Wednesday, June 13, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 16

Akhirnya hari yang dinantikan Angella tiba. Hari ini ia akan membuka kartu yang akan menggemparkan semua orang sekaligus menyakitkan bagi segelintir orang.

Seusai sarapan pagi, mereka berempat meninggalkan rumah dengan alasan hendak berkuda. Angellalah yang menyarankan hal ini. Ia bersikeras naik kuda ke tempat yang yang akan mereka tuju. Ia mengatakan kepada mereka agar orang tuanya tidak curiga.

Ia menyadari protes keras ketiga pria itu dengan usulnya. Tetapi mereka tetap setuju, karena mereka tahu percuma membantah gadis itu saat ia menatap tajam pada mereka. Mereka tidak menyadari rencana di balik semua ini. Tidak seorang pun dari ketiga pria itu yang mencurigainya.

Mereka berpisah tak jauh dari Troglodyte Oinos. Frederick dan Oscar menemui Earl sedangkan Angella dan Vladimer menuju rumah Jenny.

“Apakah engkau marah kepadaku?” tanya Angella.

“Tidak, aku tidak marah kepadamu,” jawab Vladimer.

“Engkau bohong. Engkau marah kepadaku sehingga engkau menjauhiku,” kata Angella. “Apakah engkau marah karena malam itu aku pergi sendiri ke gereja?”

“Tidak, aku tidak marah kepadamu,” ulang Vladimer.

“Jangan menipuku!” kata Angella tajam, “Matamu mengatakannya kepadaku.”

“Engkau membuatku bingung. Engkau tidak mempercayai orang lain, tetapi engkau mempercayai mata mereka.”

“Mata tidak dapat menipu,” kata Angella datar.

“Baru kali ini aku mendengarnya. Siapa yang mengatakannya kepadamu?”

“Nanny. Nanny sering mengatakan kepadaku bahwa mulut bisa berbicara banyak, tetapi mata dapat berbicara jujur.”

“Apakah itu sebabnya engkau selalu memandang mata orang yang berbicara?”

“Ya. Apakah sekarang engkau mau jujur kepadaku? Aku minta maaf bila engkau marah karena aku malam itu aku pergi sendiri. Aku tidak berniat membuatmu marah, aku hanya tidak ingin membuatmu semakin repot.”

“Aku tidak pernah merasa repot bila membantumu, aku senang melakukannya. Aku juga tidak marah kepadamu. Bila mataku menunjukkan kemarahan, percayalah itu tidak kutujukan padamu.”

“Bila bukan kepadaku, kepada siapa?” tanya Angella tajam. “Aku sedih melihat matamu yang penuh kemarahan itu.”

Kemudian ia memacu kudanya meninggalkan Vladimer.

“Jangan sedih! Aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” kata Vladimer setelah berhasil menyusul Angella. “Aku marah kepada diriku sendiri.”

“Mengapa? Engkau tidak pernah berbuat salah akhir-akhir ini. Engkau menepati janjimu. Di mana letak kesalahanmu? Aku tidak melihatnya,” kata Angella bingung.

“Engkau salah. Aku telah membuat suatu kesalahan besar.”

“Kesalahan apa?” desak Angella.

“Aku telah membuatmu sedih. Aku tidak ingin membuatmu sedih tetapi aku telah melakukannya. Bagiku itulah kesalahan terbesarku seumur hidupku,” jawab Vladimer.

“Mengapa engkau berkata seperti itu? Selama beberapa tahun terakhir ini aku memang sedih, tetapi itu bukan karenamu. Engkau telah mengetahuinya juga,” kata Angella sedih. “Memang selama beberapa hari ini engkau membuatku sedih karena engkau menjauhiku. Tetapi kemarahanmu itu sudah kulihat sebelum engkau mulai menjauhiku. Mata itu mulai menunjukkan kemarahan pada malam kita berkumpul di gereja.”

“Jangan sedih, Angella!” hibur Vladimer, “Aku tidak ingin menjauhimu tetapi aku terpaksa melakukannya sebab….”

“Sebab apa?” tanya Angella dengan lembut melihat keragu-raguan Vladimer.

Sejenak Vladimer tampak terkejut mendengar kata-kata lembut Angella, tetapi ia tetap tidak melanjutkan kata-katanya.

