Sunday, June 10, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 13

“Tuan Puteri, siapakah orang itu?” tanya Jenny kepada Angella.

Saat itu mereka berada di kamar Angella. Mereka baru saja menemui tamu orang tua Angella yang hendak menginap selama beberapa hari.


“Mengapa engkau ingin tahu nama orang itu? Apakah engkau tertarik padanya?” goda Angella.

“Saya… saya…,” kata Jenny tersipu-sipu.

“Saya apa?” goda Angella.

“Saya… baru sekali ini menemui seorang pria setampan dia,” kata Jenny mengakui.

“Lalu mengapa engkau bertanya nama orang itu kepadaku?” kata Angella terus menggoda Jenny yang tersipu-sipu itu.

“Saya… saya jatuh cinta kepadanya,” jawab Jenny.

“Ceritakan kepadaku Jenny, bagaimana rasanya jatuh cinta itu?” kata Angella ingin tahu.

“Saya… saya… tidak tahu, Tuan Puteri. Tetapi perasaan itu membuat saya merasa bahagia sekali, seperti… seperti berada di surga,” kata Jenny.

“Apakah itu benar, Jenny?” kata Angella semakin tertarik.

“Tuan Puteri jangan bertanya lebih banyak lagi. Kelak Tuan Puteri juga akan jatuh cinta,” kata Jenny.

“Kelak aku akan mencintai pria yang seperti apa?” tanya Angella pada dirinya.

“Tentunya pria itu tampan sekali, Tuan Puteri,” kata Jenny.

“Apakah ia akan setampan kakak-kakakku?” tanya Angella.

“Tentunya pria itu tampan seperti Tuan Muda Vladimer. Menurut saya Tuan Muda Vladimer setampan kakak-kakak Anda. Hanya pria yang seperti itu yang pantas mendampingi Anda yang cantik jelita,” kata Jenny.

“Engkau juga cantik Jenny,” kata Angella tersipu-sipu.

“Tetapi saya tidak secantik Anda, Tuan Puteri,” kata Jenny.

“Jangan memujiku terus menerus, Jenny,” kata Angella semakin tersipu-sipu karena perkataan pelayannya itu.

“Anda memang pantas mendapatkan pujian-pujian, Tuan Puteri. Kelak bila Anda sudah dewasa, Anda akan menjadi semakin cantik dan semakin banyak orang yang memuji Anda,” kata Jenny.

“Engkau ingin tahu atau tidak nama pria itu?” tanya Angella menghentikan kata-kata Jenny yang terus memujinya.

“Tentu saja saya ingin tahu, Tuan Puteri,” kata Jenny.

Angella tersenyum melihat wajah Jenny yang memerah itu. Gadis itu tampak semakin cantik dengan wajahnya yang memerah itu. Hampir semerah rambutnya. Angella selalu mengagumi rambut Jenny yang kemerahan juga mata hijaunya.

Ia menyukai warna hijau mata Jenny yang sehijau daun mawar. Angella selalu menginginkan memiliki mata yang hijaunya sehijau mata Jenny daripada warna matanya yang sebiru langit carah.

“Pria itu adalah Earl of Wicklow. Namanya Kart.”

Berhari-hari berlalu sejak mereka membicarakan kedatangan Earl of Wicklow. Sejak kedatangan Earl, Jenny jarang menemani Angella. Angella tidak pernah mengetahui di mana Jenny berada bila ia tidak bersama Jenny.

Semula Angella sering ditemani Jenny. Namun sejak kedatangan Earl, Angella lebih sering bersama Nanny.

Nanny sering bertanya kepadanya mengenai Jenny yang akhir-akhir ini jarang menemaninya lagi. Angella tidak pernah menjawab pertanyaan Nanny itu, ia hanya mengatakan, “Jenny pasti baik-baik saja, Nanny. Jangan Khawatir!”

Pada suatu sore ketika Jenny menemani Angella memetik bunga di taman bunga, ia bertanya kepada Jenny.

“Akhir-akhir ini engkau pergi ke mana, Jenny? Nanny sering bertanya mengenaimu kepadaku.”

Jenny tersenyum malu-malu. Angella dapat menebak jawabannya melihat wajah Jenny yang memerah.

“Engkau sering bersamanya?”

“Tuan Puteri, bolehkah saya besok selama sehari pergi ke luar rumah?” tanya Jenny malu-malu. “Ia mengajak saya jalan-jalan.”

