Wednesday, May 30, 2007

Runtuhnya Gunung Es-Chapter 9

Snow Angel berdiri di serambi kamarnya memandang langit yang semakin memerah di kaki gunung. Ia merasa senang telah menyelesaikan segalanya tanpa sepengetahuan orang lain. Ia telah bertemu keluarga Boudini dan Charlemagne serta memberi tahu Mrs. Dellas. Kini tibalah ia pada masalah yang paling sulit. Bagaimana mempertemukan Jenny dengan Carlemagne?

Tiba-tiba ia mendapat perasaan buruk ketika ia sedang memikirkan cara untuk mempertemukan mereka. Ia segera memalingkan kepalanya ke arah lapangan rumput tempat tenda Boudini’s Theatre berdiri. Dilihatnya asap hitam mengepul, membumbung ke atas.

“Charlemagne!” pikirnya panik.

Ia membalikkan badan dan berlari panik. Dibukanya pintu kamarnya dengan tergesa-gesa dan hampir menabrak Nanny yang akan membuka pintu kamarnya. Ia terus berlari tanpa menghiraukan Nanny yang kebingungan melihatnya. Demikian pula ketika ia bertemu kakak-kakaknya dan Vladimer di luar rumah. Ia terus berlari menuju kandang kuda.

Mereka berjalan menuju rumah dengan bercakap-cakap ketika Snow Angel muncul dengan tergesa-gesa. Ketiganya terkejut karenanya. “Apa yang terjadi? Mengapa engkau terburu-buru?” tanya Frederick. Namun gadis itu terus berlari menuju ke belakang rumah.

Snow Angel beruntung, pelana kuda yang dipakai mereka bertiga belum dilepas. Segera ia meraih seekor kuda yang masih berpelana itu dan melompat ke punggung kuda itu. Thompson dan para penjaga kuda itu terkejut melihatnya datang dengan tiba-tiba dan kemudian pergi dengan tergesa-gesa.

Ketiga pria yang masih bingung melihat tingkah Snow Angel sangat terkejut ketika gadis itu tiba-tiba muncul. Snow Angel memacu kudanya dengan cepat menuju kota.

“Engkau akan pergi ke mana?” tanya Frederick dengan suara keras. Namun adiknya terus memacu kudanya. Ketiganya berpandang-pandangan bingung melihatnya.

“Aku akan mengikutinya,” kata Vladimer ketika sosok Snow Angel menghilang di tikungan menuju kota dan berlari ke kandang kuda. Sesaat kemudian ia muncul dan tanpa menghiraukan kakak beradik yang masih kebingungan itu, ia pergi menyusul Snow Angel.

“Mengapa kita diam saja? Mari kita menyusul mereka,” kata Frederick sesaat setelah Vladimer meninggalkan Troglodyte Oinos.

Api dengan ganasnya melahap tenda-tenda Boudini’s Theatre. Banyak orang yang menyaksikan kebakaran itu. Sebagian dari mereka mencoba memadamkan api itu. Sebagian mencoba menyelamatkan barang yang belum terbakar habis.

Snow Angel memacu kudanya mendekati seorang anak yang memandang kobaran api di depannya. Ia melihat Charlie menangis. “Ayah… Ibu…,” katanya.

“Di mana Mr. dan Mrs. Boudini?” tanyanya.

“Mereka … mereka … ada di … sana,” jawab Charlie menunjuk kobaran api itu.

Snow Angel memandang kobaran api di depannya. Samar-samar ia melihat sosok seseorang yang mencoba menyelamatkan diri dari kobaran api. Snow Angel segera menaikkan Charlie ke atas kuda dan memukul kuda itu menjauhi kobaran api.

Ia memanggil-manggil Mr. dan Mrs. Boudini dengan panik. Namun tak ada jawaban. Ia terus memanggil mereka. Hingga samar-samar terdengar teriakan. “Tolong selamatkan Charlie, Tuan Puteri!”

Ia terus memanggil kedua orang itu hingga tenda itu roboh dan terdengar jeritan dari dalam kobaran api itu. Ia termangu di depan kobaran api itu. Ia terus menatap kobaran api yang terus mengganas itu. Entah berapa lama ia diam memandangi api yang menjalar semakin dekat. Lidah-lidah api itu berada dekat sekali dengannya.