“Katakan kepadaku, Vladimer. Bila masalah ini selesai, engkau akan pulang, bukan? Karena itu, jangan membuatku penasaran,” bujuk Angella.

“Aku terpaksa melakukannya sebab engkau tampak sedih ketika mengatakan kepadaku bahwa Nanny dan ibumu menduga kita saling mencintai.”

“Mengapa engkau menduga seperti itu?”

“Engkau tampak kebingungan dan sedih ketika aku membenarkan pendapat mereka,” kata Vladimer tak kalah sedih dari Angella.

“Waktu itu aku memang bingung, tetapi aku tidak sedih. Aku…,” Angella malu mengakui perasaannya saat itu. “Mungkin aku tampak sedih, tetapi sesungguhnya aku tidak merasa demikian. Sebaliknya aku merasa senang, tetapi aku tidak percaya. Bahkan akhir-akhir ini ketika engkau menjauhiku, aku semakin merasa engkau berbohong kepadaku ketika mengatakan itu.”

“Mengapa engkau tidak mempercayaiku?” tanya Vladimer.

“Karena matamu saat itu tampak ragu-ragu. Seperti…,” kata Angella perlahan-lahan, “Seperti tidak bersungguh-sungguh.”

“Saat itu aku memang ragu-ragu mengatakannya,” kata Vladimer.

“Mengapa?” sahut Angella.

“Karena aku tidak yakin apa yang akan kaulakukan. Aku menduga engkau membenci semua pria setelah kejadian yang menimpa Jenny itu.”

“Kau tahu? Aku tidak membenci semua pria di dunia ini setelah kejadian itu. Aku percaya tidak semua pria seperti Earl. Bila aku membenci semua pria, aku tidak akan mempercayaimu,” kata Angella semakin sedih.

“Jangan bersedih lagi. Aku tidak ingin melihatmu bersedih. Maafkan aku yang telah membuatmu bersedih. Aku ingin engkau mempercayai kata-kataku. Untuk kali ini aku tidak akan ragu-ragu, aku akan mengatakan dengan penuh keyakinan. Tidak peduli apa yang akan kaulakukan.”

Angella menghentikan langkah kudanya, demikian pula Vladimer. Ia menatap dalam-dalam mata Vladimer. Ia merasa jantungnya seperti berhenti berdetak karena tegang menanti apa yang akan dikatakan Vladimer. Tangannya menggenggam erat-erat tali kendali kuda.

Vladimer menatap lekat-lekat mata Angella. Ia melihat Angella tampak tegang. Ia ingin mengulurkan tangannya untuk menghilangkan ketegangan gadis itu. Tetapi ia menahan keras keinginannya itu.

“Aku mencintaimu,” kata Vladimer dengan segenap perasaannya.

Angella terkejut mendengar pengakuan Vladimer. Ia tertunduk malu tanpa dapat mengutarakan perasaannya.

“Sejak dulu aku menyayangimu tetapi bagiku alasan itu tidak cukup menjelaskan perasaanku yang aneh ketika mengetahui tentang Danny. Aku tak dapat mengerti diriku sendiri yang dengan mudahnya membenci pria yang baru kulihat itu.”

“Dan aku merasa bersalah telah menuduhmu bersikap tidak benar dengan meletakkan bunga itu di Ruang Perpustakaan. Seharusnya aku tahu bahwa engkau memang tidak menyukai baik bunga yang dikirim Danny itu maupun Danny sendiri.”

Angella teringat pada suatu siang ketika Vladimer menemaninya. Saat itu tiba-tiba suara pintu diketuk perlahan memecahkan keheningan dalam kamar Angella.

Angella yang sejak tadi memejamkan matanya, membuka matanya dan melihat Vladimer berdiri dari kursi depan perapian yang akhir-akhir ini menjadi kursi kesayangannya bila ia berada di kamar Angella. Pria itu selalu duduk di sana sambil menemani Angella.

Ketika pintu dibuka, tampak seorang pelayan membawa seikat besar bunga mawar merah. Wajah pelayan ini tertutup oleh ikatan bunga mawar yang besar dan megah itu.

“Letakkan bunga itu di Ruang Perpustakaan,” kata Angella ketika Vladimer mengulurkan tangannya hendak menerima bunga itu dari pelayan.

Pria itu terkejut mendengar suara Angella yang tajam. Ia menatap wajah Angella yang tak berperasaan itu.