Melihat sikap Jenny yang malu-malu itu, Angella dapat menebak orang yang mengajak Jenny pergi. “Pergilah, Jenny.”

“Apakah Anda bersungguh-sungguh, Tuan Puteri?” tanya Jenny tak percaya.

“Jangan mencemaskanku. Pergilah, aku tahu engkau ingin sekali pergi dengan Earl,” kata Angella. “Nanny akan bersamaku selama engkau pergi. Frederick dan Oscar juga akan selalu menjagaku.”

“Tuan Muda Frederick dan Oscar selalu menjaga Anda dengan baik, Tuan Puteri. Anda beruntung mempunyai kakak-kakak yang sangat menyayangi Anda,” kata Jenny.

“Kadang aku merasa mereka terlalu mencemaskanku. Entah aku berada di rumah, entah aku pergi, mereka selalu memaksaku untuk dijaga Nanny atau engkau. Bila kalian berhalangan, merekalah yang akan menjagaku,” keluh Angella.

“Anda jangan mengeluh, Tuan Puteri. Mereka berbuat seperti itu karena mereka sangat menyayangi Anda,” tegur Jenny.

“Aku tahu mereka sangat menyayangiku sehingga mereka rela mengawalku di manapun aku berada,” kata Angella. “Apakah kakakmu tidak menyayangimu, Jenny?”

“Kakak saya sangat menyayangi saya hanya saja ia tidak dapat selalu menemani saya karena ia harus bekerja di tanah pertanian kami,” kata Jenny.

“Aku ingin lekas dewasa sepertimu, Jenny. Bila aku telah dewasa mungkin Frederick dan Oscar tidak akan mengawalku ke manapun aku pergi lagi,” kata Angella.

“Tak lama setelah Anda dewasa, Tuan Puteri,” kata Jenny, “Anda pasti akan menemukan seseorang yang menawan hati Anda.”

Angella tersipu-sipu mendengar kata-kata Jenny.

Keesokan harinya Jenny pergi tanpa diketahui seorangpun kecuali Angella. Nanny juga tidak menanyakan kepergian Jenny. Kedua kakaknya tidak mempedulikan Jenny yang menghilang.

Tidak ada seorangpun yang menduga hari itu akan berakibat menjadi malapetaka yang berkepanjangan bagi Jenny.

Angella sangat terkejut ketika Jenny menceritakan sesuatu yang membuat Angella menjadi sangat menyesal atas kecerobohannya.

“Tuan Puteri, apa yang harus saya lakukan?” kata Jenny terisak-isak.

“Apa yang terjadi, Jenny?” tanya Angella kebingungan.

“Saya… saya… hamil,” kata Jenny tersendat-sendat.

Petir di luar menggelegar dengan murka, seirama dengan petir yang menyambar hati Angella.

Hujan di sore yang suram itu bagaikan alam yang turut bersedih akan keadaan Jenny. Petir bersahut-sahutan seakan-akan memarahi mereka. Rintik-rintik air hujan memukul-mukul jendela kamar Angella seperti mengingatkan mereka pada kesalahan mereka.

Angella terdiam untuk sesaat dan kemudian berkata dengan sangat perlahan hampir seperti berbisik, “Engkau… hamil? Bagaimana ini bisa terjadi, Jenny?”

Jenny diam menundukan kepala. Air matanya terus membasahi pipinya yang memucat itu.

Angella bertanya lagi dengan perlahan, “Siapakah yang membuatmu begini, Jenny?”

Dengan terbata-bata Jenny berkata, “Earl, Tuan Puteri.”

Angella menjadi semakin terkejut mendengar nama itu. Ia mulai menyalahkan dirinya yang telah berbuat ceroboh. Ia menyesal telah membiarkan Jenny dekat dengan Earl.

“Mengapa ini bisa terjadi?” katanya menyalahkan dirinya.

Mereka terdiam untuk sesaat, saling menyalahkan diri sendiri.

“Jenny, maafkan aku. Ini semua karena kesalahanku. Andaikan aku tidak membiarkanmu…,” kata Angella.

“Jangan menyalahkan diri Anda sendiri, Tuan Puteri. Sayalah yang harus disalahkan,” kata Jenny.

“Apa yang akan engkau lakukan, Jenny?” tanya Angella.

“Saya… saya akan memberitahu hal ini kepada Earl,” kata Jenny. “Earl berjanji kepada saya ia akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu.”