Tiba-tiba ada sepasang tangan kekar yang meraih pinggangnya dan mengangkatnya ke atas kuda. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang itu membawanya menjauhi kobaran api yang semakin mengganas itu. Matanya terus memandang lidah-lidah api yang menari-nari itu.

“Apa yang kaulakukan!? Apakah kau tidak menyadari api itu bisa melahapmu juga,” kata pria itu dengan marah karena cemas.

Snow Angel tersadar dari keterkejutannya karena bentakan pria itu. “Charlie? Di mana dia?” tanyanya panik.

“Ia selamat.”

Pria itu membawanya mendekati seorang anak yang duduk ketakutan di atas kuda, memandangi kobaran api yang melahap semua yang ada di dekatnya. Anak itu menangis ketika melihatnya mendekat.

Snow Angel mengulurkan tangannya pada Charlie dengan gemetar. Ia memeluk Charlie dan berkata, “Jangan sedih! Ibumu masih hidup.” Suaranya terdengar makin lemah dan akhirnya hilang sama sekali.

Charlie memanggil-manggilnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Namun gadis itu tetap saja tak bergerak.

Pria itu melepaskan pelukan Snow Angel dengan hati-hati. “Jangan khawatir! Ia hanya pingsan,” katanya pada anak itu. Kemudian ia memeluk gadis itu dengan satu tangannya, sedangkan tangan yang lainnya memegang tali kendali kudanya.

Dari kejauhan muncul Frederick dan Oscar yang datang tergesa-gesa. Mereka memacu kudanya semakin cepat ketika melihat Vladimer duduk di atas kuda sambil memeluk adik mereka.

“Apa yang terjadi? Angella kenapa? Siapa anak itu?” tanya mereka panik melihat kepala Snow Angel terkulai lemah di bahu Vladimer.

“Tenang dulu. Aku akan menjelaskannya satu per satu. Pertama, aku tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku tiba di sini kulihat Angela berdiri di dekat kobaran api. Aku segera membawanya menjauhi api dan tiba-tiba ia pingsan. Pertanyaan kedua telah kujawab, sekarang yang terakhir. Aku tidak tahu siapa anak ini. Tapi yang pasti Angella terburu-buru ke sana untuk menolong anak ini,” jelas Vladimer.

Kakak beradik itu memandang Charlie dan memikirkan tujuan Angella menolongnya. Mereka merasa pernah melihat anak itu sebelumnya, tetapi mereka tidak ingat kapan dan di mana.

“Aku tidak tahu apa tujuan Angella menolong anak ini. Tapi kurasa sebaiknya ia kita bawa ke rumah,” kata Frederick.

“Mengapa kalian lama sekali?” tanya Vladimer.

“Kami harus menunggu kuda-kuda ini dipasangi pelana sebelum kami bisa menaikinya,” jelas Oscar.

“Sekarang kita tidak punya banyak waktu untuk bercakap-cakap. Vladimer, kenakan mantel ini pada Angella dan bawalah ia pulang ke rumah. Oscar, kau pergilah memanggil dokter dan aku akan mencari tahu apa yang terjadi di sini,” perintah Frederick.

“Nanny yang menyuruh kami membawanya. Katanya udara di luar sangat dingin, kami disuruh membawakannya untuk Angella agar ia tidak sakit,” jelas Oscar ketika melihat Vladimer yang kebingungan.

“Anak ini bagaimana?” tanya Vladimer setelah menyampirkan mantel itu di pundak Angella.

“Untuk sementara anak ini ada di sini bersamaku. Nanti bila urusanku di sini sudah selesai, aku akan membawanya pulang,” kata Frederick. “Sekarang lekas pergi!”

Mereka bertiga berpencar. Frederick tetap berada di sana untuk mencari tahu apa yang terjadi. Vladimer membawa Angella pulang dan Oscar pergi memanggil dokter.

Sepanjang jalan Vladimer memeluk erat-erat tubuh Angella. Tangan kanannya memeluk erat-erat pinggang gadis yang menyandar lemah pada tubuhnya itu dan yang lainnya memegang tali kendali kuda.