“Bunga ini sangat indah. Pasti akan memperindah kamarmu bila diletakkan di vas dekat tempat tidurmu itu,” kata Vladimer dengan nada yang aneh.

Pria itu tidak mengerti mengapa dirinya merasa marah ketika Angella mendapat kiriman bunga yang indah itu dari Danny. Ia menduga itu karena ia tidak menyukai Danny dan segala hal yang berhubungan dengan pria itu.

Tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu itu salah. Bukan karena itu ia tidak menyukai Angella mendapat kiriman bunga yang sangat indah itu.

“Letakkan di Ruang Perpustakaan,” kta Angella tajam.

Vladimer meminta pelayan itu menyerahkan rangkaian bunga mawar itu di Ruang Perustakaan.

Setelah menutup pintu kamar Angella, ia kembali ke tempatnya semula.

“Mengapa engkau bersikap seperti itu?” tanya Vladimer.

“Karena tidak ada alasan bagiku untuk menerimanya,” jawab Angella dengan tenang.

“Katakan sejujurnya padaku, apakah engkau menyukai bunga itu?”

“Takkan ada wanita yang mengatakan bunga itu buruk.”

“Mengapa engkau bersikap seperti seorang pengecut? Mengapa engkau tidak menerima bunga itu kalau engkau memang menyukainya?”

“Aku tidak menyukainya,” kata Angella tajam.

“Engkau marah pada Danny yang tidak mengantarkan bunga itu sendiri setiap hari. engkau marah karena Danny menyuruh orang lain mengantar bunga itu bukan ia sendiri yang mengantarnya. Benarkah demikian?”

Angella menatap tajam pada Vladimer.

Vladimer melihat pandangan mata Angella sangat dingin. Pandangan terdingin yang pernah dilihatnya.

Ia percaya bila ia bukan orang yang juga memiliki sikap yang sama dinginnya dengan Angella, ia akan merasa beku oleh pandangan mata yang lebih dingin dari es manapun itu.

“Apakah hakmu mengatur aku?” kata Angella tajam.

Vladimer terdiam. Ketika ia akan mengatakan sesuatu, Angella telah mendahuluinya:

“Bila aku mengatakan tidak suka kepada seseorang, aku tidak akan pernah menyukainya. Untuk apa membohongi diriku sendiri?”

“Jangan membohongiku, Angella. Aku telah melihat banyak wanita yang berbuat tidak sesuai dengan perasaan mereka. Apa yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang ada di hati mereka,” kata Vladimer tak kalah tajamnya.

“Jangan samakan aku dengan wanita-wanitamu,” balas Angella.

“Mengapa aku tidak boleh menyamakanmu bila kenyataannya memang demikian? Jujurlah, Angella. Engkau merasa sakit hati karena bukan Danny yang mengantar bunga itu untukmu.”

“Kalau pun aku merasa sakit hati itu bukan masalahmu,” kata Angella dingin sedingin tatapannya saat itu.

“Memang bukan masalahku,” kata Vladimer.

“Pergilah engkau! Aku tidak ingin melihatmu lagi, pergilah sejauh mungkin,” kata Angella sambil menahan gejolak perasaannya.

“Mengapa, Angella? Engkau mengakuinya?” tanya Vladimer dengan suara mengejek.

“Pergi dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi. walaupun aku beribu-ribu kali menjelaskannya kepadamu tetapi tetap tidak akan ada gunanya,” kata Angella, “Sekarang pergilah, tinggalkan aku sendiri.”

“Baik. Bila engkau menginginkan waktu untuk menyadari kesalahanmu yang telah meminta pelayan meletakkan bunga itu di Ruang Perpustakaan,” kata Vladimer, “Dan ketahuilah Angella engkau adalah wanita yang paling sombong tetapi pengecut yang pernah kujumpai.”

Setelah pria itu pergi, Angella merasa sangat marah dan sedih. Ia memejamkan matanya.

“Bagaimana Vladimer bisa mengatakan hal itu?” kata Angella pada dirinya sendiri, “Ia telah mengetahui aku tidak pernah menyukai Danny. Mengapa ia mengatakan hal itu? mengapa ia menyamakan aku dengan wanita-wanitanya?”