“Benar, Jenny. Beritahukan kepada Earl,” kata Angella memberi semangat, “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.”

Jenny terus menangis terisak-isak. Ia tampak putus asa dengan keadaannya.

Angella menyalahkan dirinya sendiri melihat Jenny yang bersedih itu. Ia sangat menyayangi Jenny, ia tidak ingin seorang pun menyakiti Jenny. Tetapi sekarang… karena kecerobohannya, Jenny menjadi sedih.

“Oh… Jenny, maafkan aku. Aku ini sangat ceroboh,” kata Angella.

Keesokan paginya, Jenny pergi ke rumah Earl yang berjarak sekitar delapan puluh mil dari Troglodyte Oinos.

Angella dengan cemas menanti di rumah. Seharian ia berada di gereja yang terletak di samping kiri rumahnya untuk berdoa bagi Jenny. Nanny yang menemaninya merasa heran melihatnya terus menerus berdoa sepanjang hari itu. Namun Angella tidak mengatakan apa-apa kepada Nanny.

Angella menjadi sangat cemas ketika Jenny belum tiba pada sore hari itu. Ia terus menanti Jenny hingga larut malam. Malam itu, Angella tidak dapat tidur karena mencemaskan Jenny.

Ia sangat lega ketika pada siang hari berikutnya, Jenny muncul. Tetapi kelegaan hati Angella tidak bertahan lama. Ia menjadi cemas ketika melihat wajah Jenny kini menjadi kuyu.

Angella menarik Jenny ke kamarnya dan bertanya kepadanya, “Apa yang terjadi, Jenny? Mengapa engkau menjadi seperti ini?”

Jenny menangis di pangkuan Angella. Membuat Angella menjadi semakin cemas.

“Apa yang terjadi, Jenny? Katakanlah kepadaku,” kata Angella.

“Mereka… mereka… mengusir saya, Tuan Puteri,” kata Jenny.

Angella terkejut mendengar kata-kata itu. Ia diam tanpa mampu berbuat apa-apa. Hatinya menjadi sangat kacau karenanya. Marah, sedih, kasihan, bersalah, dan segala macam perasaan yang membuatnya tampak pucat.

Dengan terbata-bata Jenny bercerita kepadanya:

“Ketika saya tiba di rumah itu. Saya mengatakan kepada pelayan yang membuka pintu bahwa saya ingin menemui Earl. Semula pelayan itu tampak ragu-ragu, saya mengatakan berkata:

“Tolonglah, ijinkan saya menemui Earl. Ini penting sekali.”

Pelayan itu mengijinkan saya masuk lalu ia memanggil Earl. Tak lama kemudian, ia datang bersama seorang wanita muda. Wanita muda itu memandang rendah saya.

“Apa keperluanmu bertemu dengan kakakku?” tanya wanita itu.

“Ini penting sekali. Saya harus bertemu dengan Earl,” kata saya.

“Saat ini ia tidak ada di rumah. Katakan saja keperluanmu kepadaku, nanti akan kusampaikan kepadanya,” kata wanita itu dengan kasar.

“Saya tidak dapat mengatakannya kepada Anda. Saya harus bertemu dengannya. Tolonglah, ini sangat penting sekali,” kata saya memohon.

“Bagiku juga penting untuk mengetahui tujuanmu menemuinya.”

“Saya tidak dapat mengatakannya kepada Anda,” ulang saya, “Tolong berikan kertas dan pena kepada saya. Saya akan menulis keperluan saya datang kemari dan tolong berikan kepada Earl.”

“Untuk apa membuang kertas untuk itu bila surat itu juga akan kubaca. Lebih baik engkau katakan saja keperluanmu atau aku tidak akan pernah mengijinkanmu menemui kakakku,” perintahnya.

“Tolonglah ijinkan saya menemuinya. Ini menyangkut anaknya yang saya kandung,” saya kelepasan bicara.

Wanita itu tertawa mendengar kata-kata saya. “Jangan berbohong kepadaku. Kata-katamu itu takkan pernah membuatku percaya.”

Saya menjadi pucat mendengar ejekan wanita itu. “Percayalah kepada saya, apa yang saya katakan ini benar.”

“Engkau benar-benar membuatku ingin tertawa. Merupakan suatu keajaiban bila kakakku berhubungan denganmu apalagi sampai membuatmu hamil,” ejek wanita itu.