Ia mencemaskan keadaan gadis itu tetapi ia tidak dapat mempercepat lari kudanya. Ia menyesalkan Troglodyte Oinos yang terletak di tengah hutan sehingga semakin membuatnya semakin lama mencapai rumah itu untuk segera membaringkan Angella yang pingsan.

Seisi rumah terkejut ketika Vladimer datang dengan membawa Angella yang pingsan. Countess tampak sangat cemas melihat Angella tak sadarkan diri, demikian pula Nanny.

“Cepat bawa Angella ke kamar,” kata Countess panik.

“Dokter? Apakah sudah memanggil dokter?” tanya Nanny tak kalah paniknya.

“Sudah, Nanny. Oscar sekarang pergi memanggil dokter,” jawab Vladimer.

“Lekas bawa Angella ke kamarnya,” kata Countess lagi.

Nanny berjalan mendahului Vladimer. Berulang kali ia memperingatkan Vladimer agar berhati-hati ketika mereka menaiki tangga. Vladimer berjalan perlahan-lahan agar dapat membuat Nanny sedikit lega.

Nanny membuka pintu kamar Angella lebar-lebar dan menyiapkan tempat tidurnya. Vladimer meletakkan Angella dengan hati-hati di atas tempat tidurnya. Nanny menyelimuti tubuh Angella dan meraba keningnya. “Tidak panas,” kata Nanny, “Apa yang terjadi pada Tuan Puteri?”

“Aku tidak tahu, Nanny. Kita tunggu saja Frederick yang sekarang sedang mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi,” jawab Vladimer.

Nanny duduk di samping Angella yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Dari wajahnya tampak ia sangat mencemaskan keadaan Angella. Ia tampak sangat gelisah sekali menanti Oscar yang sedang memanggil dokter.

“Jangan cemas, Nanny. Oscar pasti segera datang,” Vladimer mencoba mengurangi kecemasan Nanny.

Kata-kata Vladimer terbukti. Sesaat kemudian, terdengar derap kaki kuda. Nanny bangkit dari duduknya dan segera menuju serambi kamar Angella untuk melihat siapa yang datang. Nanny tampak sangat lega sekali melihat Oscar datang bersama seorang dokter.

Oscar dengan terburu-buru mengajak dokter itu segera memasuki rumah. Sementara itu para pelayan yang menanti kedatangan Tuan Muda mereka tampak lega melihat kedatangan Oscar bersama seorang dokter.

Countess yang menanti kedatangan Oscar tampak lega melihat putranya datang bersama Dokter Leo yang menjadi dokter keluarga mereka. Countess dengan segera mengantarnya ke kamar Angella.

Vladimer dan Oscar menanti dengan cemas di luar kamar. Sementara Dokter Leo memeriksa Angella. Nanny dan Countess berada di dalam kamar untuk membantu dokter itu apabila memerlukan sesuatu.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Countess ketika dokter itu selesai memeriksa Angella.

“Saya masih belum dapat menjelaskannya sebelum mengetahui sebab Angella pingsan,” jawab dokter yang rambutnya sudah memutih semuanya itu.

“Saya tidak tahu sebab Angella pingsan, tetapi mungkin anak saya mengetahuinya,” kata Countess.

Oscar mengajukan pertanyaan yang sama seperti Countess ketika ia melihat Dokter Leo keluar kamar bersama ibunya. Dokter Leo kembali memberi jawaban yang sama seperti yang diberikannya kepada Countess.

Namun sayang penjelasan yang diberikan Vladimer dan Oscar kurang lengkap sebab mereka kurang mengetahui kejadian yang sebenarnya. Untunglah, Frederick segera datang tak lama setelah kedatangan Oscar.

Frederick menceritakan semua hasil penyelidikannya kepada mereka semua di Ruang Perpustakaan. Ia mengatakan api mulai membakar tenda Boudini’s Theatre sejak sore tadi. Asal api itu masih belum diketahui, namun polisi menduga api itu berasal dari sebuah tenda yang khusus didirikan bagi para pekerja. Masyarakat sekarang masih berusaha memadamkan api itu.

