kehabisan kata-kata.

“Hari sudah sore,” kata Eleanor, “Kurasa Bernard akan segera meninggalkan Schewicvic. Aku tidak mau ketinggalan diskusi mereka.”

“Bergegaslah masuk ke dalam,” kata Irina, “Kami juga harus bergegas pulang.”

“Kalian tidak menemui Bernard?” tanya Eleanor.

“Tidak,” jawab Derrick, “Kami ingin segera mencapai rumah sebelum langit gelap. Aku tidak ingin kemalaman di jalan.”

Eleanor mengangguk mengerti. “Senang bisa bepergian bersama kalian,” katanya berpamitan, “Sampai jumpa dan selamat malam,” lalu ia menjalankan kudanya memasuki pekarangan Schewicvic.

“Kita juga harus pulang,” Derrick membalikkan kudanya.

Irina segera mengikuti Derrick meninggalkan Schewicvic Castle.

Seperti dugaan Eleanor, kereta keluarga Krievickie telah berada di pintu masuk Schewicvic.

Seorang pelayan pria langsung menyambut kedatangan Eleanor.

Eleanor meloncat turun dari kudanya dan membiarkan pelayan itu membawa kudanya kembali ke istal beberapa meter dari bangunan utama Schewicvic.

Eleanor tidak perlu bertanya pada seorang pun di manakah kedua pria itu berada. Dengan riang ia melangkahkan kakinya ke Ruang Perpustakaan.

Eleanor baru saja membuka pintu ketika ia mendengar Grand Duke berkata dengan nada tinggi.

“Di mana aku harus menemukannya!??”

“Aku rasa kau membutuhkan lebih dari sekedar saran,” komentar Earl of Hielfinberg melihat tampang Grand Duke yang kusut seperti baru bergumul dengan kuda.

“Ya,” desah Grand Duke, “Aku membutuhkan seorang calon pengantin.”

Eleanor memperhatikan wajah muram kedua pria tua itu. Ia tidak perlu bertanya untuk mengetahui apa yang tengah mereka bicarakan. Ia telah memikirkan hal ini dan ia telah menduganya! Memang tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh Quinn selain mengakhiri masa lajangnya. Dan, tentunya ia telah menyuruh Bernard, sang Grand Duke dan tangan kanannya, mencari sang mempelai.Dengan tekun Eleanor mendengar Duke membuka persyaratan sang Raja.

Ketika Duke selesai, Eleanor tidak dapat menahan tawa gelinya. Pilihannya benar-benar pilihan seorang pendeta yang tidak mau repot.

Tawanya itu mengundang perhatian kedua pria tengah baya itu.

“Carikan saja kuda betina untuk dia. Kurasa tidak ada yang lebih pantas untuk pria itu selain seekor kuda betina. Kemauannya terlalu banyak. Memang ada yang sanggup menjadi istrinya hanya untuk melahirkan keturunannya?”

Grand Duke Bernard terperanjat.

“Eleanor!” hardik Earl.

“Apa salahku!?” Eleanor memprotes.

“Kau tahu salahmu!” Earl tidak senang, “Aku tidak pernah mengajarimu untuk berkata seperti itu kepada keluarga kerajaan.”

“Aku tidak menghina mereka,” Eleanor membela diri.

“Diam! Masuk kamarmu!”

“Tapi…”

“MASUK KAMAR!!!”

Eleanor memasang wajah masam dan pergi.

“Maafkan dia, Bernard,” Earl merasa bersalah. “Ini semua salahku. Aku tidak mendidiknya dengan baik.”

“Tidak apa-apa, Ruben,” Grand Duke berdiri, “Aku pergi dulu. Aku masih ada urusan.”

“Silakan,” kata Earl.

Mata Earl of Hielfinberg mengawasi kepergian sahabatnya. Tidak pernah ia melihat Grand Duke tampak begitu lesu dan kacau seperti ini. Tidak ketika Duchess meninggal. Tidak juga ketika gosip menerpa keluarganya setelah Red Invitation.

Earl mendesah.

Pernikahan Mathias yang menghebohkan telah mengguncang Fyzool dan mengusik kemurkaan sang penguasa.

Andai saja ada yang bisa dilakukannya untuk membantu Grand Duke Bernard, Earl akan melakukannya sekalipun resikonya sangat besar.

Andai saja ada yang bisa dilakukannya untuk sahabat baiknya itu…



*****Lanjut ke chapter 4

No comments:

Post a Comment