Gadis itu berusaha menjawab semua pertanyaan itu. Tetapi tiap kali pertanyaan baru muncul di benaknya. Akhirnya dengan perasaan jengkel dan sedih Angella membuat suatu keputusan bagi dirinya sendiri.

Angella memutuskan sejak saat itu ia tidak akan mau melihat wajah Vladimer lagi. Pria itu boleh menganggapnya seperti apa saja sesuka hatinya, sedangkan yang sebenarnya ia tidak seperti yang dianggap pria itu.

Vladimer tidak tahu mengapa Angella bersikap sangat dingin seperti itu bahkan terkesan sangat sombong. Pria itu tidak tahu apa-apa mengenai gadis itu sejak sejak kepergiannya ke Eton, delapan tahun lalu.

Pria itu boleh mengatakan bahwa ia seorang pengecut, tetapi ia tahu ia tidak pernah berusaha menghindari Danny. Ia memang tidak menyukai Danny.

“Bagaimana dengan sikapku yang selalu menolak bertemu Danny setiap kali pria itu berkunjung ke rumahnya? Bagaimana dengan sikapku pada bunga-bunga yang dikirim pria itu?” tanya Angella pada dirinya sendiri.

Angella diam berpikir, kemudian menjawab pertanyaan yang muncul di benaknya itu, “Pria sombong itu akan semakin sombong bila aku menerima setiap kunjungannya dan bunga-bunganya. Saat ini mungkin ia menjadi lebih sombong karena mengira aku menerima bunga-bunganya, tetapi kelak ia akan tahu aku tidak pernah menerimanya.”

Ia merasa kata-kata Vladimer itu merupakan suatu tanda permusuhan bagi mereka. Seolah-olah pria itu telah memberinya tanda perang, ia merasa ia tidak dapat membiarkan Vladimer terus mengejek dirinya.

Pada saat yang bersamaan, Angella merasa perasaannya sangat pilu. Seolah-olah tidak dapat menahan gejolak perasaannya lagi, ia menangis tersedu-sedu.

Sejak saat itu permusuhan pertama mereka muncul. Tetapi permusuhan itu menghilang bersamaan ketika Angella menunjukkan kepercayannya pada Vladimer dengan menceritakan segala sesuatu mengenai Charlie pada pria itu.

Vladimer memandang Angella yang masih menundukkan kepalanya mendengar ceritanya. Kemudian ia melanjutkan:

“Aku minta maaf telah menuduhmu sangat sombong dan pengecut. Seharusnya saat itu aku tidak mengatakan hal seperti itu. Aku seharusnya percaya pada kata-katamu. Engkau memang dingin tetapi aku tidak pernah merasa engkau sangat sombong. Saat itu aku hanya merasa cemburu pada Danny yang telah mengirimimu bunga yang sangat indah sehingga aku mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan itu.”

“Aku… tidak menyalahkanmu atas… atas kata-katamu waktu itu. Kata-katamu… waktu itu memang… sangat… menyakitkan, tetapi… lebih menyakitkan tindakanmu… yang menjauhiku,” kata Angella perlahan.

“Aku minta maaf, Angella, saat itu aku tidak menyadari bahwa aku mencintaimu. Aku baru menyadari perasaanku ketika engkau bertanya mengenai sikapku yang dingin. Saat itu aku menyadari alasanku bersikap dingin kepada wanita lain. Aku berusaha menghindari mereka karena aku mencintaimu.”

Vladimer memandang wajah Angella yang memerah.

“Aku sangat mencintaimu sehingga saat aku melihat engkau tampak sedih ketika secara tidak langsung aku mengungkapkan perasaanku kepadamu, aku merasa telah membuat kesalahan besar.”

“Aku mulai menduga engkau membenci semua laki-laki. Hal itulah yang mendorongku melakukan tindakan yang tidak ingin kulakukan. Aku mulai menjauhimu karena aku takut engkau semakin membenciku. Aku takut selama ini engkau menganggapku hanya main-main dengannya, hanya menggodamu.”

Angella mengangkat kepalanya. Ia menatap lekat-lekat mata Vladimer. “Itu tidak benar,” katanya lirih, “Aku tidak pernah berpikiran seperti itu terhadapmu. Aku… aku… mencintaimu.”

Angella tertunduk malu ketika ia menyatakan perasaan yang telah lama dipendamnya, jauh sebelum Charlie lahir.