Ia juga mengatakan api telah membakar habis Boudini’s Theatre. Pemilik Boudini’s Theatre, Mr. dan Mrs. Boudini ikut terbakar di dalam kebakaran itu. Ia juga menambahkan bahwa ia membawa Charlemagne, anak Mr. dan Mrs. Boudini pulang bersamanya sebab Angella tadi terburu-buru ke sana ketika melihat asap hitam membumbung ke atas untuk menolong anak itu.

Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Countess yang ingin mengetahui alasan Angella menolong anak itu sebab ia sendiri juga tidak tahu pasti. Namun berdasarkan apa yang berhasil didapatnya dari Charlie, ia mendapat kesimpulan adiknya menolongnya karena merasa cemas.

“Rupanya Angella memang sangat menyukai anak-anak sehingga ia menjadi sangat cemas ketika melihat kebakaran itu terjadi,” komentar Countess mendengar jawaban Frederick. “Nanny, sebaiknya engkau segera membawa anak itu beristirahat di Ruang Kanak-Kanak. Ia kelihatannya lelah sekali dan tentunya ia masih sangat terpukul mengetahui apa yang terjadi pada orang tuanya.”

“Baik, Yang Mulia. Mari, kita pergi Charlie.” Nanny segera membawa Charlie keluar meninggalkan Ruang Perpustakaan.

Frederick melanjutkan lagi ceritanya. “Anak itu tidak hanya mengatakan bahwa ia baru bertemu dengan Angella pagi ini. Tetapi ia juga mengatakan sesuatu yang membuatku sangat terkejut.”

“Apa itu,” tanya Oscar ingin tahu.

“Ia mengatakan ketika Angella datang, ia berdiri di depan kobaran api yang membakar tenda, menanti Mr. dan Mrs. Boudini keluar dari tempat yang terbakar itu. Angella kemudian menaikkannya ke atas kuda dan menjauhkannya dari api. Sementara itu Angella berdiri di depan kobaran api itu memanggil-manggil mereka berdua.” Frederick menghela nafasnya kemudian sambil mengangkat bahunya ia berkata, “Dan menurut dugaanku …”

“Angella melihat sendiri bagaimana Mr. dan Mrs. Boudini itu tewas terbakar api,” sahut Vladimer.

“Ya, itulah dugaanku.”

“Sekarang aku mengerti mengapa Angella diam saja seperti patung ketika aku membawanya menjauhi api,” kata Vladimer lagi.

“Oh… Kasihan Angella, ia pasti sangat shock sekali,” kata Countess terkejut mendengar cerita Frederick.

“Berdasarkan cerita kalian, saya menyimpulkan Angella terlalu shock dan terlalu banyak menghirup asap sehingga ia pingsan. Saya sarankan sebaiknya ia beristirahat untuk beberapa hari untuk menghindari hal-hal yang buruk yang dapat menimpa paru-parunya, seperti radang paru-paru,” kata Dokter Leo usai mendengar cerita Frederick. “Udara segar di sekitar hutan yang mengelilingi rumah ini akan sangat membantu penyembuhannya.”

“Apakah itu berarti kami harus sering membawanya ke hutan untuk menghirup udara segar?” tanya Oscar.

“Jangan konyol, Oscar! Tentu saja bukan itu yang dimaksudkan Dokter Leo. Maksud Dokter Leo, lebih baik Angella sering menghirup udara segar untuk mempercepat penyembuhannya tetapi tetap tidak meninggalkan kamarnya,” kata Frederick memarahi kekonyolan Oscar. “Entah apa yang akan terjadi nanti bila engkau sering membawanya berkeliling hutan sementara badannya masih lemah.”

“Ya, itulah yang hendak saya katakan,” kata Dokter Leo.

Dokter itu mengeluarkan sesuatu dari tas yang berisi perlengkapan dokternya dan mulai menulis. “Ini obat yang harus diminum Angella.”

Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Dokter Leo berpamitan kepada mereka.

“Tunggulah sebentar, Dokter. Saya akan menyuruh Thompson mengantar Anda pulang,” kata Countess.

Dokter Leo menggelengkan kepala menolak usul Countess.

“Tidak apa-apa, Dokter. Kami telah merepotkan Anda, sudah selayaknya kami mengantar Anda pulang. Kereta yang Anda tumpangi tadi sudah pergi, lagipula Thompson juga akan pergi membelikan obat untuk Angella,” kata Frederick mendesak.