Saya terus memohon kepadanya untuk mempercayai kata-kata saya. Tetapi wanita itu tidak memperdulikan saya. Ia menyuruh pelayannya mengusir saya. Saya terus mengetuk pintu itu dan memohon tak henti-hentinya. Tetapi mereka tidak mengijinkan saya masuk.”

Angella merasa seperti diterpa angin ribut mendengar cerita Jenny. Wajahnya sepucat wajah Jenny. Untuk sesaat ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tampak sangat terkejut.

Tanpa diberi tahu Jenny, ia dapat mengetahui seperti apa wanita yang tega mengusir Jenny. Ia mengenal wanita itu. Ia adalah Lady Elize. Adik Earl itu sangat menyukai kakaknya, Oscar.

Wanita itu sangat cantik. Rambutnya sehitam kakaknya. Mata hijaunya selalu menatap rendah semua orang. Angella telah mengetahui kesombongan Lady Elize dan ia tidak pernah menyukai wanita itu, namun ia tidak pernah menampakkannya.

Lady Elize sering mengajaknya bepergian sebab ia mengetahui satu-satunya cara untuk mendapatkan Oscar adalah melalui adiknya. Oscar sangat menyayangi adiknya, ia selalu apa yang dikatakan Angella.

Namun Lady Elize tidak pernah memperhitungkan bahwa Angella tidak pernah menyukai dirinya. Angella selalu menolak bila wanita itu mengajaknya. Ia lebih memilih bersama Nanny atau Jenny atau kedua kakaknya daripada bersama wanita itu.

Tidak jarang pula Angella menunjukkan kepada Lady Elize bahwa ia tidak akan pernah merelakan Oscar kepadanya. Ia tidak pernah mengatakannya secara langsung kepada wanita itu. Tetapi sikapnya yang menjadi semakin tidak ingin jauh dari Oscar ketika wanita itu ada, telah cukup mengatakan kepada Lady Elize.

Lady Elize tidak pernah menyerah. Ia telah mengetahui sikap Angella yang menentang keinginannya. Tetapi ia tetap memilih bersaing dengan gadis itu daripada menyerah.

“Maafkan semua kesalahanku, Jenny,” kata Angella sambil memeluk Jenny. “Andaikan aku tidak pernah mengijinkanmu.”

Jenny semakin sedih mendengar Angella yang telah dianggapnya sebagai adik, menyalahkan dirinya sendiri.

“Jangan menyalahkan diri Anda, Tuan Puteri. Anda tidak bersalah. Saya juga tidak menyalahkan Anda, karena itu janganlah menyalahkan diri Anda sendiri,” kata Jenny.

“Apa yang akan engkau lakukan, Jenny?” tanya Angella.

“Saya tidak tahu, Tuan Puteri. Mungkin saya akan pulang menemui ibu saya,” kata Jenny sedih.

“Aku ikut denganmu, Jenny. Aku tidak ingin membiarkanmu pulang sendirian dalam keadaan seperti ini,” kata Angella.

“Jangan, Tuan Puteri. Saya harus menghadapinya seorang diri,” kata Jenny.

“Tetapi…”

“Tuan Puteri, janganlah terus menyalahkan diri Anda. Saya tidak ingin Anda ikut bersedih,” kata Jenny terisak-isak.

“Baiklah, Jenny. Bila engkau tidak ingin saya mengantarkanmu, maka saya ingin engkau menyerahkan surat saya kepada ibumu,” kata Angella.

“Akan saya lakukan permintaan Anda, Tuan Puteri. Tetapi Anda tidak boleh terus menyalahkan diri Anda sendiri. Saya mohon kepada Anda untuk tidak menceritakan hal ini kepada siapa pun, Tuan Puteri.”

Angella menganggukkan kepalanya dan segera menulis surat kepada ibu Jenny, Mrs. Dellas.

Mrs. Dellas, melalui surat ini, saya ingin meminta maaf kepada Anda atas kecerobohan saya. Saya mohon Anda jangan menyalahkan Jenny. Ini semua karena kesalahan saya sehingga Jenny menjadi seperti ini.

Andaikan saya tidak mengijinkannya pergi, tentu segalanya tidak akan menjadi seperti ini. Tetapi saat itu kami benar-benar tidak menduga akan berakibat seburuk ini.

Saya mengerti permintaan maaf saja tidak akan mampu mengembalikan segalanya menjadi seperti semula. Saya tidak akan marah bila Anda tidak mau memaafkan saya, saya merasa memang sudah selayaknya itu saya terima karena kesalahan saya yang tak dapat ditebus dengan apapun, bahkan dengan nyawa saya.