“Percayalah, aku benar-benar mencintaimu. Bukan karena engkau mirip Frederick, tetapi karena engkau selalu baik kepadaku walaupun kadang-kadang engkau juga dingin kepadaku sehingga membuat aku merasa sedih,” kata Angella tiba-tiba.

Vladimer tersenyum lembut pada Angella. Ia tidak menyalahkan gadis itu atas dugaannya. Ia mengakui ia dan Frederick mirip. Apabila mereka bertiga berdiri bersama, orang akan menduga ialah adik Frederick.

Rambutnya sehitam rambut Frederick demikian pula matanya. Yang membedakan hanyalah sorot mata mereka. Sorot mata Frederick ramah, sedangkan sorot matanya dingin dan tajam seperti Angella.

“Aku percaya padamu, Angella,” kata Vladimer. Kemudian ia dengan lembut mencium bibir Angella untuk semakin meyakinkan gadis itu.

Angella terkejut dengan gerakan Vladimer yang tak diduganya itu. Tubuhnya terasa bergetar ketika Vladimer menciumnya.

“Aku mempercayaimu dan akan selalu mempercayaimu. Aku ingin rasanya membuatmu mengetahui besarnya cintaku padamu tetapi kita masih mempunyai urusan yang sangat penting,” kata Vladimer dengan tersenyum, “Mari kita berangkat sekarang, aku khawatir kita terlambat.”

Angella merasa jantungnya berdebar-debar melihat senyuman Vladimer yang jarang dilihatnya itu. Ia membalas senyuman Vladimer dan mulai melanjutkan perjalanan.

Semakin mendekati rumah Jenny, mata Angella tampak semakin penuh misteri. Tetapi Vladimer tidak menyadarinya karena ia sedang mencurahkan semua perhatiannya pada kuda yang ditungganginya.

Keluarga Jenny menyambut mereka dengan ramah, Charlie tampak semakin akrab dengan ibunya. Angella menemani mereka berdua, Jenny melihat padanya terus menerus seakan-akan ingin mengenali Angella. Vladimer menanti di luar, ia bercakap-cakap dengan Bill.

Ketika hari mulai siang, Frederick dan Oscar datang. Sekali lagi Angella membuat pertanyaan di benak kakak-kakaknya dan Vladimer. Ia melarang kakak-kakaknya mengatakan kepada keluarga Jenny bahwa ayah Charlie akan datang.

Tak lama setelah kedatangan mereka, sebuah kereta mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depan rumah Jenny. Ketiga pria itu, menyambut kedatangan Earl. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada keluarga Jenny. Angella juga melarang mereka memberi tahu keluarga Jenny bahwa pria itulah ayah Charlie.

Angella tampak tenang, ia sengaja tidak menyambut kedatangan Earl. Dengan tenang, ia membisikkan sesuatu kepada Jenny dan Charlie. Setelah itu ia meninggalkan mereka berdua.

Di luar, Bill dan Mrs. Dellas tampak kebingungan melihat Earl yang datang dengan sebuah kereta kuda yang megah. Angella tersenyum misterius melihat mereka, ia menyuruh Bill dan Mrs. Dellas masuk. Setelah itu ia berkata perlahan kepada Earl agar ketiga pria yang kebingungan melihatnya itu tidak mendengar apa yang dikatakannya kepada Earl.

Ketiga pria itu tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan Angella dengan Earl. Mereka hanya dapat melihat Angella menatap tajam kepada Earl kemudian Earl menganggukkan kepala. Setelah itu Earl mengikuti Angella menuju rumah Jenny.

Angella tidak masuk ke dalam, ia hanya berdiri di pintu. Setelah Earl masuk, ia segera menutup pintu rumah Jenny dan menghampiri kakak-kakaknya dan Vladimer.

“Sebenarnya, saat ini engkau sedang merencanakan apa?” tanya Oscar.

“Aku tidak merencanakan apa-apa,” jawab Angella tenang.

“Bila engkau tidak merencanakan apa-apa, mengapa tingkahmu sangat misterius? Apa yang kaukatakan kepada Earl tadi?” tanya Oscar.

“Tunggu saja. Bagaimana pertemuanmu dengan Earl?”