Akhirnya dokter tua itu mengalah. Frederick, Oscar serta Vladimer mengantar dokter itu menuju kereta yang telah menantinya. Frederick memberikan resep obat itu kepada Thompson dan memberikan perintah kepadanya untuk mengantar Dokter Leo.

Sebelum naik ke kereta, Dokter Leo berkata, “Saya memberikan obat penenang kepada Tuan Puteri sebab saya khawatir ia masih dihantui kejadian yang membuatnya shock itu.”

Setelah kereta menghilang di dalam kepekatan malam, Frederick, Oscar serta Vladimer masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan menuju kamar Angella. Di sana, Countess duduk dengan sedih di tepi tempat tidur putrinya.

“Mama, jangan cemas. Pergilah beristirahat biar kami yang menjaga Angella. Mama kelihatan sangat lelah,” kata Frederick.

Countess menggelengkan kepala menolak usulan Frederick, ia bersikeras menjaga Angella hingga gadis itu sadar.

“Mama, bila Mama ikut sakit pula. Kami akan menjadi sangat cemas, kami tak ingin Mama sakit. Saat ini kami sudah cukup mencemaskan Angella, janganlah Mama menambah kecemasan kami,” bujuk Frederick. “Biarlah kami yang menjaga Angella sementara Mama beristirahat. Percayalah kami akan menjaga Angella dengan baik.”

Oscar mengantarkan ibunya kembali ke kamarnya setelah ibunya menyatakan persetujuannya. Sebelum kembali ke kamar Angella, ia pergi ke Ruang Kanak-Kanak dulu. Dilihatnya Nanny sedang berusaha membujuk anak itu agar lekas tidur.

“Tidurlah yang nyenyak agar engkau besok menjadi segar kembali,” bujuk Nanny.

Charlie menggelengkan kepala dan berkata dengan keras kepala, “Aku ingin bertemu dengan Tuan Puteri dulu.”

“Tuan Puteri baik-baik saja, sekarang ia sedang beristirahat,” kata Nanny berbohong. “Engkau juga harus beristirahat.”

Anak itu menggelengkan kepalanya lagi. Ia berlari mendekati Oscar ketika melihat pria itu datang. “Bagaimana keadaan Tuan Puteri?” tanyanya kepada Oscar.

“Ia baik-baik saja. Engkau harus menuruti kata-kata Nanny,” kata Oscar kepada anak itu.

“Tidak! Saya tidak bisa tidur, saya ingin bertemu Tuan Puteri.”

“Angella sekarang sedang tidur. Ia akan sedih sekali bila melihat engkau keras kepala seperti ini. Ia tadi terburu-buru datang ke lapangan rumput yang terbakar itu karena mencemaskanmu. Sekarang engkau turutilah kata-kata Nanny, jangan membuatnya semakin cemas. Kata dokter ia memerlukan istirahat. Besok engkau boleh menjenguknya,” kata Oscar.

“Apakah itu benar?” tanya Charlie.

“Ya.”

“Baiklah saya akan menuruti Nanny. Anda berjanji akan mengijinkan saya menemui Tuan Puteri lagi?”

“Ya, saya berjanji. Engkau juga harus berjanji kepada saya akan selalu menuruti Nanny,” kata Oscar.

“Saya janji selama Anda tidak ingkar janji,” kata Charlie.

“Saya tidak akan mengingkari janji saya,” kata Oscar menyakinkan Charlie.

Anak itu menurut ketika Nanny menggantikan bajunya dengan baju tidur yang tak jelas milik siapa, milik Frederick atau Oscar semasa kecilnya. Sesaat kemudian anak itu sudah tertidur dengan nyenyak.

“Bagaimana keadaan Tuan Puteri?” tanya Nanny lirih.

“Kata dokter ia baru mengalami suatu kejutan dan ia memerlukan istirahat yang cukup dan udara segar,” jawab Oscar.

“Saya akan menjaga Tuan Puteri,” kata Nanny.

“Tidak perlu, Nanny. Sekarang Nanny mempunyai seorang anak yang harus Nanny perhatikan dan jaga baik-baik,” kata Oscar sambil memandang Charlie yang tertidur nyenyak.