Saya dengan tulus hati memohon kepada Anda untuk tidak menimpakan semua kesalahan kepada Jenny. Saya sangat menyayangi Jenny, namun saya telah melakukan kesalahan besar kepadanya. Saya memohon kepada Anda dengan setulus hati saya.



Angella

Angella memasukkan surat itu ke dalam amplop putih dan memberikannya kepada Jenny. “Kapan engkau akan pulang, Jenny?”

“Besok, Tuan Puteri,” jawab Jenny.

“Aku akan merindukanmu, Jenny. Aku menyayangimu,” kata Angella dengan sedih.

“Saya juga akan sangat merindukan Anda, Tuan Puteri. Tetapi inilah satu-satunya yang dapat saya lakukan,” kata Jenny, “Saya sangat menyayangi Anda, Tuan Puteri. Tidak hanya sebagai majikan tetapi juga sebagai adik saya.”

Jenny segera berlari meninggalkan Angella dengan menangis setelah mengucapkan kata-kata perpisahan itu.

Esok paginya, Angella tidak dapat menemui Jenny di mana-mana. Ia merasa sedih tidak dapat mengantar kepergian Jenny. Seharian ia mengurung diri di kamarnya.

Nanny menjadi cemas melihatnya mengurung diri di kamar sepanjang hari. Ia masuk ke kamar Angella dan melihat gadis itu sedang menangis di tempat tidur. Nanny duduk di sampingnya.

“Apa yang terjadi, Tuan Puteri? Mengapa Anda menangis?” tanya Nanny dengan cemas.

Angella memeluk Nanny dan menangis lagi. “Jenny pergi, Nanny,” katanya tersedu-sedu.

“Mengapa ia pergi?” tanya Nanny keheranan.

Angella hampir saja mengatakan segalanya kepada Nanny. Tetapi kemudian ia ingat akan janjinya kepada Jenny. “Aku… aku tidak tahu, Nanny,” katanya berbohong.

“Mungkin ia pergi ke suatu tempat, Tuan Puteri. Bukankah akhir-akhir ini Jenny sering menghilang?” kata Nanny menghibur Angella.

Angella memeluk Nanny semakin erat dan berkata, “Tidak, Nanny. Ia pergi dan tidak akan kembali. Aku melihatnya menata barang-barangnya kemarin.”

Nanny terkejut mendengar kata-katanya. “Mengapa ia pergi meninggalkan Anda?”

Angella menggelengkan kepalanya dan terus menangis di pelukan Nanny. Nanny terus menghiburnya sepanjang hari itu.

Keluarga Angella sangat terkejut ketika mendengar Jenny pergi. Mereka tidak pernah mengira bahwa Jenny akan tega meninggalkan Angella. Mereka tahu Jenny sangat menyayangi Angella, demikian pula Angella.

Setiap hari kedua kakak Angella menghiburnya dan mengajaknya bepergian. Angella tahu kakak-kakaknya tidak ingin melihatnya bersedih karena itu ia selalu berpura-pura bahagia di hadapan mereka.

Hari demi hari dilalui Angella dengan penuh kecemasan akan keadaan Jenny. Setiap malam ia mendoakan Jenny.

Ia kini telah terbiasa tanpa kehadiran Jenny. Nanny dan kedua kakaknya selalu menemaninya, membuat Angella tidak merasa kesepian.

Hari ini keluarga Angella akan berangkat ke Skotlandia, Angella tidak ikut walau mereka telah mengajaknya serta.

“Benar, engkau tidak mau ikut?” tanya Countess.

“Mama jangan mencemaskanku. Nanny akan menjagaku,” kata Angella meyakinkan mereka.

“Jangan nakal selama kami tidak ada,” pesan Frederick.

“Aku bukan anak kecil lagi, Freddy. Tanpa engkau nasehatipun aku telah mengerti,” kata Angella.

“Engkau masih anak-anak, Angella. Dan akan selalu begitu di mata kami,” kata Oscar.

“Segeralah pergi! Papa dan Mama telah menunggu kalian,” kata Angella marah.

“Jangan marah seperti itu. Kami hanya mencemaskanmu, kami tidak ingin terjadi sesuatu padamu,” kata Frederick.

“Aku mengerti,” kata Angella.

Kedua kakaknya mencium pipinya dan berkata, “Selamat tinggal, Angella. Jaga dirimu baik-baik.”