“Ia memberi kami kejutan yang takkan pernah kami duga. Kami tidak segera mengatakan segalanya kepadanya. Pertama, kami menanyakan apakah ia ingat pada Jenny. Pada awalnya ia enggan menjawab, tetapi setelah kami desak agar jujur, akhirnya ia menjawab ia masih ingat,” kata Frederick.

“Kemudian aku bertanya kepadanya bagaimana perasaannya kepada Jenny. Frederick marah kepadaku karena menanyakan hal itu. Tetapi aku terus mendesak Earl, aku berkata, ‘Ini demi masa depan keluarga Anda.’ Frederick sangat marah kepadaku, tetapi kemudian ia dan aku sama-sama terkejut dengan jawaban Earl,” kata Oscar.

Oscar tertawa geli, Frederick marah melihatnya. “Wajah Frederick saat itu lucu sekali. Aku bisa mati tertawa bila mengingat wajahnya saat itu. Sayang saat itu suasana di sana sedang tegang sehingga aku tidak bisa tertawa melihat wajah Frederick yang baru pertama kali kulihat itu. Ia melongo, matanya membelalak seperti ikan koki.”

“Oscar!” bentak Frederick, mukanya merah pada karena malu dan marah.

Oscar tidak berhenti tertawa melihat wajah kakaknya yang merah padam. Vladimer juga tertawa geli melihat wajah Frederick, Angella hanya tersenyum geli.

Angella tahu Frederick akan semakin marah bila mereka, Vladimer dan Oscar terus menertawakannya. “Apa yang dikatakan Earl?” tanyanya untuk mengalihkan perhatian ketiga pria itu.

“Oh…, Angella. Apakah engkau memang terbuat dari es? Mengapa engkau tidak tertawa melihat wajah Frederick yang seperti itu? Vladimer yang sama dinginnya denganmu saja bisa tertawa,” keluh Oscar.

Frederick tidak menghiraukan keluhan Oscar. Ia menjawab, “Earl mengatakan ia sangat mencintai Jenny. Kami terkejut mendengarnya kemudian Oscar bertanya,
“Bila Anda mencintai Jenny, mengapa Anda menikah dengan wanita lain?”

Earl menjawab, “Aku menikah dengan istriku karena ia adalah tunangan yang dipilihkan orang tuaku. Aku tidak berani menentang mereka. Setelah kematian istriku, aku berharap dapat bertemu Jenny lagi.”

“Apakah itu sebabnya Anda tidak menikah lagi?” tanya Oscar.

Earl menganggukan kepala. Kemudian aku mengatakan segalanya pada Earl. Mengenai Jenny juga mengenai putranya, Charlie. Aku bercerita persis seperti yang Vladimer ceritakan kepada kami.

Earl terkejut mendengar cerita itu. “Di mana Jenny? Di mana putraku?” tanyanya.
Aku menjawab, “Kami akan mengantar Anda menemui mereka bila Anda berjanji kepada kami bahwa Anda mau bertanggung jawab terhadap mereka berdua. Tetapi yang kami inginkan bukanlah sekedar janji. Kami menginginkan perbuatan yang nyata.”

“Aku akan bertanggung jawab atas mereka. Aku akan menjaga mereka dengan sungguh-sungguh untuk menebus dosaku selama ini kepada mereka berdua,” kata Earl.

“Tetapi Anda harus ingat bahwa keadaan Jenny yang sekarang tidak sama dengan dulu,” kata Oscar mengingatkan.

“Tidak apa-apa. Aku senang dapat bertemu dengannya lagi. Aku percaya aku dan putraku akan dapat memulihkan keadaannya,” kata Earl bersungguh-sungguh.

Setelah meyakinkan kami berdua, Earl segera mempersiapkan kereta. Kemudian kami mengantarnya ke tempat ini.”

“Sudah kuduga Ldy Elize tidak mengatakan mengenai kedatangan Jenny kepada Earl. Apa yang dikatakan Earl ketika kalian mengatakan bahwa Jenny diusir oleh adiknya?” tanya Angella.

“Ia tampak marah sekali. Ia menatap adiknya penuh kebencian ketika kami melihatnya berdiri kebingungan di depan pintu melihat kami bergegas pergi,” kata Frederick.

“Sekarang giliran kami yang bertanya dan engkau yang menjawab,” kata Oscar. “Apa yang sedang kaurencanakan?”