“Tetapi merawat Tuan Puteri adalah tugas saya,” bantah Nanny.

“Sekarang tidak lagi, Nanny. Tugas itu kami yang mengambil alih. Sekarang tugas Nanny adalah merawat anak itu.” Oscar menepuk pundak Nanny. “Angella sekarang benar-benar memerlukan pengawasan yang ketat agar hal ini tidak terjadi lagi. Percayakanlah anak kesayangan Nanny itu pada kami. Kami janji akan menjaganya dengan baik”

Nanny menengadahkan kepalanya untuk melihat wajah Oscar. Anak yang dulu paling nakal itu kini telah banyak berubah. Ia menjadi semakin dewasa setiap harinya. Ia mulai mengerti tanggung jawabnya. Ia telah berubah dari anak yang nakal menjadi seorang pria yang mengerti apa yang dilakukannya.

Nanny menyayangi mereka bertiga. Frederick yang penuh tanggung jawab. Oscar yang periang dan adik mereka, Angella, gadis manis yang menjadi kebanggaannya. Ia menyayangi mereka semua.

“Baiklah. Saya mempercayakan Tuan Puteri kepada kalian,” kata Nanny. “Tapi hati-hati bila kalian tidak menjaganya dengan baik seperti yang kalian janjikan.”

Oscar ingin tertawa mendengar ancaman Nanny yang seolah menyerahkan Angella dengan terpaksa kepada sekelompok penjahat. Ia menahannya kuat-kuat hingga perutnya terasa sakit karenanya. “Jangan khawatir, Nanny sayang,” ia mencium pipi wanita tua itu.

Ia segera meninggalkan Ruang Kanak-Kanak sebelum ia tidak dapat menahan lagi keinginannya untuk tertawa. Ia mengingatkan dirinya untuk tidak tertawa karena dapat membangunkan orang-orang yang sedang beristirahat malam itu. Kemudian dengan menegakkan punggung ia menuju kamar adiknya.

“Mengapa engkau lama sekali?” tanya Frederick saat melihat Oscar menutup pintu kamar Angella.

“Aku pergi ke Ruang Kanak-Kanak dulu sebelum kemari untuk memberitahukan Nanny keadaan Angella. Semula kukira aku tidak akan lama berada di sana, tetapi ternyata aku salah. Aku masih harus menghadapi seorang anak keras kepala yang tidak mau tidur,” kata Oscar.

Kemudian ia menceritakan kejadian yang dialaminya selama berada di Ruang Kanak-Kanak. Sekali lagi ia berusaha menahan tawanya ketika mengulangi ancaman Nanny.

“Ada apa, Fred? Apakah aku salah mengatakan kepada Nanny bahwa sekarang kitalah yang akan mengawasi Angella?” tanya Oscar ketika melihat wajah kakaknya yang aneh.

“Tidak, engkau benar. Aku hanya terkejut mendengar apa yang kaukatakan kepada Nanny itu sama persis dengan apa yang sedang kupikirkan. Semula aku ingin membicarakan masalah ini dulu di antara kita bertiga sebelum memberitahu Nanny. Tetapi karena engkau telah memberitahu Nanny dulu, maka kurasa hal itu tidak perlu,” kata Frederick.

“Aku kira itu ide yang bagus. Aku mulai merasa ada yang ganjil dalam hubungan Angella dengan anak itu. Ada baiknya kita sendiri yang mengawasi Angella,” kata Vladimer.

“Apa maksudmu dengan ada yang ganjil dalam hal hubungan Angella dengan anak itu?” tanya Oscar tak mengerti.

“Tadi pagi aku melihat Angella bersama anak itu berbincang-bincang di kolam depan rumah. Waktu itu aku sedang berjalan-jalan setelah sekian tahun aku tidak kemari. Aku sedang berjalan masuk ke arah hutan ketika aku tiba-tiba mendengar suara teriakan dan aku mendekati arah asal suara itu,” cerita Vladimer. “Dan aku melihat mereka sedang berbincang-bincang di kolam itu. Aku juga melihat Angella membawa anak itu masuk ke dalam rumah.”

“Di mana letak keganjilannya?” tanya Oscar.