“Aku akan merindukan kalian.”

“Kami juga akan merindukanmu, Angella.”

Angella mengantar mereka hingga ke kereta. Ia melambaikan tangannya hingga kereta itu menghilang. Kemudian bersama Nanny, ia masuk.

Delapan bulan telah berlalu sejak kepergian Jenny tanpa ada kabar berita darinya. Dari hari ke hari Angella semakin mencemaskannya. Angella ingin sekali bertemu dengan Jenny, namun ia tidak mengetahui keberadaan Jenny.

Beberapa hari setelah kepergian orang tuanya, Nanny jatuh sakit. Angella menemani Nanny setiap hari.

“Sekarang keadaan kita menjadi terbalik,” kata Nanny sambil tersenyum.

“Apa maksudmu, Nanny?” tanya Angella tak mengerti.

“Biasanya saya yang menemani Anda. Sekarang terbalik, Anda yang menemani saya,” kata Nanny menerangkan.

“Engkau lucu, Nanny. Aku merasa ini memang sudah seharusnya kulakukan. Aku menyayangimu, aku ingin selalu berada di sampingmu selama engkau sakit,” kata Angella tertawa.

“Agar aku dapat mengawasimu. Apakah engkau menuruti kata-kata dokter atau tidak,” tambah Angella.

“Sudah lama Anda tidak tertawa seriang itu,” kata Nanny.

Muka Angella bersemu merah mendengar kata-kata Nanny.

Pagi itu Angella duduk di kebun belakang Troglodyte Oinos. Matanya dengan tekun membaca surat kabar di tangannya.

Tiba-tiba matanya membelalak melihat sebuah berita. Angella merasa terguncang karena berita itu.

“Jenny? Bagaimana bila Jenny mengetahuinya? Aku harus menemui Jenny.” Ia berkata kepada dirinya sendiri dengan cemas.

Sepanjang pagi itu, Angella tampak gelisah. Pikirannya melayang-layang ke Jenny. Ia ingin selekas mungkin menemui Jenny, tetapi ia tidak mengetahui rumah Jenny.

“Thompson, apakah engkau mengetahui rumah Jenny?” tanya Angella.

“Apakah Anda ingin mengunjungi Jenny?” tanya Thompson.

“Apakah engkau tahu?” tanya Angella lagi.

“Ya, saya mengetahui rumah Jenny. Apakah Anda ingin menemui Jenny?” kata Thompson.

“Ya, Thompson. Aku ingin bertemu dengannya. Dapatkah kita pergi ke sana siang ini?”

“Tetapi…, Tuan Puteri. Apakah Nanny akan mengijinkan Anda?” tanya Thompson cemas.

“Tidak apa-apa, Thompson. Nanny masih belum sembuh. Nanti siang bila Nanny telah tidur, kita akan pergi ke rumah Jenny,” kata Angella.

“Tolonglah, Thompson. Aku ingin sekali bertemu dengannya,” kata Angella melihat keragu-raguan Thompson.

“Saya bisa mengantarkan Anda, tetapi tidak siang ini. Bagaimana bila esok siang?”

“Baiklah, besok siang kita pergi,” kata Angella

“Jangan beri tahu siapa pun tentang kunjunganku ke rumah Jenny ini,” tambah Angella.

Esok siangnya setelah Nanny tertidur, Angella diantar Thompson ke rumah Jenny. Sepanjang jalan Angella tampak cemas. Berulang kali ia berdoa bagi Jenny.

Mereka telah tiba. Seorang pria muda muncul dari rumah kecil itu, mendengar kedatangan mereka. Wajah pria itu mirip Jenny. Angella menduga ia adalah kakak Jenny. Ia mirip seperti yang sering Jenny ceritakan kepadanya.

“Selamat siang. Dapatkah saya bertemu dengan Jenny?” tanya Angella.

“Bolehkah saya tahu nama Anda?” pria itu balik bertanya.

“Saya harus menemui Jenny, ini penting sekali,” kata Angella mendesak.

Seorang wanita tua muncul dengan menggendong seorang bayi yang tampak tertidur nyenyak. “Siapa, Bill?” tanyanya.

“Apakah bayi ini anak Jenny?” tanya Angella menghampiri wanita tua itu.

“Ya,” jawab wanita tua itu kebingungan.

“Di mana Jenny? Saya harus menemuinya, saya mencemaskan keadaannya,” kata Angella.

“Silakan masuk,” kata pria itu.