“Aku tidak merencanakan apa pun,” kata Angella tenang.

“Apa yang kaukatakan kepada Earl?” tanya Oscar lagi.

“Tunggulah sampai mereka keluar.”

“Mengapa engkau membiarkan mereka berbicara sendiri di dalam? Kita berada di sini untuk membantu mereka, bukan berdiri menanti di luar.”

“Tenanglah, Oscar. Tunggulah sampai mereka keluar. Setelah itu akan jelas segalanya bagi kalian.”

Angella menghampiri tempat kudanya ditambatkan. Ia mengelus-elus bulu kuda itu seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Ketiga pria itu telah dibuatnya bingung.

Ketika matahari mulai menuruni langit, ia melompat ke atas kudanya. Kemudian menghampiri ketiga pria yang semakin bingung melihatnya. “Mungkin sebentar lagi kita dapat pulang. Aku merasa tak lama lagi pembicaraan mereka akan selesai dan mereka akan keluar.”

Benar apa yang dikatakan Angella. Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, seorang pria yang menggendong seorang anak laki-laki muncul dari balik pintu.

“Terima kasih karena kalian mau mempertemukan kami kembali,” kata Earl.

“Terima kasih kembali karena Anda telah menepati janji Anda,” kata Frederick.

“Mulai sekarang engkau akan tinggal dengan ayah dan ibumu, Charlie,” kata Angella. “Engkau harus menyayangi dan meenghormati mereka seperti yang engkau janjikan kepadaku.”

“Baik, Tuan Puteri,” kata Charlie.

“Mulai sekarang engkau jangan memanggilku Tuan Puteri lagi,” kata Angella, “Panggillah aku dengan namaku, Angella.”

“Tetapi saya lebih suka memanggil Anda ‘Tuan Puteri’ daripada Angella.”

“Berusahalah engkau pasti bisa,” kata Angella. “Bagaimana pembicaraan Anda?”

“Tepat seperti yang Anda katakan. Mula-mula mereka terkejut dan marah. Tetapi setelah saya mengatakan segalanya seperti yang Anda sarankan, mereka mulai mengerti. Kalian jangan khawatir lagi, segalanya telah beres,” kata Earl.

“Apakah saya boleh bermain lagi di Ruang Kanak-Kanak?” tanya Charlie.

“Tentu saja. Kami akan menanti kedatanganmu,” kata Angella.

Charlie berseru gembira. Ia senang bermain di Ruang Kanak-Kanak dan ia tidak pernah merasa bosan bila berada di sana.

“Apakah Tuan Muda mau mengajak saya bepergian naik kuda lagi?”

“Jangan memanggil kami Tuan Muda lagi. Sepertinya sekarang engkau tidak memerlukan kami lagi bila ingin berkuda. Engkau dapat melakukannya tanpa kami, engkau dapat berkuda dengan ayahmu,” kata Frederick.

“Tetapi bila ayahmu mengijinkan, kami dengan senang hati akan mengajakmu berkuda sambil mengelilingi hutan di sekitar rumah kami,” kata Oscar.

Sekali lagi Charlie berseru gembira kemudian ia berkata, “Apakah aku boleh bermain ke Troglog… Trog….” Charlie mengeluh lagi karena tidak dapat menyebut nama rumah Earl of Tritonville dengan benar.

“Ya, engkau boleh bermain ke Troglodyte Oinos kapan pun kau mau,” kata Earl. “Aku juga akan mengajarimu mengucapkan Troglodyte Oinos dengan benar.”



*****Lanjut ke chapter 17

1 comment:

  1. http://jutawandomino206.blogspot.com/2017/05/kisa-nyata-seorang-gadis-bermuka-gajah.html

    http://detik206.blogspot.com/2017/05/domino206_27.html

    http://marimenujudomino206.blogspot.com/2017/05/mengidap-penyakit-aneh-pria-ini.html

    http://beritadomino2o6.blogspot.com/2017/05/isis-menyerang-bom-mobil-meledak-di.html

    DAFTARKAN SEGERA DIDOMINO206.COM JUDI ONLINE TEPERCAYA & AMAN 100% !

    SANGAT MUDAH MERAIH KEMENANGAN TUNGGU APALAGI AYO BURUAN DAFTARKAN:)

    UNTUK PIN BBM KAMI : 2BE3D683

    ReplyDelete