“Mereka berbincang-bincang seperti sahabat akrab yang sudah saling kenal. Dan juga cara Angella menatap anak itu. Aku merasa caranya menatap anak itu tidak seperti seseorang yang baru saja bertemu tetapi seperti seseorang yang baru bertemu kembali setelah sekian lama.”

“Maksudmu mereka sebelumnya sudah saling mengenal?” kata Oscar.

“Tidak aku tidak mengatakan mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku menduga mereka saling mengenal sebelumnya”

“Tetapi bagaimana mungkin. Terakhir kalinya Boudini’s Theatre mengadakan pertunjukkan di sini adalah sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Dan aku menduga umur anak itu belum genap empat tahun. Itu yang pertama. Kedua, mereka baru tiba kemarin sore dan kita sendiri telah mengetahuinya sewaktu kita pergi berkuda.”

“Dugaanmu sama sepertiku, Vladimer.” Kata Frederick.

“Engkau juga, Fred? Sebenarnya, apa yang telah kalian ketahui tentang anak itu? Aku tidak mengerti sama sekali apa yang membuat kalian mempunyai dugaan bahwa mereka telah bertemu sebelumnya.”

“Kami tidak mengetahui apa-apa mengenai anak itu,” kata mereka serempak.

“Apa yang membuatmu menduga demikian, Fred?” tanya Vladimer.

“Hal yang berhasil kudapat dari anak itu,” jawab Frederick.

“Apakah ia mengatakan kepadamu bahwa ia telah mengenal Angella sebelumnya atau ia mengatakan ia sudah dapat berbicara sejak bayi?” tanya Oscar marah karena ia tidak dapat mengerti jalan pikiran Frederick dan Vladimer.

“Tidak, ia tidak mengatakan banyak hal kepadaku. Sulit membuat anak itu mau menceritakan segalanya. Untuk mendapatkan keterangan dari anak itu benar-benar membutuhkan banyak waktu,” kata Frederick.

“Tadi aku hampir putus asa mendapatkan sedikit keterangan dari anak itu ketika tiba-tiba aku mendapatkan gagasan untuk menggunakan nama Angella agar ia mau bercerita kepadaku. Dan usahaku itu berhasil. ‘Engkau harus mau menceritakan apa yang terjadi padaku bila engkau ingin menolong Angella,’ kataku padanya.”

“Mendengar itu, anak itu tidak henti-hentinya bertanya, ‘Apakah benar bila aku mau menceritakan segala yang kuketahui, Tuan Puteri akan tertolong?’ Aku sampai merasa bosan meyakinkan anak itu bahwa segala yang kukatakan itu benar.”

“Anak itu rupanya tidak mudah mempercayai orang lain,” komentar Vladimer setelah mendengar cerita panjang Frederick.

“Apakah kehidupan di teater dapat membuat seorang anak menjadi sukar mempercayai orang lain?” tanya Oscar.

“Kukira tidak, kebanyakan orang yang hidup dalam llingkungan teater menjadi mudah mempercayai orang lain karena dalam kehidupan sehari-harinya ia telah biasa bertemu banyak orang,” jawab Vladimer.

“Anak itu termasuk golongan anak aneh rupanya.” Oscar itu memberi pendapat. “Ia tadi juga berulang-ulang menanyakan kesungguhanku memberinya ijin untuk menemui Angella esok pagi.”

“Ia memberiku keterangan seperti yang telah kuceritakan kepada kalian. Sebenarnya, masih ada lagi satu keterangan yang belum kuceritakan kepada kalian,” kata Frederick.

“Apakah itu?” tanya Oscar ingin tahu.

“Ia mengatakan sesuatu yang membuatku mempunyai dugaan yang hampir sama seperti Vladimer,” kata Frederick.

“Engkau tadi mengatakan dugaanmu sama dengan Vladimer sekarang hampir sama, mana yang benar?” tuntut Oscar.

“Keduanya. Aku menduga Angella dan anak itu telah berkenalan sebelumnya tetapi Angella lebih mengenal anak itu daripada anak itu mengenal Angella,” kata Frederick menanggapi kata-kata Oscar yang bernada menuduh itu.

“Apa maksudmu?” tanya Oscar tak mengerti.