Angella dibawa masuk oleh mereka ke sebuah ruang yang sederhana. Angella mengambil tempat di sisi wanita tua yang menggendong bayi. Pria itu duduk di depan Angella.

“Bolehkah saya tahu nama Anda? Mengapa Anda mengetahui tentang Jenny?” tanya pria itu.

“Nama saya Angella. Dulu Jenny adalah pelayan saya,” jawab Angella.

Mereka terkejut mendengar jawaban Angella. Mereka tidak menduga Angella akan datang ke rumah mereka.

Angella menduga mereka terkejut karena tak menduga akan bertemu dengannya yang bersalah atas keadaan Jenny.

“Saya tahu saya bersalah kepada Anda semua. Saya minta maaf kepada Anda. Namun kedatangan saya kali ini bukanlah untuk menyakiti Jenny lagi, saya hanya mencemaskan keadaan Jenny,” kata Angella.

“Anda tidak bersalah, Tuan Puteri. Kami tidak menyalahkan Anda,” kata pria itu. “Saya Bill, kakak Jenny dan ini ibu kami.”

“Saya mengerti Anda sangat menyesal atas apa yang telah terjadi dan Anda merasa bersalah. Anda tidak perlu meminta maaf, semua ini bukanlah kesalahan Anda,” kata Mrs. Dellas.

“Bagaimana keadaan Jenny?” tanya Angella cemas.

“Ia… ia…,” wanita tua itu menitikkan air mata.

“Ia terguncang sekali dan saat ini ia tidak dapat Anda temui,” Bill melanjutkan kata-kata ibunya.

“Apakah ia terguncang karena berita itu?” tanya Angella.

“Ya. Ia membaca berita perkawinan pria itu dan ia menjadi sangat terguncang sehingga ia melahirkan sebelum waktunya,” kata Mrs. Dellas.

“Ia tidak berbicara apa-apa, ia juga tak melakukan apa-apa. Sepanjang ia hari ia duduk termenung dan bila ia berbicara, tak ada suatu katapun yang dapat dimengerti oleh kami,” tambah Bill.

“Tolonglah kami, Tuan Puteri. Tolong jauhkan anak ini dari Jenny,” kata Mrs. Dellas sambil menyerahkan bayi itu kepada Angella.

Angella yang belum pulih dari terkejutnya hanya dapat termangu-mangu. Ia menerima bayi itu. “Mengapa anak ini harus saya jauhkan dari Jenny?”

“Saya tidak dapat membiarkan anak ini berada di sini. Jenny sangat membenci anak ini. Pada waktu melahirkannya, ia menjadi histeris ketika kami menunjukkan bayi ini kepadanya. Waktu itu ia akan melempar anak ini tetapi kami mencegahnya. Kami sangat menyayangi anak ini, tetapi kami tidak dapat membiarkan anak ini tumbuh di bawah kebencian ibunya. Kami tak mengerti mengapa Jenny membenci anaknya,” kata wanita tua itu terisak-isak.

“Jenny selalu menjadi histeris bila melihat anaknya. Kami tidak ingin terjadi sesuatu pada anak Jenny. Kami mohon bantulah kami menjauhkan anak ini dari ibunya,” kata Bill meyakinkan Angella.

“Tetapi apa yang harus saya lakukan? Apa yang harus saya katakan bila kelak ia menanyakan ibunya?” tanya Angella kebingungan.

“Jangan beri tahu anak itu keadaan ibunya. Kami tidak ingin anak itu mengetahui keadaan ibunya yang seperti ini. Kami dengan berat hati menyerahkan anak ini kepada Anda,” kata Mrs. Dellas.

Angella benar-benar kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap anak Jenny. Ia tidak ingin memasukkan anak yang digendongnya ke panti asuhan.

Ia memandang anak itu. Bayi itu sangat lucu. Pipinya yang montok tampak kemerah-merahan. Angella tidak dapat mengerti mengapa Jenny membenci anaknya, tetapi ia hanya dapat menduga mungkin karena Jenny membenci Earl yang mengingkari janjinya.

Thompson tiba-tiba muncul di ruang itu. “Kita harus segera pulang, Tuan Puteri. Langit sangat gelap mungkin sebentar lagi akan turun hujan,” katanya.

Angella bangkit dan mendekati Thompson. “Thompson, tolonglah aku. Apakah engkau tahu apa yang harus kulakukan dengan bayi ini? Aku tidak ingin memasukkannya ke panti asuhan.”