“Katakan saja apa yang dikatakan anak itu sehingga engkau mempunyai dugaan seperti itu,” kata Vladimer.
“Ia mengatakan, sebelum pingsan Angella membisikkan sesuatu di telinganya.”

“Ayolah Frederick jangan berteka-teki. Katakan apa yang dibisikkan Angella kepada anak itu,” kata Oscar mulai tak sabar.

“ Jangan sedih! Ibumu masih hidup,” kata Frederick.

Vladimer dan Oscar tampak terkejut sekali mendengar kata-kata Frederick.

“Mungkin Angella mengatakan itu hanya karena tidak menginginkan anak itu sedih,” kata Oscar setelah pulih dari keterkejutannya.

“Tidak mungkin. Bila ia bermaksud tidak membuat anak itu sedih, mengapa ia tidak mengatakan orang tuamu melainkan ibumu? Selain itu ia masih terlalu shock setelah melihat sendiri Mr. dan Mrs. Boudini tewas terbakar di depan matanya,” bantah Frederick.

“Aku tadi juga ikut mendengarnya sewaktu Angella memeluk anak itu. Sehingga dapat kupastikan anak itu berkata benar. Tapi aku tadi tidak mendengar secara lengkap sebab suara Angella semakin lemah. Aku hanya mendengar ‘Jangan sedih! Ibumu masih…,’ ”kata Vladimer memperkuat perkataan Frederick.

“Benar juga kata-katamu itu,” gumam Oscar. “Mengapa tadi tidak engkau katakan sewaktu kita semua berkumpul di Ruang Perpustakaan?”

“Apakah engkau ingin membuat Bibi Stefanie terkejut?” tanya Vladimer.

“Kalian sendiri sudah sangat terkejut seperti itu. Bagaimana dengan Mama bila ia ikut mendengarnya,” kata Frederick.

“Siapa nama anak itu? Berapa usianya?” tanya Oscar.

“Ia mengatakan nama aslinya Charlemagne, namun semua orang memanggilnya Charlie. Mengenai usianya, ia tidak berkata apa-apa,” jawab Frederick.

“Charlemagne? Raja dari Frank dan pendiri kerajaan Romawi Kuno,” kata Vladimer.

“Kau tahu sejarah Charlemagne?” tanya Oscar tertarik.

“Sedikit. Aku mendengar ia bertahta di Perancis dan ia juga memerangi bangsa Moor dalam usahanya membebaskan Spanyol dari bangsa itu,” jawab Vladimer.

“Cukup! Jangan bercerita lagi mengenai Charlemagne. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah bagaimana membuat Angella mengatakan segala yang diketahuinya tentang anak itu kepada kita,” kata Frederick.

“Sebenarnya apa tujuanmu berusaha mencari keterangan lebih banyak lagi mengenai anak itu dari Angella?” tanya Oscar.

“Aku merasa pernah melihat anak itu dan itulah yang membuatku tertarik untuk mengetahui lebih banyak lagi mengenai anak itu,” jawab Frederick.

“Aku juga merasa pernah melihat anak itu. Tapi aku rasa akan sulit berusaha mendapatkan keterangan dari Angella mengingat sikapnya yang sangat dingin itu,” kata Oscar.

“Aku melihat ia tidak sedingin yang kudengar,” kata Vladimer.

“Mungkin karena ada engkau, maka ia tidak bersikap sedingin biasanya,” kata Frederick.

“Mungkin karena aku belum lama tinggal di sini,” kata Vladimer. “Tapi aku masih percaya ia memang sedingin yang kalian katakan. Aku masih ingat bagaimana ia menatapku pada hari kedatanganku.”

“Engkau kecewa karena tidak mendapat sambutan yang ramah darinya?” tanya Oscar ingin tahu.

Vladimer diam saja. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dalam kehidupan sehari-harinya yang penuh kebosanan karena dikagumi banyak wanita, ia menginginkan semua wanita itu menjauh darinya. Tetapi ketika ia mendapatkan keinginannya itu di sini, di rumah ini, ia merasa aneh. Ia merasa kecewa, sedih, dan entah macam apa lagi perasaan yang muncul bila ia mengingat tatapan Angella yang begitu dingin hingga terasa menusuk kulit setiap kali ia memandangnya.



*****Lanjut ke chapter 10

No comments:

Post a Comment