“Saya tidak tahu, Tuan Puteri,” kata Thompon ragu-ragu.

“Bagaimana bila kita memberikan anak ini kepada seseorang untuk dirawat?” kata Thompson setelah terdiam.

“Bagaimana menurut Anda, Mrs. Dellas?” tanya Angella.

“Kami menyerahkan semuanya kepada Anda, Tuan Puteri,” jawab Mrs. Dellas. “Kami sudah tidak tahu apa yang harus kami lakukan.”

“Kepada siapa kita menyerahkan bayi ini?” tanya Angella pada Thompson.

Thompson terdiam lagi kemudian ia berkata, “Mungkin keluarga Boudini mau merawat anak ini. Saya kenal baik dengan mereka. Mereka tidak memiliki anak.”

Angella memikirkan usul Thompson. Ia menimbang baik buruknya menyerahkan anak Jenny kepada keluarga Boudini yang saat ini sedang mengadakan pertunjukan di kota, dekat Troglodyte Oinos.

“Baiklah, Thompson. Kita akan menemui keluarga itu sekarang,” kata Angella.

Mereka segera berpamitan kepada keluarga Jenny dan bergegas menuju kereta di bawah naungan langit yang semakin gelap, menandakan akan segera turun hujan.

Tak lama setelah mereka meninggalkan rumah Jenny, hujan mulai turun dengan deras. Di dalam kereta, Angella sibuk menenangkan anak Jenny yang menangis mendengar suara guntur yang bersahut-sahutan.

Thompson membawa Angella ke lapangan rumput tempat tenda Boudini’s Theatre berdiri. Hujan deras membuat Angella membatalkan niatnya menemui keluarga itu.

Ia meminta tolong kepada Thompson untuk menemui keluarga itu. Kepadanya, ia berpesan untuk menanyakan kesediaan keluarga itu menjadi orang tua baptis anak Jenny dan merawatnya.

“Mereka sangat senang mendengar permintaan Anda, Tuan Puteri. Mereka dengan senang hati bersedia menjadi orang tua baptis bagi anak itu dan merawatnya,” kata Thompson.

“Di mana kita akan membaptis anak ini, Thompson? Kita tidak dapat membawa anak ini ke gereja samping rumah,” kata Angella.

“Saya tahu ke mana kita dapat membaptisnya, Tuan Puteri. Anda jangan cemas,” kata Thompson.

Tak lama kemudian mereka dan sebuah kereta lain berangkat ke gereja yang ditunjuk Thompson. Nama gereja itu St. Augustine. Gereja itu terletak di tepi kota, di samping gereja itu ada sebuah panti asuhan yang bernama Gabriel.

Angella berlari menuju gereja itu. Dengan tubuhnya, ia melindungi bayi dalam gendongannya dari air hujan yang dengan ganasnya menerpa permukaan bumi.

Cuaca saat itu sama persis dengan cuaca saat Jenny mengutarakan pengkauannya kepada Angella. Hati Angella menjadi sedih mengingat saat-saat yang mengejutkannya itu.

Setelah upacara pembaptisan itu, Angella berbicara kepada Mr. dan Mrs. Boudini.
“Saya berterima kasih karena Anda mau menjadi orang tua Charlemagne dan merawatnya,” katanya.

“Kami yang seharusnya berterima kasih kepada Anda, Tuan Puteri. Karena Anda memberikan kepercayaan kepada saya untuk menjadi orang tua baptis anak ini dan merawatnya,” kata Mr. Boudini.

“Saya akan memberi tahu neneknya bahwa kini cucunya telah aman bersama Anda berdua. Saya juga berterima kasih atas nama yang Anda berikan padanya,” kata Angella.

Keluarga Boudini terlalu bahagia untuk bertanya mengenai asal usul anak itu kepada Angella. Thompson juga tidak bertanya apa-apa kepadanya. Angella bersyukur karenanya. Ia merasa senang dapat menepati janjinya pada keluarga Jenny.

“Saya mohon kepada Anda berdua untuk tidak menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya bahwa ia bukan anak kandung Anda berdua,” kata Angella.

“Kami mengerti, Tuan Puteri,” kata Mrs. Boudini.

Kini, setelah keadaan Jenny yang seperti itu maka hanya Angella yang paling mengetahui segala sesuatunya yang menyangkut anak Jenny.



*****Lanjut ke chapter 14

No comments:

Post a Comment